Assalamu'alaikumwarohmatullohi wabarokatuh, Bagus sekali tulisannya Akh Abdullah ini, kata-katanya melukiskan dengan tepat bagaimana "jalan hidup" yang di tempuh oleh gerombolan JIL ini. Tapi ada gak yg bisa menyampaikan tulisan ini kepada gerombolan JIL dan antek-anteknya dan Bapaknya Pluralisme itu, setidaknya mudah-mudahan bisa menyadarkan sebagian mereka?
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh. Leonis trúlÿsøúl <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Oleh: M. Abdullah ([EMAIL PROTECTED]) Rasanya tidaklah pantas saya membicarakan manusia sekaliber Cak Nur. Pengetahuan saya ibarat bumi dan langit jaraknya, bila dibandingkan dengan ilmu dan pengalaman beliau. Dan sebagai manusia Indonesia yang masih banyak menganut ceremonial primordial, ada rasa takut "kualat" kalau berani-berani menyinggung singgasana keintelekan beliau, karena beliau sangat jauh lebih sepuh dari saya. Tapi ada yang menggelitik tak terbendung dalam hati dan kepala saya untuk memuntahkan uneg-uneg saya tentang Cak Nur. Entah kebetulan atau tidak kebetulan, ketika beberapa saat saya selesai menuliskan judul di atas, saya dapat email dari seseorang bahwa, beliau meninggal dunia, tentu saja karena sakitnya, bukan karena "takut" membaca tulisan saya. (Dalam situasi seperti ini, saya yakin Cak Nur akan berkata "Saya turut berduka", bukanya "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un". Tapi berhubung saya masih percaya pada atribut Islam, saya ucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Sebab meninggalnya beliau, adalah suatu musibah dan kehilangan). Semoga saja beliau tidak marah (dan bangkit dari kubur) membaca tulisan saya ini, sebab alasan saya menulis tidak bertentangan dengan konsep, yang menurut beliau adalah "pluralisme". Jadi pasti Nurcholis Majid dkk tidak marah kalau saya "menggossipkan" beliau. Tulisan ini pun sebetulnya sangat-sangat indisen (kurang sempurna) kalau hanya sebatas tulisan secara sepihak, alias monolog. Sebetulnya akan sangat lebih tepat kalau saya menyampaikan langsung aspirasi saya kepada beliau, sehingga kita bisa beradu kepala (baca: debat). Untung adu kepala tidak terjadi, karena bila terjadi, debat tsb akan sangat tidak berimbang, mengingat kesehatan beliau yang sedang menurun. Baiklah, saya akan sampaikan beberapa poin, yang saya rasa sangat-sangat perlu untuk diketahui, baik oleh kalangan akademisi maupun yang bukan akademisi, mengenai pemikiran-pemikiran Nurcholis Madjid, yang saya kira pantas untuk dikritisi. 1. Penderita Islamo Phobia Yang pertama, menurut saya beliau adalah seorang yang menderita gejala: Islamo Phobia. Kenapa bisa begitu? Ya, sekalipun beliau adalah tokoh yang sering melantunkan islam, ajakan-ajakannya terkesan munafik dan pengecut (Jangan marah dulu, ingat PLURALISME). Munafik dalam arti majazy, yaitu sifat munafiknya kaum munafikin pada waktu zaman Nabi Muhammad di Madinah. Beliau sangat-sangat antipati untuk mengucapkan bahwa suatu ajaran tsb adalah untuk mengagungkan Islam. Jadi pemikiran-pemikiranya dapat disimpulkan seperti Abdullah bin Ubay yang pura-pura masuk Islam, supaya hidupnya selamat. Islamo phobia inilah yang kemudian memunculkan ide Islam Yes, partai Islam No. Alasannya menggunakan slogan itu untuk kemajuan umat islam juga kurang dapat diterima. Takut yang berlebihan (phobia) kalau-kalau mengamalkan dan menggunakan hukum-hukum Islam secara kaffah (menyeluruh), baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sosial kelak akan membuat ummat Islam mundur. Politik semacam ini, menurut saya adalah politiknya kaum oportunis, yang melakukan aksi ambil untung untuk sesaat. Mereka takut ambil resiko untuk jangka panjang. Virus islamo phobia ini muncul, salah satunya karena dalam alam fikiran Cak Nur, seluruh ajaran agama di dunia ini intinya sama, tidak ada klasifikasi-klasifikasi atau sekat-sekat pemisah. Ajaran-ajaran moral hidup bersosial secara damai dengan pemeluk lain, akhlak yang mulia, budi pekerti yang luhur bisa muncul dari mana saja, bukan nota bene dari Islam. Aqidah ajaran Islam, rukun Islam dan Iman, tidak harus jadi sandaran dalam beragama. Nabi pernah bersabda, "Innama bu'itstu li utammima makaarimal akhlaq". Yang arti luasya kurang lebih, "Aku diutus HANYALAH untuk menyempurnakan akhlak". Ditinjau dari ilmu Balaghah (ilmu penyampaian bahasa-bahasa), hadits tersebut bisa berarti, "Kalau tujuannya bukan untuk menyempurnakan akhlak, Nabi Muhammad TIDAK akan diutus". Jadi, di hadits ini, tujuan utamanya adalah menyempurnakan akhlak. Tapi toh Tuhan tidak langsung dan right-away begitu saja menyuruh Nabi untuk mengajarkan akhlak. Beliau tetap harus menyiarkan dulu tauhid yang kokoh. Kenapa? Karena akhlak yang mulia akan muncul bila dilandasi tauhid yang benar dan jika rukun Islam dan Iman terpenuhi secara optimal. Dalam mereformasi akhlak ini Nabi tidak berimprovisasi begitu saja mengajarkan cara makan yang benar, minum yang sopan dan bertutur kata yang baik. Dan beliau tidak pernah malu untuk mengatakan sesuatu itu islamic atau non-islamic, islamiy atau ghoiru islamiy. Dan banyak dalam hadits-haditsnya menyebut "Ciri-ciri orang beriman adalah .", "ciri-ciri orang Islam adalah ". Dari segi kultur agama-agama, ide "Islam Yes, Partai Islam No" ini, boleh saja diacungi jempol. Sebab belum ada pentolan agama lain yang punya ide sama, tarohlah, mengatakan, "Kristen Yes, Partai Kristen No", "Budha Yes, Partai Budha No". Islamo phobia ini sangat-sangat tidak sehat bagi para generasi muda Islam. Sebab doktrinasi Islam bisa tumpul gara-gara ide-idenya itu. Hal itu telah terbukti dengan munculnya jaringan islib, yang lebih berani bereksperimen dengan ide-ide gila. Bukan hanya medan furuiyah fiqhiyah yang disikat, tapi aqidah juga ikut dibabat. 2. Tak Ada Sense of Islam Akibat selanjutnya adalah, memunculkan gejala dan ciri kedua: Tak Ada Sense of Islam. Kata "sense" di sini bisa berarti "rasa". Tapi bukan rasa di lidah. Rasa di sini lebih kepada rasa hati, selera hati. Boleh juga dibilang rasa memiliki. Sense of woman berarti "ada rasa memiliki wanita", "cenderung senang pada wanita", "selera pada wanita". Bukan "rasa si wanita", "feel of woman" atau "taste of woman". Dalam stadium yang lebih parah, tak adanya sense of Islam ini bisa berakibat pada ikonoklasme (penghancuran) simbol-simbol islam. Ikonoklasme bukan saja dalam arti harfiah, menghancurkan kaligrafi "Allah" atau "Muhammad" dalam huruf Arab. Penghancuran di sini bisa secara harfiah, benar-benar menghancurkan, memusnahkan secara fisik, bisa juga secara simbolis / maknawi, yaitu berupa penghinaan dan pelecehan simbol-simbol itu. Menghancurkan secara haqiqi simbol-simbol Islam, secara tidak sengaja, seperti kasus yang menimpa group musiknya Dewa, yang dengan bangga menggunakan lafaz Allah sebagai logo pada lantai panggung dan stiker-stikernya. Atau seorang muslim yang secara sengaja menurunkan tulisan kaligrafi Alqur'an dari dinding, dengan alasan "Islam bukan hanya terletak pada kaligrafi". Dan bisa saja, karena tak adanya sense of Islam, seorang gadis muslimah berpakaian seksi, mengenakan kalung berlafalkan kaligrafi "Allah". Atau ilustrasi lebih ekstrim lagi, seorang gadis yang "terpaksa" berprofesi menjadi pelacur dengan bangga memakai kalung bertuliskan huruf Arab "Bismillahirrahmanirrahim" sambil melakukan ritual suami istri dengan cutomernya. Na'udzu billah. Barangkali para pengikut liberalisme akan membela tindakan sang gadis di atas dengan mengatakan, "Kita harus bersyukur, karena gadis itu masih mau mengingat Allah, daripada memakai jilbab, tapi sifatnya tidak islami." Jawaban seperti itu adalah sebuah set-back, kemunduran, sekaligus juga upaya mendangkalkan nilai-nilai Islam. Ajaran Islam mustinya dijalankan secara maju, progresif, bukan mundur. Jadi jangan heran juga kalau pada pemakaman Cak Nur, istri dan anak beliau lebih suka mengenakan "seragam" warna hitam, sebagai tanda berkabung. Sebagaimana kita tahu, mengenakan pakaian warna hitam adalah tradisi orang barat, yang notabene mayoritas beragama Kristen. Dan dalam kesehariannya, sebagai anak dan istri seorang begawan "muslim", merasa terbebas untuk tidak mengenakan jilbab. Jadi jangan heran juga kalau Nurcholis Majid dan kasus pernikahan purtriya dengan seorang pemuda Yahudi, sampai sekarang masih kontroversial. Karena semuanya tidak ada keterusterangan, keberanian, untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi. Tak ada keberanian untuk mengatakan "simbol-simbol" yang mereka miliki. Jadi bukanlah suatu kesilapan kalau ada yang menjuluki pernikahan itu adalah pernikahan "universal". lmunya yang segudang tentang Islam merasa tak perlu dipraktekkan dalam rangka menjalankan keyakinannya. Ngomong-ngomong mengenai pernikahan, agaknya itu adalah hak privilage para pendekar bangsa ini, para penganut prularis tidak perlu risau, karena itu memang "keistimewaan" yang umum dimiliki para pemikir dan "ningrat" bangsa ini. Sebagai contoh, Emha Ainun Najib yang terkesan sangat-sangat humanis dalam karya-karyanya dan selalu memposisikan dirinya sebagai manusia pinggiran dan tersisihkan, toh tetap merasa harus, menikahi wanita cantik berstatus artis, bukannya menikah dengan wanita berstatus janda tua atau simbok-simbok miskin beranak lima. Tapi bagi penentang liberalis, itu adalah suatu sikap "korupsi intelektual", yaitu hak privilage intelektual untuk melanggar wilayah jusrisdiksi dan ide-ide mereka sendiri. Gus Dur yang kesohor sebagai kiai pun pernah korupsi (korupsi intelektual) dengan membela goyangannya Inul. Kembali ke Cak Nur. Munculnya rasa antipati terhadap sense of islam bisa terjadi karena beberapa teori probabilitas. Bisa jadi karena Cak Nur punya west-minded yang kelewat tinggi, sehingga merasa minder kalau mengakui keunggulan ajaran Islam atas ajaran yang lain. Di sinilah letak kekonyolan gelar kehormatan yang diberikan kepada beliau, sebagai "Cendekiawan - Muslim". Mustinya embel-embel "muslim" tidak dipakai untuk gelar cendekiawan itu. Karena secara praktek beliau tidak menerapkan syariat islam. Contohnya tentang pernikahan di atas, anaknya muslimah, sedang suaminya masih diragukan keyahudiannya. Inilah lintas agama. Inilah pluralitas. Opone sing islam, Cak? 3. Tidak Merakyat. West-minded yang kelewat batas inilah, salah satunya, yang membuat pemikiran-pemikiran Nurcholis tidak merakyat. Inilah ciri ketiga. Jujur saja, kemasyhuran pemikiran cak Nur di kalangan masyarkat bawah sangat-sangat tidak terpakai. Sinyal-sinyal pemikirannya hanya bisa ditangkap di kalangan exlusif akademis dan kampus-kampus. Para pedagang di pasar, kuli bangunan, tukang ojek dan mereka-mereka yang berpendidikan minim tak mengenal pemikiran-pemikiran Cak Nur. Mereka hanya tahu nama saja. Pamornya di kalangan rakyat jelata kalah oleh Megawati yang hanya lulusan SMA. Oleh karena itu kalau beliau masuk ke dunia politik, hanya akan jadi bahan olok-olokan para rivalnya. Para rekan politiknya mungkin hanya akan memakai beliau sebagai vote-gathering warga NU. Setelah itu beliau akan ditendang. Karena rakyat sama sekali tak mengerti pola pikirnya yang "berjalan di atas awan" itu. Waktu beliau dimakamkan, memang ribuan pelayat dari berbagai kalangan datang. Tapi biasanya mereka cuma ikut-ikutan. Ide-ide pluralitasnya pun tidak pernah terpakai oleh mereka yang sedang berkonflik ria di Ambon dan kepulauan Maluku dan Poso. Tidak ada langkah kongkrit menghadapi konflik multi dimensi yang terjadi di negri ini. Karena doktrin-doktrin Cak Nur hanya laku dikonsumsi kalangan akademisi dan elit tertentu. Bagi yang sedang berkonflik ria tak punya akses untuk menikmatinya. Mereka yang sedang berperang pun tak mengerti apa itu pluralitas,dan terus berperang. Bahkan di Maluku, kedamaian kembali hadir bukan karena konsep canggih yang diramu Cak Nur, tapi lebih karena faktor bosan; Mereka bosan saling bunuh dan akhirnya damai dengan sendirinya. Bicara tentang ekonomi untuk mengentaskan rupiah dari keterpurukan juga sangat minim dipikirkan oleh beliau. Ini saya maklumi, karena beliau memang bukan seorang praktisi ekonomi, walaupun bisa menyekolahkan dua anaknya ke amerika. Ketika bangsa ini ribut-ribut masalah TKI/TKW yang terusir dari negri jiran, Malaysia, pemikirannya tentang kebangsaan tidak muncul. Ketika ada TKW yang dilecehkan dan diperkosa di tanah Arab, beliau tidak tampil sebagai pahlawan pembela kebenaran. Belum pernah kedengaran suaranya membela para TKI / TKW yang bermasalah. Jadi di sini julukan beliau sebagai cendekiawan bangsa juga terbantahkan. Kecendekiawanannya hanya terbatas pada "kasta-kasta" tertentu saja, bukan secara menyeluruh. Terlalu berlebihan kalau mengatakan beliau sebagai cendekiawan bangsa. Jadi gelarnya sebagai pahlawan nasional karena pernah mendapatkan bintang Mahaputra tahun 1999 patut dicabut. Gali lobang kuburnya dan pindahkan ke pemakaman biasa. Dalam menata moralitas bangsa beliau juga tak pernah kelihatan. Pemikirannya hanya seputar bagaimana mengobok-obok kehidupan sosial Islam agar sinkron dengan kehidupan sosial agama lain (padahal dalam menata kehidupan sosial, hukum Fiqh Islam kurang apa lagi?). Mengenai moralitas bangsa dan generasi muda, beliau sama sekali tak kelihatan suaranya. Belum pernah beliau mengkritisi budaya bangsa yang luntur diterpa gelombang globalisasi dan westernisasi. Belum pernah beliau "ngerumpiin" cewek Indonesia yang kini bermental exibitionis, suka memamerkan organ-organ tersembunyi mereka dengan pakaian-pakaian super minimalis atau ketat. Berpakain tapi sebenarnya telanjang. Padahal masalah moral ini sangat-sangat fundamental. Banyak benih-benih generasi muda Islam yang gugur sebelum berkembang gara-gara tersandung aurat wanita, dan sang wanitanya harus berurusan dengan kehamilan di luar nikah. Atau barangkali Cak Nur tidak ambil pusing masalah itu, karena itu baginya terlalu sepele untuk dipikirkan (Asal jangan dinikmati saja, Cak!). 4. Tidak adanya Konklusi Yang Komprehensif Ciri yang keempat, pemikiran dan gagasan beliau tidak memunculkan konklusi yang komprehensif. Ide-idenya yang dianggap brilian itu tidak "Qolla wa dalla". Selalu saja memunculkan kontroversi, baik terbuka maupun tertutup. Orang dipaksa untuk bingung dalam mengambil suatu kesimpulan, sebenarnya Cak Nur ini ngomong apa? Ada yang bilang beliau ini adalah tokoh modernis, ada yang bilang tokoh nasionalis, ada yang bilang lagi sebenarnya beliau ini sudah keluar dari rel Islam, oh tidak, beliau ini sebenarnya islam banget, ada yang bilang lagi beliau ini menjiplak penganut Kristen Anonim, dll, dll. Kenapa timbul begitu banyak penafsiran tentang beliau? Karena beliau tidak pernah tegas bilang "A" itu "A". tapi dalam mengotopsi suatu benda, pembicaraanya selalu ngalor-ngdidul, ngetan-ngulon tidak karuan. Memang pengetahuannya sangat luar biasa tentang sejarah bangsa-bangsa dan bahasa dunia. Dan kita pun jadi terpana kalau membaca tulisan-tulisannya dan mendengar ceramah-ceramahnya. Tapi semua itu bukan dijadikan bekal untuk "meyakinkan" audience tentang kesimpulan pemikirannya. Pepatah lama Arab mengatakan bahwa pembicaraan yang baik adalah pembicaraan yang "qolla wa dalla", yang ringkas tapi berisi, ringkas tapi dimengerti. Boleh panjang lebar tapi menuju pada suatu konklusi yang tepat dan tidak terpecah-pecah. Panjang lebar tapi menuju pada pencerahan, bukan perpecahan. Agaknya Cak Nur musti belajar dari Aa Gym , bagaimana menyampaikan pembicaraan yang tepat. Seringkali pemikiran Cak Nur tidak tertuju pada istimbath yang tepat terhadap pola pikirnya sendiri. Barangkali inilah "kebocoran" para penganut faham liberal, seperti JIL. Contoh konkritnya adalah tidak adanya pembelaan terhadap suatu kasus yang sebetulnya harus harus dibela, seperti kasus Abu Bakar Ba'asyir. Walaupun secara juridis Abu Bakar tidak ada bukti-bukti yang memenuhi unsur terorisme yang dituduhkan, toh tidak ada dari tokoh-tokoh liberalis, pluralis, dan inklusif itu yang membela beliau. Ingat, Jil selama ini berkoar-koar membela suatu aliran minoritas yang dianggap "berpikiran lain". Tapi anehnya sikap resistansi jil hanya berlaku pada minoritas yang notabene mengganggu kelestarian ajaran islam. Pada kasus minoritas yang ingin melegalkan dan menegakkan ajaran Islam, resistansi jil sama sekali tak terlihat, seperti kasus Abu Bakar Ba'asyir di atas. Padahal, sekali lagi, secara yuridis, Abu Bakar sama sekali tidak terbukti memenuhi unsur-unsur delik yang mengarah pada terorisme. Pada skala internasional juga kiprah mereka membela "minoritas" juga sangat-sangat nisbi, kalau tidak bisa dikatakan nihil. Contohnya, kasus orang-orang Irak yang ditawan tentara Amerika. Ketika para tawanan itu diperlakukan secara tidak manusiawi dan mendapatkan pelecehan seksual, "organisai-organisasi" para pemikir itu tidak satu pun tokohnya yang getol mengkritisi kebijakan amerika, baik di Irak sendiri atau di Guantanamo. Padahal organisasi kemanusiaan, seperti amnesti international, yang berasal di barat sana getol memprotes kekejian serdadu Bush itu. Seolah-olah para liberalis itu berkata, "Salah sendiri kalian tidak nurut pada Amerika!" Jadi menurut mereka, para liberal itu, ajaran liberalis, pluralis, inklusif, itu hanya cocok untuk ditujukan pada umat islam sendiri. Sedang mereka yang di luar islam harus dilindungi dan diselamatkan dari "kebuasan" umat islam. Padahal, dalam skala internasional, fakta sejarah, umat Islam lah yang selalu jadi korban terbanyak, dari kebiadaban para penjahat perang, termasuk amerika. Kini sebuah negara Islam, yaitu Iran, tengah dikepung negara-negara barat agar tidak memproduksi uranium, walaupun jelas-jelas uranium itu digunakan untuk pembangkit listrik. Kita lihat, kita tunggu, apakah para pendekar liberal itu mau mengobok-obok medan "perang", yang sebetulnya, berada dalam wilayah pemikiran mereka sendiri. Jawabannya, tunggu saja sampai ada onta yang masuk ke liang semut, alias tidak akan mungkin. Tapi coba lihat argumen-argumen mereka yang tajam tentang negara Islam lain, Sudan. Kritikan-kritikan mereka yang tajam dan terkesan ambivalen dalam kasus yang sama. Dalam kasus Sudan, seolah mereka berkata, "Salah sendiri kalian menerapkan syari'at Islam!". Sikap dan sifat seperti di atas, yang jamak dimiliki para pemikir liberal, terjadi karena mereka cenderung memutar balik pengertian yang mereka fahami dari sebuah ayat atau hadits, atau ijtihad atau kiyas, alias terhipnotis terbalik. Itulah gejala yang juga dimiliki Cak Nur, yaitu: 5. Terhipnotis Terbalik Poin kelima yang perlu digarisbawahi adalah, pemikiran Cak Nur sering mengarah pada Hipotesa Terbalik, terhipnotis terbalik oleh kata-katanya sendiri maupun dalam rangka pengambilan hujjah-hujjah dari Alqur'an dan Hadits, Ijtihad dan Qiyas. Contoh hipotesa terbalik, misalnya begini, guru anda mengatakan agar jangan mendekati harimau berwarna hijau. Nah yang menempel di benak anda justru harimau berwarna hijau. Harimau warna kuning, merah, hitam, dll tidak ada yang menempel di benak anda. Anda tidak menelaah baik-baik kata sang guru kalimat "Jangan dekati"nya. Akibatnya yang anda cari justru harimau berwarna hijau tersebut. Setengah mati anda mencari sampai ketemu. Sangat beruntung kalau anda menemukan harimau itu. Tapi kalau tidak ketemu, itu sudah pasti. Sebab harimau berwarna hijau tidak pernah ada. Kalaupun ketemu, anda juga bukan termasuk golongan murid yang taat pada guru, sebab konotasi larangannya anda langgar. Sebab kalau anda menemukan harimau berwarna hijau, berarti anda berusaha secara langsung atau tidak untuk mendekati harimu tsb. Dus, anda melanggar larangan guru. Begitulah yang terjadi pada pemikir brilian kita, Nurcholis Majid. Dan ini pula yang terjadi pada Nabi Adam. Kata "Jangan dekati" pohon larangan, malah "menghipnotisnya" untuk mendekati pohon itu. Seribu satu macam kenikmatan sorga yang bisa dinikmati, lenyap dari benak Nabi Adam, hanya gara-gara satu pohon larangan. Malah lebih parah lagi, dalam analogi di atas, dalam menafsirkan kata "Jangan dekati" itu, seandainya orang-orang liberalis yang menjadi Nabi Adam, atau Nabi Adam beraliran liberal, maka bukan Iblis yang menggoda Nabi Adam untuk mendekati pohon larangan, tapi malah Nabi Adamlah yang mengajak Iblis untuk sama-sama mendekati pohon larangan dan memakan buahnya. Begitulah "ciri khas" liberalis, selalu mencari celah-celah untuk melarikan diri atas sebuah perintah atau larangan, agar terbebas dari taklif (beban). Kasus yang mirip seperti itu telah terjadi, ketika Allah memerintahkan kaum Yahudi, lewat Nabi Musa, untuk menyembelih seekor sapi (Al Baqarah 67 - 71), kaum Yahudi bukannya "sami'na wa atho'na", tapi malah menolak perintah itu dengan mempertanyakan, "Apakah kamu hendak menjadikan kami bahan ejekan?" Kemudian Nabi Musa menerangkan lebih jelas lagi bahwa itu adalah perintah dari Tuhan, dan akibat buruk kalau tidak melaksanakannya. kemudian dijawab lagi oleh orang-orang Yahudi, "Apa sih sapi yang dimaksud itu? Umurnya berapa? " dijawab lagi oleh Musa, "Sapi itu tidak tua dan tidak muda, pertengahan keduanya". Jawaban Nabi Musa masih saja dirasa kurang oleh mereka, maka mereka bertanya lagi, "Warnanya apa? Bagaimana hakekatnya sapi itu? Kami bingung mendifinisikan sapi itu". Begitulah Yahudi. Pertanyaan-pertanyaa itu hanyalah mengada-ada, supaya Nabi Musa jengkel. Sebab secara logika orang waras, bila diperintah untuk menyembelih seekor sapi, maka yang tersbersit di benak adalah seekor sapi yang sehat, tidak penyakitan, dan secara umum dijumpai. Tidak heran kalau orang Yahudi ini dalam khazanah sejarah Nabi-nabi selalu menjadi kaum yang paling getol menentang perintah Tuhan. Ketika mereka dipimpin Nabi Musa, tak terhitung tuntutan mereka yang terkesan rewel, mengada-ada, tidak sabaran dan bersifat khianat dan kufur. Pada zaman Nabi Isa, Yahudilah yang meminta supaya Nabi Isa (Yesus) dibunuh. Bahkan pada zaman Nabi Muhammad, sifat khianat bangsa Yahudi sangat jelas tergores dalam sejarah. Walaupun orang-orang yahudi itu diberi tempat di Madinah oleh Nabi, boleh melakukan aktivitas sebagaimana kaum muslimin, ketika terjadi perang Ahzab, mereka berkhianat, bergabung dengan musuh dan balik memerangi Nabi. Akibatnya kaum Yahudi Madinah ada yang diusir dan sebagian dijatuhi hukuman mati. Uniknya hukuman mati itu pun bukan langsung dari Nabi, tapi dari seorang mantan Yahudi juga. Sifat khianat Yahudi itu, jauh berbeda dengan ketaatan Nabi Ibrahim yang ketika disuruh menyembelih anaknya tidak mempersoalkan perintah itu. Malah tak ada jeda yang panjang, antara perintah dan waktu eksekusi. Tak ada pertanyaan, seperti, "Dipotongnya kapan? di mana? Pas dipotong harus pakai baju apa tidak", atau pertanyaan yang sangat mendasar sekali, seperti, "Kenapa anak saya musti dipotong?". Entah apa jadinya, jika perintah menyembelih anak itu ditujukan pada Yahudi. Demikian sedikit gambaran, antara liberalisme, yang merupakan ciri khas kaum Yahudi, dan ketaatan Nabi Ibrahim dan anak cucunya. Dan dari pelajaran sejarah pula kita bisa menganalisa sejauh mana jalan pikiran Nurcholis Madjid dan kaum liberalis lainnya bisa kita terima atau tidak. 6. Tidak punya selera humor Ciri yang keenam, yang tidak dimiliki Nurcholis Madjid dalam menyampaikan pemikirannya, tidak pernah diselingi kata-kata yang bisa melonggarkan urat syaraf. Pemikiran-pemikirannya terlalu "serius tapi serius". Bukan "serius tapi santai" atau "santai tapi serius". Padahal sebagai cendekiawan yang pernah menimba ilmu dari Chicago Bull, mustinya beliau sedikit banyak tahu pentingnya ilmu humor. Terlalu serius dalam menyampaikan suatu pandangan, kurang bisa menempel pada benak audience, kalau disampaikan secara monoton, tidak ada hentakan yang menggugah kelenjar andrenalin. Memang sepintas beliau suka menyelipkan guyonan dalam ceramah-ceramahnya, tapi bukan murni kreasi beliau sendiri, tapi hasil plagiat dari cerita-cerita lama. Dan humor yang disampaikan juga mustinya tidak melebihi porsi, seperti Gus Dur. Lama-lama bisa jadi komedian, pemikirannya bisa-bisa tumpul dan dianggap banyolan. (Bersambung) Emabdulah Berani mengkritik Dan tidak takut dikiritik Walau nyawa taruhannya (Berhubung judi sudah dilarang, maka taruhan dibatalkan. Weee) --------------------------------- Click here to donate to the Hurricane Katrina relief effort. [Non-text portions of this message have been removed] Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] SPONSORED LINKS Islam and the west Islam koran Different religions beliefs Islam --------------------------------- YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "media-dakwah" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. --------------------------------- __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/