Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh!

 

 

Islamic Centre Lampung, april - mei 2002, pengajian rutin jama'ah tabligh. 
Amirnya seorang Pakistan yang biasa dipanggil syekh. Di tengah pembicaraan, 
dalam ceramahnya mengenai kesesatan, amir tersebut mengatakan ;" . saya heran 
dengan orang Indonesia yang selalu menyalahgunakan ayat suci Al-Qur'an. Sebagai 
contoh; potongan ayat yang ditulis ke secarik kertas yang kemudian dibakar dan 
diminum oleh anak yang sakit perut,. ayat yang dituliskan di kertas kemudian 
ditempelkan di dinding, di bawah bantal dan lainnya untuk mengusir jin,. 
benarkah mukjizat yang diturunkan Allah kepada Rasul itu memang seperti itu 
kegunaannya?!". 

Setelah diakhiri dengan pesan ;". berhati - hatilah terhadap sesuatu yang 
dianggap baik tapi ternyata sesat!" sang amir menutup ceramahnya. Beberapa saat 
kemudian barulah nara sumber mendekati, menyapa, dan kemudian terlibat dialog 
sebagai berikut;

 

NS       :"Amir, saya terkesan dengan pembicaraan amir tadi, mengenai orang 
Indonesia yang menyalahgunakan ayat suci Al-Qur'an."

Amir   :"Yang mau ditanyakan yang mana?"

NS       :"Kebetulan saya sekarang sedang mengamalkan hal - hal yang (seperti) 
tadi untuk pengobatan."

Amir   :"Jenis pengobatannya?"

NS       :"Segala macam penyakit."

Amir   :"Sudah berapa lama buka praktek?"

NS       :"Kurang-lebih jalan lima bulan setengah."

Amir   :"Sekarang gini, saya contohkan; kamu bisa menyembuhkan orang yang 
kesurupan dalam waktu satu menit atau lima menit, oke!... Sekarang pasien 
sehat. Kamu bangga. Tapi, ternyata kamu membanggakan kesesatan. Sesatnya di 
mana?!... kamu menyalahgunakan ayat Al-Qur'an. Memangnya ayat suci Al-Qur'an 
mengandung apa sehingga jin bisa terbakar? Apakah imam (Al-Qur'an) yang kita 
ikuti seperti itu? Jangan selalu menitikberatkan disitulah letak sucinya 
Al-Qur'an. Yang pada akhirnya jin merdeka. Merdekanya di mana?!... merdekanya 
dia telah bisa menyesatkan manusia, karna memang motto-nya (para jin), 
menyesatkan."

NS       :"Kok, amir bisa berkata demikian, mengatakan sesat?"

Amir   :"Dalam hal (mengobati) itu, kamu mengkhususkan ayat - ayat tertentu 
kan?!"

NS hanya menjawab dengan anggukan

Amir   :"Boleh saya tahu ayat - ayat apa saja yang kamu gunakan untuk 
pengobatan?"

NS       :"Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Fushilat, Al-Falaq, An-Naas, Al-Ikhlas, 
do'a Nurbuwah, dan sebagainya, saya ga bisa nyebutin semuanya karna waktu 
(sudah larut, sekitar setengah satu dini hari)."

Amir   :"Kenapa kamu mengkhususkan ayat - ayat tertentu? Kenapa tidak 30 Juz 
untuk mengobati sakit mata, keseleo, pegal-linu, orang buta, kesurupan?!"

NS tidak menjawab (NS mengaku makin bingung).

 

Amir   :"Coba kamu lihat terjemahan ayat suci Al-Qur'an yang kamu gunakan itu! 
Ada di situ? Yang menjelaskan; Hai, Jin! Pergilah kamu! Keseleo, hilanglah! 
Atau, sakit mata, ga usah sakit!"

 

NS terdiam, kemudian amir melanjutkan;

            :"Di situ (ayat - ayat Al-Qur'an) tidak lebih - lebih menjelaskan 
tentang sejarah, hukum, adab sesama manusia. Coba kamu buka Al-Qur'an! Ada 
firman Allah yang menyatakan bahwa; Al-Qur'an itu untuk di baca, untuk 
diamalkan, untuk diyakini menurut tuntunannya."

