Salam, 
Tidak perlu jauh--2 kembali 1400 tahun yang  lalu ke zaman negara Islam Madinah.
Andaikata Ketua MA yang saribattang dari Makassar ini, mengintruksikan kalau 
menjiplak hukum Belanda janga setengah-seengah( concordant). Karena pesoalan 
seperti ini tidak akan terjadi di Belanda sendiri.

Wasalam,
Wal Suparmo

--- Pada Ming, 24/7/11, H. M. Nur Abdurrahman <mnur.abdurrah...@yahoo.co.id> 
menulis:


Dari: H. M. Nur Abdurrahman <mnur.abdurrah...@yahoo.co.id>
Judul: [Mayapada Prana] Seri 984 Klasifikasi Barang dan Mahkamah Mazhalim
Kepada: tahajjud_c...@yahoogroups.com, wanita-musli...@yahoogroups.com, 
tadab...@yahoogroups.com, "Sabili" <sab...@yahoogroups.com>, 
relex...@yahoogroups.com, mayapadaprana@yahoogroups.com, 
mangaj...@yahoogroups.com, lautan-qu...@yahoogroups.com, 
jamaah-islami...@yahoogroups.com, info_is...@yahoogroups.com, 
"BUGINESE@yahoogroups." <bugin...@yahoogroups.com>
Tanggal: Minggu, 24 Juli, 2011, 6:27 AM


  





BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL – IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]

984 Klasifikasi Barang dan Mahkamah Mazhalim 
 
Pertanyaan:
Ketika tentara Islam memenangkan perang di Irak, Umar tidak mau membagi-bagikan 
tanah di Irak itu kepada bala tentara Islam. Ini bertentangan dengan teks yang 
eksplisit ada dalam Al-Quran tentang ganimah. Ternyata Umar mempertimbangkan 
tidak fair membagi tanah yang begitu luas hanya kepada sekelompok kecil tentra 
saja, sementara penduduk Irak tidak memiliki apa-apa. Singkatnya, Umar tidak 
mau menciptakan kelompok kecil baru dimana semua kekayaan beredar pada mereka. 
Nabi membagi bagikan ganimah itu kepada tentra Islam karena mereka waktu itu 
memang membutuhkannya, karena mereka semua relatif miskin. Secara kontekstual 
Umar tidak mau membagikannya karena si penerima akan menjadi terlalu kaya, 
sedangkan yang lainnya akan menjadi sangat miskin. Pada permukaan kebijakan 
Umar itu nampak bertabrakan secara literal, tetapi bukankah apabila orang 
menyelam lebih dalam, tidak nampak bertentangan dalam paradigma keadilan yang 
diterapkan secara kondisional ?
 
Salam
Martin Krisna [18/7/2011] 

Jawab:
-- WA’ALMWA ANMA GhNMTM MN SyYA FANA LLH KhMSH WLLRSWL WLDzY ALQRBY WALYTMY 
WALMSKYN WABN ALSBYL (S. ALANFAL, 8:41) dibaca: wa’lamuu annamaa ghanimtum min 
syai-in fa anna lillaahi khumusahuu walirrasuuli walidzil qurbaa walyataama 
walmasaakiina wabnis sabiili, artinya:
-- Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai ghanimah, 
maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, 
orang-orang miskin dan ibnussabil (orang yang telantar di perjalanan). 
Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu 
usaha. Secara syar'i ghanimah berarti barang yang disita dari musuh yang dalam 
keadaan perang dengan Daulah Islam. Dalam hukum perang manapun, sumber ekonomi 
ataupun logistik musuh SAH untuk disita. Menurut seni perang Cina (Sun Tzu) 1 
gerobak perbekalan musuh senilai dengan 20 gerobak milik sendiri.
 
Ente rupanya penganut Islam Liberal yang nggandrung dengan pendekatan 
kontekstual dengan melabrak yang tekstual. Interpretasi ente berupaya 
menabrakkan yang literal / tekstual dengan paradigma keadilan yang diterapkan 
secara kondisional. Umar ibn Khattab RA tidak melanggar yang tekstual, karena 
pada waktu penaklukan Khaibar, menurut Sunnah Nabi tanah tidak dibagi di antara 
pasukan para mujahidin yang ikut berperang, melainkan yang dibagi adalah yang 
dapat dibawa saja. Ghanimah diklasifilasikan Umar ibn Khattab RA  sebagai 
barang bergerak, sehingga tanah itu tidaklah termasuk ghanimah. 
 
Penegasan Umar ibn Khattab RA untuk hanya mengambil harta yang bergerak 
terlihat dari kandungan suratnya kepada Sa'ad bin Abi Waqqas (Panglima 
perangnya dalam menaklukkan Irak). Dalam surat tersebut beliau secara tegas 
menginstruksikan agar yang diambil hanya yang berupa harta bergerak, tidak 
termasuk tanah mereka. Dalam kaitan ini ucapan Umar ibn Khattab RA yang sangat 
terkenal adalah: "Kalau seluruh harta dan kekayaan mereka diambil, lalu dengan 
apa mereka hidup?" Dan tanpa memperhatikan Sunnah Nabi di Khaibar, dari kalimat 
terakhir inilah terbuka "lubang" bagi penganut Islam Liberal untuk mengekspos 
bahwa Umar ibn Khattab melakukan pendekatan kontekstual.  
 
Jadi Umar ibn Khattablah RA tidak melabrak yang tekstual, dan yang ini tidak 
kurang pentingnya, yaitu beliaulah yang mula pertama secara konsepsional 
membuat klasifikasi barang bergerak dan tidak bergerak. Asal ente tahu 
klasifikasi barang bergerak dan tidak bergerak ini juga dianut dalam sistem 
hukum di Indonesia dan juga pada umumnya dalam negara-negara lain. Begitu 
nyong. 
 
***
 
Diskusi Jakarta Lawyers Club yang dipandu oleh Bang-One pada malam Rabu 12 Juli 
2011 mengambil thema putusan kasasi Mahkamah Agung yang memvonis Prita 
Mulyasari 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Salah seorang 
mantan hakim senior menanggapi bahwa seyogianya yang menangani kasasi itu 
adalah para hakim yang sama yang menangani kasasi baik yang perdata maupun yang 
pidana. Karena sangat janggal vonis para hakim yang menangani perkara perdata 
memenangkan Prita Mulyasari. Sedangkan yang menangani pidana memenangkan jaksa 
penuntut umum. Tetapi yang paling menarik perhatian ialah dari seorang anggota 
DPR dari Komisi III yang menyatakan berapi-api: Jaksa melanggar hukum, vonnis 
vrijsprak Pengadilan Negeri, kok jaksa mengajukan kasasi, itu melanggar hukum, 
yaitu melanggar pasal 244 KUHAP. Pertanyaan anggota DPR tsb tidak terjawab 
dalam diskusi itu, yakni: "Siapa yang mesti menangani jaksa tersebut secara 
pidana."
 
Pertanyaan tsb dijawab dalam kolom ini. Dalam Negara Islam Madinah, RasuluLlah 
SAW membentuk Lembaga Mazhalim, yang mengawasi praktek kezaliman pejabat. Di 
kemudian hari dalam Khilafah (Daulah Islamiyah yang dikepalai oleh khalifah) 
Lembaga Mazhalim ini diperkembang oleh khalifah Umar ibn Khattab RA menjadi 
Mahkamah Mazhalim yang berhak mengadili dan memecat penguasa, yang kemudian 
hari Lembaga Mazhalim diperkembang pula untuk mengadili dan memecat Khalifah 
sendiri. 
 
Perkembangan lebih lanjut di samping Mahkamah Mazhalim, ada pula Mahkamah 
Hisbah dan Mahkamah Qadha. Ketiga institusi tersebut mempunyai peran yang sama 
yaitu sebagai lembaga peradilan yang memutuskan dan memberikan sanksi hukuman, 
tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam hal cakupan tugas serta wewenang. 
Mahkamah Mazhalim menangani kasus kesewenang-wenangan dan kezaliman pejabat 
pemerintah. Mahkamah Hisbah mengawasi pelaksanaan syari'at Islam dan amar 
ma'ruf nahi mungkar secara umum. Mahkamah Qadha adalah lembaga peradilan umum 
seperti dikenal sekarang dalam negara sekuler.
 
Apa yang dirisaukan oleh anggota Komisi III DPR itu, maka sesungguhnya dalam 
struktur Khilafah, Jaksa Penuntut Umum yang menegakkan hukum dengan melanggar 
hukum, maka itu bagiannya Mahkamah Mazhalim yang menanganinya. Sayangnya 
Indonesia ini bukan khilafah. Namun demikian eloklah jika di NKRI ini dibentuk 
Mahkamah Mazhalim. WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 24 Juli 2011
   [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2011/07/984-klasifikasi-barang-dan-mahkamah.html






Kirim email ke