Assalamu'alaikumwarohmatullohi wabarokatuh,
 
Bagus sekali tulisannya Akh Abdullah ini, kata-katanya melukiskan dengan tepat 
bagaimana "jalan hidup" yang di tempuh oleh gerombolan JIL ini. Tapi ada gak yg 
bisa menyampaikan tulisan ini kepada gerombolan JIL dan antek-anteknya dan 
Bapaknya Pluralisme itu, setidaknya mudah-mudahan bisa menyadarkan sebagian 
mereka?

 
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Leonis

trúlÿsøúl <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Oleh: M. Abdullah ([EMAIL PROTECTED])

Rasanya tidaklah pantas saya membicarakan manusia
sekaliber Cak Nur. Pengetahuan saya ibarat bumi dan
langit jaraknya, bila dibandingkan dengan ilmu dan
pengalaman beliau. Dan sebagai manusia Indonesia yang
masih banyak menganut ceremonial primordial, ada rasa
takut "kualat" kalau berani-berani menyinggung
singgasana keintelekan beliau, karena beliau sangat
jauh lebih sepuh dari saya. 

Tapi ada yang menggelitik tak terbendung dalam hati
dan kepala saya untuk memuntahkan uneg-uneg saya
tentang Cak Nur. Entah kebetulan atau tidak kebetulan,
ketika beberapa saat saya selesai menuliskan judul di
atas, saya dapat email dari seseorang bahwa, beliau
meninggal dunia, tentu saja karena sakitnya, bukan
karena "takut" membaca tulisan saya. (Dalam situasi
seperti ini, saya yakin Cak Nur akan berkata "Saya
turut berduka", bukanya "Innalillahi wa inna ilaihi
roji'un". Tapi berhubung saya masih percaya pada
atribut Islam, saya ucapkan Innalillahi wa inna ilaihi
rojiun. Sebab meninggalnya beliau, adalah suatu
musibah dan kehilangan).

Semoga saja beliau tidak marah (dan bangkit dari
kubur) membaca tulisan saya ini, sebab alasan saya
menulis tidak bertentangan dengan konsep, yang menurut
beliau adalah "pluralisme". Jadi pasti Nurcholis Majid
dkk tidak marah kalau saya "menggossipkan" beliau.

Tulisan ini pun sebetulnya sangat-sangat indisen
(kurang sempurna) kalau hanya sebatas tulisan secara
sepihak, alias monolog. Sebetulnya akan sangat lebih
tepat kalau saya menyampaikan langsung aspirasi saya
kepada beliau, sehingga kita bisa beradu kepala (baca:
debat). Untung adu kepala tidak terjadi, karena bila
terjadi, debat tsb akan sangat tidak berimbang,
mengingat kesehatan beliau yang sedang menurun.

Baiklah, saya akan sampaikan beberapa poin, yang saya
rasa sangat-sangat perlu untuk diketahui, baik oleh
kalangan akademisi maupun yang bukan akademisi,
mengenai pemikiran-pemikiran Nurcholis Madjid,  yang
saya kira pantas untuk dikritisi.

1. Penderita Islamo Phobia
Yang pertama, menurut saya beliau adalah seorang yang
menderita gejala: Islamo Phobia. Kenapa bisa begitu?
Ya, sekalipun beliau adalah tokoh yang sering
melantunkan islam, ajakan-ajakannya terkesan munafik
dan pengecut (Jangan marah dulu,  ingat PLURALISME).
Munafik dalam arti majazy, yaitu sifat munafiknya kaum
munafikin pada waktu zaman Nabi Muhammad di Madinah.
Beliau sangat-sangat antipati untuk mengucapkan bahwa
suatu ajaran tsb adalah untuk mengagungkan Islam.

