Syari'at Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan 
akhlaq, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik 
kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun  kehidupan kolektif dengan substansi 
yang  bervariasi seperti  keimanan,  ibadah ritual (spiritualisme),  karakter  
perorangan,  akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum  serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. 

Semua substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal 
- Iman dan Ilmu.  

one liner  15/7-2008
insya-Allah akan diposting hingga no.800
no.terakhir 836

********************************************************************

BISMILLA-HIRRHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
107. Israil, Baniy Israil dan Israiliyat

Israil adalah nama lain dari Nabi Ya'qub 'Alayhissalam (AS), anak dari Nabi 
Ishaq AS, anak dari Nabi Ibrahim AS. Baniy Israil adalah puak etnis keturunan 
Israil. Israiliyat adalah cerita-cerita produk budaya dari kalangan puak etnis 
ini, karangan, imajinasi yang bersumber dari akar historis. Israiliyat ini 
perlu dibedakan dengan sumber yang nonhistoris. Yaitu wahyu yang diturunkan 
Allah SWT yang diterima oleh para nabi dari Baniy Israil dalam wujud secara 
verbal yang diucapkan oleh para nabi itu. Dalam bentuk tertulis secara otentik 
menjadi salah satu dari rukun iman yang enam, yaitu beriman kepada: 
-- wa ma- unzila min qablika (S.Al Baqarah 4), artinya: 
-- beriman kepada Kitab-kitab yang diturunkan sebelum engkau (hai Muhammad). 

Para pakar sejarah yang tidak percaya wahyu, atau sekurang-kurangnya percaya 
wahyu akan tetapi melecehkan wahyu dalam menganalisa sejarah dengan pendekatan 
historis, tidaklah membedakan antara produk budaya Baniy Israil (Israiliyat), 
yang mempunyai akar historis, dengan yang bersumber dari akar yang nonhistoris, 
yaitu dari wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada para nabi dari kalangan Baniy 
Israil tersebut. Perjanjian Lama adalah campuran antara sumber non-historis 
(wahyu) dengan sumber yang historis (Israiliyat). Tentu saja ummat Islam tidak 
diwajibkan beriman kepada Israiliyat ini, namun apabila Israiliyat itu 
mengandung pesan-pesan nilai akhlaq, tidak ada salahnya diambil ibarat 
daripadanya, dengan keyakinan bahwa cerita itu bukan kejadian yang 
sesungguhnya. 

Dalam kalangan Baniy Israil ada kelompok yang disebut sect of writers, sekte 
penulis yang bertugas untuk menuliskan hukum-hukum Musa bagi yang 
memerlukannya. Mereka para penulis itu terkadang dipanggil dengan nama Pendeta, 
terkadang dengan Tuan, terkadang dengan Rabbi. Mereka ini menjadi pendukung 
dari pemerintah asing dari bangsa-bangsa Parsi, Romawi dan Yunani. Mereka 
inilah yang bertanggung jawab dalam penulisan yang menyisipkan unsur Israiliyat 
ke dalam Perjanjian Lama. 

Anehnya Israiliyat itu tidak kurang berisi dengan hal-hal yang melecehkan para 
nabi dalam kalangan Baniy Israil. Seperti misalnya Ya'qub mengecoh kakak dan 
ayahnya. Dalam Israiliyat itu Ya'qub digambarkan sebagai seorang yang licik 
terhadap Isu, kakak-kembarnya, yang dalam keadaan terdesak karena sangat lapar 
Isu menerima tawaran yang sangat tidak adil, yaitu makanan ditukar dengan 
kedudukan anak sulung. Demikian pula Ya'qub mengecoh ayahnya yang sudah rabun 
(atau katarak?) dengan menyamar sebagai Isu, memakai baju berbulu. Maksudnya 
agar sang ayah dapat terkecoh dengan meraba lengan Ya'qub, dan memang sang ayah 
terkecoh. Sebelumnya Ishaq menyuruh Isu pergi berburu dan hasil buruannya itu 
akan dimasak menjadi lauk yang enak. Akan tetapi Ya'qub mendahului Isu dengan 
mengambil domba peliharaan mereka. Tentu saja Ya'qub dapat mendahului Isu. 
Akhirnya Ya'qublah yang mendapatkan berkah dari Ishaq sang ayah, dan siapa saja 
yang melawan kepada yang diberkati itu, akan terkutuk. Di sinilah keanehan itu, 
Israiliyat tentang Ya'qub ini menimbulkan citra yang jelek tentang Ya'qub. Ada 
kemungkinan bahwa latar belakang sang Rabbi dari sect of writers ini mengarang 
cerita yang tak terpuji itu, untuk justifikasi tentang intrik yang pernah 
dilakukannya, karena seperti dikatakan di atas, sekte ini menjadi pendukung 
penguasa dari bangsa-bangsa asing. Artinya untuk memberikan kesan, apabila 
Ya'qub dapat berlaku licik, mengecoh, mengapa ia tidak boleh.

Sebagai ummat Islam yang diwajibkan beriman kepada para rasul, memuliakan 
rasul-rasul itu, haruslah menolak Israiliyat yang menyangkut pelecehan 
NabiyuLlah Ya'qub AS tersebut. Ada seorang pakar sejarah yang berlaku tidak 
fair dalam hal Ya'qub dan Baniy Israil secara keseluruhan. Seperti dikatakan di 
atas umumnya pakar sejarah tidak membedakan antara sumber nonhistoris dengan 
sumber yang historis. J.W.D. Smith dalam bukunya God and Man in Early Israel 
membuat rampatan (generalisasi) bahwa perangai Ya'qub yang ahli tipudaya ini 
mencerminkan perangai (behavior) dari Baniy Israil secara keseluruhan.

Sikap mereka yang exlusif di negeri orang ditambah dengan citra terhadap diri 
mereka itu yang digambarkan berperangai penuh dengan intrik, kelicikan, tipu 
daya yang menjadi batu sandungan terhadap Perjanjian Perdamaian PLO dengan 
Israil, bahkan kabarnya baru-baru ini di Sudan dalam perembukan negara-negara 
yang tergabung dalam OKI (Fajar, 6 Desember 1993) menolak Perjanjian Perdamaian 
tersebut.

Namun perlu kita ingat bahwa setiap bangsa, setiap puak etnis tidaklah 
seluruhnya akan baik, di antaranya tentu terdapat hati yang busuk. Demikian 
pula sebaliknya, tidaklah semuanya yang berhati busuk, tentu di antaranya 
terdapat pula mutiara-mutiara yang berhati mulia. Maryam Jamilah, sebelumnya 
bernama Margaret Marcus, dalam pernyataannya setelah menganut Islam, menyatakan 
ungkapan hatinya yang mengharukan dengan mengutip seperti apa yang telah 
diungkapkan oleh salah seorang Baniy Israil, Muhammad Asad, sebelumnya bernama 
Leopold Weiss (asad = leo = singa), seperti berikut:

I did not embrace Islam out of any hatret for my ancestral heritage or my 
people. ............... Thus I can say with another from the Bani Israil who 
chose to travel on the sama journey. ................. Saya menganut Islam 
bukanlah karena tidak senang kepada warisan leluhur ataupun bangsa saya. 
............. Walhasil saya dapat berkata seperti ucapan dari seorang Bani 
Israel yang telah memilih bermusafir dalam perjalanan yang sama. Abraham that 
early ancestor of mine, would have understood why I am here (in Mecca)  
...................... Abraham (Ibrahim) leluhur saya, tentu mengerti mengapa 
saya di sini (di Mekah). My coming to this land of Arabia; was it not in truth 
a homecoming? Homecoming of the heart that has spied its old home backward over 
a curve of thousands of years and now recognizes this sky - my sky- with 
painful rejoicing? Kedatangan saya ke negeri ini negeri Arabia; bukankah itu 
pada hakekatnya kembali ke rumah? Pulang ke rumah dari sekeping hati yang 
menelusuri masa silam ribuan tahun dan mengenal langit ini - langit saya - 
dengan kegembiraan yang mengharukan? WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 12 Desember 1993 
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2007/06/107-israil-baniy-israil-dan-israiliyat.html

Kirim email ke