Ada Parpol Yag Tidak Layak Ikut Pilkada 2005-2009 , Kalau Mengacu UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. (MOHON SEBARKAN )
Berita Suara Pembaruan 27&28 Nop 2003 memang berita lama, namun menjelang Pilkada 2005-2009 Kalau Mengacu UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, sesungguhnya ada 3 Partai yang sudah melanggar UU tersebut, bahkan kalau mau jujur sesungguhnya secara hukum Pemilu 2004 tidak sah, baik itu pemilu legislatif maupun pemilu Presiden 2004 yang baru lalu. Sebagai informasi tambahan kalau tidak salah , Tuntutan 13 Parpol pada pemerintah agar GOLKAR,PDI-P dan PPP mengembalikan aset nya pada saat ini sedang diproses secara hukum di Pengadilan Tinggi Jakarta . Persoalan hukum memang persoalan salah benar, sedangkan persoalan politik adalah persoalan menang kalah. Kalau ditinjau dari segi hukum maka persoalan kasus ini belum selesai, sedangkan kalau ditinjau dari segi politik dapat dikatakan hampir menang sebab perolehan Golkar ,PDI-P, dan PPP 51% dalam Pemilu Legislatif , sedangkan Presidennya yaitu SBY-JK menggunakan kendaraan politik Partai Demokrat yang perolehannya 7 %. Walaupun JK sekarang jadi Ketua Golkar. Kalau mengambil kasus kenaikan harga BBM misalnya , terjadi proses kesimbangan dan dinamika politik yang cukup baik dalam proses demokrasi..Namun memang harus diakui perubahan dalam artian sistim, nilai dan aktor sangat lambat Terima Kasih Eko Darminto SUARA PEMBARUAN Tanggal 27/11/03 BERITA UTAMA Eksklusif Aset Negara dan Parpol (1) Menahan Laju Parpol Besar? Oleh: Wartawan "Pembaruan" Elly Burhaini Faizal INGIN pemilu betul-betul jujur dan adil? Tidak ada kata yang lain, kecuali netralitas seluruh parpol kontestan pemilu harus dijaga. Demi pesta demokrasi, pemerintah didesak memberikan perlakuan yang sama dan adil kepada setiap kontestan. Dengan argumentasi itulah, 13 parpol berkoalisi menuntut pemerintah mengambil alih kembali aset-aset negara yang dipergunakan parpol maupun ormas pendukungnya. Sebagai penyelenggara negara, pemerintah dituntut menjaga seluruh aset negara, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, misalnya tanah, bangunan, badan usaha, kendaraan, maupun fasilitas yang lain. Aset-aset negara itu tidak boleh diberikan, dipinjamkan, atau disewakan kepada parpol maupun ormas pendukungnya. "Apabila terdapat parpol maupun ormas pendukungnya yang mempergunakan aset negara, pemerintah wajib mengambil alih kembali aset negara tersebut," ujar Rachmawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP Partai Pelopor, di Jakarta, baru-baru ini. Bersama para tokoh dari sejumlah parpol, putri Bung Karno itu menuntut pemerintah bersikap netral terhadap semua parpol. Mereka antara lain Hidayat Nur Wahid (Partai Keadilan Sejahtera), Adi Sasono (Partai Merdeka), KH Zaenuddin MZ (Partai Bintang Reformasi), Amien Rais (Partai Amanat Nasional), Alwi Shihab (Partai Kebangkitan Bangsa), Sukmawati Soekarnoputri (Partai Nasionalis Indonesia Marhaenisme), Syahrir (Partai Perhimpunan Indonesia Baru), Tafrizal Hasan Gewang (Partai Pemersatu Bangsa), dan Rahardjo Tjakraningrat (Partai Sarikat Indonesia). Sejumlah kantor Dewan Pengurus Pusat beberapa parpol, sampai sekarang ternyata masih tercatat milik negara di bawah pengelolaan Sekretariat Negara. Sebut saja kantor DPP PPP di Jalan.Diponegoro Nomor 60 Jakarta Pusat dan DPP Partai Golkar di kawasan Anggrek Nelly Murni, Slipi, Jakarta Barat. Meskipun kosong dan tidak terpakai sesudah kerusuhan 27 Juli 1996, gedung kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta, juga belum dikembalikan kepada negara. Alasannya gedung itu dalam status quo, dan masih diperlukan untuk pengusutan kasus itu lebih lanjut. Gedung yang sempat luluh lantak akibat keberingasan massa pada penyerbuan 27 Juli itu sekarang dibiarkan lengang. Sisa puing-puing bekas bentrokan berdarah yang melambungkan nama Megawati Soekarnoputri itu juga sudah dibersihkan. Aktivitas konsolidasi di tubuh PDI Perjuangan relatif tidak terganggu, setelah sebuah kantor baru yang cukup mentereng dibangun di Jalan Lenteng Agung Nomor 99, Jakarta Selatan. Gedung itu seratus persen milik sendiri. Namun, kantor yang lama tidak kunjung dikembalikan kepada negara. Di sejumlah daerah, aktivitas beberapa parpol pun masih menggunakan aset negara yang dikelola pemerintah daerah setempat. Tidak heran jika lantas muncul tuntutan terhadap pemerintah pusat, para gubernur, wali kota, dan bupati. Mereka diimbau agar segera memeriksa seluruh fasilitas dan aset negara yang dikuasai parpol di daerahnya masing-masing. Gugatan hukum sudah disiapkan apabila pemerintah tidak menggubris tuntutan tersebut. Jaminan Netralitas Apakah isu aset negara ini hanya sekadar alasan untuk mengadang laju tiga parpol tersebut pada Pemilu 2004? Bisa iya, bisa juga tidak. Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasjid berpendapat, jaminan netralitas semacam itu sangat penting. "Penguasaan aset-aset negara oleh sejumlah parpol menunjukkan perlakuan yang diskriminatif negara terhadap partai-partai," ujar Presiden Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan itu. Komentar senada dilontarkan Eros Djarot, pemimpin Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK). Menurut dia, tuntutan agar aset-aset negara yang dikuasai parpol dikembalikan merupakan hal yang wajar untuk membersihkan negara dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Praktik buruk itu harus dihapus bila masyarakat ingin menghapus budaya buruk rezim Orde Baru di bawah Soeharto. "Untuk menuntut sampai ke pengadilan PNBK siap!" kata Eros tegas. Ketua Umum Partai Islam Indonesia, tahir Azhary, juga melontarkan kritik serupa. Penguasaan aset negara oleh parpol, dia nilai bertentangan dengan apa yang diperjuangkan parpol itu sendiri. Mengacu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, setiap parpol mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Pasal 8 butir "a" menyatakan, "Parpol memperoleh perlakukan yang sama, sederajat, dan adil dari negara." Jika PPP, Partai Golkar, dan PDI Perjuangan berhak memakai aset-aset negara demi kepentingan parpolnya, maka fasilitas kantor dari negara juga berhak diterima semua parpol kontestan pemilu mendatang. Namun, menilik keterbatasan negara, lebih baik jika ketiga parpol itu mengembalikan aset-aset negara yang mereka kuasai. Bisa dibayangkan, berapa triliun harus dikeluarkan pemerintah untuk memberikan fasilitas kepada partai-partai baru, agar mendapat hak yang sama dengan PPP, PDI Perjuangan, dan Partai Golkar. Menanggapi tuntutan itu, sejumlah petinggi partai bereaksi negatif. Pemimpin tertinggi PPP, Hamzah Haz, terang-terangan tidak bersedia mengembalikan aset negara berupa tanah dan bangunan yang dijadikan kantor DPP PPP. Ia beralasan, partainya (PPP) sudah lama berkiprah memajukan negara, sehingga wajar saja memperoleh fasilitas itu. Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Partai Golkar, juga menolak. Alasannya kantor-kantor itu diperoleh resmi dari negara, sebagaimana halnya kantor-kantor partai yang lain. "Selain itu kami juga telah membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) kantor-kantor yang kami tempati selama 30 tahun. Tidak ada alasan bagi negara untuk mengambilnya," kilah Akbar beberapa waktu lalu. Dia tambahkan, jika nanti partai-partai lain menerima fasilitas kantor dari negara sebagaimana yang diperoleh Partai Golkar, maka hal itu sah-sah saja. Menurut Akbar, partai politik adalah entitas konstitusional di negara sehingga wajar memperoleh fasilitas dari negara.* Disalin dari : /www.suarapembaruan.com/last/index.htm SUARA PEMBARUAN Tanggal 28/11/2003 Berita Utama Eksklusif Aset Negara dan Parpol (2-Habis) Sanksi bagi Parpol yang Memakai Aset Negara Oleh: Wartawan "Pembaruan" Elly Burhaini Faizal MENGAPA aset negara yang dikuasai parpol perlu dipermasalahkan? Apa yang menyebabkan 13 parpol ngotot agar seluruh aset negara tidak diberikan atau dipinjamsewakan kepada parpol maupun ormas pendukungnya? Sikap 13 parpol itu konon dilandasi keprihatinan mendalam terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Partai-partai yang mempersoalkan itu ialah PAN, PKB, Partai Bintang Reformasi, Partai Islam Indonesia, Partai Merdeka, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, Partai Nasionalis Indonesia Marhaenisme, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Pelopor, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai Pemersatu Bangsa, dan Partai Sarikat Indonesia. Mengacu pada UU Parpol, seharusnya negara memperlakukan partai politik secara adil dan sederajat. Pada zaman pemerintahan Orde Baru, tiga partai yang ada, yakni Golkar, PPP, dan PDI mendapat fasilitas gedung perkantoran. Persoalan muncul ketika jumlah partai politik bertambah, namun fasilitasnya tetap. Wajar bila kemudian partai-partai lain menuntut fasilitas serupa yang didapat tiga partai itu. UU Parpol memang menyebutkan semua parpol berhak mendapatkan fasilitas negara, contohnya bangunan untuk keperluan kantor partai. Namun, hal itu jelas tidak mungkin dipenuhi sekarang, karena secara ekonomi Indonesia sedang bankrut. Itu sebabnya, 13 partai tersebut kemudian mendesak pemerintah menarik fasilitas yang telah diberikan kepada Golkar, PPP, dan PDIP. Desakan ini di satu pihak dianggap fair dalam kaitan dengan pelaksanaan Pemilu 2004. Menurut Hidayat Nur Wahid, Presiden Partai Keadilan, sangat ironis jika negara membiarkan asetnya dipakai untuk berkampanye hanya oleh sebagian kontestan pada Pemilu 2004. Jika penggunaan aset negara tetap dibiarkan begitu saja, Nur Wahid khawatir Pemilu 2004 tidak akan ada bedanya dengan Pemilu 1999. "Lebih baik parpol berkomitmen melaksanakan pemilu yang jujur dan adil. Misalnya bila dalam kampanye nanti ada parpol yang menggunakan aset negara, maka parpol tersebut harus dikenai sanksi tidak boleh mengikuti pemilu," Nur Wahid menegaskan. Meskipun desakan terus berdatangan, Golkar, PPP, dan PDIP tidak juga mau mengembalikan fasilitas yang mereka terima kepada negara. Bahkan Wapres Hamzah Haz, yang menjabat Ketua Umum PPP, terang-terangan menolak, alasannya PPP sudah lama berkiprah. Bagi parpol yang tergolong "pemain baru", argumentasi Golkar, PPP, dan PDI-P tidak beralasan. "Lho, Pak Hamzah ini apa maksudnya?" ujar Eros Djarot, Ketua Umum Partai Nasional Banteng Kemerdekaan. Ia berpendapat sudah selayaknya aset-aset negara yang dikuasai parpol itu digugat. Bukan alasan yang tepat aset-aset negara dikuasai begitu saja oleh sejumlah parpol dengan berdalih "mereka sudah berjasa". "Golkar itu berjasa apa?" kata Eros dengan nada tinggi. "Berjasa menghancurkan negeri ini? Atau PDI Perjuangan yang dianggap berjasa? Lho, mereka sudah merusak negeri kayak begini. Apa itu jasa yang diberikan? Semua orang Orde Baru itu ingin membanggakan diri dengan utang yang sekian triliun, kemudian mereka minta jasa. Apa itu yang disebut dengan jasa?" Eksploitasi Aset Menyikapi fenomena itu, pendidikan politik publik sangat diperlukan untuk menciptakan kesadaran masyarakat. Sebab, di satu sisi masyarakat dijadikan objek diluncurkannya berbagai regulasi, namun regulasi itu miskin implementasi. Bahkan aktivitas politik acap kali justru mencederai hati rakyat. Praktik politik di Indonesia sering kali tidak memperhatikan unsur keadilan. Aset negara tidak hanya dikuasai parpol, namun juga dieksploitasi habis-habisan untuk kepentingan sekelompok orang di puncak kekuasaan. Berbagai divestasi dan privatisasi BUMN yang notabene aset negara dilakukan serampangan dan tidak mengindahkan perasaan keadilan rakyat. Belum lekang dari ingatan kita berbagai kasus divestasi BUMN yang diwarnai penolakan publik, seperti ketika 51 persen saham pemerintah RI di PT Semen Gresik Tbk harus dijual kepada investor asing Cemex. Berbekal dukungan Pemda dan DPRD setempat, masyarakat Sumbar dan Sulsel menuntut dilakukannya pemisahan sebelum dilakukan hak opsi melepas kepemilikan saham pemerintah kepada Cemex Indonesia. Demikian halnya divestasi 41,94 persen saham pemerintah di PT Indosat Tbk yang diakui sebagai aset strategis. Rencana privatisasi PT Indo Farma dan PT Kimia Farma juga mendapat penolakan. Meskipun ada komitmen yang mengikat pemerintah dan investor, jatuhnya kedua BUMN itu ke tangan asing dikhawatirkan menyebabkan produksi obat generik dan obat-obatan produksi da-lam negeri lainnya akan terganggu. Di sektor perbankan, divestasi juga tak luput diterapkan. Seperti divestasi saham PT Bank Niaga Tbk, tender BCA yang dimenangkan konsorsium Farallon Indonesia (Farindo) Investment, serta divestasi PT Bank Danamon Tbk. Padahal bank-bank tersebut tergolong sehat. Penjualan aset-aset negara itu pun bukan berlangsung begitu saja, melainkan melibatkan lembaga-lembaga keuangan internasional. Ada skenario yang sengaja diciptakan. Ketergantungan ekonomi menjadi salah satu alasan. Program privatisasi BUMN di negara kita adalah rencana yang ditawarkan IMF bagi pemerintah Indonesia dengan berdalih cara strategis untuk pulih dari krisis ekonomi. Hal ini diakui Joseph E Stiglitz, peraih Nobel di bidang ekonomi tahun 2001. "Dalam menangani krisis ekonomi yang melanda suatu negara, Bank Dunia dan IMF bekerjasama melucuti aset negara debiturnya," ujar Stiglitz, 1999. Sedangkan program privatisasi ternyata bukan untuk memodernisasi BUMN yang ada, namun hanya dilandasi kebutuhan menutup defisit APBN. Penanganan aset-aset negara, yang terlanjur dipecundangi habis-habisan dari dalam dan luar negeri, menjadi persoalan serius yang harus dikritisi. Apa pun alasannya, eksploitasi aset negara oleh parpol atau dijual mentah-mentah kepada pihak asing, akan mengusik perasaan keadilan bagi masyarakat. "Gagasan keadilan sebaiknya tidak sekadar wacana, tetapi bisa betul-betul direalisasikan," ujar Moh Tahir Azhary, Ketua Umum Partai Islam Indonesia. Caranya? "Kita harus melakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi, seperti soal aset-aset negara, termasuk fasilitas aset negara yang dikuasai partai-partai tertentu." Last modified: 28/11/03 Disalin dari : http://www.suarapembaruan.com/News/2003/11/28/index.html __________________________________ Do you Yahoo!? Yahoo! Small Business - Try our new resources site! http://smallbusiness.yahoo.com/resources/ ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Has someone you know been affected by illness or disease? Network for Good is THE place to support health awareness efforts! http://us.click.yahoo.com/UwRTUD/UOnJAA/i1hLAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/