Jadi pemikiran-pemikiranya dapat disimpulkan seperti
Abdullah bin Ubay yang pura-pura masuk Islam, supaya
hidupnya selamat. Islamo phobia inilah yang kemudian
memunculkan ide Islam Yes, partai Islam No. 
Alasannya menggunakan slogan itu untuk kemajuan umat
islam juga kurang dapat diterima. Takut yang
berlebihan (phobia) kalau-kalau mengamalkan dan
menggunakan hukum-hukum Islam secara kaffah
(menyeluruh), baik dalam bidang politik, ekonomi,
budaya dan sosial kelak akan membuat ummat Islam
mundur. Politik semacam ini, menurut saya adalah
politiknya kaum oportunis, yang melakukan aksi ambil
untung untuk sesaat. Mereka takut ambil resiko untuk
jangka panjang.

Virus islamo phobia ini muncul, salah satunya karena
dalam alam fikiran Cak Nur, seluruh ajaran agama di
dunia ini intinya sama, tidak ada
klasifikasi-klasifikasi atau sekat-sekat pemisah.
Ajaran-ajaran moral hidup bersosial secara damai
dengan pemeluk lain, akhlak yang mulia, budi pekerti
yang luhur bisa muncul dari mana saja, bukan nota bene
dari Islam. Aqidah ajaran Islam, rukun Islam dan Iman,
tidak harus jadi sandaran dalam beragama.

Nabi pernah bersabda, "Innama bu'itstu li utammima
makaarimal akhlaq". Yang arti luasya kurang lebih,
"Aku diutus HANYALAH untuk menyempurnakan akhlak".
Ditinjau dari ilmu Balaghah (ilmu penyampaian
bahasa-bahasa), hadits tersebut bisa berarti, "Kalau
tujuannya bukan untuk menyempurnakan akhlak, Nabi
Muhammad TIDAK akan diutus". Jadi, di hadits ini,
tujuan utamanya adalah menyempurnakan akhlak. Tapi toh
Tuhan tidak langsung dan right-away begitu saja
menyuruh Nabi untuk mengajarkan akhlak. Beliau tetap
harus menyiarkan dulu tauhid yang kokoh. Kenapa?
Karena akhlak yang mulia akan muncul bila dilandasi
tauhid yang benar dan jika rukun Islam dan Iman
terpenuhi secara optimal.

Dalam mereformasi akhlak ini Nabi tidak berimprovisasi
begitu saja mengajarkan cara makan yang benar, minum
yang sopan dan bertutur kata yang baik. Dan beliau
tidak pernah malu untuk mengatakan sesuatu itu islamic
atau non-islamic, islamiy atau ghoiru islamiy. Dan
banyak dalam hadits-haditsnya menyebut "Ciri-ciri
orang beriman adalah….", "ciri-ciri orang Islam
adalah…".  

Dari segi kultur agama-agama, ide "Islam Yes, Partai
Islam No" ini, boleh saja diacungi jempol. Sebab belum
ada pentolan agama lain yang punya ide sama, tarohlah,
mengatakan, "Kristen Yes, Partai Kristen No", "Budha
Yes, Partai Budha No". 

Islamo phobia ini sangat-sangat tidak sehat bagi para
generasi muda Islam. Sebab doktrinasi Islam bisa
tumpul gara-gara ide-idenya itu. Hal itu telah
terbukti dengan munculnya jaringan islib, yang lebih
berani bereksperimen dengan ide-ide gila. Bukan hanya
medan furuiyah fiqhiyah yang disikat, tapi aqidah juga
ikut dibabat.

2. Tak Ada Sense of Islam
Akibat selanjutnya adalah, memunculkan gejala dan ciri
kedua: Tak Ada Sense of Islam. Kata "sense" di sini
bisa berarti "rasa". Tapi bukan rasa di lidah. Rasa di
sini lebih kepada rasa hati, selera hati. Boleh juga
dibilang rasa memiliki. Sense of woman berarti "ada
rasa memiliki wanita", "cenderung senang pada wanita",
"selera pada wanita". Bukan "rasa si wanita", "feel of
woman" atau "taste of woman".

Dalam stadium yang lebih parah, tak adanya sense of
Islam ini bisa berakibat pada ikonoklasme
(penghancuran) simbol-simbol islam. Ikonoklasme bukan
saja dalam arti harfiah, menghancurkan kaligrafi
"Allah" atau "Muhammad" dalam huruf Arab. Penghancuran
di sini bisa secara harfiah, benar-benar
menghancurkan, memusnahkan secara fisik, bisa juga
secara simbolis / maknawi, yaitu berupa penghinaan dan
pelecehan simbol-simbol itu.

Menghancurkan secara haqiqi simbol-simbol Islam,
secara tidak sengaja, seperti kasus yang menimpa group
musiknya Dewa, yang dengan bangga menggunakan lafaz
Allah sebagai logo pada lantai panggung dan
stiker-stikernya. Atau seorang muslim yang secara
sengaja menurunkan tulisan kaligrafi Alqur'an dari
dinding, dengan alasan "Islam bukan hanya terletak
pada kaligrafi". Dan bisa saja, karena tak adanya
sense of Islam, seorang gadis muslimah berpakaian
seksi, mengenakan kalung berlafalkan kaligrafi
"Allah".

Atau ilustrasi lebih ekstrim lagi, seorang gadis yang 
"terpaksa" berprofesi menjadi pelacur dengan bangga
memakai kalung bertuliskan huruf Arab
"Bismillahirrahmanirrahim" sambil melakukan ritual
suami istri dengan cutomernya. Na'udzu billah.

Barangkali para pengikut liberalisme akan membela
tindakan sang gadis di atas dengan mengatakan, "Kita
harus bersyukur, karena gadis itu masih mau mengingat
Allah, daripada memakai jilbab, tapi sifatnya tidak
islami." 
Jawaban seperti itu adalah sebuah set-back,
kemunduran, sekaligus juga upaya mendangkalkan
nilai-nilai Islam. Ajaran Islam mustinya dijalankan
secara maju, progresif, bukan mundur. 

Jadi jangan heran juga kalau pada pemakaman Cak Nur,
istri dan anak beliau lebih suka mengenakan "seragam"
warna hitam, sebagai tanda berkabung. Sebagaimana kita
tahu, mengenakan pakaian warna hitam adalah tradisi
orang barat, yang notabene mayoritas beragama Kristen.
Dan dalam kesehariannya, sebagai anak dan istri
seorang begawan "muslim", merasa terbebas untuk tidak
mengenakan jilbab.

Jadi jangan heran juga kalau Nurcholis Majid dan kasus
pernikahan purtriya dengan seorang pemuda Yahudi,
sampai sekarang masih kontroversial. Karena semuanya
tidak ada keterusterangan, keberanian, untuk
mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi. Tak ada
keberanian untuk mengatakan "simbol-simbol" yang
mereka miliki. Jadi bukanlah suatu kesilapan kalau ada
yang menjuluki pernikahan itu adalah pernikahan
"universal". lmunya yang segudang tentang Islam merasa
tak perlu dipraktekkan dalam rangka menjalankan
keyakinannya.

Ngomong-ngomong mengenai pernikahan,  agaknya itu
adalah hak privilage para pendekar bangsa ini, para
penganut prularis tidak perlu risau, karena itu memang
"keistimewaan" yang umum dimiliki para pemikir dan
"ningrat" bangsa ini. Sebagai contoh, Emha Ainun Najib
yang terkesan sangat-sangat  humanis dalam
karya-karyanya dan selalu memposisikan dirinya sebagai
manusia pinggiran dan tersisihkan, toh tetap merasa
harus, menikahi wanita cantik berstatus artis,
bukannya menikah dengan wanita berstatus janda tua
atau simbok-simbok miskin beranak lima.

Tapi bagi penentang liberalis, itu adalah suatu sikap
"korupsi intelektual", yaitu hak privilage intelektual
untuk melanggar wilayah jusrisdiksi dan ide-ide mereka
sendiri. Gus Dur yang kesohor sebagai kiai pun pernah
korupsi (korupsi intelektual) dengan membela
goyangannya Inul.   

Kembali ke Cak Nur. Munculnya rasa antipati terhadap
sense of islam bisa terjadi karena beberapa teori
probabilitas. Bisa jadi karena Cak Nur punya
west-minded yang kelewat tinggi, sehingga merasa
minder kalau mengakui keunggulan ajaran Islam atas
ajaran yang lain. Di sinilah letak kekonyolan gelar
kehormatan yang diberikan kepada beliau, sebagai
"Cendekiawan - Muslim". Mustinya embel-embel "muslim"
tidak dipakai untuk gelar cendekiawan itu. Karena
secara praktek beliau tidak menerapkan syariat islam.
Contohnya tentang pernikahan di atas, anaknya
muslimah, sedang suaminya masih diragukan
keyahudiannya. Inilah lintas agama. Inilah pluralitas.
Opone sing islam, Cak?

3. Tidak Merakyat.
West-minded yang kelewat batas inilah, salah satunya,
yang membuat pemikiran-pemikiran Nurcholis tidak
merakyat. Inilah ciri ketiga. 
Jujur saja, kemasyhuran pemikiran  cak Nur di kalangan
masyarkat bawah sangat-sangat tidak terpakai.
Sinyal-sinyal pemikirannya hanya bisa ditangkap di
kalangan exlusif akademis dan kampus-kampus. Para
pedagang di pasar, kuli bangunan, tukang ojek dan
mereka-mereka yang berpendidikan minim tak mengenal
pemikiran-pemikiran Cak Nur. Mereka hanya tahu nama
saja. Pamornya di kalangan rakyat jelata kalah oleh
Megawati yang hanya lulusan SMA.

Oleh karena itu kalau beliau masuk ke dunia politik,
hanya akan jadi bahan olok-olokan para rivalnya. Para
rekan politiknya mungkin hanya akan memakai beliau
sebagai vote-gathering warga NU. Setelah itu beliau
akan ditendang. Karena rakyat sama sekali tak mengerti
pola pikirnya yang "berjalan di atas awan" itu. Waktu
beliau dimakamkan, memang ribuan pelayat dari berbagai
kalangan datang. Tapi biasanya mereka cuma
ikut-ikutan.

Ide-ide pluralitasnya pun tidak pernah terpakai oleh
mereka yang sedang berkonflik ria di Ambon dan
kepulauan Maluku dan Poso. Tidak ada langkah kongkrit
menghadapi konflik multi dimensi yang terjadi di negri
ini. Karena doktrin-doktrin Cak Nur hanya laku
dikonsumsi kalangan akademisi dan elit tertentu. Bagi
yang sedang berkonflik ria tak punya akses untuk
menikmatinya. Mereka yang sedang berperang pun tak
mengerti apa itu pluralitas,dan terus berperang.
Bahkan di Maluku, kedamaian kembali hadir bukan karena
konsep canggih yang diramu Cak Nur, tapi lebih karena
faktor bosan; Mereka bosan saling bunuh dan akhirnya
damai dengan sendirinya.

Bicara tentang ekonomi untuk mengentaskan rupiah dari
keterpurukan juga sangat minim dipikirkan oleh beliau.
Ini saya maklumi, karena beliau memang bukan seorang
praktisi ekonomi, walaupun bisa menyekolahkan dua
anaknya ke amerika.

Ketika bangsa ini ribut-ribut masalah TKI/TKW yang
terusir dari negri jiran, Malaysia, pemikirannya
tentang kebangsaan tidak muncul. Ketika ada TKW yang
dilecehkan dan diperkosa di tanah Arab, beliau tidak
tampil sebagai pahlawan pembela kebenaran. Belum
pernah kedengaran suaranya membela para TKI / TKW yang
bermasalah.

