Mg Prapaskah IV : 1Sam 16:1b.6-7.10-13a; Ef 5:8-14; Yoh 9:1-41 "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?"
"It is be better to follow the blind man than to follow the blind heart" = "Lebih baik mengikuti orang yang buta matanya daripada mengikuti orang yang buta hatinya", demikian rumor yang berkembang ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden mengalahkan Megawati Soekarnaputri. Entah kata-kata itu merupakan ungkapan kekecewaan atau sungguh keluar dari lubuk hati yang terdalam kurang jelas. Memang masa itu dan sampai kini kiranya banyak tokoh-tokoh bangsa Indonesia sehat tubuh maupun matanya namun `buta hati'nya alias tidak bermoral dengan tindakan korupsi dan manipulasi, sedangkan Gus Dur, sang kyai yang juga dinilai sebagai guru bangsa terpilih sebagai presiden, pemimpin bangsa. Sayang Gus Dur boleh dikatakan hanya sebentar saja memimpin bangsa dan kemudian terjerumus, dan kiranya hal itu terjadi karena tindakan atau `akal bulus' dari mereka yang `melek mata'nya namun `buta hati'nya, atau mungkin merupakan perwujudan balas dendam dari para anggota DPR yang pernah tersakiti oleh Gus Dur karena dianggap sebagai `anak-anak Taman Kanak-Kanak', kiranya hanya Tuhan yang tahu. Tetapi kalau dicermati perkembangan selanjutnya antara lain semakin merata dan maraknya korupsi, kiranya memang `mereka yang melek mata'nya yang tidak lain adalah tokok-tokoh bangsa dan masyarakat yang koruptor, yang berusaha menggulingkan Gus Dur. Maka baiklah di masa Prapaskah ini kita mawas diri, jangan-jangan kita juga termasuk `yang melek mata'nya namun `buta hati'nya. "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?" (Yoh 9:40). "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?" , demikian kata-kata orang-orang Farisi setelah mendengar sabda atau tanggapan Yesus: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta."(Yoh 9:39). Orang yang buta hatinya memang merasa diri sebagai orang baik-baik saja, tetapi ketika hatinya mulai dapat melihat ia pasti akan merasa diri sebagai yang lemah, rapuh dan berdosa. Untuk membantu diri kita agar dapat menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah, rapuh dan berdosa, marilah kita bercermin pada sabda-sabda Tuhan atau aneka `terjemahan' sabdaNya berupa aturan atau tatanan hidup yang terkait dengan tugas perutusan dan panggilan kita masing-masing dan jika perlu juga minta bantuan dari orang lain untuk mengevaluasi diri kita. "Orang-orang suci" senantiasa menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah, dosa dan rapuh, seperti juga disadari dan dihayati oleh para pakar atau intelektual sejati dimana semakin memperdalam ilmunya semakin banyak hal yang tidak diketahui dan dengan demikian merasa dirinya kecil dan rapuh. Dengan menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah, rapuh dan berdosa, maka kita berarti membuka diri terhadap aneka kemungkinan dan kesempatan serta tantangan yang menjadi wahana atau jalan pertumbuhan dan perkembangan kita menuju ke pribadi yang cerdas spiritual. Cerdas spiritual antara lain memiliki cirikhas sebagai berikut: "- kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif) - tingkat kesadaran diri yang tinggi - kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan - kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit - kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai - keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu - kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik) - kecenderungan nyata untuk bertanya "Mengapa?" atau "Bagaimana jika?" untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar - menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai `bidang mandiri' yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi" (Danah Zohar dan Ian Marshall: SQ, Mizan Bandung 2000, hal 7) Jika kita merasa cerdas spiritual, marilah kita hayati ajakan dan sapaan Paulus kepada umat Efesus di bawah ini. "Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang,karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan"(Ef 5:8-10) Orang yang berada dalam terang Tuhan atau cerdas spiritual antara lain senantiasa melakukan kebaikan, keadilan dan kebenaran dalam hidup, tugas perutusan dan panggilannya., dalam cara bertindak setiap harinya: 1). Apa yang disebut baik senantiasa berlaku secara universal atau umum, dimana saja dan kapan saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Apa yang saya nilai baik untuk diri saya berarti baik untuk semuanya atau siapa saja. Salah satu perbuatan baik antara lain mengasihi diri dan sesama manusia dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan atau tenaga, mengingat dan menyadari bahwa `ada dan keberadaan' kita hanya karena dan oleh kasih macam itu, yang telah kita terima dari dan melalui orangtua kita masing-masing, khususnya ibu kita yang telah mengandung dan melahirkan kita. Maka marilah kita hidup saling mengasihi dan kasih tiada batasnya, tidak dapat dibataai oleh SARA, waktu maupun ruang. 2). Adil antara lain berarti menghargai dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia, yang diciptakan sesuai dengan citra atau gambar Tuhan. Segala tindakan yang melecehkan atau merendahkan harkat martabat manusia berarti bertindak tidak adil. Secara konkret perkenankan saya mengingatkan para petinggi atau pengusaha: tanda bahwa mereka bertindak adil antara lain rakyat atau anak buah/buruh atau pegawai hidup sejahtera lahir dan batin. Dengan kata lain rakyat atau anak buah/buruh atau pegawai antara lain kecukupan secara memadai dalam hal sandang, papan dan pangan, tidak ada yang berkekurangan atau miskin. Kepada para pengusaha kami menghimbau dan mengajak untuk menjamin kesejahteraan hidup para buruh atau pegawai serta pembantu-pembantunya. 3) Orang benar berarti suci, dekat/mesra dengan Tuhan maupun sesamanya, karena cara hidup atau bertindaknya dijiwai oleh Roh yang membuahkan keutamaan-keutamaan seperti: "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal 5:22-23). Semakin bergaul dan banyak kenalan, orang benar berarti semakin banyak sahabat serta disenangi banyak orang. Maka marilah kita saling membantu atau bergotong-royong mengusahakan penghayatan keutamaan-keutamaan tersebut di dalam hidup dan kesibukan kita sehari-hari, entah di dalam keluarga, masyarakat atau tempat kerja/kantor. Sebagai salah satu contoh keutamaan yang rasanya mendesak kita hayati dan sebarluaskan adalah kesabaran, mengingat keutamaan ini masih jauh dari harapan (perhatikan saja misalnya: para pengendara di jalanan, muda-mudi yang kecelakaan karena pergaulan bebas sehingga hamil di luar nikah, kemarahan orangtua kepada anak atau atasan kepada bawahan dst..). Bertindak sabar antara lain juga berarti dengan rendah hati, jiwa besar dan hati rela berkorban menghargai dan menghormati serta mendahulukan yang lain. Memang kesabaran ini pertama-tama dan terutama harus terjadi di dalam kehidupan keluarga, sebagai dasar hidup bermasyarakat maupun menggereja. Maka marilah kita didik anak-anak kita dalam bertindak sabar, dan tentu saja hal itu butuh keteladanan dari orangtua atau orang dewasa di dalam keluarga tersebut. "TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa" (Mzm 23) Jakarta, 2 Maret 2008