"Pak Kiai, sudah sekian lama saya sering datang ke tempat Bapak.
Walaupun agama saya berbeda dengan Bapak, tapi entah kenapa saya betah
banget datang ke pesantren ini. Saya senang bisa belajar banyak dari
Bapak. Pandangan-pandangan Bapak itu loh menyejukkan sekali.."

"Hmm, syukurlah Nak, kalau kamu senang datang kemari. Saya juga ngga
keberatan koq, malah bisa menambah saudara. Silahkan Nak, kamu boleh
datang ke pesantren ini kapan saja kamu mau."

"Wah, terima kasih banyak Pak Kiai. Bapak baik sekali mau menerima
saya yang non-muslim ini. Kalau begitu saya akan sering-sering mampir ke
sini. Di luar sana, orang seperti saya sering dicurigai bahkan darahnya
dihalalkan oleh orang-orang yang mengaku muslim itu, dianggap selalu
memusuhi agama mereka sampai kiamat..."

"Hehehe tidak semua muslim begitu Nak. Boleh-boleh saja mereka
mengaku muslim. Itu hak mereka. Tadi kamu bilang kamu itu non-muslim.
Tidak Nak. Saya tanya, siapa sih yang benar-benar muslim di dunia ini?
Apakah karena agama mereka Islam? Hanya Tuhan yang tahu bahwa kita ini
sudah "muslim" atau belum. Saya sendiri masih belajar menjadi
seorang "muslim". Saya masih belajar untuk berserah diri, untuk
menerima kehendak Tuhan dengan ikhlas…"

"Luar biasa Pak Kiai, saya jadi betul-betul tertarik dengan agama
Bapak. Selama ini, entah karena saya yang bego atau gimana, saya belum
pernah mendapatkan pengajaran seperti ini dari para pendeta saya…"

"Hahaha, jangan menyalahkan pendeta Nak. Kamu sendiri yang bego dan
malas, inginnya dijejali terus kayak bayi. Gunakanlah akal pikiran kamu
yang dianugerahi oleh Tuhan, belajarlah jangan mengandalkan orang lain
sehingga kamu tidak menyalahkan orang lain…"

"Ya ya ya Pak Kiai, saya memang bego. Dangkal, malas belajar. Kalau
begitu saya ingin belajar Islam sama Bapak. Saya bertekad bulat untuk
masuk agama Bapak menjadi mualaf, menjadi seorang muslim…"

Tiba-tiba…
PLAK PLOK PLAK PLOK….seperti kesetanan Sang Kiai menampari pemuda
itu bertubi-tubi.
"Aduh, aduh, aduh sakit Pak Kiai. Bapak sudah gila ya?? Salah saya
apa? Koq tiba-tiba nempelengi saya?" Pemuda itu kesakitan dan heran
dengan ulah Sang Kiai seperti itu.

"PLAK, mau tahu kesalahanmu?"
"Mau…"
"PLOK, dasar bego! Baru saja saya bilang belajarlah mandiri, koq
minta belajar sama saya. Malah ingin masuk Islam lagi…"

"Apa saya salah Pak Kiai? Apa salah jika saya ingin masuk Islam
menjadi seorang muslim. Kiai-kiai lain pasti menyambut saya dengan
senang hati karena ada tambahan umat dan limpahan pahala karena berhasil
mengislamkan orang. Koq Bapak malah berang begono sih?"

"Hehehehe, ingin masuk Islam katamu? Kamu pikir saya senang kamu
masuk Islam? Renungkan Nak, apakah selama ini kamu pikir Tuhan dalam
agamamu berbeda dengan Tuhan dalam agamaku? Apakah kamu pikir Tuhan yang
kamu sembah di dalam gerejamu berbeda dengan Tuhan yang saya sembah di
dalam masjid?

Untuk menjadi seorang muslim, kau tidak mesti meninggalkan agamamu, dan
berpindah ke agama Islam. Saya sudah bilang sama kamu dari tadi bahwa
saya sendiri masih belajar menjadi seorang "muslim", masih
belajar berserah diri kepada Tuhan, masih belajar menerima dengan ikhlas
kehendak-Nya, masih belajar lapang dada menerima kebijakan-Nya, masih
belajar menghargai perbedaan, masih belajar hidup rukun bergandengan
tangan dengan sesama. Saya sendiri masih harus belajar menjadi
"muslim". Hanya Tuhan yang tahu kita seorang "muslim"
atau bukan?

Janganlah kau meniru mereka yang setelah menganut agama barunya, lalu
menjelek-jelekkan agama yang telah ditinggalkannya. Kasihan sekali
mereka. Mereka masih bermain-main di pinggir sungai, belum menyelam ke
dalamnya. Sebenarnya mereka tidak pernah bisa meninggalkan agamanya.
Agama sendirilah yang telah meninggalkan mereka. Mereka semakin jauh
dari diri mereka sendiri. Jangan pamer, jangan mencari pembenaran,
jangan mengikuti jejak mereka yang mengikuti hawa nafsu…

Jangan begitu Nak, kau musti belajar terus, menggali terus dirimu yang
terbuat dari tanah. Jangan berhenti menggali, yakinilah suatu ketika
nanti mata air kehidupan pasti muncul ke permukaan. Yang terpenting
lakoni ajaran agamamu dalam keseharian hidupmu. Untuk apa kau
berpindah-pindah agama jika Tuhan Satu AdaNya. Dialah yang disebut
dengan berbagai Nama: Allah, Bapa di Surga, Yahwe, Buddha, Hyang Widdhi,
Tao, Satnaam dan masih banyak lagi…."

Begitulah. Pemuda itu pun terdiam terbengong-bengong menyimak wejangan
Sang Kiai, Sang Wali. Tapi, aaahhhh ia pun tercerahkan……Maka
mulailah ia menari dan menyanyi bersama Sang Kiai diiringi sepoi angin
dan indahnya sunset di ufuk sana yang ikut bahagia merayakan kelahiran
"manusia baru'…….


Arief Rahman
Oktober 2009

(Notes di Facebook)

Reply via email to