NS       :"Kalau masalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, ada 
seorang sahabat yang mengobati sahabat lain yang tergigit kalla dengan surat 
Al-Fatihah, kemudian rasa sakitnya hilang. Setelah itu, ia menghadap Nabi dan 
menceritakan tentang hal itu, namun Nabi hanya diam."

Amir   :"Kira - kira benar ga itu dari Rasul? Diamnya Rasul menyatakan apa?"

 

Karena nara sumber tidak menjawab dan sudah semakin larut amir menutup 
pembicaraan dengan memberi penegasan;

            :"Benarkah ayat suci Al-Qur'an itu diturunkan sebagai petunjuk yang 
digunakan untuk pengobatan? Itu tanyakan pada diri sendiri!" 

 

Kemudian mereka berpamitan. Dan nara sumber mengatakan bahwa malam itu juga ia 
memutuskan untuk tidak lagi mempraktekkan hal yang sebelumnya dilakukannya.

 

 

 

 

Demikian, dialog singkat dari pengalaman Nara Sumber (shodri) dengan seorang 
amir berkebangsaan Pakistan. Sebelumnya, penulis juga beberapa kali mendapatkan 
dialog yang hampir sama, perbedaannya; yang terlibat dialog keduanya 'orang 
lokal', antara 'ustadz' dengan muridnya, dan antara 'orang biasa' dengan 'orang 
biasa'. Mengapa dialog yang melibatkan orang 'impor' ini yang dipilih untuk 
dituliskan? Penulis menyadari 'budaya' orang kita terutama sekarang ini, yang 
mengambil hikmah dari salah satu sumber hikmah, yaitu; dialog antara sesama 
manusia, dengan melihat 'kulit' atau 'sisi terluar' atau 'permukaan yang paling 
dangkal' dari orang yang terlibat dalam dialog itu. Dan bukan mendengarkan 
dialognya.

 

Dan alasan mengapa, ketika berada dalam suatu pembicaraan (dialog, 
diskusi.dsb), masyarakat kita (umat islam Indonesia khususnya dalam konteks 
wacana ini) 'melihat' dulu dan bukannya 'mendengar', adalah karena budaya lain 
lagi, yaitu; imej budaya 'hanya orang fisika yang bisa dan boleh berbicara 
masalah fisika', 'hanya orang politik yang boleh dan bisa berbicara politik', 
'hanya orang kitab yang bisa dan boleh berbicara masalah kitab', 'hanya orang 
hadits yang bisa dan boleh berbicara soal hadits'. Nah, akan seluas dan 
seakurat apa gambaran kita tentang dunia bila kita membentuk komunitas sendiri 
dan membatasi diri dari komunitas lain?

 

(bayangkan akan sebodoh dan serugi apa kita bila tidak bisa dan tidak boleh 
membicarakan, dan mencari tahu tentang banyak hal? Padahal mencari tahu, untuk 
memperkaya data sebagai modal berfikir sangat dianjurkan, bahkan kewajiban bagi 
umat muslim. Coba lihat kembali pedoman (Al-Qur'an) kita, seberapa banyak ayat 
yang memuat kata, berfikir!) 

 

