Note: forwarded message attached.
       
---------------------------------
Looking for a deal? Find great prices on flights and hotels with Yahoo! 
FareChase.
--- Begin Message ---
Salam,
Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya
tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu.
Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru
terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura
agama itu agar tampak "angker" dan menakutkan di mata
pemeluknya.

Saya akan mengambil contoh Islam.

(1) Doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah.
Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan
dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu
kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam
tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama.
Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi,
Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik])
sebagai "infallible", tidak bisa berbuat salah, jelas
tak masuk akal.

(2) Doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada
empat: Quran, hadis, ijma', dan qiyas. Doktrin ini
menjadi "hallmark" dari sekte Ahlussunnah waljamaah di
mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya
kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk
mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak
bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak
berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini
dihilangkan.

(3) Doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir
zaman. Doktrin ini jelas "janggal" dan sama sekali
menggelikan. Setiap agama, dengan caranya
masing-masing, memandang dirinya sebagai "pamungkas",
dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin
ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan
oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi
atau rasul lagi?

(4) Doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan
menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut
sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam
kuat dala psike dan "mindset" umat Islam. Doktrin ini
tak lain adalah cerminan "keangkuhan" sebuah agama.
Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang
sebagai "negasi" atas agama lain. Agama-agama saling
melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa
belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi,
Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan
begitulah seterusnya. 

(5) Doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul
ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah
dengan rajin kerap dipandang lebih "Muslim" ketimbang
mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena
mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa
ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui
pengabdian kepada kemanusiaan.

(6) Doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan
Islam atau agama orang berangkutan adalah "kafir". Ini
mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua
agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di
luar "lingkaran penyelamatan" adalah domba-domba
sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari
arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa
jalan keselamatan adalah banyak sekali.

(7) Berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin
lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal
masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang
"sekte yang diselamatkan", al-firqah al-najiyah.
Kelomok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah
memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam
Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat.
Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai
satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat.
Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain
melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat
hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.

(8) Doktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka
seluruh usaha rasioanl harus berhenti. Kitab Suci
adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin
salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan
sebuah "dekrit", maka seluruh perbincangan harus
berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah "legal
maxim" atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang
berbunyi, "la ijtihada fi mahal al-nass", tidak ada
"independent reasoning" dalam hal-hal di mana teks
Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata
lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah
memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di
Amerika, hal ini disebut sebagai "discussion stopper",
agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab
Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan
banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan
lagi karena konteks-nya berbeda.

(9) Doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh
"syari'" atau legislator. Yang disebut legislator
dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara
derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha
datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan
pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai "pembuat
hukum" atau legislator hukum agama. Doktrin ini sangat
kuat tertanam dalam Islam. Doktrin ini juga kuat
tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur'an sudah
sangat jelas dan sangat "kategorikal", bahwa Adam dan
seluruh keturunannya adalah "khalifah" di muka bumi.
"Kekhilafahan" di sini, dalam tafsiran saya, mencakup
pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur
ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam
pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan
subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan
hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia.
Manusia secara generis adalah syari', bukan saja Nabi
atau ulama/fukaha. Ini paralel dengan konsep
"kewarganegaraan modern" di mana konsep "warga negara"
mencakup secara intrinsik kemampun untuk membuat dan
men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada
ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi
spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai
"training" untuk merumuskan sebuah hukum dalam
prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja
hanya ada pada Kutab Suci, sabda-sabda Nabi, atau
pendapat ulama, tetapi juga manusia secara
keseluruhan.

(10) Doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya
supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena
Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun
bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci
juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat
dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah
pandangan yang "angkuh". Akan lebih proporsional jika
kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah
dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang
cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab
Suci yang "lengket sejarah" ini bisa tidak relevan
sama sekali jika keadaan berubah.

(11) Doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah.
Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada
kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam,
jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil.
Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga
bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.

Saya masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi,
itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di
sini. 

Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak
"keberagamaan yang rendah hati", yang tidak arogan
dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan
tentang agama.

Jika Islam menganjurkan etika "tawadlu'", atau rendah
hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan
pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling
benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu' itu.
Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi
atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika
tawadlu'. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama
sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap
tawadlu'.

Sekian, semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bissawab.

Ulil



Ulil Abshar-Abdalla
Department of Religion
Boston University




       
____________________________________________________________________________________
Boardwalk for $500? In 2007? Ha! Play Monopoly Here and Now (it's updated for 
today's economy) at Yahoo! Games.
http://get.games.yahoo.com/proddesc?gamekey=monopolyherenow  

--- End Message ---

Kirim email ke