Mg Paskah III : Kis 3: 13-15.17-19; 1Yoh 2:1-5a; Luk 24:35-48
"Kamu adalah saksi dari semuanya ini"

Pada suatu hari saya ditugasi untuk menangani kasus korupsi keuangan yang 
terjadi dalam salah satu Komisi Kerasulan Keuskupan, yang konon dilakukan oleh 
pegawai bendahara komisi yang bersangkutan. Kasus tersebut katanya sulit 
diselesaikan di dalam tingkar kantor sendiri, maka saya sebagai Ekonom 
Keuskupan dimintai bantuannya, katanya yang bersangkutan dituduh melakukan 
korupsi tidak mengakui perbuatannya. Dalam menangani kasus ini pertama-tama 
saya temui yang bersangkutan, yang dituduh korupsi, sebut saja namanya `Bu 
Inem' (samaran). Setelah mendengarkan cerita dari yang bersangkutan, maka saya 
ajukan usulan: "Masalah ini ingin diselesaikan secara Gerejani/Katolik atau 
sipil/pemerintah?" . "Apa maksudnya Romo?", tanggapan singkat dari Bu Inem. 
"Maksudnya: secara Gerejani/Katolik adalah siapapun yang melakukan kesalahan 
terbuka saja, langsung mengaku dan kemudian diampuni serta menyesal, tentu saja 
mewujudkan penyesalan dengan berusaha seoptimal mungkin memperbaharui diri dan 
mengembalikan apa yang telah diambil; sedangkan cara sipil atau pemerintah 
berarti seperti terjadi di pengadilan dimana saya harus mencari tahu dari 
orang-orang yang terkait dengan tugas anda, sebagai saksi dalam rangka mencari 
kebenaran", demikian penjelasan saya. Sekilas cara Gerejani/Katolik nampak 
lebih mudah dan cepat tetapi kiranya sangat berat bagi yang bersangkutan untuk 
menjadi saksi kebenaran atas dirinya sendiri, sedangkan cara sipil atau 
pemerintah nampak sulit dan lebih lama serta mungkin melelahkan. Namun hemat 
saya jika orang lebih memilih cara Gerejani/Katolik lebih baik, tetapi sekali 
lagi mungkin berat dan mulia untuk dengan ksatria menjadi saksi kebenaran atas 
dirinya sendiri. 

" Kamu adalah saksi dari semuanya ini" (Luk 24:48)    

Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus kita semua dipanggil untuk 
menjadi saksi dari semua yang kita hayati, lihat dan dengarkan, dan tentu saja 
pertama-tama dan terutama tentang ajaran-ajaran atau sabda-sabda serta cara 
hidup dan cara bertindak Yesus, antara lain "dalam nama-Nya berita tentang 
pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai 
dari Yerusalem" (Luk 24:47). Yerusalem adalah tempat/kota, idaman serta tempat 
kesibukan sehari-hari bagi para murid, dan bagi kita semua "Yerusalem" berarti 
tempat kerja/kantor atau tempat belajar kita setiap hari, dimana kita 
mengusahakan kebutuhan hidup masa kini maupun masa depan, demi diri sendiri 
maupun anggota keluarga dan sesama manusia. Di tempat-tempat itulah kita 
dipanggil menjadi saksi `pertobatan dan pengampunan'. 

Bertobat kiranya dimulai dengan tobat batin dan kemudian diwujudkan kedalam 
tindakan konkret. "Tobat batin adalah satu penataan baru seluruh kehidupan, 
satu langkah balik, pertobatan kepada Allah dengan segenap hati, pelepasan 
dosa, berpaling dari yang jahat, yang dihubungkan dengan keengganan terhadap 
perbuatan jahat yang telah dilakukan.  Sekaligus ia membawa kerinduan dan 
keputusan untuk mengubah kehidupan, serta harapan atas belas kasihan ilahi dan 
bantuan rahmatNya. Perubahan jiwa ini diiringi dengan kesedihan yang 
menyelamatkan dan kepiluan yang menyembuhkan, yang bapa-bapa Gereja namakan 
`animi cruciatus' (kesedihan jiwa) , `compunctio cordis'(penyesalan hati)" 
(Kamus Gereja Katolik no 1431). Dalam tradisi Gereja pertobatan ini secara 
konkret berupa "doa, matiraga dan memberi seedekah". 

Doa dan matiriga mungkin lebih bersifat pribadi, sedangkan `memberi sedekah' 
lebih bersifat sosial. Tentu saja `memberi sedekah' ini tidak hanya diwujudkan 
dalam bentuk karitatif, tetapi juga edukasionis atau formatif. Secara 
edukasionis atau formatif berarti mereka yang bertobat tumbuh-bekembang (satu 
langkah balik menjadi lebih baik) sebagai pribadi yang cerdas beriman. Mereka 
yang sedang bekerja menjadi semakin terampil dan cekatan dalam bekerja, yang 
sedang belajar menjadi semakin terampil dan cekatan dalam belajar, yang sedang 
mencinta semakin terampil dan cekatan dalam mencintai, dst.. Tempat kerja 
maupun belajar menjadi sarana pengembangan dan pertumbuhan diri menuju ke 
pemenuhan sebagai pribadi cerdas beriman, kita semakin mengenal dan akrab 
dengan Allah. . 

"Inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti 
perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak 
menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada 
kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh 
sudah sempurna kasih Allah" (1Yoh 2:3-5a)

"Mengenal dan akrab dengan Allah" berarti tidak pernah berdusta melainkan 
senantiasa hidup dan bertindak dalam kebenaran, menuruti perintah-perintah 
Allah. Berdusta berarti dikuasai atau dirajai oleh setan atu iblis, dan dengan 
demikian merusak dan memporak-porandakan hidup bersama, sedangkan  hidup dan 
bertindak dalam kebenaran berarti membangun dan memperkuat hidup bersama dalam 
kasih, sehingga semua orang hidup saling mengasihi dan mengampuni. Hidup dan 
berindak dalam kebenaran ini kiranya sedini mungkin dididikkan atau dibiasakan 
dalam diri anak-anak, entah di dalam keluarga atau sekolah, dan tentu saja 
harus disertai dengan teladan atau kesaksian hidup dan bertindak dari orangtua 
dan para guru/pendidik. 

Hidup dan bertindak dalam kebenaran berarti juga hidup jujur. "Jujur adalah 
sikap dan perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang, berkata-kata 
apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran" 
(Prof Dr Edi Sedyawati/edit:  Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur- Balai 
Pustaka, Jakarta 1997, hal 17). Maka kepada mereka yang tidak jujur "sadarlah 
dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan" (Kis 3:19). Ada rumor yang 
mengatakan bahwa `orang jujur akan hancur', tentu saja yang hancur adalah 
kejahatan dan dosa-dosa dan mungkin tubuh kita, tetapi jiwa akan selamat dan 
damai sejahtera. 

Berlatih atau membiasakan diri dalam hal kejujuran kiranya antara lain dapat 
kita usahakan dalam mengurus atau mengelola harta benda atau uang, apa-apa yang 
kelihatan dan disukai oleh banyak orang. Jika kita dapat jujur dalam mengelola 
harta benda atau uang kiranya kita akan memperoleh kemudahan atau jalan untuk 
jujur dalam hati dan jiwa, jujur terhadap diri sendir dan Tuhan. Maka berapapun 
jumlah harta benda atau uang yang kita miliki dan kuasai marilah kita urus atau 
kelola dengan jujur. Kejujuran dalam pengurusan atau pengelolaan harta benda 
atau uang ini, saya sangat terkesan pada apa yang dilakukan oleh Bapak Yustinus 
Kardinal Darmojuwono Pr alm. Ketika saya sebagai Ekonom KAS membongkar kamar 
almarhum, saya terkesan dengan ketertiban dan pengelolaan uang yang dilakukan 
Bapak Kardinal, antara lain semua pemasukan dan pengeluaran uang dicatat setiap 
hari, misalnya beaya cukur, beaya bayar jalan tol, beli obat nyamuk, penerimaan 
pension sebagai Uskup, dst.. Bahwa hal itu dikerjakan setiap hari nampak 
terlihat dalam tulisan tangan. Tanpa serah terima dari almarhum perihal 
keuangan, dalam waktu singkat saya dapat menyelesaikan harta benda dan uang 
yang ada untuk diteruskan kepada yang berhak. Marilah kita jujur apa-apa yang 
kelihatan agar lebih mudah untuk tumbuh berkembang jujur terhadap diri sendiri 
maupun Tuhan. 

"Ketahuilah, bahwa TUHAN telah memilih bagi-Nya seorang yang dikasihi-Nya; 
TUHAN mendengarkan, apabila aku berseru kepada-Nya Banyak orang berkata: "Siapa 
yang akan memperlihatkan yang baik kepada kita?" Biarlah cahaya wajah-Mu 
menyinari kami, ya TUHAN! Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih 
banyak dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur. Dengan 
tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, 
ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman" 
(Mzm 4:4.7-9).

Jakarta, 26 April 2009



Kirim email ke