Arief Rahman's Notes(Sebuah Apresiasi Spiritual terhadap  Antologi Puisi
Tiada Tuhan Selain Ahmad karya Ahmad Yulden Erwin )

Saya menangkap perkembangan yang menarik akhir-akhir ini. Bagi sebagian
orang, sila Ketuhanan Yang Maha Esa masih menjadi ganjalan. Barangkali
mereka berpendapat sila yang satu ini dihilangkan saja, karena konflik
agama dianggap bermula dari sini. Dengan sila ini, Negara menjadi begitu
mengurusi agama setiap warganya. Sila ini berpeluang terhadap
perselingkuhan antara penguasa dan ulama untuk mendikte keyakinan orang.
Politisasi agama seperti ini memang menjadi masalah yang tak ada
habisnya di negeri ini, bahkan mungkin di seantero dunia.

Sebenarnya, yang menjadi pangkal persoalan adalah kepercayaan kepada
Ketuhanan telah bergeser menjadi kepercayaan kepada konsep Ketuhanan.
Demikianlah, sebenarnya orang sedang mempercayai sedemikian rupa
konsep-konsep Ketuhanan buatan pikiran, dan konsep-konsep Ketuhanan
itulah yang dituhankan. Konsep-konsep Ketuhanan yang dikemas dalam
agama-agama itu tentunya amat beragam. Fanatisme berlebihan terhadap
sebuah konsep ini merupakan bahan bakar yang afdhol untuk memicu konflik
dalam masyarakat.

MakinLamaPikirankuMakinTerasaSesak
SeekorUlarHitamMelintasiSemak-Semak
(Gurindam,1)

Konsep-konsep tentang Tuhan itu sebenarnya amat mubazir. Konsep-konsep
tersebut merupakan permainan pikiran belaka yang menyesakkan. Pikiran
yang mereka-reka Tuhan ini amat berbahaya seperti seekor ular hitam yang
melintas di semak-semak, tersamar dan tiba-tiba saja mematuk kesadaran
manusia. Konsep-konsep itu hanyalah semak-semak ilusi yang mengaburkan
pandangan manusia.

Sehebat dan sesempurna apa pun konsep-konsep tentang Tuhan itu toh Tuhan
tetap jauh dari jangkauan. Malah konsep-konsep itu menyeret orang
menjadi arogan, merasa paling benar. Tiap kelompok sangat bangga dengan
apa yang dimilikinya (Kullu hizbin bima ladaihin farihuun). Ia
terjerembap dalam kultur takfir apalagi setelah merasa
"memiliki" Tuhan. Gampang sekali mengkafirkan orang lain yang
tak sepaham. Rupanya, konsep-konsep itu telah menjauhkan manusia dari
kemanusiaannya, dari sesamanya.

Tidak penting berkonsep ria tentang Tuhan, karena mengkonsepkan Tuhan
berarti mengerdilkan-Nya. Konsep-konsep itu tidak pernah sempurna, serba
terbatas sedangkan Tuhan melampaui kesempurnaan dan ketidaksempurnaan.
Ia Yang Tak Terbatas tak bisa dibatasi oleh kata-kata yang terbatas.
Coretan tinta dalam berjuta lembar kertas tak akan sanggup
mendefinisikan kemahaluasan-Nya.

Konsep tentang Tuhan akan terperangkap pada dualitas, dengan mengatakan
yang ini Tuhan dan yang itu bukan Tuhan. Padahal, keberadaan manusia
serta konsep Tuhan dan non Tuhan masih berada di dalam kekuasaan-Nya.
Lihatlah, ular hitam ini, keliaran pikiran ini, dengan menganggap ada
elemen-elemen non Tuhan di alam ini, maka tanpa disadari kita
terperangkap menduakan Tuhan (syirk). Kekuasaan-Nya seakan terbatas.
Padahal "Dia berkuasa atas segala sesuatu" (Huwa `ala kuli
shai'in qadir). Seolah-olah di alam ini terjadi perang abadi antara
Tuhan dan non Tuhan. Padahal Iblis yang berperilaku durhaka itu,
hanyalah peran yang mesti dimainkannya. Ia adalah bagian penting dalam
lakon natak Ilahi ini.

CukupSudah! TakAdaLagiYangMustiDicari. TakAdaLagiYangMusti Ditunggu.
TakAdaLagiYangMustiDiratapi. TakAdaLagiYangMustiDiburu:
"KarenaKalianHanyalahSatuIroniDiDalamRencana-Ku."
(Narasi buat Reza Idria)

Jika konsep tentang Tuhan tak dibutuhkan, maka Tuhan pun sesungguhnya
tidak dibutuhkan manusia. Renungkan, manusia membutuhkan sesuatu, karena
ia tidak memiliki sesuatu itu. Kalau sudah dimiliki, maka serta merta
hilanglah kebutuhan itu. Umpamanya, saya membutuhkan uang, karena saat
ini saya tidak memiliki uang. Setelah saya miliki uang itu, maka
kebutuhan saya akan uang tadi terpenuhi.

Bagaimana dengan Tuhan? Apakah Tuhan adalah sesuatu yang tidak dimiliki
manusia sehingga manusia membutuhkan-Nya? Pandangan orang yang sangat
materialistis membuat Tuhan pun harus ia miliki persis seperti uang
tadi. Bayangkan, manusia yang sangat kecil ingin memiliki Yang Maha
Besar. Kedengarannya rancu.

Sesungguhnya manusia "tidak bisa" membutuhkan Tuhan, "tidak
bisa" memiliki Tuhan. Keberadaan manusia itu sendiri sejatinya
membuktikan kehadiran-Nya. Manusia dan alam raya ini berada di
dalam-Nya. Seorang yang tidak percaya Tuhan pun berada di dalam-Nya.
Semua konsep, agama, ideologi berada di dalam-Nya. Manusa tidak pernah
kehilangan Tuhan, sehingga membutuhkan-Nya dan keinginan memiliki-Nya
menjadi tidak relevan lagi.

SegalanyaTinggalGemaPikiranSendiri
ElangHitamTerbangDiBawahMatahari
(Gurindam,12)

Menyadari bahwa manusia tidak pernah kehilangan Tuhan, maka ia menjadi
saksi dan pendengar gema pikirannya sendiri. Segala konsep akan disadari
sebagai gema dari pikirannya sendiri. Di bawah matahari pencerahan itu,
kegelapan sirna. Ia adalah Matahari dan konsep-konsep tentang Matahari
hanyalah elang hitam yang terbang, pikiran yang bergema, ilusi.

Jika dunia mengalami kegelapan, maka ia akan menjelma sebagai Bulan yang
bercahaya lembut dan menerangi kegelapan malam. Nur Bulan adalah
pantulan dari Nur Matahari. Bulan, itulah para Avatar, Nabi, Buddha,
Messiah yang berkunjung dari waktu ke waktu ke dunia dengan kelembutan
cahaya untuk menerangi kegelapan hati manusia yang terhijab ilusi
pikiran.


Kini kusadari, aku bukanlah kata.
Bunga seruni mekar tanpa suara.
(Epigram,4)

Tidak perlu alergi dengan kata "Ketuhanan" sebagai sila pertama
dalam Pancasila. Karena Ketuhanan sesungguhnya tak terpisahkan dari diri
setiap manusia. Ketuhanan adalah sifat-sifat mulia yang ada dalam diri
manusia. Jika manusia Indonesia percaya kepada Ketuhanan, maka hendaknya
diartikan sebagai kepercayaan kepada sifat-sifat mulia dalam diri mereka
sendiri. Barangkali selama ini sifat-sifat tersebut belum berkembang.
Percaya kepada Ketuhanan berarti melakukan upaya dengan sungguh-sungguh
(jihad) untuk mengembangkan sifat-sifat mulia dalam perilaku keseharian.

Sifat-sifat mulia itu universal karena setiap agama mengajarkannya dan
mengenalnya sebagai sifat-sifat atau nama-nama yang indah bagi Tuhan.
Manusia memiliki satu pemahaman terhadap sifat-sifat mulia tersebut
makanya dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Misalnya, dalam al-Qur'an
tertera: "Berbuat adillah karena keadilan itu lebih dekat pada
ketakwaan" (QS, al-Ma'idah [5]: 8). Saya meyakini setiap manusia
apapun latar belakangnya, theis maupun atheis percaya kepada sifat mulia
yang bernama keadilan.

Sila-sila lain dalam Pancasila seperti persatuan, keadaban, hikmah
kebijaksanaan dan seterusnya adalah sifat-sifat mulia atau Ketuhanan
yang mestinya dikembangkan, sebagaimana difirmankan, "Manusia adalah
satu umat" [QS, al-Baqarah (2): 213] dan di ayat lain difirmankan,
"Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat-kebijaksanaan,
nasehat yang baik, dan dialog yang konstruktif (ud`u ila sabili rabbika
bi al-himah wa al-maw`idat al-hasanat wa jadilhum bi allati hiya
ahsan)" [QS, al-Nahl (16): 125].

Persoalan kekerasan atas nama agama di negeri ini sebenarnya bukanlah
disebabkan bangsa ini berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Persoalannya
adalah manusia Indonesia belum mempraktekkan ajaran agama. Pelaku
kekerasan itu belum mempraktekkan sifat-sifat mulia atau Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ia mempraktekkan sebatas formalisme ritual. Ia masih bergumul
dengan konsep-konsepnya tentang Tuhan.

Kekerasan itu semakin merajalela karena negara melalui tangan institusi
agama terlalu mencampuri kepercayaan dan keyakinan warganya. Melakoni
agama sesuai keyakinan menjadi barang yang mewah. Padahal kebenaran
begitu sederhana. Ketuhanan sudah ada pada diri setiap manusia. Ia tidak
membutuhkan konsep-konsep Ketuhanan yang dijejalkan dari luar oleh
Negara maupun institusi agama.

Mengapa kebenaran hadir begitu bersahaja?
Dengarkan poksai berkicau di dahan mangga.
(Gurindam, 8)

Negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti negara percaya
kepada kemuliaan, dan di atas segalanya Kasih adalah Kemuliaan. Setiap
orang harus mandiri mengembangkan Ketuhanan, Kemuliaan, Kasih dari dalam
dirinya, itulah religiositas, keberagamaan atau melakoni agama. Dan
religiositas ini berada dalam domain privat. Nilai-nilai Ketuhanan atau
Kemuliaan itu menjadi tugas setiap individu untuk mewujudkannya dalam
hidup sehari-hari. Negara dan institusi agama hanya berperan memberikan
dukungan terhadap tugas setiap individu tersebut.

Tak ada yang tersisa dari hati,
Saat kumulai perjalanan sunyi.
(Epigram, 5)


Pancasila sudah final. Tak ada lagi ganjalan di hati. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa tidak perlu dihapuskan. Menghapuskannya toh tetap tidak
akan melenyapkan Ketuhanan, Kemuliaan, Kasih yang memang sudah ada pada
diri setiap manusia. Manusia tinggal mengembangkannya dengan perilaku
mulia dalam hidup sehari-hari. Itulah manusia utama. Percuma saja
percaya kepada Tuhan jika hanya menyebarkan kebencian dan kerusakan.
Tidak percaya kepada adanya Tuhan pun bukanlah masalah besar, yang
terpenting adalah perilakunya. Nikmati saja hidup yang indah ini dengan
berbagi Kasih. []


Arief Rahman
14 Maret 2009

--- In mayapadaprana@yahoogroups.com, mayapadaprana@yahoogroups.com
wrote:
>
>
> Hello,
>
> This email message is a notification to let you know that
> a file has been uploaded to the Files area of the mayapadaprana
> group.
>
>   File        : /Antologi Puisi Tiada Tuhan Selain Ahmad
(1987-2009).doc
>   Uploaded by : red_conjurer red_conju...@...
>   Description : Author: Ahmad Yulden Erwin [Judul kumpulan puisi ini,
yaitu: "Tiada Tuhan, selain Ahmad", diambil dari salah satu kalimat
dalam puisi yang berjudul "Hikayat Fansuri" bagian ke-3. Puisi "Hikayat
Fansuri" ini mendapat juara urutan ke-2 (15 besar) dalam lomba cipta
puisi Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, pada
tahun 2007]


Kirim email ke