tulisan orang JIL ko masih bisa posting. tidak ada gunanya baca artikel orang 
JiL. Lebih baik artikel islam yang bermutu yang diposting ke milis. Disini kita 
berkumpul untuk belajar islam dengan benar sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadits. 
artikel dibawah ini tidak pantas untuk orang yang ingin belajar islam dengan 
benar. 
  ----- Original Message ----- 
  From: andriirwan 
  To: media-dakwah@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, December 01, 2005 5:56 PM
  Subject: [media-dakwah] komentar Gus DuR ttg IL



  Ini tulisan Gus Dur untuk Mas Ulil, disampaikan pada acara Peluncuran dan 
  Bedah Buku "Menjadi Muslim Liberal" Karya Ulil Abshar-Abdallah.


  ULIL DENGAN LIBERALISMENYA.
  Oleh KH Abdurrahman Wahid

  Ulil Abshar Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal 
  dari lingkungan "orang santri", istrinya pun dari kalangan santri, yaitu 
  putri budayawan muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai 
  seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya 
  masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang 
  pesantren lainya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah 
  profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya 
  membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang "menghina" Islam, sementara 
  oleh banyak kalangan lain ia dianggap "abangan". Dan di lingkungan NU, 
  cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap 
  "aneh" bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
  Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah 
  pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat 
  jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan 
  mempertahankan "kemerdekaan" berpikir seorang santri dengan demikian 
  bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinanya sendiri akan 
  "kebenaran" Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam 
  diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian 
  besar reaksi orang terhadap hal ini.
  Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan 
  Assalamu'alaikum dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap 
  penulis lah yang memutuskan hal itu. Sehingga penulis dimaki-maki oleh 
  mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya. KH. Syukron Makmun 
  dari Jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa 
  penulis ingin merubah cara orang bersholat. Penulis, demikian kata Kyai 
  yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan 
  selamat pagi dan selamat sore. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah 
  sesuatu yang dimulai dengan Takbiratul Al-Ihram dan disudahi dengan ucapan 
  Salam. Jadi, menurut paham Mazhab al-Syafi'i, Penulis tidak akan semaunya 
  sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya 
  mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan. Baik ketika orang bertemu 
  dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan 
  Universitas Al-Azhar di Kairo
  misalnya, para syaikh/ kyai yang menjadi dosen juga sering mengubah "tanda 
  perkenalan " tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan "selamat pagi yang 
  cerah" (Shabah Al-Nur). Kurangnya pengetahuan Kyai kita itu, mengakibatkan 
  beliau berburuk sangka kepada Penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan 
  Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.

  *****
  Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda 
  kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, 
  bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa 
  kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia 
  percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada 
  yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab 
  suci Al-Qur'an: "Dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan " (Kullu 
  man 'alayha faan wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram), dan yakin 
  akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain 
  boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. 
  Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda 
  Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam 
  Islam, justru ialah yang kafir" (Man kaffara akhahu musliman fahuwa
  kafirun).

  Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela 
  habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga 
  di "kafir" kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan 
  takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara 
  pengikut paham sumber tertulis Ahl al-Naqli (kaum tekstualis) dan penganut 
  paham serba akal Ahl al-Aqli (kaum rasional) dalam Islam memang sangat 
  lebar. Kedua hal ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang 
  menerima "sumber intuisi" (Ahl al-Dzawq), seperti dikemukakan oleh 
  Al-Zaribi dari Universitas Yar'muk di Yordania. Sumber ketiga ini, diusung 
  oleh Imam al-Ghazali dalam magnumopus (karya besar), Ihya' 'Ulum al-Din, 
  yang saat ini masih diajarkan di pondok-pondok pesantren dan 
  perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

  Jelaslah, dengan demikian "kesalahan" Ulil adalah karena ia bersikap 
  "menentang" anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. 
  Bahwa kitab suci Al-Qur'an menyatakan "Telah ku sempurnakan bagi kalian 
  agama kalian hari ini" (Alyawma akmaltu lakum dinakum) dan "Masuklah ke 
  dalam Islam/kedamaian secara menyeluruh " (Udkhulu fi al-silmi kaffah), 
  maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang 
  dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip 
  kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam 
  Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia 
  berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam 
  keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah 
  kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut.
  Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, 
  yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan 
  hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi 
  seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai 
  seorang santri Ulil tentu paham "kebebasan" yang dinilai buruk itu. Lalu, 
  mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena 
  ia "terganggu" oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia 
  khawatir pendapat "keras" akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada 
  umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para "muslim pinggiran" merasa 
  dirumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu 
  baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif 
  yang diambil Ulil Abshar Abdalla tersebut.

  Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini 
  atau tidak. Jika di benarkan, tentu saja kita akan "membiarkan" Ulil 
  mengemukakan gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara 
  "menemukan" pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan 
  tantangan sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih 
  mengharapkan Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam 
  media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk 
  memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti 
  "perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat " 
  (Ikhtilaf al-A'immh rahmah al-'ummah).

  Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil "berpikir" dalam media 
  khlayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara "larangan terbatas" 
  untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi 
  (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan 
  pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal 
  pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai 
  "orang luar". Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada 
  puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak 
  kekerasan. Dari pandangan inilah lahir terorisme yang sekarang "menghantui" 
  dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus 
  dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk 
  sebagian berakibat kepada munculnya paham "serba kekerasan", yang saat ini 
  sedang menghinggapi dunia Islam.
  Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa yang dibawa Ulil Abhsar dalam 
  bentuk pandangan liberalisme Islam justru ditentang di lingkungan NU 
  sendiri? Jawabnya terletak dalam kenyataan, bahwa di lingkungan NU, 
  pembaruan pada umumnya terjadi tanpa menggunakan label apapun. Sewaktu KH. 
  A. Wahid Hasyim kembali dari Mekkah pada tahun 1931, ia langsung mengadakan 
  perombakan pada kurikulum madrasah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. 
  Ia berhasil, karena justru perombakan itu dilakukan tanpa nama apapun. 
  Seolah-olah tidak ada perubahan apapun. Dengan demikian, ia menjaga 
  perasaan orang yang masih mengikuti cara berpikir lama.
  Yang menolak perubahan/karena perasaan dan pikiran mereka termasuk ayahnya 
  sendiri (KH. M. Hasjim Asy'ari), dihargai dan di "orangkan". Merekapun 
  menahan diri dan tidak mengadakan perlawanan terbuka terhadap apa yang 
  dilakukan. Demikian pula, ketika KH. Mahfudz Sidiq melansir gagasannya 
  tentang prinsip-prinsip kebaikan masyarakat (Mabadi' Khairah 'Ummah) 
  diawal-awal dasawarsa empat puluhan ia meletakannya dalam konteks 
  memperkuat susunan masyarakat yang sudah ada. Maka gagasan itu langsung 
  diterima tanpa kritikan apapun dari semua pihak di lingkungan NU. 
  Sayangnya, beliau tidak berumur panjang dan meninggal dunia sewaktu pihak 
  Jepang mulai menanamkan pengaruhnya di negeri ini. Demikian pula, ketika 
  menjadi Ketua Umum PBNU, Penulis juga melakukan perubahan-perubahan 
  drastis, antara lain dengan memasukan tokoh-tokoh muda pada kedudukan 
  strategis di lingkungan NU. Tetapi itu semua dilakukan tanpa embel-embel 
  apapun.

  Lalu terjadilah perubahan-perubahan drastis, tanpa ada gejolak-gejolak 
  apa-apa. Hal itu dilakukannya juga di lingkungan Partai Kebangkitan Bangsa 
  (PKB). Begitu banyak anak-anak muda menjadi fungsionaris penting dalam PKB, 
  tanpa ada perlawanan berarti. Di sinilah letak pentingnya sikap yang jelas 
  dari seorang pimpinan yang mengerti apa yang harus dilakukan. Nah, hal 
  inilah yang justru diabaikan oleh Ulil Abshar Abdalla yang "terjebak" dalam 
  label yang dibuatnya sendiri, atau yang dibiarkan tumbuh. Tentu saja 
  perkembangan belum berakhir, karena Ulil kemudian "berdiam diri" dengan 
  cara belajar di luar negeri. Sewaktu ia kembali ke tanah air nanti, mungkin 
  ia dapat mengorganisir penerimaan lebih luas di lingkungan NU dengan cara 
  "berdiam diri" seperti itu dulu.
  Tuduhan bahwa ia selama ini tidak ikhlas memimpin umat, mungkin dapat ia 
  tolak dengan cara seperti itu. Mungkin dukungan terhadap dirinya akan 
  berkurang, namun di lingkungan NU ia akan diterima secara lebih luas, 
  karena ia akan dilihat sebagai "orang sendiri". Style atau gaya 
  kepemimpinan seperti ini, memang merupakan ciri yang berdiri sendiri di 
  lingkungan NU. Hal semacam inilah yang jarang dimengerti oleh orang-orang 
  dari gerakan Islam yang lain. Penulis sendiri banyak melakukan 
  perubahan-perubahan mengenai apa-apa yang ada di lingkungan NU, tetapi 
  tidak pernah menyebutkan apa-apa yang dibiarkan. Ada anggapan orang akan 
  perlunya perubahan di lingkungan luar NU agar orang-orang di luar NU lebih 
  dapat menerima perubahan walaupun disebutkan.
  "Pengenalan keadaan" seperti inilah yang harus kita mengerti baik di 
  lingkungan NU maupun di luarnya dan mengetahui keadaan seperti itu, kita 
  akan dapat melakukan perubahan-perubahan di lingkungan gerakan Islam. 
  Memang hal ini adalah sebuah keniscayaan yang mau tidak mau akan menentukan 
  kualitas kepemimpinan seseorang. Nah, kemampuan menyusun kepemimpinan yang 
  berlandaskan tidak hanya pikiran-pikiran, tetapi juga didasarkan pada 
  hal-hal praktis semacam ini, adalah sebuah "modal" yang diperlukan. Antara 
  gaya dan substansi kepemimpinan, harus ada keseimbangan yang menentukan 
  kualitasnya. Ulil Abshar Abdalla masih berusia muda tetapi memiliki potensi 
  besar untuk menjadi pimpinan yang diakui semua pihak, dan untuk itu ia 
  harus juga "memahami" hal itu. Kalau hal itu terjadi, maka Penulis makalah 
  ini adalah orang paling berbahagia, di samping orang tua dan mertuanya 
  sendiri. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit dilakukan, bukan?

  Jakarta, 28 November 2005
  ---------------------------------
  . Disampaikan pada acara Peluncuran dan Diskusi Buku "Menjadi Muslim 
  Liberal" di Universitas Paramadina, Selasa 29 November 2005



  [Non-text portions of this message have been removed]





  Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
  Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 



------------------------------------------------------------------------------
  YAHOO! GROUPS LINKS 

    a..  Visit your group "media-dakwah" on the web.
      
    b..  To unsubscribe from this group, send an email to:
     [EMAIL PROTECTED]
      
    c..  Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 


------------------------------------------------------------------------------



[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke