(2/2)
Fajar, Jumat 30 Juli 2010
Dari Launching dan Bedah Buku "Kimat Segera tiba" 
Dianggap Rintis Sains Islami, Ijtihad tak Langgar Akidah

Penulis buku "Kimat Segera tiba" boleh-boleh saja menafsir kitab suci Alquran 
soal kiamat melalui pendekatan sains. Tapi apakah ijtihad itu melanggar akidah 
atau tidak?
LAPORAN ANGRIANI S UGART
Makassar

***

BUKU berjudul "Kimat Segera tiba" karya Prof DR dr A.Halim Mubin yang 
diterbitkan Yayasan Sipakarennu Nusantara (YSN) ini memang menarik dibahas. 
Setidaknya ini tergambar dari Launching dan Diskusi "Kiamat Segera Tiba" di 
Redaksi Harian Fajar, Rabu 28 Juli lalu. Pakar yang hadirpun tak sembarangan.

Mereka adalah Guru Besar UIN Alauddin Prof DR Qasim Mathar, kolumnis Wahyu dan 
Akal - Iman dan Ilmu HM Nur Abdurrahman, mantan Rektor UIN Alauddin Prof DR 
Muin Salim, dan budayawan Ishak Ngelyaratan. 

Nur Abdurrahman yang menjadi penanggap ketiga dalam diskusi itu yang memihak 
sang penulis. "Postulat yang daimbil penulis dari Alquran. Ini tidak melanggar 
akidah. Ijtihad A Halim Mubin berbeda dengan penganut "Islam" Liberal yang 
menginterpretasikan Alquran dengan memakai postulat benak manusia, yaitu 
pluralisme, liberlisme dan genderisme yang memposisikan wahyu di bawahnya akal 
manusia," ungkap Nur Abdurrahman.

Bahkan kata kolumnis Fajar ini, dengan mengambil ayat-ayat Alquran dalam 
menjabarkan proses kiamat sebagai postulat, maka Halim Mubin, telah merintis 
sains Islami atau sekurang-kurangnya "mengislamkan sains".

Bahkan Nur Abdurrahman, menawarkan menambah pertanyaan Halim Mubin di bukunya. 
Penambahan itu adalah bagaimana kalau bola mahsyar yang terbentuk adalah bola 
super raksasa yang materinya terdiri atas semua materi alam semesta (physical 
world, universe) yang terdiri dari kawakib (planet), semua nujuwm 
(bintangbintang sebangsa matahari, seperti bintang tunggal, kembar,
bintang-bintang raksasa, bintang redup, lubang hitam, semua buruwj disinkronkan 
dengan ayat: "KepadaNyalah menyerahkan diri (segala) setiap  sesiapa yang di 
langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan
hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan (untuk diadili). Dalam ayat 
disebutkan "Man" (sesiapa) itu menunjukkan makhluk cerdas di langit (di luar 
bumi) yang sejenis manusia di bumi.

Tak perlu menunggu jawaban dari si penulis, Nur memberi jawabannya sendiri. 
"Jawabannya, makhluk cerdas yang dibangkitkan tak terhitung jumlahnya dan bola 
raksasa mahsyar tak terhingga besarnya, sehingga tidak dapat dihitung bila 
terjadinya hari berbangkit, jika memakai theorema dan rumusrumus Halim 
Mubin,"beber Nur.

Sebelumnya, Halim sempat memaparkan perhitungan rumus matematika dan fisika 
soal proses perubahan bumi menjadi padang mahsyar, termasuk perhitungan
jumlah makhluk yang dibangkitkan serta luas padang mahsyar tersebut dengan 
memakai ayat Alquran.

Bagaimana dengan budayawan Ishak Ngeljaratan yang mengkritik soal kiamat itu 
dari sisi teologi dan melihatnya sebagai refleksi filosofis. Menurut Ishak, 
kitab suci termasuk Alquran adalah wahyu yang dikemas lewat medium bahasa.

"Wahyu adalah kebenaran dan mediumnya adalah bahasa. Wahyu Allah adalah 
percikan kebenaran dirinya lewat medium kultur. Akan bahaya jika menyamakan 
semantik bahasa wahyu dengan bahasa kita," tandas kolumnis "Masalah Kita" di
Harian Fajar ini.

Menurut budayawan Sulsel dari Universitas Hasanuddin ini, makna wahyu Allah 
bisa berbahaya jika direduksi dalam rumus matematika. "Tuhan itu Esa, tak 
terbilang, Esa bukan bilangan. Semua yang sudah mendahului kita masuk dalam
suasana. Itu (mahsyar,red) bukan tempat tapi suasana," ujarnya.

Di akhir diskusi, Prof Muin Salim mengatakan bahwa bahasa Alquran adalah bahasa 
Arab, siapapun yang ingin menafsirkannya harus memahami dan menguasai bahasa 
tersebut. Nur Abdurrahman juga menutup tanggapannya bahwa kiamat 2012 yang 
banyak diperbincangkan bahkan difilmkan oleh Amerika Serikat sebenarnya
kalender suku maya yang berakhir. "Itu akhir kalender mereka yang dikaitkan 
dengan peristiwa ilmiah dan diikuti riset ilmiah," tandasnya.     

Reply via email to