Agama agama agama kenapa banyak sekali yang mengatasnamakan agama
apakah agama memang mengajarkan kita untuk berbuat anarkis atau apakah 
manusianya yang memang anarkis masuk ke dalam wadah agama dan memasukan 
kepentingan kepentingannya untuk memuaskan egonya 

ahmadbadrudduja <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                               
Al-salamu 'alaman ittaba'a al-huda wa ijtanaba sabil al-rada
 
 Pak Nur yang baik,
 Saya mengikuti sepak-terjang anda selama ini, meskipun tentu tidak
 terus-terusan. Tepatnya, saya mengikuti tulisan-tulisan anda yang
 tersebar di milis-milis. Sebagian yang lain saya baca di Harian Fajar.
 Beberapa kolom anda sangat baik, tetapi untuk sebagian besar harus
 saya katakan dangkal, apologetik, dan sama sekali menimbulkan distorsi
 ketimbang informasi.
 
 Melihat tulisan-tulisan anda, saya berkesimpulan bahwa anda sebetulnya
 bukan orang yang memiliki "training" dalam studi Islam yang baik.
 Latar belakang anda sebetulnya bukan studi Islam. Anda lebih fasih
 kalau bicara soal ilmu-ilmu kealaman, atau sains. Begitu anda bicara
 soal Islam, anda langsung "oleng" dan kelihatan sama sekali dangkal.
 
 Mungkin anda belajar Islam lewat ustaz ini atau itu, atau di surau
 pada saat remaja. Tetapi itu tak membuat anda langsung layak disebut
 sebagai sarjana Islam. Sebagaimana agama-agama lain, Islam adalah
 agama yang cukup tua, dan karena itu memiliki tradisi kesarjanaan yang
 kaya dan mendalam. Sangat disayangkan bahwa ada sebagian generasi
 Islam sekarang yang sama sekali tak belajar sejarah kesarjanaan Islam
 yang kaya, tetapi berbicara Islam dengan keras sekali, menuduh
 pemikiran ini atau itu sebagai berlawanan dengan Islam. Seorang
 sarjana yang baik akan bersikap "humble", tawadlu', dan tahu
 keterbatasannya.
 
 Ini yang tak saya lihat pada anda. Dalam kolom-kolom yang anda
 sebarkan ke beberapa milis, kelihatan sekali anda memaksakan diri
 untuk berbicara mengenai banyak hal, seringkali juga mengenai hal yang
 sama sekali bukan wilayah keahlian anda. Kalau anda ahli ilmu
 kealaman, baiklah, anda berhenti di sana saja. Bicaralah Islam dari
 sudut keahlian anda sendiri. Ketika Imam Malik, pendiri mazhab Maliki,
 ditanya puluhan pertanyaan, dia berkali-kali bilang, saya tak tahu,
 saya tak tahu. Hanya beberapa gelintir pertanyaan yang ia jawab. Ini
 menunjukkan sikap tawadlu' seorang sarjana yang sungguhan.
 
 Ambil contoh: anda menulis dengan menggebu-gebu, mengkritik pemikiran
 Nasr Hamid Abu Zayd. Membaca kolom anda tentang hal itu, saya tak bisa
 lain kecuali mengatakan bahwa kritikan anda sangat dangkal. Anda bukan
 sarjana yang studi Qur'an dengan baik. Dugaan saya, anda hampir
 dipastikan tak membaca buku Abu Zayd dalam versi Arab. Saya juga
 hampir pasti bahwa anda tak membaca buku-buku yang menjadi dasar studi
 Abu Zayd seperti al-Itqan karya al-Suyuti, al-Burhan karya
 al-Zarkashi, Asrar al-Balaghah dan I'jaz al-Qur'an,kedunya karya
 al-Jurjani. Abu Zayd menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk studi
 tentang Qur'an. Dia boleh salah atau keliru. Tetapi kita tak boleh
 mengabaikan usaha dan studi dia. Sementara itu  saat ini kita lihat
 lusinan penulis di Indonesia seperti anda yang tak pernah studi Qur'an
 dengan baik, tapi dengan kenekatan yang luar biasa langsung mengecap
 sesat atau murtad Abu Zayd.
 
 Ini hanya contoh saja.
 
 Nasehat saya: hendaklah anda tahu diri. Anda bukan ahli mengenai studi
 Islam. Jadi kalau menulis haruslah dengan sikap hati-hati, jangan
 "self righteous", atau sok benar sendiri. Anda sudah tua, dan sikap
 tawadlu' biasanya menjadi ciri-ciri orang yang sudah beranjak tua.
 Kenapa saya tak melihat ini pada anda?
 
 Ini nasehat dari seorang Muslim kepada saudara seiman. Al-mu'minu
 mir'atu akhihi al-mu'min, kata sebuah hadis.
 
 Mohon maaf kalau ada yang tak bekenan.
 
 Ahmad Badrudduja
 
 
     
                               

       
---------------------------------
Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.

Kirim email ke