MEDIA INDONESIA
Sabtu, 03 Desember 2005

Menjadi Muslim Liberal
Oleh M Dawam Rahardjo, Presiden The International Institute of Islamic
Thought (III-T) Indonesia



BUKU kedua Ulil Abshar Abdalla Menjadi Muslim Liberal (Penerbit Nalar, 2005)
yang menghimpun artikel-artikel yang ditulis sejak artikelnya di harian
Kompas, 18 Desember 2002, berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam yang
menggemparkan itu. Artikel itu melahirkan reaksi yang luas, termasuk dari
mertuanya sendiri, KH Mustofa Bisri. Reaksi-reaksi itu umumnya menilai Ulil
telah menghujat Islam, sehingga karena itu, KH Adhian Ali mengatakan bahwa
"dosa" yang dilakukan oleh Ulil itu bisa divonis dengan hukuman mati. Memang
vonis sepeti itu telah terjadi di Mesir dengan terbunuhnya Faraq Fauda,
seorang intelektual muslim terkemuka dan juga penerima hadiah Nobel untuk
kesusastraan, karena novelnya dinilai menghina Islam itu.

Di Indonesia, tulisan Ulil itu telah menjadi latar belakang terbitnya fatwa
MUI yang mengharamkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Ketika
ditanya dari mana MUI mendefinisikan paham-paham yang diharamkan itu, secara
tidak lazim, Amidhan, salah seorang Ketua MUI, menunjuk pada pemikiran yang
ditulis oleh Ulil yang memang merefleksikan pemikiran-pemikiran Islam
berdasarkan tiga paham di atas.

Judul buku Ulil sebagaimana judul buku sebelumnya Membakar Rumah Tuhan:
Pergulatan Agama Privat dan Publik (Rosdakarya, 1999) memang terkesan
"provokatif", seolah menantang fatwa MUI yang telah mengharamkan liberalisme
itu. Tulisan yang mengawali antologi pemikiran itu adalah Menyegarkan
Kembali Pemikiran Islam, yang dapat disebut sebagai "Fatwa Ulil" atau
"Manifesto JIL". Seolah-olah bertindak sebagai mukadimah buku.

Tulisan itu berisi pokok-pokok pemikiran yang merupakan isu-isu kontemporer
yang dihadapi oleh Islam, sejak dari masalah cara berpikir atau
epistemologi, dekonstruksi atau redefinisi syariah hingga ke soal perilaku
umat Islam yang tampak akhir-akhir ini di Indonesia/tulisan yang ringkas,
padat gagasan tetapi ringan bahasanya itu (yang ternyata merupakan gaya
tulisan-tulisan Ulil yang khas, yang tercermin dalam keseluruhan buku itu),
ternyata bagaikan The Big Bang dalam pemikiran Islam di Indonesia. Walaupun
Ulil itu masih dapat dikaitkan dengan ceramah dan tulisan Nurcholish Madjid
tahun 1970-an, tulisan itu dapat dinilai membuka tahap baru pemikiran Islam
yang terumus secara lebih gamblang dan tegas. Lontaran pemikiran Nurcholish
Madjid itu lebih diperkaya lagi oleh pemikiran Ahmad Wahib, Djohan Effendi,
dan dikembangkan lebih lanjut oleh KH Abdurahman Wahid, Harun Nasution, dan
Munawir Sadzali.

Gagasan Cak Nur untuk membentuk 'kelompok pemikir yang liberal' pada 1970
telah terwujud pada 2000, dengan lahirnya para pemikir muslim muda semacam
Ulil, seperti Sumanto Qurtubi, Zuhairi Misrawi, Mohamad Ali, Luttfi
Assyaukaniem Novriantoni, Abdul Moqsith Ghozali, Pramono D Thantowi, Sukidi,
Mun'im Ansorrym, Ahmad Gaus AF, Mohamad Guntur Romli, dan Budhy
Munawar-Rachman. Lahirnya komunitas episteme liberal itulah, yang merupakan
'ledakan besar' melalui tokoh Ulil Abshar Abdalla. Lahirnya pemikir-pemikir
dan kelompok episteme liberal itu sebenarnya menandai lahirnya sebuah
paradigma pemikiran baru dalam Islam, meminjam istilah Thomas Kuhn.

Judul buku mantan Koordinator Islam Liberal (JIL) yang kini melanjutkan
kuliahnya di Boston University itu, agaknya dipengaruhi oleh judul buku On
Being Muslim, karya Esac Farie. Ulil sendiri juga menulis artikel dengan
judul itu, tapi isi kedua tulisan itu berbeda. Dalam tulisan itu Ulil
menceritakan pengalamannya belajar di pesantren Mathla'ul Falah, Kejen, Pati
yang dipimpin KH Salah Mahfudz, kini Rois 'Am Nu dan Ketua Umum MUI itu. Ia
juga menceritakan kesannya mempelajari kaidah-kaidah fikih (qawaid al
fiqih), antara lain menghafalkan kaidah-kaidah yang ditulis dalam 300 bait
syair dalam buku Al fara'id al Bahiyyah, yang sulit dilakukan dan
menyebalkan itu. Mula-mula ia tidak tahu tujuan menghafal syair-syair itu.
Tapi setelah banyak mendengar ceramah dan berdiskusi dengan Cak Nur dan Gus
Dur yang sering mengutip kaidah-kaidah itu, ia baru mengertilah, bahwa syair
itu secara diam-diam telah memengaruhi cara berpikir para kiai, terutama
dalam menghadapi dilema-dilema yang menyebabkan kesulitan dalam pengambilan
sikap dan keputusan.

Salah satu contoh mengenai sikap politik yang didasarkan pada kaidah fikih
adalah ketika Bung Karno meminta NU untuk ikut dalam koalisi politik
Nasakom. Ketika NU menerima tawaran itu, sedangkan partai Islam yang
terbesar, Masyumi, menolaknya, NU dituduh telah berkhianat atau bersikap
oportunis. Padahal, keputusan politik itu didasarkan pada kaidah fikih
tertentu, yaitu jika kita tidak bisa meraih atau mencapai keberhasilan
semuanya, maka janganlah upaya itu ditinggalkan seluruhnya. Pada waktu itu
memang tidak mungkin bagi umat Islam untuk berada di pemerintahan dengan
menyingkirkan PKI. Karena itu, jika ada peluang, walaupun tidak sepenuhnya
mengontrol pemerintahan karena baru berbagi dengan lawan, janganlah
kedudukan pemerintah itu ditinggalkan sama sekali. Dalam filsafat Barat,
sikap ini disebut sebagai pragmatisme yang menyadari keterbatasan manusia.
Manfaatnya dalam politik memang ada, yaitu NU masih bisa melindungi umat
Islam yang tidak bisa dilakukan seandainya NU tidak ada dalam pemerintahan.

Kaidah lain yang diingat oleh Ulil adalah menghadapi dua tugas yang
sama-sama pentingnya, atau dianggap sama-sama benarnya. Misalnya,
memperjuangkan berlakunya syariat Islam dan memberantas kemiskinan di
kalangan rakyat. Di sini berlaku asas prioritas, maka yang sebaiknya dipilih
mana yang akan didahulukan. Ulil berpendapat bahwa yang lebih urgen adalah
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan daripada secara formal memberlakukan
umat syariat Islam, karena yang pertama bersifat konkret dan mendesak yang
manfaatnya nyata bagi rakyat, sedangkan yang kedua banyak simbolis yang
memuaskan emosi elite saja. Pada masa demokrasi terpimpin, asas ini disebut
juga ambeg paramaarta. Dengan argumen yang berbeda, Cak Nur pernah pula
menganjurkan partai-partai Islam untuk berhenti mewacanakan negara Islam
serta lebih baik mengembangkan konsep keadilan sosial. Inilah yang disebut
Fikih Prioritas (Fiqul Auluwiyah) oleh Dr Yusuf al Qardawi. Tokoh Ikhwan al
Muslimin yang sekarang dituduh liberal juga.

Kaidah lain dipakai oleh Ulil dalam menanggapi gagasan KH Masdar F Mas'udi,
mengenai musim haji. Menurut kiai muda NU itu, berdasarkan Alquran musim
haji itu lamanya tiga bulan sesudah bulan Ramadhan sehingga secara teoritis,
ibadah haji dapat dilakukan dalam enam sif daripada sekarang yang hanya satu
sif, selama enam hari untuk 2,4 juta umat manusia sekaligus. Akibatnya jatuh
korban yang tak terhindarkan, misalnya yang terbesar terjadi pada Tragedi
Mina. Sulit dibayangkan betapa dalam tempo satu hari saja jemaah haji harus
melaksanakan tawaf ifadhah. Juga pada waktu melempar jumrah yang harus
dilaksanakan oleh semua orang di segala umur. Di sini ada unsur keburukan
dan kerugian dalam suatu kewajiban yang baik. Jika ada alternatif lain yang
bisa mengurangi keburukan itu, alternatif itulah yang harus diambil. Karena
itu, Ulil menyetujui gagasan Masdar itu walaupun tentu saja ditolak oleh
semua ulama dan penguasa Arab Saudi, lebih-lebih oleh penganut Islam garis
keras.

Dalam membaca artikel itu, tampak bahwa Ulil, walaupun menyebut dirinya
"liberal", adalah tetap seorang muslim. Moqsith Ghozali maupun Gus Dur juga
punya kesan bahwa Ulil masih tetap seorang santri yang kental, yang gemar
mengutip kaidah-kaidah fikih yang dulu pernah dihafalkannya di pesantren.
Menurut Gus Dur, perilaku Ulil sehari-hari masih menunjukkan ia seorang
santri.

Ulil juga menunjukkan pandangannya sebagai seorang pluralis seperti tampak
dalam artikelnya mengenai sikap seorang muslim liberal terhadap perayaan
Natal yang melawan fatwa MUI itu. Ia juga menekankan pentingnya dialog
antaragama dalam berbagai aspeknya.

Salah satu artikelnya yang mungkin mengundang tanda tanya mengenai dirinya
sebagai sekularis adalah yang berjudul Umat Islam dan Ruang Publik. Dalam
artikel itu, ia mengatakan bahwa umat Islam, dalam kedudukannya sebagai
mayoritas, pasti akan menimbulkan implikasi publik dalam menjalankan ajaran
agamanya. Sekularisme sebagaimana dilaksanakan di Prancis umpamanya,
bersikap melindungi ruang publik (public space) dari asersi-asersi keagamaan
sehingga memakai jilbab atau memakai kalung salib pun di ruang publik
dilarang. Tapi di Indonesia hal itu tak terhindarkan karena kedudukan umat
Islam sebagai mayoritas. Karena itu, asersi keagamaan umat Islam sering
menimbulkan masalah atau kerepotan publik.

Dari titik pijak inilah, ia kemudian ia menolak pandangan bahwa pelaksanaan
syariat umpamanya, adalah masalah internal umat Islam sendiri. Apa yang
dilakukan oleh umat Islam pasti akan menimbulkan dampak yang luas. Di sini
Ulil justru berpendapat agar pengaruh pelaksanaan ajaran Islam terhadap
kehidupan publik ini diakui, terutama oleh umat Islam sendiri sehingga umat
Islam harus bisa bersikap dewasa jangan sampai tidak menghiraukan bahkan
tidak ramah lingkungan. Di sini Ulil mengakui peranan Islam, dan juga
agama-agama lain di ruang publik, tetapi baru dalam kerangka open society
yang dipikirkan oleh Karl Popper. Umat Islam mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam memperkuat ruang publik ini. Pemikiran Ulil ini mengingatkan
kita pada gagasan Jose Cassanova mengenai agama publik (public religion).

Di Indonesia, peranan agama sebagai agama publik ini diakui bahkan
difasilitasi. Hal ini tampak misalnya, dalam kasus pembinaan Bank Indonesia
terhadap perbankan syariat. Tapi realisasi sistem perbankan syariat telah
memenuhi tiga syarat, yaitu saintitiklas, mekanisme pasar, dan demokrasi.

Jakarta, 2 Desember 2005






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/eYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 



==========================================

MILIS MAJELIS MUDA MUSLIM BANDUNG (M3B)
Milis tempat cerita , curhat atau ngegosip mengenai masalah anak muda dan islam 
.
No Seks , No Drugs , No Violence

Sekretariat : 
Jl Hegarmanah no 10 Bandung 40141
Telp : (022) 2036730 , 2032494 Fax : (022) 2034294         

Kirim posting mailto:[EMAIL PROTECTED]
Berhenti: mailto:[EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/majelismuda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke