Oleh Ahmad Yulden Erwin

Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17

Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, ada beberapa tokoh
Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh ajaran sufi dari Al Hallaj.
Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar,
atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang. Syeikh
Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu
wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di
Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti
Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali tersebut. Namun,
yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj
di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati oleh para wali
karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran "Manunggaling
Kawulo Gusti", atau paham kesatuan antara mahluk dengan Tuhan.
Ajaran "Manunggaling Kawulo Gusti" dari Syeikh Siti Jenar ini
mirip dengan ajaran "Wahdatul Al Wujud" yang dikembangkan dan
dipraktekkan oleh Al Hallaj.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, juga ada seorang tokoh sufi lain
di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat oleh paham Wahdatul Wujud
dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang bernama Syeikh Hamzah
Fansuri. Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup pada abad
ke-17. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat
kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli
mengatakan ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan
Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara).
Tetapi Prof. A. Hasjmy dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir
di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang terletak di antara Kota
Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam jaman kerajaan Aceh
Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam.

Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai
tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan
lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang zuhud dan
banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat,
sastra, dan bahasa.

Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian
di Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrasyah) di
daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel). Di tempat kelahirannya
ini pula kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki
banyak murid, tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin
Sumatrani yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat
agama) Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.

Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian, Syeikh Hamzah Fansuri menganut
paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan antara Mahluk dan Tuhan.
Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi seperti Muhyidin
Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Hallaj, Bayazid Al Bistami, Fariduddin
Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.

Pada saat itu di Sumatera, khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan
sengit tentang paham Wahdat Al Wujud yang melibatkan ahli-ahli tasawuf,
ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara
lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin,
yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para
muridnya.

Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik.
Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641), Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin
Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran
tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah
sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas
saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu,
Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan
penulis penganut paham Wahdat Al Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja.
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan,
para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar
dan dibunuh.

Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman
masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang
berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi
seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.

Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf
dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor
keilmuan dan kebudayaan Melayu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap
prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang kaya
menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya. Karena
itu tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai
kegiatan Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.

Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan
risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan bersifat ilmiah di
dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri muncul,
masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan, tasawuf, dan
sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Di
bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan
puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli
sasta Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama
yang menuliskan puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.

Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh Hamzah Fansuri juga sangat
besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan sastra dalam bahasa
Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu
dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari),
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern.
Tak mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa
pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan
penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk penyebaran agama,
kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa
administrasi dan pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang
memberi peluang besar kepada bahasa Melayu untuk dipilih serta
ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia
dan Malaysia.

Namun, yang paling penting, dan sering luput dari perhatian para ahli
sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran sufi atau tasawuf dari
Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih tetap relevan bagi
bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari Syeikh Hamzah
Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi sekat-sekat
kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan, ras, serta
agama.


Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri

Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan
sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah
memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu.

Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul "Sidang Ahli Suluk"
pada bagian I di bait 1:

"Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata".

Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata
(Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang
yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar
dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan "melihat" atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat.

Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati
Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu,
suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga
banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual di
berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi.
Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan
hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari
tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul
"Sidang Ahli Suluk" pada bagian I di bait 9:

"Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu".

Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap
tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan
"hapuskan akal dan rasamu", yang berarti suatu cara untuk menuju
kepada kondisi "No-Mind", kondisi berada dalam Kesadaran Murni
atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi "No-Mind" tersebut,
maka seorang sufi harus "lenyapkan badan dan nyawamu", yang
berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran
atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata
inderawinya, untuk mengaktifkan "mata-ruhaninya", guna melihat
rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai,
kondisi "bahagia yang abadi". Inilah sesungguhnya inti dari
tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.

Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan
menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya
sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul
"Sidang Ahli Suluk" pada bagian 3 di bait 14:

"Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka'bah.
Dari Barus ke Qudus terlalu payah,
akhirnya dijumpa di dalam Rumah".

Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang
mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan
pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah
Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah
bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan
Ka'bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat
pertama umat Islam sebelum Ka'bah di Mekkah). Proses pencarian Tuhan
di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana
meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi,
akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar
diri, ternyata "dijumpa" di dalam "Rumah", di dalam
dirinya sendiri. Proses "perjumpaan" dengan Tuhan di dalam
dirinya sendiri ini telah mengakhiri "pencarian" yang meletihkan
dari seorang Hamzah Fansuri, sehingga beliau layak disebut sebagai
seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para
muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.

Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri
akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa pun,
ia berada dalam "Kemiskinan Ilahiah", kemiskinan yang
membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda,
pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri. Ia bersiap sedia
mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi
tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama,
karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu
berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di
dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari
Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah
yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara
bebas, di dalam syair yang berjudul "Sidang Ahli Suluk" pada
bagian 1 di bait 11:

"Hamzah miskin orang terbebaskan,
seperti Nabi Ismail menjadi qurban.
Fansuri  bukannya Persia lagi Arabi,
selalu menjadi perantara  dengan yang Baqi".


Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih

Pandangan kesufian Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah
Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam dirinya,
maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda.
Simak salah satu bait dari "Syair Perahu" yang ditulis oleh
Beliau:

"La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid ma'rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda."

Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada
masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang
menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu.
"La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata," benar sekali pandangan
Syeikh Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti
ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah
sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari
segalah ilusi, untuk menuju keadaan: "Tauhid ma'rifat
semata-mata," suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman
telah terlampaui, suatu Keadaan Murni yang dikenal dengan istilah
"No-Mind".

Namun, tentu saja, untuk mencapai Keadaan Murni ini, seorang sufi harus
mampu untuk "hapuskan kehendak sekalian perkara," untuk
melampaui setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara
yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang
egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi ketika "Hamba dan Tuhan
tiada berbeda." Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari
ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu
Keadaan Murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan
Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada
berbeda?

Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan
berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab
Kelima:

"……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh
pun ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.

"Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas
RupaNya………….

"Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam
atas Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam
disebutkan sebagai buih………….."

Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan
Syeikh Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang
cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad SAW
sendiri. Syeikh Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah
cukup dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak
dan laut. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini
merupakan "Gerak Ilahi" yang termanifestasi, dan ia ibaratkan
sebagai ombak dari lautan. Sedangkan "Keadaan Allah", suatu
kondisi ketika manusia mengalami Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni,
seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada
hakekatnya, ombak dan laut itu satu bentuk, yaitu air.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga
menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer di
kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah
juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih). Bagi
Syeikh Hamzah Fansuri, wujud "Lautan Ilahiah" itu adalah sifat
Yang Maha Pengasih, adalah "Kasih" itu sendiri. Maka, sesuai
dengan sabda Rasul, jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu
Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran
kesufian dari Syeikh Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat
manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.

Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Syeikh Hamzah
Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai
Kasih. Kemudian Syeikh Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi
ini menjadi "pelayanan tanpa pamrih" kepada sesama manusia dan
mahlukNya. Seperti kutipan berikut dalam kitab yang sama:
"Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian
pula."


Relevansi Ajaran Syeikh Hamzah Fansuri

Pesan-pesan yang dibawa Syeikh Hamzah Fansuri masih sangat relevan
dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Syeikh Hamzah
Fansuri sangat menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan
Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia
itu sesungguhnya "berada" dengan kenyataan yang sama, kesatuan
umat manusia dan seluruh mahluk-Nya di dalam Kasih. Seperti yang
terungkap dalam terjemahan bebas saya atas salah satu syairnya yang
berjudul "Minuman Para Pencinta" pada bagian 5 di bait 3 berikut
ini:

"Rahman itulah yang bernama semesta,
Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja.
Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama:
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata."

Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh
telah memiliki pandangan "Tauhid-Kasih" seperti ini. Kalau
pandangan Syeikh Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat
ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang
disebabkan oleh fanatisme sempit. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, hakikat
semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha
Pengasih dari Allah, atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha
Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta,
maka Allah dan wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib
disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih.
Esensi agama Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih.
Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah
kira-kira menurut pemahaman saya tentang pesan Syeikh Hamzah Fansuri
dalam salah satu syairnya tersebut.

Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia
justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang
di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang
mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan
antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang
dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi
ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap
kembali berperang.

Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan
ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan
Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor
ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat
Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu sejarah
politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur
Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum fanatisme
sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak
sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat beragama yang
lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. Begitu juga
sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan
beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak
segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju
pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.

Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang
dibumbui istilah "perang agama" di Timur Tengah dan Arab ke
tubuh Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali
kita tengok pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang
berjudul "Burung Pingai" pada bagian 4 di bait 12:

"Ilmunya ilmu yang pertama,
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama."

Di dalam syair ini, Syeikh Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati
Dirinya sebagai "Unggas Ruhani" yang bernama Burung Pingai
(Burung Yang Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat
bagian ini, Syeikh Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman,
atau Kasih. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah
ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan
kesufiannya juga adalah "Mazhab Kasih". Cahaya sebagai simbol
Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan
manusia yaitu "Cahaya Kasih". Jadi, kesimpulan Syeikh Hamzah
Fansuri, jika ilmu dan agama atau kesadaran manusia selalu didasari oleh
Kasih, maka sudah pasti surga atau "keadaan bahagia abadi" akan
terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia,
tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik atau ideologinya,
status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, surga
atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap manusia yang
telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.

Semoga ajaran "Sang Sufi Cinta" dari tanah Aceh ini bisa bergema
kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam.
Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan
"Surga-Kasih" dari Syeikh Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi
ini. Semoga Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan
seluruh umat manusia beserta seluruh mahluk-Nya. Amin.


Pustaka:

A. Hasjmy, Ruba'I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.

Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya,
Bandung: Penerbit Mizan, 1995.

Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.

Kirim email ke