Jadi di sini julukan beliau sebagai cendekiawan bangsa
juga terbantahkan. Kecendekiawanannya hanya terbatas
pada "kasta-kasta" tertentu saja, bukan secara
menyeluruh. Terlalu berlebihan kalau mengatakan beliau
sebagai cendekiawan bangsa. Jadi gelarnya sebagai
pahlawan nasional karena pernah mendapatkan bintang
Mahaputra tahun 1999 patut dicabut. Gali lobang
kuburnya dan pindahkan ke pemakaman biasa.

Dalam menata moralitas bangsa beliau juga tak pernah
kelihatan. Pemikirannya hanya seputar bagaimana
mengobok-obok kehidupan sosial Islam agar sinkron
dengan kehidupan sosial agama lain (padahal dalam
menata kehidupan sosial, hukum Fiqh Islam kurang apa
lagi?). Mengenai moralitas bangsa dan generasi muda,
beliau sama sekali tak kelihatan suaranya. Belum
pernah beliau mengkritisi budaya bangsa yang luntur
diterpa gelombang globalisasi dan westernisasi. Belum
pernah beliau "ngerumpiin" cewek Indonesia yang kini
bermental exibitionis, suka memamerkan organ-organ
tersembunyi mereka dengan pakaian-pakaian super
minimalis atau ketat. Berpakain tapi sebenarnya
telanjang. 

Padahal masalah moral ini sangat-sangat fundamental.
Banyak benih-benih generasi muda Islam yang gugur
sebelum berkembang gara-gara tersandung aurat wanita,
dan sang wanitanya harus berurusan dengan kehamilan di
luar nikah. Atau barangkali Cak Nur tidak ambil pusing
masalah itu, karena itu baginya terlalu sepele untuk
dipikirkan (Asal jangan dinikmati saja, Cak!).

4. Tidak adanya Konklusi Yang Komprehensif
Ciri yang keempat, pemikiran dan gagasan beliau tidak
memunculkan konklusi yang komprehensif. Ide-idenya
yang dianggap brilian itu tidak "Qolla wa dalla".
Selalu saja memunculkan kontroversi, baik terbuka
maupun tertutup. Orang dipaksa untuk bingung dalam
mengambil suatu kesimpulan, sebenarnya Cak Nur ini
ngomong apa?

Ada yang bilang beliau ini adalah tokoh modernis, ada
yang bilang tokoh nasionalis, ada yang bilang lagi
sebenarnya beliau ini sudah keluar dari rel Islam, oh
tidak, beliau ini sebenarnya islam banget, ada yang
bilang lagi beliau ini menjiplak penganut Kristen
Anonim, dll, dll. Kenapa timbul begitu banyak
penafsiran tentang beliau? Karena beliau tidak pernah
tegas bilang "A" itu "A". tapi dalam mengotopsi suatu
benda, pembicaraanya selalu ngalor-ngdidul,
ngetan-ngulon tidak karuan.

Memang pengetahuannya sangat luar biasa tentang
sejarah bangsa-bangsa dan bahasa dunia. Dan kita pun
jadi terpana kalau membaca tulisan-tulisannya dan
mendengar ceramah-ceramahnya. Tapi semua itu bukan
dijadikan bekal untuk "meyakinkan" audience tentang
kesimpulan pemikirannya. Pepatah lama Arab mengatakan
bahwa pembicaraan yang baik adalah pembicaraan yang
"qolla wa dalla", yang ringkas tapi berisi, ringkas
tapi dimengerti. Boleh panjang lebar tapi menuju pada
suatu konklusi yang tepat dan tidak terpecah-pecah.
Panjang lebar tapi menuju pada pencerahan, bukan
perpecahan. Agaknya Cak Nur musti belajar dari Aa Gym
, bagaimana menyampaikan pembicaraan yang tepat.

Seringkali pemikiran Cak Nur tidak tertuju pada
istimbath yang tepat terhadap pola pikirnya sendiri.
Barangkali inilah "kebocoran" para penganut faham
liberal, seperti JIL.  Contoh konkritnya adalah tidak
adanya pembelaan terhadap suatu kasus yang sebetulnya
harus harus dibela, seperti kasus Abu Bakar Ba'asyir.
Walaupun secara juridis Abu Bakar tidak ada
bukti-bukti yang memenuhi unsur terorisme yang
dituduhkan, toh tidak ada dari tokoh-tokoh liberalis,
pluralis, dan inklusif itu yang membela beliau. 

Ingat, Jil selama ini berkoar-koar membela suatu
aliran minoritas yang dianggap "berpikiran lain". Tapi
anehnya sikap resistansi jil hanya berlaku pada
minoritas yang notabene mengganggu kelestarian ajaran
islam. Pada kasus minoritas yang ingin melegalkan dan
menegakkan ajaran Islam, resistansi jil sama sekali
tak terlihat, seperti kasus Abu Bakar Ba'asyir di
atas. Padahal, sekali lagi, secara yuridis, Abu Bakar
sama sekali tidak terbukti memenuhi unsur-unsur delik
yang mengarah pada terorisme.

Pada skala internasional juga kiprah mereka membela
"minoritas" juga sangat-sangat nisbi, kalau tidak bisa
dikatakan nihil. Contohnya, kasus orang-orang Irak
yang ditawan tentara Amerika. Ketika para tawanan itu
diperlakukan secara tidak manusiawi dan mendapatkan
pelecehan seksual, "organisai-organisasi" para pemikir
itu tidak satu pun tokohnya yang getol mengkritisi
kebijakan amerika, baik di Irak sendiri atau di
Guantanamo. Padahal organisasi kemanusiaan, seperti
amnesti international, yang berasal di barat sana
getol memprotes kekejian serdadu Bush itu.

Seolah-olah para liberalis itu berkata, "Salah sendiri
kalian tidak nurut pada Amerika!" 
Jadi menurut mereka, para liberal itu, ajaran
liberalis, pluralis, inklusif, itu hanya cocok untuk
ditujukan pada umat islam sendiri. Sedang mereka yang
di luar islam harus dilindungi dan diselamatkan dari
"kebuasan" umat islam. Padahal, dalam skala
internasional, fakta sejarah, umat Islam lah yang
selalu jadi korban terbanyak, dari kebiadaban para
penjahat perang, termasuk amerika.

Kini sebuah negara Islam, yaitu Iran, tengah dikepung
negara-negara barat agar tidak memproduksi uranium,
walaupun jelas-jelas uranium itu digunakan untuk
pembangkit listrik. Kita lihat, kita tunggu, apakah
para pendekar liberal itu mau mengobok-obok medan
"perang", yang sebetulnya, berada dalam wilayah
pemikiran mereka sendiri.
Jawabannya, tunggu saja sampai ada onta yang masuk ke
liang semut, alias tidak akan mungkin.

Tapi coba lihat argumen-argumen mereka yang tajam
tentang negara Islam lain, Sudan. Kritikan-kritikan
mereka yang tajam dan terkesan ambivalen dalam kasus
yang sama. Dalam kasus Sudan, seolah mereka berkata,
"Salah sendiri kalian menerapkan syari'at Islam!".

Sikap dan sifat seperti di atas, yang jamak dimiliki
para pemikir liberal, terjadi karena mereka cenderung
memutar balik pengertian yang mereka fahami dari
sebuah ayat atau hadits, atau ijtihad atau kiyas,
alias terhipnotis terbalik. Itulah gejala yang juga
dimiliki Cak Nur, yaitu:

5. Terhipnotis Terbalik
Poin kelima yang perlu digarisbawahi adalah, pemikiran
Cak Nur sering mengarah pada Hipotesa Terbalik,
terhipnotis terbalik oleh kata-katanya sendiri maupun
dalam rangka pengambilan hujjah-hujjah dari Alqur'an
dan Hadits, Ijtihad dan Qiyas. Contoh hipotesa
terbalik, misalnya begini, guru anda mengatakan agar
jangan mendekati harimau berwarna hijau. Nah yang
menempel di benak anda justru harimau berwarna hijau.
Harimau warna kuning, merah, hitam, dll tidak ada yang
menempel di benak anda. Anda tidak menelaah baik-baik
kata sang guru kalimat "Jangan dekati"nya. Akibatnya
yang anda cari justru harimau berwarna hijau tersebut.
Setengah mati anda mencari sampai ketemu. Sangat
beruntung kalau anda menemukan harimau itu. Tapi kalau
tidak ketemu, itu sudah pasti. Sebab harimau berwarna
hijau tidak pernah ada.

Kalaupun ketemu, anda juga bukan termasuk golongan
murid yang taat pada guru, sebab konotasi larangannya
anda langgar. Sebab kalau anda menemukan harimau
berwarna hijau, berarti anda berusaha secara langsung
atau tidak untuk mendekati harimu tsb. Dus, anda
melanggar larangan guru. Begitulah yang terjadi pada
pemikir brilian kita, Nurcholis Majid.
Dan ini pula yang terjadi pada Nabi Adam. Kata "Jangan
dekati" pohon larangan, malah "menghipnotisnya" untuk
mendekati pohon itu. Seribu satu macam kenikmatan
sorga yang bisa dinikmati, lenyap dari benak Nabi
Adam, hanya gara-gara satu pohon larangan.

Malah lebih parah lagi, dalam analogi di atas, dalam
menafsirkan kata "Jangan dekati" itu, seandainya
orang-orang liberalis yang menjadi Nabi Adam, atau
Nabi Adam beraliran liberal, maka bukan Iblis yang
menggoda Nabi Adam untuk mendekati pohon larangan,
tapi malah Nabi Adamlah yang mengajak Iblis untuk
sama-sama mendekati pohon larangan dan memakan
buahnya.

Begitulah "ciri khas" liberalis, selalu mencari
celah-celah untuk melarikan diri atas sebuah perintah
atau larangan, agar terbebas dari taklif (beban).
Kasus yang mirip seperti itu telah terjadi, ketika
Allah memerintahkan kaum Yahudi, lewat Nabi Musa,
untuk menyembelih seekor sapi (Al Baqarah 67 - 71),
kaum Yahudi bukannya "sami'na wa atho'na", tapi malah
menolak perintah itu dengan mempertanyakan, "Apakah
kamu hendak menjadikan kami bahan ejekan?"
Kemudian Nabi Musa menerangkan lebih jelas lagi bahwa
itu adalah perintah dari Tuhan, dan akibat buruk kalau
tidak melaksanakannya. kemudian dijawab lagi oleh
orang-orang Yahudi, "Apa sih sapi yang dimaksud itu?
Umurnya berapa? " dijawab lagi oleh Musa, "Sapi itu
tidak tua dan tidak muda, pertengahan keduanya".

Jawaban Nabi Musa masih saja dirasa kurang oleh
mereka, maka mereka bertanya lagi, "Warnanya apa?
Bagaimana hakekatnya sapi itu? Kami bingung
mendifinisikan sapi itu". Begitulah Yahudi.

Pertanyaan-pertanyaa itu hanyalah mengada-ada, supaya
Nabi Musa jengkel. Sebab secara logika orang waras,
bila diperintah untuk menyembelih seekor sapi, maka
yang tersbersit di benak adalah seekor sapi yang
sehat, tidak penyakitan, dan secara umum dijumpai. 

Tidak heran kalau orang Yahudi ini dalam khazanah
sejarah Nabi-nabi selalu menjadi kaum yang paling
getol menentang perintah Tuhan. Ketika mereka dipimpin
Nabi Musa, tak terhitung tuntutan mereka yang terkesan
rewel, mengada-ada, tidak sabaran dan bersifat khianat
dan kufur. 

Pada zaman Nabi Isa, Yahudilah yang meminta supaya
Nabi Isa (Yesus) dibunuh. Bahkan pada zaman Nabi
Muhammad, sifat khianat bangsa Yahudi sangat jelas
tergores dalam sejarah. Walaupun orang-orang yahudi
itu diberi tempat di Madinah oleh Nabi, boleh
melakukan aktivitas sebagaimana kaum muslimin, ketika
terjadi perang Ahzab, mereka berkhianat, bergabung
dengan musuh dan balik memerangi Nabi. Akibatnya kaum
Yahudi Madinah ada yang diusir dan sebagian dijatuhi
hukuman mati. Uniknya hukuman mati itu pun bukan
langsung dari Nabi, tapi dari seorang mantan Yahudi
juga.

Sifat khianat Yahudi itu, jauh berbeda dengan ketaatan
Nabi Ibrahim yang ketika disuruh menyembelih anaknya
tidak mempersoalkan perintah itu. Malah tak ada jeda
yang panjang, antara perintah dan waktu eksekusi. Tak
ada pertanyaan, seperti, "Dipotongnya kapan? di mana?
Pas dipotong harus pakai baju apa tidak", atau
pertanyaan yang sangat mendasar sekali, seperti,
"Kenapa anak saya musti dipotong?". Entah apa jadinya,
jika perintah menyembelih anak itu ditujukan pada
Yahudi. 

Demikian sedikit gambaran, antara liberalisme, yang
merupakan ciri khas kaum Yahudi, dan ketaatan Nabi
Ibrahim dan anak cucunya. Dan dari pelajaran  sejarah
pula kita bisa menganalisa sejauh mana jalan pikiran
Nurcholis Madjid dan kaum liberalis lainnya bisa kita
terima atau tidak.

6. Tidak punya selera humor
Ciri yang keenam, yang tidak dimiliki Nurcholis Madjid
dalam menyampaikan pemikirannya, tidak pernah
diselingi kata-kata yang bisa melonggarkan urat
syaraf. Pemikiran-pemikirannya terlalu "serius tapi
serius". Bukan "serius tapi santai" atau "santai tapi
serius". Padahal sebagai cendekiawan yang pernah
menimba ilmu dari Chicago Bull, mustinya beliau
sedikit banyak tahu pentingnya ilmu humor. Terlalu
serius dalam menyampaikan suatu pandangan, kurang bisa
menempel pada benak audience, kalau disampaikan secara
monoton, tidak ada hentakan yang menggugah kelenjar
andrenalin.

Memang sepintas beliau suka menyelipkan guyonan dalam
ceramah-ceramahnya, tapi bukan murni kreasi beliau
sendiri, tapi hasil plagiat dari cerita-cerita lama.
Dan  humor yang disampaikan juga mustinya tidak
melebihi porsi, seperti Gus Dur. Lama-lama bisa jadi
komedian, pemikirannya bisa-bisa tumpul dan dianggap
banyolan. (Bersambung)

Emabdulah
Berani mengkritik
Dan tidak takut dikiritik
Walau nyawa taruhannya
(Berhubung judi sudah dilarang, maka taruhan
dibatalkan. Weee)



            
---------------------------------
Click here to donate to the Hurricane Katrina relief effort.

[Non-text portions of this message have been removed]





Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 



SPONSORED LINKS 
Islam and the west Islam koran Different religions beliefs Islam 

---------------------------------
YAHOO! GROUPS LINKS 


    Visit your group "media-dakwah" on the web.
  
    To unsubscribe from this group, send an email to:
 [EMAIL PROTECTED]
  
    Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 


---------------------------------




__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke