SURAT KECIL UNTUK
TUHAN

(Diambil dari sebuah judul buku)

 

Written by : Ruli Amirullah

 

Huaaaah! Buku ini benar-benar buat
aku malu! Gimana gak malu? Sesaat setelah aku mulai membaca, hidungku mulai
sibuk menarik ‘air’ agar tidak jatuh keluar. Beberapa saat kemudian, tangan
sebelah kananku malah mulai hinggap di mulut, menutup gerkaan bibir yang sudah
mulai tak terkendali. Beberapa saat kemudian, mata mulai panas, basah berair. 
Dan
beberapa saat kemudian, daripada tiba-tiba mendadak tangis meledak (dan itu
berarti akan banyak mata memandang heran padaku), akupun berhenti membaca. 
Menarik
nafas sebentar, melihat sekeliling…

 

Buku ini berjudul “SURAT KECIL
UNTUK TUHAN” sementara sub judulnya adalah “Perjuangan gadis remaja melawan
kanker ganas”. Buku ini ditulis oleh Agnes Davonar. Mau sedikit tentang isinya?
Ini dia :

 



 Tuhan ..

 Andai aku bisa kembali..

 Aku tidak ingin ada tangisan di
dunia ini.

 Tuhan ..

 Andai aku bisa kembali

 Aku tidak ingin ada hal yang sama
terjadi padaku, terjadi pada siapapun

 

Cuplikan itu menjadi sedikit
bait dari sebuah tulisan yang ditulis seorang remaja penderita kanker
Rabdomiosarkoma atau kanker jaringan lunak. Sebuah kanker ganas yang menyerang
pada bagian wajah seorang gadis remaja bernama Gita Sesa Wanda Cantika.

Umurnya masih 13 tahun saat
dokter mengatakan kepada ayahnya bahwa putrinya hanya dapat bertahan selama 
lima hari bila tidak
melakukan operasi segera.



 

Itu yang tertulis di cover belakang…

This is true story…. 

Gadis itu divonis hanya mampu bertahan hidup 5 hari! Dan isi buku ini
kemudian adalah bagaimana perjuangan ia, ayahnya, seluruh keluarganya, seluruh
teman-temannya, dalam menghadapi vonis tersebut. Buku ini tentang perjuangan
hidup, tentang tawa dan tangis, tentang berkarya, tentang semangat, tentang
harapan dan tentang segala impian, tentang cinta ayah pada anaknya, tentang
cinta anak pada ayahnya, tentang cinta Tuhan pada mereka…

 

Dan tahukan teman? Gadis itu ternyata bisa bertahan selama 3 tahun! Namun
selama 3 tahun itu, karena ia selalu merasa bahwa hidupnya akan berakhir besok,
maka iapun selalu hidup penuh semangat. Ia begitu menghargai hari yang kini ia
lalui, ia juga selalu ingin memberikan yang terbaik pada hari ini. Dan “pada
hari ini”-nya, ternyata bisa berlangsung selama 3 tahun…..

 

Perjuangan mengarungi 3 tahun itulah yang membuatku terharu. Bayangkan,
sewaktu ayahnya berdebat (atau tepatnya marah) pada seorang dokter, karena
dokter tersebut secara blak-blakan bercerita pada gadis itu, bahwa team dokter
sudah angkat tangan tidak mampu menangani penyakit kankernya. Si gadis kecil
tersebut, malah berkata “sudahlah ayah, tidak perlu marah pada dokter,
mungkin memang sudah takdirku untuk hidup bersama kanker ini, dan aku siap kok.
Aku siap hidup bersama kanker ini…”

 

Atau waktu mereka ke singapura dan berobat di rumah sakit terkenal,
mereka diberi tahu bahwa tindakan yang harus diambil adalah dengan mengoperasi
separuh wajahnya (yang itu berarti membuatnya menjadi kehilangan bentuk wajah),
maka sang ayah tidak rela. Ia tidak rela jika wajah anaknya harus cacat tak
berbentuk. Namun apa ucapan sang anak? “Aku rela, aku rela mukaku cacat asalkan
hal itu bisa membuatku lebih lama lagi berada di sisi ayah…”

 

……..….  

 

Kebesaran, kedewasaan dan kebijakan gadis itu  juga ditunjukkan saat ia, dengan 
berat hati,
terpaksa memutuskan pacarnya karena ia tidak mau melihat kekasihnya semakin
sedih melihat ia sakit, ia tidak mau kekasihnya menghabiskan waktu bersamanya. 
Ia
merasa hidup kekasihnya masih panjang, sementara hidupnya sudah begitu pendek. 
Sehingga,
(justru karena ia begitu mencintai kekasihnya) ia harus memutuskan hubungan
mereka…

 

…………

 

Dan bagian paling sedih dalam buku ini adalah ketika ia bersusah payah
berjuang untuk tetap belajar, tetap mengikuti ujian di sekolahnya, walau dengan
merangkak sekalipun (karena ketika kankernya menyebar, kakinya pun tiba-tiba
lumpuh. Tapi ia tertawa pada ayahnya dan berkata bahwa ia merangkak karena
ingin seperti mino, kucing kesayangnya). Begitu beratnya hingga akhirnya ia
meminta supirnya untuk menuliskan jawaban sementara ia mendikte jawabannya…

 

… Aku tidak tahu, ketika buku mulai bercerita detik-detik terakhir
menjelang ia wafat, adalah hal paling sedih atau justru paling membahagiakan. 
Karena
aku membacanya sambil menangis sekaligus tersenyum. Sedih sekaligus lega. 
Guncang
sekaligus tenang. Hilang sekaligus Abadi…

 

Entahlah…

Aku rasa saat ia wafat mungkin jadi happy ending yang indah pada buku
ini (walau disaat bersamaan aku benar-benar merasa ingin meledak dibagian ini)

 

Tapi yang jelas, selesai membaca buku ini, aku menjadi malu pada diri
sendiri. Karena aku mendapatkan, persamaan maupun perbedaan antara orang yang
terkena penyakit kanker dengan aku yang sehat. Persamaannya adalah, aku dan
mereka (para penderita kanker) akan sama-sama mati dalam waktu yang tak pernah
bisa kita perkirakan. Kapan saja, setiap saat, dimana saja…

 

Bedanya adalah..

Mereka menyadari mereka akan mati, sementara aku tidak…

 

Mereka sadar mereka akan mati (mungkin esoknya, mungkin lusanya),
karena itulah mereka kemudian selalu berbuat yang terbaik pada hari itu. Tahukah
teman? Gadis itu berhasil meraih ranking 3! Mengapa? Karena ia benar-benar
ingin berbuat yang terbaik di kelas.. ia tahu, belum tentu ia bisa mengikuti
ujian pada tahun depan. Maka ia ingin mengakhiri tahunnya di kelasnya dengan
menjadi yang terbaik. Begitu pula dengan sholat dan ngajinya, ia yang awalnya
masih belum lancar mengaji, menjadi berusaha giat belajar ngaji…

 

Sementara aku? Aku yang merasa sehat wal afiat ini, justru asik
bersenang-senang. Aku merasa akhir hidup masih lama. Andai aku hari ini
melewatkan amal, menunda sholat, malas ngaji, tidak berkarya, maka aku santai
saja karena merasa bisa menyelesaikan itu semua besok. Selalu masih ada besok
di pikiranku. Dan karena itulah aku terus menunda apa yang bisa kulakukan hari
ini. Bagiku yang sehat, selalu ada esok, esok dan esok..

 

Padahal, bukankah sebenarnya kematian bisa datang kapan saja dan dengan
mendadak? Kecelakaan, musibah, serangan jantung? Bukankah itu semua tidak
menunggu hari esok?

 

Mereka para penderita kanker, selalu ingat akan kematian. Sementara aku
tidak… 

Jika itu kenyataannya, maka siapakah sebenarnya manusia yang beruntung?
Mereka atau aku?

 

Ya Rabb.. 

Ingatkan aku akan pertemuan denganMU…

Agar aku tak lagi mensia-siakan waktu..

Agar aku tak lagi menjadi manusia yang merugi..

Agar kemudian aku menjadi manusia yang beruntung…

Aamiin…..

 




Ruli Amirullah
...Masih sibuk mengalihkan perhatian biar gak nangis...



Kirim email ke