Sekarang bahkan, adalagi imej baru yang berkembang dan lebih dahsyat, yaitu; 
'hanya orang bergamis, memelihara jenggot, bertutup kepala dan bergaul hanya 
dengan sesama mereka saja yang soleh'.  Bayangkan kalau kita muslim yang 
beribadat dan mencari kebaikan dari Allah bertemurun hidup di antartika, 
berpakaian tipis, longgar, dan panjang hanya akan menyulitkan hidup kita, yang 
berarti menyulitkan hidup keluarga kita dan ligkungaan komunitas kita. Atau, 
seperti kebanyakan orang asia, kita tidak memiliki bulu yang bisa ditumbuhkan 
menjadi jenggot. Apakah karena itu kita kemudian dijauhi oleh komunitas 'orang 
saleh'? dan karena itu kita tidak pernah jadi sebenarnya muslim? Apakah islam 
mempersulit? Tidak pernah! Agama, seperti tercantum dalam pedomannya 
(Al-Qur'an) mempermudah. Jadi yang mempersulit itu adalah orang - orangnya, 
mereka yang 'ternobatkan' ataupun 'dinobatkan' ataupun 'menobatkan diri' 
sebagai panutan, yaitu; orang - orang yang, (maaf) katanya, soleh dengan 
kriteria tadi.

 

Dan yang harus kita pahami adalah, semua imej tersebut ditanamkan!!! Dia tidak 
muncul dengan sendirinya dari 'hati yang paling dalam'. Lainnya adalah, kemana 
arah imej - imej tersebut akan membentuk kita (umat islam Indonesia)? Satu hal 
yang sudah sangat terlihat adalah; umat kita berkembang ke arah; individu - 
individu yang tidak (pernah) mandiri dalam hal keagamaan. Mereka mengikuti 
begitu saja apa kata 'ustadz'-nya, dan itu karena ustadznya fasih berbahasa 
arab, hafal 30 juz juga hadits sampai riwayat, kemudian berpenampilan seperti 
zaman Rasulullah, bertutur kata manis bersikap alim seperti, selalu berada pada 
rute yang sama; rumah, mesjid, pertemuan para 'solihin', pengajian, dan 
aktifitas yang berhubungan dengan semua yang berbau agama dan melabelkan 
aktifitasnya dengan agama.

 

Kenyataan banyak sekali memperlihatkan contoh mengenai 'musang berbulu domba' 
atau 'hitam berselubung putih', lihatlah banyak kasus soal wakil - wakil 
rakyat. Mereka mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kepercayaan tidak mudah 
diberikan kecuali dengan peyakinan.Imej mereka tentulah 'bersih', 'baik' dan 
sebagainya sehingga mendapatkan kepercayaan kita dan mereka mempertahankan imej 
itu dalam waktu yang panjang, mulai dari meniti karir di kecamatan sampai 
tingkat nasional. Tapi lihat setelah di puncak, korupsi.

 

Pernah seorang teman diskusi berkata;"Kalau saya Yahudi atau Kristen, mudah 
merusak islam sekarang ini. Hafalin Qur'an dan Hadits, berpakaian seperti zaman 
Rasul, bergaul dan membatasi gaul hanya dengan orang - orang yang sepenampilan, 
dan mengikuti semua aktifitas serta kegiatan keagamaannya. Lalu bentuk 
pengajian dan sering ceramah. Dalam setahun, apalagi dengan dukungan dana kuat, 
minimal 2 kabupaten jadi 'kader' saya." Betul juga, gumam saya, mengingat 
ketidak mandirian berfikir kebanyakan umat kita, dan karena kebanyakan sistem 
'peng-islaman orang islam' dalam bentuk pengajian dan sebagainya tidak 
mengarahkan ke sana, yaitu, kepada kemandirian akal dan mental, dan mempermudah 
akses untuk memperkaya data sebagai modal berfikir sebelum menyimpulkan 
kemudian mengaplikasikannya. Akan tetapi, lihatlah, 'kelebihan' (kebanyakan) 
umat kita adalah dalam hal ego dan emosi. Malah, diperparah dengan pembatasan 
akses untuk memperoleh banyak masukan melalui peng-'eksklusifan diri' membentuk 
komunitas sendiri dan memperlihatkan perbedaan yang mencolok yang kaku terhadap 
fluktuasi kondisi zaman.

 

Agama, gencar di mana - mana dan terorganisir, di tanamkan melalui semua media 
(radio, TV, dakwah, pangajian, pengobatan, dan segala rupa bentuk kegiatan 
lainnya) dengan sistem; "ini nih, begini! Jadi, ya harus begini. Kalo ga 
begini, maka kamu akan jadi begitu, dan kamu bukan golongan kami." Itu, 
ditanamkan tanpa penjelasan yang bisa diterima oleh beragam cara penerimaan. 
Pada akhirnya pendakwah hanya akan mengarahkan umat kepada pemahaman pendakwah 
tersebut, yang nyata - nyata menjadi sangat sulit dikarenakan keragaman cara 
penerimaan tadi, sehingga umat terkondisikan untuk mengikuti saja apa kata 
ustadz. Allah yang memberi kita fasilitas untuk berfikir, menjadi khalifah dan 
menyediakan begitu banyak hal untuk kita fikirkan, tapi kita malah memilih, 
atau dikondisikan, untuk tidak menggunakan fasilitas yang diberi Allah, dan 
memilih untuk menjadi 'domba' serta membatasi diri dengan mengambil sedikit hal 
yang dapat dimengerti dan memisahkan sisa yang sedemikian banyaknya ke dalam 
kategori 'ghaib'.  

 

(yang kemudian kategori tersebut akan menjadi 'tidak terjelaskan', sehingga 
akhirnya 'tidak dapat dibenarkan', dan bertambahlah daftar hal yang 'haram'. 
Padahal semua itu disediakan Allah, diciptakan oleh Allah dan tidaklah dengan 
sia - sia. Dan, letak kesalahannya hanya pada kita yang membatasi diri kita 
dari pengetahuan.)

 

Apakah itu tidak lain melainkan dzalim terhadap karunia dan ketetapan Allah?! 
Apakah tidak ada yang lebih kurang ajar lagi?!?! Dan apakah itu yang diharapkan 
Allah dari makhluk-Nya? Karna kalau demikian, Rasulullah tentu akan menyatakan 
dirinya; "Akulah gembala bagimu wahai umatku!". Masya Allah, apa bedanya kita 
dengan kristiani? Umat yang selalu 'kita' kafir - kafirkan itu. Lalu untuk apa 
Allah menurunkan Al-Qur'an sebagai mukjizat dalam pengertian; pedoman, yang 
tentu akan sesuai untuk siapa saja (ras, bangsa, budaya, bahasa, tingkat 
pendidikan, sosial, ekonomi, dlsb.), untuk kapan saja (selalu sesuai untuk 
semua zaman; fleksibel), dan untuk dimana saja.

 

Kembali kepada apa kata teman diskusi saya di atas tadi, kemudahan merusak 
islam dari dalam, yaitu; umatnya. Tidak hanya menjadi senjata bagi mereka yang 
dianggap musuh islam, tetapi juga oleh kepentingan - kepentingan egois umat 
islam itu sendiri. Yang mungkin, menurut mereka, bertujuan untuk menghadirkan 
kebaikan yang besar, kejayaan bagi agama dan umatnya. Akan tetapi, kelalaian, 
dikarenakan kurangnya wawasan akibat 'kurang gaul' atau ketidakluwesan 
berkondisi dengan lingkungan dan zaman, 

menghasilkan kebijakan yang menyebabkan lebih banyak kerusakan dalam mewujudkan 
tujuannya. Mari kita nilai bersama; akankah baik sebuah tujuan untuk kebaikan 
yang ditempuh dengan cara yang mengakibatkan kerusakan?  

 

Hanya Allah yang mampu berbuat seperti itu,. emangnya siapa kita??? 

Hanya Allah yang berhak menilai dan menentukan siapa digolongan mana. Sedang 
kita baru mengetahui diri sendiri tidak lebih dari 2% -nya saja. 

Apalagi soal soleh tidaknya seseorang, itu hak Allah!

Jangan sampai jadi fir'aun!

 

Wallaahu 'alam bisshawab.

 






Aldo Desatura
Human Resources Department
PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk.
call 021.315.1563 ext. 548/562
fax 021.3193.4245
http://www.ramayana.co.id



[Non-text portions of this message have been removed]





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Click here to rescue a little child from a life of poverty.
http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke