Di samping berbagai ujian yang sedang dihadapi negara kita, bangsa
Indonesia juga mengalami suatu perkembangan krusial, yaitu peningkatan
kedewasaan spiritual. Bila Anda pikir keuntungan yang didapat hanya
bersifat perseorangan, Anda salah. Sebab dari hal yang terkesan
"remeh" ini, bisa mempengaruhi cara hidup keluarga hingga
meningkatkan kinerja kerja karyawan.
Oleh KRESENTIA MARISA YOENG.

Selama ini, cukup banyak yang mengira bahwa spiritualisme dan religi
adalah hal yang sama. Padahal tidak demikian. Spiritualisme merupakan
suatu pemahaman akan pentingnya kesadaran atas diri yang sejati, dengan
mendalami hubungan dengan Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Sementara,
religi (apapun bentuknya) merupakan "buah" dari spiritualisme.
Sebenarnya, tiap orang telah memiliki bekal spiritual sejak lahir.
Karena kita adalah spirit (roh) yang berada dalam bentuk jasmani
manusia. Namun, setiap orang mempunyai waktu dan cara tersendiri dalam
mencapai pemahaman akan hal tersebut.

Di abad 21, makin banyak orang Indonesia yang memiliki kesadaran
spiritual. Salah satunya adalah Irianti Erningpraja, penyanyi dan
pencipta lagu era 90-an ini, mengaku dengan sendirinya terbawa dalam
jalur spiritual setelah kerap mempertanyakan nasibnya pada Sang
Pencipta. Lain lagi dengan Ferry Fibriandani -general manager salah satu
perusahaan telekomunikasi ternama- yang delapan tahun lalu mengalami
suatu kejadian hingga menyadarkannya bahwa ada satu titik, di mana
manusia benar-benar tidak mempunyai kekuatan apapun dan harus berserah
pada Tuhan. "Sejak saat itu, pikiran saya mulai terbuka,"
tuturnya.

Sementara itu, ketertarikan Diddi Agepe -komposer musik dan anggota
komunitas spiritual Prabbu Shatmata- terhadap spiritualisme sebenarnya
telah dimulai sejak kelas 1 SLTP. Namun pendalaman akan hal tersebut,
dimulai satu hari setelah anak pertamanya lahir. "Pada waktu itu,
saya berumur 25 tahun. Sudah beristri, punya anak, dan ekonomi pun
mapan. Saya merasa sangat beruntung. Namun karena itu saya harus
belajar; kenapa bisa seberuntung ini, sementara ada orang lain yang
nasibnya berbeda," katanya. Dewi Lestari beda lagi ceritanya.
Penulis buku Supernova dan Filosofi Kopi ini punya pendapat lain.
"Kalau ditanya kenapa tertarik mempelajari spiritualisme, saya tidak
tahu pasti selain pencarian ke dalam diri adalah dorongan evolusi
alamiah dalam setiap manusia, termasuk saya," ujar Dee, panggilan
akrabnya. Walaupun mempunyai alasan berbeda, yang jelas mereka kini
mampu menjalani hidup dengan lebih bahagia.

Gaung yang Positif

Pemahaman spiritual seseorang, ketika diterapkan dalam kehidupan sosial
maupun dunia kerja, ternyata dapat membawa manfaat tersendiri. Diddi pun
menyetujui hal tersebut. "Kematangan spiritualisme membuat kita
mampu mengisi hati dengan positive feeling dan positive thinking.
Otomatis, kita tidak mempunyai prasangka buruk. Kita dapat melihat
sesuatu dengan lebih jelas. Kita juga menjadi lebih nyaman, tidak
temperamental, tidak serakah, dan tidak butuh pengakuan akan kemampuan
diri," ucapnya. Meskipun begitu, bukan berarti Diddi tidak mempunyai
mimpi atau rencana ke depan. Ia sadar bahwa hal tersebut tetap
diperlukan. Namun bedanya, dalam usaha meraih tujuan, laki-laki yang
banyak belajar spiritualisme dari ajaran Jawa ini jadi lebih tertata,
sabar, dan tidak ngoyo.

Senada dengan Diddi, Dee juga mengalami beberapa perubahan sifat. Ia
menjadi orang yang lebih apa adanya, tidak melekat dan berkubang pada
penderitaan, juga lebih humoris. "Setidaknya itu yang saya rasakan.
Karena inti spiritualisme sesungguhnya hanya satu: hidup di saat ini.
Sedangkan, semua stres yang kita alami bersumber dari dua hal, yaitu
beban masa lalu dan kekhawatiran akan masa depan. Dengan memahami hal
tersebut dan mengalami hidup `di saat ini' alias `in the
now', segala stres yang berlebih akan runtuh dengan sendirinya."
Hmm, tampaknya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan ya? Menyadari
hal tersebut, ia menambahkan bahwa kita bisa berlatih melalui meditasi,
mengikuti bimbingan spiritual, menjalankan hidup yang seimbang, dan
banyak-banyaklah tertawa. Berkaitan dengan hal tersebut, Irianti
menyambung, "Menurut ajaran The Teaching of Abraham oleh Esther
Hicks, `happy life is a string of happy moments'. Sayangnya,
orang-orang terlalu sibuk mengejar hidup bahagia, sehingga lupa akan
momen bahagia. Karena itu, kita harus selalu bersyukur dan menikmati
setiap detik dalam kehidupan," tuturnya.

Dari segi bisnis, Ferry punya cerita sendiri. Sekitar 2-3 tahun lalu, ia
sempat masuk unit penjualan dan memimpin bibit muda. Sebagaimana yang
Anda tahu, setiap perusahaan pasti punya target yang harus diraih. Namun
saat itu, Ferry tidak mengedepankan perihal tekanan sebuah target.
Melainkan, lebih ke arah positive feeling, positive thinking terhadap
diri sendiri, tim, dan pemberi rezeki, yaitu Tuhan. Implementasinya
adalah: mengetahui secara jelas apa yang diinginkan, bekerja untuk
mencapai tujuan – berikhtiar, kemudian surrender, tapi bukan berarti
giving up. "Hasilnya di luar dugaan, penjualan naik hingga lebih
dari 450% dibanding tahun lalu. Tak ada yang menyangka, karena
pendekatan seperti ini tidak pernah dicoba sebelumnya. Terbukti,
melakukan pekerjaan dengan fun dan joy dapat menghasilkan sesuatu yang
jauh lebih baik," ujar laki-laki yang merasa pita toleransinya
menjadi lebih panjang setelah belajar spiritualisme ini.

Indonesia Pusatnya?

Sekilas kabar yang menyebutkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi pusat
kebangkitan spiritual dunia, mendapat berbagai tanggapan. "Saya
pernah mendengar selentingan demikian. Saya tidak tahu validasinya
dilihat dari faktor apa. Tapi saya rasa, kebangkitan spiritual adalah
gejala yang mendunia, tidak hanya di negara kita," ujar Dee singkat.

Namun, Diddi punya pendapat lain. Ia justru setuju akan hal itu.
"Karena yang saya tahu, dari lima orang spiritualis berskala dunia,
3 diantaranya ada di Pulau Jawa. Sedangkan yang dua lagi tersebar di
Thailand dan Tibet. Namun tak dapat dipungkiri bahwa di luar negeri pun,
spiritualisme sudah mulai terangkat," ucap laki-laki yang amat
peduli dengan global warming ini.

Sedangkan menurut Ferry, kesadaran kolektif terhadap spiritualisme
memang telah berkembang di Indonesia. Dasar negara kita adalah
"Ketuhanan yang Maha Esa". Dari situ, sudah tampak bahwa
Indonesia sangat mungkin menjadi pusat bangkitnya spiritual dunia.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sejak dulu -terlihat melalui agama
dan budayanya- bangsa Indonesia selalu berusaha mendekatkan diri pada
Tuhan. "Reality only happens in your mind. Jadi, jika kita berpikir
kesempatan, maka kesempatanlah yang akan muncul. Jika kita berpikir
kesempitan, maka kesempitanlah yang akan didapatkan. Karena itu, bila
kita yakin bahwa Indonesia bisa menjadi pusat kebangkitan spiritual,
maka hal itulah yang akan terjadi," tutur Ferry menjelaskan.

Pandangan serupa diutarakan oleh Irianti. "Karena semua orang
berpikir begitu, banyak yang mendoakan, ya terjadilah. Karena Allah
membaca vibrasi hati manusia, kalau kita tulus, Insya Allah akan menjadi
kenyataan," ujar perempuan yang kini membuka butik pakaian batik dan
menggelar workshop "Loving Ourselves" bersama beberapa rekannya
ini.

Langkah Menuju Perbaikan

Menurut Dee, langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mempelajari
spiritualisme adalah dengan membaca dan berdialog. Kemudian, yang lebih
penting lagi, menanggalkan semua pengetahuan kita dan terjun ke dalam
diri melalui meditasi alias praktek. Spiritualisme jangan hanya
dijadikan wacana (teori – red). Karena pengetahuan dan wacana hanya
bisa membawa kita ke "pintu". Tapi, untuk memasuki
"pintu" tersebut, dua hal tadi harus ditinggalkan, seperti kita
melepas alas kaki dan meletakkannya di luar sebelum masuk ke dalam
rumah.

Meditasi juga dianggap penting oleh Diddi untuk dapat membersihkan hati.
Sehingga terciptalah open heart, open mind, dan open soul, untuk
membimbing kita dalam mengendalikan ego yang tentunya berujung pada
pengendalian diri. Namun jika ego terlanjur menguasai, maka menurut
Irianti, akui saja perasaan tersebut, kemudian terima dan telusuri.
Karena jika sudah mengetahui sumber dari ego tersebut, maka kita akan
dapat melepaskannya. Sebagai contoh, pertama-tama, kita akui bahwa kita
merasa marah pada seseorang yang berkata bahwa kita jelek. Setelah itu,
bertanyalah: Kenapa timbul amarah? Karena kita merasa direndahkan.
Kenapa bisa merasa begitu? Karena tidak percaya diri. Kenapa tidak
percaya diri? Karena kurang bersyukur dan menghargai diri sendiri. Oke,
itulah sumbernya. Ternyata, permasalahan ada dalam diri kita kan?
Biasanya, inilah tahap melepaskan, entah dengan menangis, atau teknik
lain yang dapat meringankan beban pikiran. Namun, jika tidak mampu
melakukannya sendiri, maka dapat meminta bantuan orang lain, atau
mengikuti pelatihan. Intinya, ada banyak cara untuk mempelajari teknik
accepting dan releasing tersebut.

Selain itu, Ferry menambahkan, "Saya belajar memperdalam
spiritualisme dari kehidupan sehari-hari. Jadi, apapun yang kita alami,
pada prinsipnya adalah ayat-ayat yang harus kita baca. Dengan begitu,
kita jadi lebih aware dengan kejadian di sekeliling, baik yang
menyenangkan maupun yang membuat kita down." Begitu juga ketika
melihat keadaan di Indonesia. Jangan hanya dipandang dari sisi
negatifnya saja. Karena tiap kejadian pasti ada hikmah yang dapat
diambil. "Semakin terjepit kondisi bangsa ini, semakin banyak pula
orang yang tercerdaskan spiritualnya. Muncul tokoh-tokoh baru,
tokoh-tokoh muda yang mendapat pencerahan. Itulah keadilan kosmik; ada
keburukan ada kebaikan, ada siang ada malam. Seperti dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan. Segalanya seimbang," ujar Diddi. Untuk
itu, kita harus membiasakan diri melihat segala sesuatu dari kacamata
singularitas, dan menyadari bahwa dualitas itu perlu. "Waktu kecil,
setelah sakit panas, gigi kita tumbuh. Seseorang setelah menjalani
ujian, lalu naik kelas. Bangsa ini juga sedang mengalami ujian, mungkin
karena pengetahuan spiritualnya belum terlalu bijak. Akibatnya, banyak
tindakan anarkis antar agama. Tampaknya, memang inilah tahapan yang
perlu kita lewati untuk menjadi bangsa yang lebih matang," tambah
Diddi.

Kedewasaan spiritualisme mungkin merupakan puzzle terakhir yang
diperlukan negara kita untuk keluar dari segala dinamika masalah.
Bayangkan, alangkah indah bila warga Indonesia bisa lebih menjaga hati.
Tak lagi saling mencaci dan berprasangka buruk terhadap sesama. Segala
perbedaan tak dianggap sebagai halangan melainkan sebagai kekayaan.
Sesama warga saling menyayangi dan menghargai seperti saudara sendiri.
Pastinya Indonesia akan jadi "rumah" yang lebih nyaman untuk
ditinggali. Untuk itu, perwujudannya bisa dimulai dari yang terdekat,
yaitu diri sendiri. There´s always a start for everything!

wrote by KRESENTIA MARISA YOENG, in herworld magazine (August 2008
Episodes)
--------------------------

di copy paste oleh si brewok dari notes Facebooknya mas Diddi Agephe, my
fellow Lightworker ^^

Reply via email to