Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan akhlaq, 
meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan 
nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang 
bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual (spiritualisme), karakter 
perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. Semua 
substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal - Iman 
dan Ilmu. Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu. 

one liner Seri 415
insya-Allah akan diposting hingga no.800 
no.terakhir 934
*******************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NAIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
415. Qurban Dalam Konteks Nilai Ekonomis dan Nilai Sosiologis 

Dalam Seri 414 yang baru lalu telah dibicarakan qurban  dalam konteks nilai 
ruhaniyah (spiritual): taqarrub (mendekatkan  batin kita)  kepada  Allah  SWT, 
menapak tilas  secara  ruhaniyah  Nabi Ibrahim  AS dalam hal ketaqwaan. Maka 
dalam seri ini  dibicarakan tentang qurban dalam konteks nilai ekonomis dan 
nilai sosiologis, khususnya dipertajam dalam hal produktif versus konsumtif.

Dalam  berbincang-bincang dengan pirsawan di layar kaca  RCTI menanti siaran 
langsung shalat 'IydulAdhha di Al Masjid Al Haram, seorang  pirsawan  dengan 
nada risau mengemukakan bahwa  di  Mina lebih  banyak  daging  hewan  hasil  
sembelihan  ketimbang   yang mengkonsumsinya, yang dijawab oleh (kalau tidak 
salah) al  ustadz KH  Anwar Sanusi bahwa dahulu barangkali memang  demikian,  
namun sekarang   Pemerintah   Arab  Saudi  membekukan   daging   ternak 
sembelihan  itu  lalu  dimasukkan  ke  dalam  container  kemudian dikirim  ke  
negara-negara  yang miskin  seperti  Bangaldesh  dan beberapa  negara   di 
Afrika. Hal ini  memancing  diskusi  kecil-kecilan  yang  substansinya seperti 
disebutkan  di  atas:  qurban dalam  konteks  nilai ekonomis dan  nilai  
sosiologis,  khususnya dipertajam dalam hal produktif versus konsumtif.

Sikap  saya  dalam diskusi  kecil-kecilan  seperti  pengamat, tidak  aktif  
bermain. Sikap saya sebagai  pengamat  bukan  tanpa alasan.  Ini suatu 
kesempatan bagi saya untuk mendapatkan  materi bahasan untuk mengisi kolom ini.

Pendapat  yang  pertama menginginkan agar  hewan  qurban  itu mempunyai nilai 
ekonomis. Karena darah dan daging hewan itu tidak akan sampai kepada Allah, 
buat apa disembelih. Daripada dagingnya diberikan  kepada  fakir  miskin  
secara  konsumtif,  lebih  baik hewan qurban itu diberikan  kepada mereka itu 
untuk diternakkan supaya  produktif dan membuka lapangan kerja. Ini disanggah 
bahwa hewan qurban  itu jantan,  sehingga  tidak  dapat beranak,  jadi  tidak  
produktif.  Sanggahan  ini dijawab bahwa sepanjang pengetahuannya  tidak  ada 
nash   yang  jelas-jelas  melarang  hewan  qurban  yang   betina.  Kebiasaan 
memilih hewan jantan untuk qurban, karena alasan teknis saja,  yaitu sebaiknya 
jantan karena akan dipotong, sayang  kalau betina yang akan dipotong berhubung 
dapat beranak. 

Pendapat  yang  kedua mengatakan bahwa masih ada  yang  lebih penting dari 
nilai ekonomis, yaitu kepentingan komunikasi  sosial dalam konteks ikatan batin 
antara yang memberi dengan yang diberi barang   yang  secara  langsung  dapat   
dimanfaatkan.   Lagipula memberikan  hewan  sapi untuk diternakkan tidak  dapat 
 diberikan kepada satu orang saja, sebab tidak cukup sapi untuk satiap orang 
mendapatkan  seekor  sapi.  Sehingga  untuk  seekor  sapi   harus diberikan  
kepada beberapa orang untuk  menternakkannya  bersama-sama. Ini mengandung 
potensi untuk konflik di belakang hari. Jadi hewan  qurban itu mesti 
disembelih, itu sudah bagus menurut  visi komunikasi sosial.

Arkian, kini tiba gilirannya saya mengemukakan buah  pikiran.  Tentu saja saya 
harus konsisten dengan thema kolom ini: Wahyu dan akal,  iman  dan ilmu. Wahyu 
dikemukakan  dahulu,  kemudian  baru akal.   Iman  dikemukakan  dahulu,  baru  
kemudian   ilmu.   Akal berlandaskan wahyu, serta ilmu berlandaskan iman. 

Firman  Allah:  
-- FSHL  LRBK WANHR  (S.  ALKWTSR,  2),  dibaca: 
-- fashalli   lirabbika  wan  har  (s.  alkawtsar),  artinya: 
-- maka shalatlah bagi Maha Pemeliharamu dan sembelihlah.
 
-- FADZA  WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR  (S. ALHJ,   36), 
dibaca: 
-- faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha-  wath'imul qa-ni'a wal mu'tar, 
artinya: 
-- apabila  telah  rebah   badannya   (hewan sembelihan),  maka  makanlah 
sebagian darinya dan  beri  makanlah orang  yang tidak meminta dan orang yang 
meminta. 

Kedua ayat  itu menegaskan dengan jelas bahwa hewan qurban itu harus  
disembelih, artinya tidak boleh dibiarkan hidup untuk diternakkan. Kedua   ayat 
  itu  kita  tmbah  pula  dengan   Hadits   yang diriwayatkan oleh Bukhari dari 
Bara': 
-- QAL ALNBY SHL'AM AN AWL  MA NBDA^  BH  FY YWMNA HDZA NSHLY TSM NRJ'A  FNNHR, 
 dibaca:  
-- qa-lan nabiyyu  saw  inna  awwala  ma-  nabda-u  fi-  yawmina-   ha-dza- 
nushalli-  tsumma  narji'u fananhar, artinya:
-- pertama-tama  yang kita  lakukan pada hari ini shalat, kemudian kita  
kembali,  lalu menyembelih (hewan qurban).

Apakah  dengan  menyembelih hewan itu tidak  mempunyai  nilai ekonomis?  
Apabila itu hanya dilihat dari segi berproduksi  saja, tentu tidaklah mempunyai 
nilai eknomis. Akan tetapi jika  dilihat dari  segi  pasar,  maka itu  sangat  
mempunyai  nilai  ekonomis.  Produksi saja tanpa pasar tidak ada gunanya. 
Bahkan tidak  kurang dalam  kegiatan  ekonomi  harus  memperluas  bahkan  kalau 
 perlu menciptakan  pasar. Allah SWT telah menciptakan pasar  bagi  kita dalam  
bulan Dzulhijjah setiap tahun. Melalui kredit  usaha  tani (KUT), yang tentu 
saja harus bersih dari polusi LSM 'plat merah', para  petani (baca:  peternak) 
dapatlah berternak sapi, kambing dan  biri-biri khusus "diproduksi" untuk 
dipasarkan sekali setahun, selama empat hari,  10,  11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
 
Alhasil  dengan  visi  yang demikian,  yaitu  menyembelih hewan qurban setiap  
tahun  sebagai pasar  bagi para peternak kecil-kecilan, maka qurban itu  
sekali-gus   mempunyai  nilai  ekonomis,  nilai  sosiologis  dan   tidak 
bertentangan dengan nash. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar,  19 Maret 2000
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2000/03/415-qurban-dalam-konteks-nilai-ekonomis.html

Kirim email ke