Note: forwarded message attached.
       
---------------------------------
Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, 
photos & more. 
--- Begin Message ---
Jamaah JIL rahimakumullah,

Tidak terasa, bulan puasa sebentar lagi akan datang. Kaum muslim
berlomba-lomba menyambutnya dengan berbagai aneka kegiatan.
Program-program di televisi dan masjid sebentar lagi pasti bakal
ramai, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Puasa dilakukan umat Islam selama satu bulan penuh, tanpa jeda. Puasa
hukumnya wajib dan menjadi salah satu pilar penting Islam (rukun
ketiga).

Sebagian orang menjalankan puasa dengan ikhlas dan merasa gembira.
Saya tidak tahu, berapa jumlah orang-orang Islam yg seperti ini. Perlu
ada survey dari LSI, sejauh mana kaum Muslim bergembira menjalankan
ibadah puasa selama satu bulan penuh tanpa henti.

Sebagian lainnya, merasa kurang ikhlas, meskipun kekurangikhlasan itu
disimpan di dalam hati. puasa adalah bagian dari ibadah, dan kata
Nabi, dalam ibadah kaum Muslim hanya dianjurkan mengikuti saja, tanpa
tanya-tanya.

Tidak pernah ada ulama atau pemikir Islam yang secara terang-terangan
mempertanyakan lamanya waktu berpuasa, meskipun mereka mungkin
bertanya dalam hati: "wedan, lama tenan....." Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini selalu ditekan, agar jangan keluar.

Puasa, kita tahu semua, adalah perintah Quran. al-Quran menyebutkan
bahwa puasa bukanlah unik milik kaum Muslim saja, tapi agama-agama
lain juga punya puasa. Hanya, cara mereka berpuasa yang berbeda-beda.

Nabi Musa dan umat Yahudi berpuasa selama 40 hari. Tradisi ini
kemudian dilestarikan oleh umat Katolik dengan tradisi puasa sebelum
paskah. Bagi umat Katolik, puasa wajib hukumnya.

Pada abad ke-15, sekelompok tokoh agama di Eropa memprotes ketentuan
Katolik mewajibkan puasa selama 40 hari itu. Menurut mereka (yang
kemudian dikenal dengan kelompok Protestan), pewajiban puasa 40 hari
lamanya, meski boleh minum air putih, tetaplah pekerjaan yang sulit.
Agama diciptakan untuk memudahkan manusia, bukan untuk menyengsarakan
manusia.

Sejak saat itu, kaum Protestan punya aturan sendiri tentang puasa:
puasa tidak wajib. umat protestan boleh berpuasa dan boleh tidak.

Saya salut sekali dengan gerakan protestantisme itu. Mereka berani
merombak sebuah tradisi yang dianggap tidak lagi cocok dengan semangat
perubahan zaman dan tuntutan kehidupan manusia yang terus berubah.

Pada masa-masa awal (abad ke-15), para pemrotes itu dianggap kafir,
heretik, dan menyimpang dari ajaran Kristen. Tapi, orang yang masih
menggunakan cara berpikir seperti ini, kini, akan ditertawakan. Setiap
gerakan pembaruan agama, pada mulanya adalah gerakan heretis. Para
pmeluknya dikecam dan dimusuhi. Tapi lama kelamaan mereka bisa
diterima dan ajaran-ajaran mereka dianggap sebagai sesuatu yang
normal.

Orang-orang Protestan kini tak memiliki beban apakah mereka mau
berpuasa atau tidak. Puasa bukan kewajiban. Ia hanya sunnah saja
hukumnya.

Saya belum pernah melihat ada usulan (apalagi gerakan) dari kaum
Muslim yang mempertanyakan puasa. Meski saya sering mendengar keluhan
dari beberapa orang betapa mengganggunya bulan puasa buat aktivitas
kaum Muslim secara keseluruhan, toh tradisi ini terus berjalan lancar.

Saya kira tak akan ada orang yang berani secara terbuka mempertanyakan
kewajiban puasa. Juga tak akan ada yang berani mempertanyakan jumlah
bilangan puasa atau teknis berpuasa. Padahal, menurut saya, bilangan
dan teknis, masuk wilayah perdebatan.

Puasa bisa saja tetap dianggap wajib hukumnya, karena ia adalah salah
satu rukun Islam. Tapi jumlah dan durasi puasa, mungkin perlu ditinjau
ulang. Saya jadi teringat gagasan Masdar Masudi, ketua NU itu, soal
peninjauan kembali pelaksanaan haji.

Menurut Masdar, haji bisa dilaksanakan di luar bulan Zulhijjah, paling
tidak ada tiga bulan di mana kaum Muslim bisa melaksanakan ibadahan
ini. Begitu juga, pewajiban puasa, saya kira, yang dimaksud adalah
pewajiban selama bulan Ramadhan, bukan selama satu bulan penuh.
Artinya, Anda diwajibkan berpuasa selama bulan itu, kapan saja (bukan
tiap hari).

Pandangan semacam ini, tentu saja, tidak akan didapatkan dalam
buku-buku fikih, karena masalah ini masuk dalam wilayah "unthinkable"
atau wilayah yang tak terpikirkan. Karena itu, akan sia-sia mencari
rujukan dalil dari ulama atau fuqaha untuk mendukung pandangan semacam
ini.

Lalu, darimana pandangan semacam ini muncul? Saya cuma menarik
konsekwensi dari anjuran Ulil dalam beragama: sapere aude! dan istafti
qalbak!

Wallahu a'lam bisshawab.

Luthfi

--- End Message ---

Kirim email ke