Pahlawan Dharma
Y.A Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo

YA. Mahawiku Dharma-aji lahir 10 Februari 1918, di kota Kawedanan Ambarawa 
dengan nama Darmadjie (Darmakoesoma Semi Adjie) dari pasangan Pak Slamet dan Bu 
Moerni. Oleh karena miskin, maka anak itu tak dimasukkan ke sekolah, melainkan 
diajarkan membaca oleh ayahnya: karena cuma diajarkan membaca, diumur 7 tahun 
beliau sudah pandai membaca, tapi tak dapat menulis.

Umur 9 tahun orang tuanya bercerai karena masalah ekonomi. Darmadjie kecil 
terpaksa menumpang dari rumah teman satu ke teman yang lain. Untuk mencari 
nafkah, beliau bekerja sebagai buruh pembuat selonsong bungkus rokok kretek.

Namun Darmadjie kecil tak putus asa untuk meningkatkan kemampuan dirinya, 
perlahan ia belajar menulis dari teman-teman yang bersekolah di sekolah Belanda 
dan Tionghoa, sehingga di usia 11 tahun, ia bisa mengajar teman-temannya yang 
buta huruf. 

Tahun 1932 beliau bekerja di toko P&D milik Tan Kiem Soem di ambarawa, untuk 
melayani Belanda Militer yang minum-minum di situ. Disinilah kesempatan 
mempraktekan bahasa Belanda yang ia pelajari dari teman-temannya tak ia 
sia-siakan. Karena bertubuh kurus tinggi, ia dipanggil orang-orang Belanda 
dengan sebutan Piccalo (seruling).

Tahun 1934 saat berumur 16 tahun ia dipanggil ibunya yang kini berdiam di Jalan 
Pandanaran, Semarang, untuk membantu usaha kecil ibunya yang berjualan manisan, 
kripik, gula-gula, sayur asin dan sebagainya.

Tahun 1942 Beliau menikah dengan seorang gadis dari Semarang bernama Soekini. 
Setahun kemudian dikaruniai seorang anak yang dinamai Padmawati.

Tahun 1946 Saat Belanda ingin menduduki Indonesia kembali, beliau ikut berjuang 
menghalangi niat Belanda. Di saat ini sebuah pecahan mortir yang ditembakkan 
dari Gombel menembus pahanya yang menyebabkan seketika itu beliau tak bisa 
berjalan.

Tahun 1949, saat berusia 31 tahun Puteri ketiganya lahir dan diberi nama Riza 
Arsianti, saat itu ia bekerja sebagai penjaga gudang tembakau di jalan 
Purwodinatan, Semarang. Karena harga barang-barang terus melambung, gajinya 
selalu habis di pertengahan bulan. Lalu Darmadjie mencari akal dengan menggelar 
tikar di alun-alun Semarang sebagai ahli nujum Kong Beng. Karena ramalannya 
jitu, makin hari pengunjungnya semakin ramai. Dari pekerjaan inilah, ia bisa 
menghidupi rumah tangganya. Pekerjaan ini dijalaninya kurang lebih 17 tahun.

Menginjak usia 40 tahun ia sering berjalan-jalan ke Wihara Buddha Gaya, 
Watugong, Unggaran untuk menikmati nasi pecel dan sate ayem (bukan Ayam). Di 
sana ia sering di sapa Yang Mulia Ashin Jinarakkhita "jalan-jalan?", "Ya, 
Bhante," jawab Dharmadjie. Dari saat itulah, Dharmadjie mengenal Agama Buddha 
lebih mendalam. Sebelumnya ia hanya mengenal lewat tulisan Bapak Kwee Tek Hoay. 
Sejak itu, tiap ada perayaan Waisak di Borobudur, Dharmadjie dan keluarga 
selalu hadir.

Tahun 1963 isteri tercintanya, Soekini pergi meninggalkannya dan lima anaknya 
di rumah sakit Telogorejo Semarang karena serangan jantung. Sedihnya tiada 
terkira ia rasakan hingga 3 tahun. Sebagai penghibur lara, beliau sering 
mengunjungi Wihara. Pada waktu itu sudah ada tempat puja bhakti di rumah Maha 
Upasaka Sariputra Sardono.

Tahun 1964, di gedung PHI Semarang diadakan kongres Perbuddhi menjelang Waisak 
2508. Darmadjie diwisudi menjadi upasaka oleh Yang Arya Biku Jinapiya. Ia 
kemudian bertugas di Wihara Tanah Putih sebagai penceramah Agama Buddha.

Tahun 1965, saat berusia 50 tahun, beliau mengikuti latihan vipassana selama 3 
hari di Wihara Karuna Cattra, Rembang. Beliau diwisudi oleh Yang Arya Biku 
Girirakhito sebagai Upasaka Pandita Dharmasinha, bertugas di Cetiya 
Wijayakusuma (rumah almahum Bapak Sadono, Semarang). Saat meninggalkan Wihara 
Tanah Putih beliau diikuti pengikutnya yang berjumlah 20 orang, yang kemudian 
jumlah ini terus meningkat.


Waisak 2507 Buddha Era (1970), di Maha Mandala candi Borobudur diadakan 
upasampada kebhikkuan oleh Bhante Ashin Jinarakkhita (Maha Sangha Indonesia) 
dengan upajjaya: Ven. Chaukun Sasana Sobhana / Nanasamvara sekarang Sangha Raja 
Thailand, Achariya: Ven Pra Guru Palat Nukik / Chaukun Dhamma Boru (Dhammaduta 
untuk Indoensia di Jakarta, Kamavaca: Ven. Chaukun Dhamma Sobhana, Upa. Saksi: 
Ven. Bhikkhu Kantipalo dari Inggris, Upa Saksi: Ven Viriya Cariya dari 
Australia dan terakhir Upa saksi Ven. Subhato dari Indonesia.

Putra-putra Indonesia yang menerima penabhisan kebikuan adalah: Biku Agga 
Jinamitto, Biku Jinadhammo dan Biku Uggadhammo, Biku Sirivijayo, Biku 
Saccamano. Namun dalam perkembangannya Biku Sirivijayo dan Biku Saccamano 
kemudian lepas jubah.

Tahun 1972 Vihara Mahabodhi di Jalan Seroja Timur 11 diresmikan. Semua umat 
dari cetiya Wijayakusuma berpindah puja baktinya ke wihara baru ini, yang kian 
hari jumlahnya kian bertambah.

Tahun 1980, ketiga biku yang ditabhis pada Waisak 2507 menjadi Thera dan 
dirayakan di Wihara Dharma Ratna, Sukabumi. Yang Arya Biku Uggadhammo Thera 
kemudian menetap di Wihara Buddhasena, Bogor. Di sini beliau bertugas sampai 30 
September 1984, selanjutnya kembali ke Semarang.

Tahun 1987, beliau wafat di Semarang. Setelah sekian lama menderita penyakit 
jantung dan kencing manis. 25 Mei 1987 dikremasikan di krematorium Ambarawa.

Pada Saat wafatnya beliau menjabat sebagai Nayaka Sangha Tantrayana Indonesia 
dari Sangha Agung Indonesia. Beliau juga menjabat sebagai Anu Nayaka Sangha 
Agung Indonesia.

Buku yang beliau wariskan adalah Doktrin Sanghyang Adi Buddha.

Murid-murid beliau yang kita kenal sekarang antara lain Yang Arya Biku 
Aryamaitri Mahasthavira (Kepala Wihara Ekayana, Jakarta), Yang Arya Biku Dharma 
Murti Mahasthavira (Kepala Wihara Arya Mularama, Gadog). 

Dan seandainya dulu beliau menerima permohonan pemuda Tejayano (sekarang Bhante 
Sri Pannavaro Mahathera) untuk ditabhis mungkin Yang Arya Biku Aryamaitri dan 
Bhante Pannavaaro Mahathera sekarang adalah saudara sepeguruan (Suheng dan 
Suti), namun sejarah memang memiliki kehendaknya sendiri.


Berikut adalah cuplikan tulisan Mas Tek(Buku Harian Seorang Dayaka)"Svara 
Dharma-7 Juli 1987 Tahun XII)":

Bhante D.Uggadhammo kemudian berdomisili di Vihara Mahabodhi, Jl. Seroja Timur 
11  Semarang sampai akhir hayatnya, walaupun selang diantara waktu itu Bhante 
juga pernah tinggal lama di Vihara Dhanagun, Bogor.

Sebagai dharmaduta Bhante giat bergerak ke mana-mana sampai ke daerah-daerah 
transmigrasi. Khotbah-khotbah Bhante yang sederhana dengan tema kehidupan 
sehari-hari mudah dipahami dan menggunakan bahasa pengantar Jawa dan Indonesia. 
Bhante juga sesekali muncul sebagai penceramah di RRI dan TVRI  di berbagai 
daerah….

Sebagai seorang yang telah lama belajar banyak agama baik Islam, Hindu Dharma, 
Theosofi, Taoisme, Konfusianisme, Kejawen, Sapto Dharma, Manunggal, Sumarah, 
maka masuknya Bhante sebagai biku sudah merupakan pilihan Bhante yang sejati 
ning ilmu. Penguasaan bahasa Jawa, Indonesia dan Inggris yang baik, sedikit 
Belanda, Arab, Mandarin dan Sunda, maka sarana untuk maju sebagai dharmaduta 
yang mumpuni cukuplah sudah.

Kalau Bhante ada di Semarang maka waktu senggangnya digunakan untuk 
mengumpulkna anak-anak di sekitar vihara. Kepada yang kurang mampu dan tidak 
bersekolah dengan papan tulis Bhante memberikan berbagai pelajaran membaca 
menulis baik latin maupun aksara Jawa. Bhante menekankan agar anak-anak menjadi 
manusia susila yang baik dan sopan di masyarakat sesuai dengan apa yang 
diajarkan Buddha. Dan sebagai seorang nasionalis yang pada waktu perang 
kemerdekaan dulu ikut bergerilya dan pernah terkena pecahan mortir di Gombel 
(Semarang Selatan), maka jiwa patriot Bhante ditekankan juga pada anak-anak, 
pemuda-pemudi dan umat Buddha semua untuk mencintai tanah air,negara bangsa dan 
budaya Indonesia. Motto Bhante adalah "Agama Buddha Indonesia yang universal 
dan membumi."

Biku yang juga seniman ini banyak mengubah lagu. Kalau dihitung ada sekitar 100 
lagu Buddhis gubahannya dan banyak diantaranya sebagai Vihara Gita seperti: 
Siswa Sang Buddha, Marilah Kita Berdana, Mendut Borobudur, Gate Gate Param 
Gate, Semoga Hatiku Tenang dan sebagainya. Bahkan ketika suatu ketika lagu 
gubahannya :Ajaran Semua Buddha dinyannyikan anak-anak di depan Bhante Narada, 
Biku dari Sri langka ini mengangguk-angguk mengacungkan jempolnya. Bhante juga 
yang punya ide menggunakan alat-alat musik Mahayana seperti Muk Ik(kayu kepala 
ikan), Im Keng (tingting), Hap (bekles), Tiong (Genta) untuk mengiringi 
pembacaan Paritta Pali

Bhante juga menyusun banyak puisi dan menerjemahkan banyak buku Buddhis. 
Tulisan Bhante juga banyak dimuat di majalah Sinar Mahabodhi yang di tahun 1970 
merupakan satu-satunya majalah Buddhis yang penerbitannya lancar dan bertahan 
sekitar 70 edisi.

Sesekali di tahun 1970, jika saya datang ke Semarang di sore hari, sering 
mengatar Bhante naek Bogor Ekpres, dan di ruang tunggu Bhante menjadi pusat 
perhatian, karena pada saat itu biku merupakaan hal baru di Indonesia. Beberapa 
orang bertanya pada saya: Apakah dia bisa berbahasa Indonesia? Karena dikira 
orang India. Seorang ibu bertanya dimanakah dia tinggal, bersediakah diminta 
tolong meramalkan suaminya? Seorang pemuda malah ingin belajar silat, dan 
dengan berbisik-bisik seorang bapak nekad bertanya pada saya, tolong dik saya 
ditanyakan pada Mbah berapa nomor buntutnya yang akan keluar?

Kalau Bhante pulang dari berpergian jauh dan kebetulan saya ke sana, makan 
Bhante banyak bercerita tentang perjalannya dan menunjukkan foto2 kepergiannya 
dengan Bhante Jinapiya membuka beberapa cetya dan vihara di Jawa Barat, suatu 
ketika bersama Bhante Jinamitto ke daerah transmigrasi di Lampung, dimana 
anak-anak membuntuti terus dan sambil menyanyikan lagu gundul-gundul Pacul dan 
Bhante pun tertawa mengenang itu semua.

Bagi masyarakat Jawa Buddhis, Bhante Uggadhamm bersama 
Bhante Agga Jinamitto dan Bhante Khemasarano merupakan tiga serangkai Thera 
yang dalam usia 80 tahun lebih masih mengumandangkan Dharma ke desa desa dan 
daerah transmigran  untuk melestarikan agama Buddha sebagai tinggalane wong 
Jowo Kuno serta memertahanakan agar Dharma tak tercerabut dari buminya budaya 
jawa atau budaya Majapahit.

Dua bulan yang lalu, ketika saya ikut kebaktian Mahayana(Imlek bulan kedua), 
kembali saya sempat berbicara santai dengan Bhante. Bhante tampak kurus dan 
duduk bersandar bantalan. Bhante bercerita tentang kepergiannya ke Muntilan 
dalam rangka acara Ulambana bersama Bhante Pannavaro dan menginap di Mendut. 
"Umat Muntilan dan Pannavaro itu baik sekali. Saya benar-benar terkesan! Ketika 
saya pulang, Pannavaro memberi saya 2 buah wayang, satu Seno (Bima) dan satu 
Samiajie (Yudistira). "Saya katakan pada dia ini kunjungan saya yang terakhir" 
dan ia berkata"Ya Bhante dan ini adalah kenang-kenangan yang terakhir dari 
saya".

"Saya mungkin mau pergi Tek" dan Bhante memandang saya seperti biasanya dan 
kemudian tertawa keras. Walaupun dengan keadaan yang memburuk Bhante tetap 
ceria. Kemudian menambahkan "saya bermimpi saya ini sudah mati dan dibelikan 
peti mati seharga 2 juta. Orang Jawa kalau diimpikan mati itu adalah panjang 
umur."

"Apakah angka dua itu punya arti, Bhante? Mungkin dua tahun atau duapuluh 
tahun". "Ah, tidak sejauh itu. Fisik saya sudah begini, banyak kompilasi 
jantung, gula, darah tinggi dan macam-macam lagi. Manusia harus menerima 
kenyataan itu kata Sang Buddha dan  saya kira dua bulan lagi" kembali Bhante 
memandang saya dan tertawa keras seperti biasanya. Dan apa yang Bhante katakana 
ternyata betul. Menjelang Tai Pe Cham (Sembayang cinta kasih) pada bulan empat 
Imlek, Bhante telah pergi… peramal yang bergelar "Khong Beng" dari kota 
Semarang ini cukup terkenal sebelum menjadi biku, ternyata jitu dalam 
meramalkan diri sendiri.

Bhante D.Uggadhammo dan Bhante Pannavaro sebenarnya waktu berpisah di Muntilan 
telah mengerti apa yang bakal terjadi, karena seorang biku pasti intuisinya 
akan terus berkembang dan weruh sak durunge winarah atau mengetahui sebelum 
terjadi tapi tak perlu menolak, karena itu semua adalah karma. Apalagi Bhante 
senang pergi bertapa di salah satu tempat pertapaannya adalah Gunung Gede yang 
menurut Bhante bertapa di sana bersama ayahanda romo Irwan Hidayat, seorang 
tokoh besar Mahayana.

Bhante memang salah satu murid kesayangan pertapa dari Gunung Gede, yaitu 
Bhante Ashin Jinarakkhita. Kalau kita berbicara dengan Bhante, kita bisa 
memperhatikan pandangan mata Bhante yang tajam dan lembut. Ini merupakan 
ciri-ciri dari biku yang memiliki power.

Bhante memiliki banyak murid, baik biku maupun Pandita dan mereka semua bakti, 
seperti YA Bhante Dharma Murti yang telah beraditthana untuk datang di Semarang 
waktu Bhante meninggal dengan menempuh jarak jurang lebih 400 km Pacet-Semarang 
dengan berjalan kaki selama beberapa hari. Suatu bakti yang luar biasa dari 
seorang murid pada gurunya.

Hari selasa 19 Mei 1987 Bhante telah wafat.
Berhari-hari wihara Mahabodhi selalu dipenuhi umat. Ribuan pelayat datang 
memberikan penghormatan yang terakhir. Berbagai upacara baik Mahayana, 
Theravada maupun Wajrayana  diadakan dengan megah dan suara liam keng dan 
paritta terus terdengar. Bahkan umat Sai Centre (Shri Sathya Sai Baba) 
mengadakan upacara untuk Bhante. Karangan bunga dari umat Hindu, Islam dan 
Khatolik sebagai rasa duka cita tampak juga terpampang di situ.

Senin 25 Mei 1987 dengan diawali oleh sejumlah sepeda motor Harley Davidson 
dari HDC sebagai pembuka jalan dan diiringi 100 buah mobil berangkatlah sebuah 
rombongan lelayu yang menyertai perabuan Bhante ke krematorium Ambarawa.

Bhante D Uggadhammo telah pergi, banyak kenangan yang telah ditinggalkannya….

Kata Pustaka: 
Mengenang Y.A Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo, Wihara Warhana Kirti, Jl.Ubi No.8 
Jakarta (tahun 1987).

Sumber:Harpin.wordpress.com

Kirim email ke