Islam yang bermuatan: aqidah (pokok keimanan), jalannya hukum dan akhlaq, 
meliputi cakrawala yang luas, yaitu petunjuk untuk mengatur baik kehidupan 
nafsi-nafsi (individu), maupun kehidupan kolektif dengan substansi yang 
bervariasi seperti keimanan, ibadah ritual (spiritualisme), karakter 
perorangan, akhlaq individu dan kolektif, kebiasaan manusiawi, ibadah 
non-ritual seperti: hubungan keluarga, kehidupan sosial politik ekonomi, 
administrasi, teknologi serta pengelolaan lingkungan, hak dan kewajiban 
warga-negara, dan terakhir yang tak kurang pentingnya yaitu sistem hukum yang 
teridiri atas komponen-komponen: substansi aturan-aturan perdata-pidana, 
damai-perang, nasional-internasional, pranata subsistem peradilan dan apresiasi 
hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berakhlaq. Semua 
substansi yang disebutkan itu bahasannya ada dalam Serial Wahyu dan Akal - Iman 
dan Ilmu. Maksudnya Wahyu memayungi akal , dan Iman memayungi ilmu. 

one liner Seri 594
insya-Allah akan diposting hingga no.800 
no.terakhir 1005
*******************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
594. Isra, Difahamkan Secara Tekstual, Ta'wil dan Isyarat

Hari Rabu ybl bertanggal Kalender Hijriyah 27 Rajab 1424, adalah peristiwa Nabi 
Muhammad SAW diisrakan oleh Allah SWT. Kita akan perbincangkan pemahaman Isra 
secara komprehensif, yaitu baik secara tekstual, maupun ta'wil, ataupun isyarat 
seperti yang dinyatakan oleh judul di atas itu.

Firman Allah SWT (transliterasi huruf demi huruf): 
-- SBhN  ALDZY  ASRY  B'ABDH  LYLA  MN  ALMSJD  ALhRAM  ALY  ALMSJD AL AQSHA  
ALDZY  BRKNA  hWLH  LNRYH  MN  AYTNA  ANH  HW  ALSMY'A  ALBSHYR  (S. BNY 
ASRAaYL, 17:1), dibaca: subhaanal ladzii asraa bi'abdihii laylam minal masjidil 
haraami ilal masjidil aqshal ladzii baaraknaa haulahuu linuriyahuu min 
aayaatinaa innahuu huwas samii'ul bashiir (s. banii israaiil), artinya: 
-- Maha Suci Yang mengisrakan hambaNya malam hari dari al Masjid al Haram ke al 
Masjid al Aqsha, yang Kami telah berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan 
(sebagian) dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha 
Melihat (17:1). 

Asra dalam ayat (17:1) tersebut, artinya memperjalankan. Bentuk-bentuk yang 
lain adalah asri terletak dalam 5 ayat dan yasri dalam sebuah ayat. Dari kelima 
 ayat yang memuat asri semuanya berhubungan dengan perjalanan malam, yaitu 
perjalanan Nabi Luth AS serta dengan pengikutnya (S. Hud,81 dan S. Al Hijr,65), 
dan perjalanan Nabi Musa AS dengan ummatnya keluar dari Mesir (S. Taha,77, dan 
S. Asy Syu'ra',52, dan S. Ad Dukhan, 23). Dan bentuk yasri menyangkut 
perjalanan mengenai malam itu sendiri (S. Al Fajr,4). Adapun perjalanan malam 
Nabi Luth AS dan Nabi Musa AS mengandung pengertian yang biasa saja. Tidak sama 
dengan pengertian asra bagi Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kekhususan, yaitu 
tidak diikuti oleh manusia lain. 

Menurut Hadits pada waktu Rasulullah diisrakan, beliau menunggang buraq 
dituntun oleh Jibril. Secara tekstual itu benar-benar seperti demikian. 
-- "Utiyat bilBuraaqi faHumiltu 'Alayhi Hattay Utiyat Baita lMaqdis," artinya: 
-- didatangkan kepadaku Buraq dinaikkan aku berkendara di atasnya hingga tiba 
di Bayt al Maqdis. Atau seperti penuturan Anas: 
-- "Hattay Intihay Ilay Bayti Maqdis," artinya:  
-- sampailah ia ke Bayt al Maqdis. 

Dari Hadits tersebut jelas bahwa Nabi Muhammad SAW tatkala diisrakan mengendai 
buraq berakhir di Bayt al-Maqdis. Demikianlah ayat (17:1) dan Hadits tersebut 
difahamkan secara tekstual. Seperti kita lihat ayat (17:1) menjelaskan bahwa 
akhir asra ialah al- Masjid al-Aqsha, sedangkan Hadits yang dikutip tersebut 
menjelaskan ujung perjalanan RasuluLlah SAW adalah di Bayt al-Maqdis. Mengenai 
hubungan Bayt al-Maqdis dengan al-Masjid al-Aqsha, apakah keduanya identik atau 
tidak, telah dibahas dalam Seri 065 berjudul "Mi'raj dengan Angkasa Luar", 
bertanggal 24 Januari 1993.

***

Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada 
makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan 
ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud 
dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan 
qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah 
menciptakan manusia dalam keadaan: 
-- FY  AhSN  TQWYM  (S. ALTYN, 4), dibaca: fii ahsani taqwiim (s. attiin). 
artinya: 
-- sebaik-baik kejadian (95:4). 

Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada 
kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal 
di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu 
menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia 
itu diciptakan Allah dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan 
akal, akan tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan 
jatuhlah ia  ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari binatang, 
sehingga akal memerlukan tuntunan wahyu.

Maka di samping pemahaman tekstual terhadap Isra itu, dapat pula kita 
menta'wilkan konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq itu. Yakni mengandung 
pula simbol/ibarat yang sangat relevan dalam konteks konfigurasi antara wahyu, 
akal dengan naluri. Jibril pembawa wahyu, RasuluLlah disimbolkan sebagai akal 
dan buraq perlambang naluri. Dengan demikian konfigurasi Jibril, Rasulullah dan 
buraq itu dapat dita'wilkan sebagai wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan 
naluri. 

***

Bahkan lebih dari itu, Rasulullah menunggang buraq dituntun oleh Jibril 
merupakan pula isyarat dari Allah SWT bahwa itu akan diproyeksikan dalam 
kenyataan sejarah, satu setengah tahun kemudian setelah Isra, yaitu peristiwa 
hijrah: Rasulullah menunggang unta dituntun oleh Abu Bakar Ashshidiq RA. Jibril 
adalah malaikat pembawa kebenaran dan Abu Bakar memperoleh gelar Ashshidiq. 
Baik Jibril, maupun Abu Bakar mendapat predikat "benar". Predikat Asshshiddiq 
bagi Abu Bakar RA diperoleh beliau, karena sikap beliau terhadap peristiwa 
Isra-Mi'raj. Tatkala provokator Abu Jahl yang pembenci RasuluLlah SAW, 
berkampanye anti Islam, ia bercerita kepada Abu Bakar RA apa yang telah 
didengarnya tentang Isra-Mi'raj, kemudian menghasut Abu Bakar RA: "Hai Abu 
Bakar masihkah juga engkau percaya kepada Muhammad?" Maka menjawablah Abu Bakar 
RA: "Lebih dari itu saya percaya, karena Muhammad sejak sebelum menjadi Nabi 
belum pernah berbohong, lebih-lebih setelah diutus Allah". Sejak itu Abu Bakar 
mendapatkan gelar Ashshiddiq (yang membenarkan). 

Alhasil, dalam memahamkan Al Quran maupun Al Hadits (Nash) dengan mempergunakan 
akal tidaklah boleh mempertentangkan ketiga hal ini: tekstual, ta'wil dan 
isyarat. Pertama-tama secara tekstual, dan kalau mungkin barulah dita'wilkan 
secara kontekstual dan bila perlu dikaji isyarat yang terkandung dalam Nash 
tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 28 September 2003
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2003/09/594-isra-difahamkan-secara-tekstual.html


Reply via email to