Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan akhlaq, 
meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan 
nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang 
bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual (spiritualisme), karakter 
perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. Semua 
substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal - Iman 
dan Ilmu. Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu. 

one liner Seri 402
insya-Allah akan diposting hingga no.800 
no.terakhir 929
*******************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
402. Undang-undang Tidak Boleh Berlaku Surut?, dan Hukum Harus Ditegakkan 
Sekalipun Langit Akan Runtuh?

Firman Allah SWT: 
-- YAYHA ALDZYN AMNWA KTB 'ALYKM ALSHYAM KMA KTB ALY ALDZYN MN QBLKM L'ALKM 
TTQWN (S. ALBQRT, 183), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- kutiba 'alaykumush 
shiya-mu kama- kutiba 'alal ladzi-na ming qablikum la'allkum tattaqu-n (s. 
albaqarah), artinya: 
-- Hai orang-orang beriman, diperlukan atas kamu berpuasa, seperti diperlukan 
atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa (S. Sapi betina, 2:183).

Ayat (2:183) tersebut sangat populer dida'wakan pada permulaan bulan puasa. 
Ayat itu menjelaskan bahwa puasa merupakan wasilah supaya orang beriman 
mencapai derajat taqwa. La'allakum tattaqu-n, supaya kamu bertaqwa. Tujuan 
akhir adalah bertaqwa, derajat yang lebih tinggi dari beriman. Ayat (2:183) 
adalah berorientasi luaran (output oriented) yang bernilai tambah.

Di bangku SMP diajarkan makna peribahasa: Bahasa menunjukkan bangsa, yaitu 
tutur sapa dan perilaku sopan santun seseorang menunjukkan bahwa ia dari 
keturunan orang baik-baik. Sesungguhnya makna peribahasa itu dapat dikembangkan 
lebih jauh. Bahasa sebuah bangsa menunjukkan visi bangsa itu. Menanak nasi, 
appallu kanre, mannasu nanre, menunjukkan visi beberapa rumpun dari ras Melayu 
berorientasi luaran yang bernilai tambah, karena nasi mempunyai nilai tambah 
ketimbang beras. (Ada penyimpangan yaitu rumah sakit, balla' garring, bukan 
rumah sehat, balla' gassing, tetapi ini pengaruh dari visi Belanda: zieken 
huis, ziek = sakit, huis = rumah).

Berdasar atas prinsip berorientasi luaran yang bernilai tambah, akan dibahas 
kedua penggal dari judul di atas.

Narkoba mengancam kelanjutan generasi anak-anak bangsa. Masyarakat menuntut 
hukuman mati bagi pengedar Narkoba, termasuk Zarima si genderuwo Narkoba. 
Sayangnya rasa keadilan masyarakat yang menuntut hukuman mati atas para perusak 
generasi muda itu tidak dapat dipenuhi. Mengapa? Karena tidak ada sanksi berupa 
hukuman mati dalam Undang-Undang Psikotropika. Bagaimana kalau Undang-Undang 
tersebut ditambal sulam dimasukkan sanksi berupa hukuman mati ke dalamnya? 
Masih tetap tidak dapat menjaring mereka yang dituntut oleh masyarakat itu, 
karena dihadang oleh Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP: "Apabila ada perubahan 
peraturan perundangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka haruslah dipakai 
aturan yang ringan bagi tersangka." Kalau demikian Undang-Undang Psikotropika 
direformasi, dibuat Undang-Undang yang baru, yaitu Undang-Undang Anti Narkoba. 
Inipun dihadang oleh sebuah visi bahwa tidak perlu membuat banyak-banyak 
Undang-Undang. Sebab yang penting adalah pelaksanaan Undang-Undang yang baik. 
Lebih baik Undang-Undangnya jelek tetapi yang menjalankan Undang-Undang itu 
baik, ketimbang Undang-Undangnya yang bagus, tetapi yang menjalankannya tidak 
baik. Visi tersebut bertentangan dengan prinsip orientasi luaran yang bernilai 
tambah seperti dikemukakan oleh Al Quran dan budaya bangsa. Jadi seharusnya 
ialah Undang-Undang yang baik dan pelaksanaannya yang baik. Ini barulah namanya 
berorientasi luaran yang bernilai tambah.

Namun apabila dibuat Undang-Undang Anti Narkoba yang baru dengan sanksi berupa 
hukuman mati, itupun tidak dapat menjaring para penjahat pengedar Narkoba yang 
ada sebelum Undang-Undang baru itu lahir karena dihadang oleh ketentuan bahwa 
Undang-Undang tidak boleh berlaku surut, yang digariskan oleh Pasal 1 ayat 1 
KUHP: "Sesuatu perbuatan tidak dapat dihukum selain atas kekuatan aturan Pidana 
dalam Undang-Undang, yang diadakan sebelum perbuatan itu terjadi." Dasar 
filosofi Pasal 1 ayat 1 KUHP konon berasal dari nyanyian Paul Johann Anselm von 
Feurbach (1775 - 1833), seorang jurist dan filosof berbangsa Jerman, spesialist 
dalam Kriminologi dan orang yang mula pertama mengilmiyahkan atheisme. Ia 
bernyanyi seperti berikut:

Nulla poena sine lege
Nulla poena sine Crimine
Nullum Crimen
sine poena legali

artinya:
Tak ada hukuman, tanpa Undang-Undang
Tak ada hukuman, tanpa kejahatan
Tak ada kejahatan,
tanpa hukuman berdasar Undang-Undang

Syahdan, tidaklah dapat dijaring para penjahat pengedar Narkoba seperti Alfred 
yang ditangkap basah Lettu Pol Jamila Andy misalnya, jika tetap "mensakralkan" 
nyanyian Feurbach (diucapkan: Foirbakh), yang dilulur bulat-bulat dalam KUHP 
made in Holland (Wetboek van Strafrecht, lahir 1 Januari 1918, yang masih 
dipakai sekarang ini, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945), yang 
menggariskan: Undang-Undang tidak boleh berlaku surut tersebut. Oleh sebab itu 
dalam KUHP made in Indonesia yang sudah lama digodok dalam DPR sejak Orde Baru, 
dimasukkanlah substansi yang berikut: "Menyangkut tindak pidana Narkoba, 
Korupsi dan Hak Asasi Manusia haruslah peraturan perundangan dinyatakan berlaku 
surut selama 20 tahun." Seharusnya hari peringatan HAM kemarin itu menjadi 
cambuk bagi DPR dan Pemerintah supaya KUHP made in Indonesia itu diselesaikan 
secepat-cepatnya, sehingga para pelanggar HAM selama dan sesudah DOM di Aceh 
dapat dijaring dengan Undang-Undang HAM.

Bertahun-tahun lalu saya pernah berbincang-bincang dengan Prof. MG Ohorella 
yang baru saja pulang dari p. Seram sehubungan dengan penobatan beliau sebagai 
Raja. Dalam berbincang-bincang itu beliau berkata, bahwa ada seorang pakar ilmu 
hukum (saya sudah lupa-lupa ingat nama pakar itu) yang sangat ketat memegang 
prinsip: Hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh. Prinsip yang 
dinyatakan dalam gaya hiperbolis itu saya baca pula baru-baru ini dalam tulisan 
Siswanto Sunarso, anggota DPRD Tingkat I Sulsel yang berjudul: Main Hakim 
Sendiri terhadap Pelaku Kejahatan (FAJAR, edisi Selasa 7 Desember 1999, halaman 
4).

Mengenai penggalan kedua dari judul di atas akan dibahas singkat saja. Prinsip 
hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh, adalah prinsip 
menjadikan hukum sebagai panglima. Sebenarnya tidaklah mesti selalu hukum yang 
menjadi panglima, karena sewaktu-waktu politik perlu pula menjadi panglima. 
Jadi lihat sikonnya. Buat apa menjalankan hukum secara ngotot kalau "langit" 
akan runtuh. Pelaksanaan DOM di Aceh itu berdasar atas hukum dijadikan 
panglima. Maka runtuhlah "langit" di Aceh, yaitu pelanggaran HAM. Alhasil, 
haruslah prinsip orientasi luaran yang bernilai tambah yang dipegang. 
Menghadapi Aceh haruslah menjadikan politik sebagai panglima, jangan hukum yang 
dijadikan panglima, sebab "langit" akan runtuh, seperti terjadi selama dan 
sesudah DOM. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 12 Desember 1999 
      [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/1999/12/402-undang-undang-tidak-boleh-berlaku.html

Kirim email ke