Penganut Buddhisme tidak menyembah berhala

oleh:Slamet Rodjali

Berikut ini argumen2 untuk menjelaskan bahwa Buddhist tidak menyembah patung 
batu dan kayu.

Penyembah berhala, apakah tolok ukurnya?

Ketika saya bertemu dengan doktor pribadi saya, beliau bertanya tentang 
kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek religius saya, 
ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan saya disarankan untuk memiliki 
pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah dekat, saya dapat tertolong 
sehingga dapat terlahir di surga abadi.

Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah 
patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya menyembah 
patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan 
memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya 
kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme, 
penyembah batu, religius berhala.

Kemudian saya berkata: "Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa perihal 
pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya sendiri, 
darimanakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan memohon?0?1mohon kepada 
patung, apakah dokter dapat membaca pikiran saya, tolong dokter memberikan 
petunjuk bagi saya."

Maka iapun menjawab bahwa kebanyakan, orang yang bertingkah laku di depan 
patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan 
memohon kepada patung.

Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: "Ketika 
rakyat suatu negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke 
arah Bendera Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna 
tingkah laku orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta 
sesuatu kepada bendera itu?"

Dokter saya menjawab, bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah 
atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan / kualitas 
jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk 
mencontoh perbuatan patriot para pahlawannya."

Kemudian saya lanjutkan: "Mungkinkah penganut religius yang dokter sebut 
sebagai penyembah patung/berhala ta di, ketika berlutut di
bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-
sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi,
atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang
dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang sedang 
mengenang jasa para pahlawannya?"

Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali 
bertanya:"Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan 
pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai penyembah 
patung/berhala, dan jika saya melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan 
dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah berhala?"

Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: "Mengapa
tidak?" Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu 
(rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang
tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut.

Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada
beliau: "Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara
sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya bertanya secara
terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini tidak tepat; 
bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam mempraktikkan kepercayaan 
religius yang dokter anut, acap kali meminta atau memohon sesuatu (keselamatan, 
rejeki dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui 
(tanpa atau
dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?"

Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi:"Selama ini saya telah salah 
pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami,
maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala
dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon sesuatu 
(rejeki, kesehatan, keselamatan dan sebagainya) kepada sesuatu yang memang saya 
belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya,
selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu
pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku
sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa syukur atas 
keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu 
lagi.

Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi
secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang yang 
terdapat patung seorang guru besar yang bernama Gotama.

Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan para 
penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak 
mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf 
tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja 
berhala.

Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu 
bagi para pemula (bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat 
bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki 
oleh guru besar Gotama, yaitu:

1. Murah-hati (dermawan)

2. Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah,
tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan 
kewaspadaan)

3. Tidak terikat/tidak melekat

4. Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir

5. Bersemangat

6. Sabar

7. Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar

8. Memiliki tekad yang kuat

9. Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang
bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)

10. Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)

Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi 
masalah. Guru besar kami sama sekali tidak mengajarkan
pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. Tindakan melalui pikiran, 
ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari keserakahan, 
kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk merealisasi 
kebahagiaan sejati. Setiap mahluk
mengharapkan kebahagiaan, namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, 
meminta-minta.

Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat 
yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik; 
sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses 
sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya 
terpenuhi; mereka
berproses secara alamiah. 

Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya secara 
sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga 
dan secara sukarela pula berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi 
rasa takut akan ancaman neraka. 

Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman antar penganut 
religius.

[Slamet Rodjali] [Buletin Dharma Manggala Mei 2007]


Sent from BB ?9?0?0?3 on 3

------------------------------------

** MABINDO - Forum Diskusi Masyarakat Buddhis Indonesia **

** Kunjungi juga website global Mabindo di http://www.mabindo.org **Yahoo! 
Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/MABINDO/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/MABINDO/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mabindo-dig...@yahoogroups.com 
    mabindo-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    mabindo-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke