Syari'at Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan 
akhlaq, meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik 
kehidupan nafsi-nafsi (individu), maupun  kehidupan kolektif dengan substansi 
yang  bervariasi seperti  keimanan,  ibadah ritual (spiritualisme),  karakter  
perorangan,  akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum  serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. 

Semua substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal 
- Iman dan Ilmu.  

one liner  28/7-2008
insya-Allah akan diposting hingga no.800
no.terakhir 838

********************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
120. Nuku vs Wieling,
Membuktikan Diri Bersih, vs Asas Praduga Tak Bersalah
    
Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus 
membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah 
betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi 
perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku adalah Sultan Tidore yang 
membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni 
Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan 
Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin 
Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram. Ia 
membebaskan (1780-1797) dan mempertahankan (1797-1805) wilayah kerajaannya 
dengan jalan peperangan yang sengit diselingi dengan diplomasi yang handal dan 
dengan siasat mengadu domba ketiga gubernur itu selama 25 tahun.  Beberapa 
tahun menjelang akhir hayatnya (14 November 1805), yaitu sejak Gubernur Ternate 
menjalankan mekanisme pemerintahan Inggeris (1799), terjadi gencetan senjata 
antara Kerajaaan Tidore dengan Gubernur Ternate, yang menjalankan mekanisme 
pemerintahan Inggeris itu. Setelah Pemerintah Inggeris menyerahkan kembali 
kekuasaan kepada Pemerintah Belanda (1 Maret 1803), Ternate dimasukkan ke dalam 
wilayah Gubernur Ambon. Di Ternate hanya ditempatkan Wakil Gubernur Ambon, 
yaitu Carel Lodewijk Wieling. 

Syahdan, 2 orang penghuni istana Tidore, yaitu dayang-dayang puteri Boki 
Fathimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri 
itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling pada 28 
Muharram 1220 (18 April 1885) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke 
Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena menurut 
penyelidikannya Sulasi yang dahulunya bernama Sarbanun adalah sesungguhnya 
berasal dari sebuah kampung dekat Gamkonora di Ternate, dan Barunarasa dahulu 
bernama Kuning adalah budak Kapitan Makassar di Ternate. Keduanya adalah 
penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah 
jurisdictie kerajaan Tidore (en dus in geen opsigte tot de Jurisdictie van het 
Tidorsche Rijk behooren; --ejaan Belanda lama, sekarang opzicht dan 
behoren--HMNA). Nuku dapat memahami penolakan itu, tidak seperti Amerika dan 
Inggeris yang tidak mau memahami Moammer Qaddafi yang menolak extradisi 2 orang 
tersangka warga Libia. Bukan hanya sekadar tidak mau mengerti bahkan melalui 
PBB memboikot Libia.

Yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate 
menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat 
membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila 
tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah. Kejaksaan 
bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang 
tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te 
beteugelen; --ejaan lama, sekarang zo dan kwaad--HMNA). Sedangkan dalam 
Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk 
Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 
'Umar ibn Khattab RA: anna- laka hadza, dari mana milikmu ini, tersangka harus 
membuktikan kebersihan dirinya.

Sesungguhnya tidaklah adil jika asas praduga tak bersalah ini diperlakukan 
tanpa batas. Mesti diberi berbingkai dengan anna- laka hadza. Memang kata orang 
asas praduga tak bersalah ini sinkron dengan Hak Asasi Manusia, semua manusia 
mempunyai hak untuk dinyatakan tak bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya 
oleh putusan pengadilan. Namun tak dapat disangkal bahwa kelemahan asas praduga 
tak bersalah ini terletak dalam hal: tidak semua orang yang tak dapat 
dibuktikan kesalahannya itu betul-betul menjamin bahwa mereka itu tidak 
bersalah. Banyak para penjahat kaliber kerapu (sebangsa kakap namun jauh lebih 
besar) yang berlindung di balik perisai asas praduga tak bersalah ini. Seperti 
contoh data sekunder yang dikemukakan oleh Ahmad Ali, di Amerika Serikat hanya 
17% penjahat kerapu ini yang dapat dijaring oleh putusan pengadilan. Tentulah 
sangat tidak adil jika asas praduga tak bersalah ini lebih banyak melindungi 
penjahat ketimbang perlindungan hukum terhadap saksi korban. Dalam 100 tindak 
pidana, 17 orang saksi korban yang dilindungi hukum, 83 orang penjahat yang 
terlindungi oleh asas praduga tak bersalah, demikian cerita data dari negerinya 
Uncle Sam di atas itu. 

Dengan asas praduga tak bersalah sukarlah pengadilan dapat menjaring para 
pemegang posisi kunci yaitu Sumarlin dan Mooy serta yang memberikan rekomendasi 
(lonceng kucing, kattebelletje) yaitu Sudomo pada waktu Eddy Tansil melicinkan 
jalan untuk mendapatkan kredit Rp1,3 triliun. Sangat sukar sekali jaksa untuk 
menutut apapula untuk dapat membuktikan kesalahan tiga serangkai tersebut. 
Namun andaikata hukum acara kita menganut asas anna- laka hadza, maka dalam 
pengadilan ketiga serangkai itu yang harus mengemukakan daftar kekayaan 
masing-masing dan dari mana asalnya. Dan jika ada kekayaan yang tidak jelas 
dari mana rimbanya, maka rimbanya itu adalah dari komisi yang didapatkan 
sebagai wang jasa dalam kasus korupsi kelas kerapu Eddy Tansil ini. 
Paling-paling yang dapat dijaring oleh pengadilan yang hukum acaranya 
berasaskan praduga tak bersalah ini hanyalah para tersangka yang terlibat 
langsung, yaitu Eddy Tansil, Maman Suparman, Towil Heryoto dan Subekti Ismaun 
(siapa-siapa lagi yang menyusul?). 

Walaupun sebenarnya RI tidak menganut asas anna- laka hadza, eloklah kiranya 
untuk kebaikan mereka sendiri di mata (baca pengadilan) masyarakat, maka ketiga 
sekawan itu, mereka itu patut secara jantan menjawab tantangan "pengadilan" 
masyarakat itu dengan sukarela secara terbuka mengumumkan daftar kekayaan dan 
asal-usul kekayaannya itu sehingga dengan demikian bersihlah mereka itu di mata 
masyarakat, jikalau ketiganya memang bersih!

Walhasil sebagai kesimpulan asas praduga tak bersalah itu harus diberi 
berbingkai. Yang menyangkut korupsi apapun jenis kelasnya dipakailah asas anna- 
laka hadza sebagai bingkai asas praduga tak bersalah. Ini bahan pemikiran bagi 
para pembuat undang-undang, jika mereka mau berpikir dan mempunyai waktu untuk 
itu! WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 20 Maret 1994
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1994/03/120-nuku-vs-wieling-membuktikan-diri.html

Kirim email ke