"Alangkah hebatnya perkataan ini!" (1Kor 2:10b-16; Luk 4:31-37) "Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat. Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa.Di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan dan ia berteriak dengan suara keras:"Hai Engkau, Yesus orang Nazaret, apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah." Tetapi Yesus menghardiknya, kata-Nya: "Diam, keluarlah dari padanya!" Dan setan itu pun menghempaskan orang itu ke tengah-tengah orang banyak, lalu keluar dari padanya dan sama sekali tidak menyakitinya. Dan semua orang takjub, lalu berkata seorang kepada yang lain, katanya: "Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar." Dan tersebarlah berita tentang Dia ke mana-mana di daerah itu" (Luk 4:31-37), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut: Banyak orang menjadi sakit hati karena mendengar suara atau kritik keras serta tajam dari sesamanya atau saudara-saudarinya. Dengan kata lain kata-kata dari sesamanya atau saudara-saudarinya sangat menyentuh dan mengesan serta mempengaruhi dirinya, terutama kata-kata yang bersifat mengritik atau merendahkan dirinya. Begitulah kenyataan yang sering terjadi dalam kehidupan bersama atau hidup beriman/beragama: kata-kata dari sesamanya atau saudara-saudarinya lebih kuat dan lebih kuasa dari kata-kata atau sabda Tuhan, padahal Tuhan Mahakuasa atau maha segalanya, `Deus semper maior est' (=Tuhan senantiasa lebih besar). Maka kami mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah kita renungkan sabda-sabda Tuhan agar kita dapat berkata : "Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar". Dalam membacakan, mendengarkan dan merenungkan sabda-sabda Tuhan marilah kita berpedoman pada nasihat St.Ignatius Loyola ini: "Bukan berlimpahnya pengetahuan, melainkan merasakan dan mencecap dalam-dalam kebenarannya itulah yang memperkenyang dan memuaskan jiwa" (St.Ignatius Loyola: LR no 2). Para santo atau santa, orang-orang suci, pada umumnya juga tersentuh dan tergerak oleh ayat-ayat tertentu dalam Kitab Suci, yang kemudian menjiwai hidup dan cara bertindaknya; hal senada kiranya dicoba oleh para gembala atau uskup dengan memakainya sebagai motto pelayanan atau penggembalaannya, misalnya: "Dalam Nama Yesus", "Bertolaklah lebih dalam", dst. Saya pribadi sangat terkesan dan berusaha untuk menghayati teks ini : "Di dalam Dia kita beroleh keberanian" (Ef 3:12) Bersama dan bersatu dengan Tuhan kita senantiasa dapat mengalahkan dan mengatasi setan dan aneka kejahatan, dan kita tidak akan takut dan gentar menghadapi aneka macam bentuk ancaman maupun terror dari orang-orang jahat. "Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita" (1Kor 2:12), demikian kesaksian Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua orang beriman. Rasanya kesaksian Paulus ini bukan omong kosong, melainkan sungguh merupakan suatu realitas atau kenyataan bagi kita semua. Sebagai contoh perkenankan saya mengangkat masalah hubungan suami-isteri maupun hidup imamat dan membiara. Baik suami maupun isteri pada dasarnya kiranya menyadari bahwa masing-masing merupakan anugerah atau `kado' dari Allah, Allah yang mempertemukan mereka sehingga mereka saling mengasihi menjadi suami-isteri. Maka baiklah kami mengajak rekan-rekan suami-isteri untuk hidup dan bertindak dijiwai oleh `roh yang berasal dari Allah', Roh Kudus, sehingga hidup dan bertindak dengan menghayati keutamaan-keutamaan "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri."(Gal 5:22-23) di dalam hidup sehari-hari dimanapun dan kapanpun. Baik hidup imamat maupun membiara hemat saya juga dijiwai oleh Roh Kudus, yang menjadi nyata dalam kharisma atau spiritualitas, yang harus dihayati dan digeluti terus menerus. Maka kami mengingatkan dan berharap kepada rekan-rekan imam maupun biarawan-biarawati untuk setia pada charisma atau spiritualitas masing-masing, sehingga hidup dan bertindak tidak mengikuti selera pribadi atau keinginan dan kemauan sendiri, sebagaimana masih terjadi pada pribadi-pribadi tertentu. Dengan hidup atau dijiwai oleh Roh Kudus, kira semua diharapkan "tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita", yaitu hidup dan segala sesuatu yang kita miliki, kuasai atau menyertai kita. Segala sesuatu adalah kasih karunia atau anugerah Allah, maka hendaknya difungsikan dan dinikmati sedemikian rupa sehingga kita semakin dekat dengan Allah, semakin suci, semakin mengasihi dan dikasihi oleh Allah maupun sesama manusia. "TUHAN itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya. TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya. Segala yang Kaujadikan itu akan bersyukur kepada-Mu, ya TUHAN, dan orang-orang yang Kaukasihi akan memuji Engkau. Mereka akan mengumumkan kemuliaan kerajaan-Mu, dan akan membicarakan keperkasaan-Mu" (Mzm 145:8-11) Jakarta, 2 September 2008