Selasa, 4 Maret, pagi
 
Jam lima pagi, setengah jam sebelum waktu shalat Shubuh kami sudah 
berada di Masjidil Haram. Sesudah melakukan shalat sunat Tahiyatul 
Masjid dua rakaat kami membaur dengan arus jemaah yang sedang berkisar 
mengelilingi Ka’bah.
 
Seperti sebelumnya, kami bertawaf sambil berpegangan tangan. Walaupun 
kondisi saya belum pulih betul, saya sangat  ingin mengantar Kur mencium 
Hajar Aswad, karena saya pikir dia menginginkannya. Apalagi saat itu 
adalah kesempatan terakhir bagi kami untuk melakukannya, kesempatan yang 
sangat mungkin tidak akan terulang lagi. Tetapi Kur tampaknya lebih 
mengkhawatirkan kondisi kesehatan saya. Karena itu ketika saya melakukan 
gerakan spriral ke arah Ka’bah, Kur langsung menariknya keluar, sehingga 
kami bertawaf di lingkaran luar arus jemaah. Selanjutnya kami larut 
dalam perasaan haru. Malah saya lihat Kur menangis.
 
Mencium Hajar Aswad memang dilakukan Nabi, tetapi bukan merupakan rukun 
atau wajib haji. Dengan kata lain kegiatan itu hanya sunat dan dapat 
digantikan dengan hanya melambaikan tangan pada saat memulai tawaf atau 
pada saat meliwatinya sembari membaca “Bismillahi Allahu Akbar”.
 
Sekalipun demikian, banyak jemaah haji yang sangat ingin untuk mencium 
batu hitam yang terkenal itu, termasuk saya, sesuatu hal yang wajar dan 
sesuai dengan fitrah manusia yang suka tantangan dan mempunyai hasrat 
untuk berhasil  mengatasi sesuatu yang sulit. Bagi yang berhasil, 
tentunya menjadi kebanggaan tersendiri dan menjadi bahan cerita yang 
tidak habis-habisnya kepada keluarga dan handai taulan. Hanya sayangnya 
untuk itu ada yang menempuh cara-cara yang tidak seyogyanya dilakukan 
dalam kegiatan peribatan, seperti menggunakan. “calo-calo”, yaitu para 
mukimin yang tahu “trik-trik” mendekati batu hitam yang terletak di 
salah satu sudut Ka’bah tersebut, dengan imbalan uang tentunya. Kalau 
hanya sikut menyikut dan dorong mendorong, itu mah sudah dianggap jamak.
 
Sewaktu melakukan Tawaf Umrah Haji ketika pertama tiba di Tanah Suci, 
kami sebenarnya sudah dua kali bertawaf di lingkaran paling dalam, yaitu 
ketika kami menyentuh salah satu sisi Ka’bah dan saat kami bertawaf di 
sisi Hijir Ismail, sehingga dengan bertahan di posisi tersebut tidak 
sulit bagi kami untuk mendekat Hajar Aswad. Tetapi hal itu sama kali 
tidak terpikirkan saat itu, karena waktu itu kami sedang larut dalam doa 
dan tangis keharuan. Menyentuh dinding Ka’bah, bertawaf di sisi Hijir 
Ismail dan memegang Maqam Ibrahim bukan sesuatu yang kami rencanakan 
sebelumnya.
 
Di Tanah Suci sering terjadi hal-hal yang tidak lazim, terutama pada 
saat Allah Yang Mahakuasa ingin memperlihatkan “rapor” makhluknya dengan 
cara yang dikehendakiNya. Misalnya, hawa sejuk yang tiba-tiba dirasakan 
seorang jemaah yang bertawaf di musim panas, di mana temperatur di Mekah 
bisa mencapai 50 derajat Celcius, sementara jemaah di sebelahnya tidak 
merasakan hal yang sama1.  Demikian pula dalam hal mencium Hajar Aswad, 
ada yang dimudahkanNya, dan ada pula yang sebaliknya. 
 
Sebelum berangkat ke Tanah Suci, saya sering mendengar cerita orang yang 
baru berhaji  mengenai hal-hal yang tidak lazim yang terjadi di Tanah 
Suci, termasuk cara yang bersangkutan bisa mencium Hajar Aswad, yang 
sering saya terima dengan sikap skeptis. Tetapi setelah mengalami dan 
menyaksikan beberapa kejadian yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh 
akal, saya sadar bahwa cerita-cerita semacam itu, sekalipun tidak jarang 
diberi bumbu-bumbu pemanis kata, bukan sesuatu yang mengada-ada.
 
Di kafilah kami ada beberapa orang yang ingin dan dengan menempuh cara 
wajar berhasil mencium Hajar Aswad. dengan relatif mudah, dan menurut 
pengamatan saya, mereka-mereka itu, yaitu Mbak Etty, Mbak Dewi dan Mbak 
Tuti isteri Mas Parno, adalah orang-orang  yang  “deserve”. Sebaliknya 
ada jemaah yang sudah berhadapan dengan batu hitam tersebut, tiba-tiba 
tanpa ada yang menariknya, terjengkang ke belakang dan tempatnya segera 
diisi orang lain. Padahal yang mengantar dan berdiri di belakangnya itu 
seorang Ustadz.
 
Bagi yang kurang atau tidak berhasil juga tidak perlu terlalu berkecil 
hati, karena peringatan Allah SWT itu merupakan pendorong untuk bertobat 
dan berbenah diri. Kalau bisa menggunakan momentum itu dengan baik, 
bisa-bisa mereka yang tidak berhasil mencium Hajar Aswad memperoleh Haji 
Mabrur, sedangkan yang berhasil, mendapat Haji “Mabur” karena menjadi 
takabur.
 
Allah Maha Adil, Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
 
Ketika kami baru selesai melakukan putaran ketiga, terdengar suara Azan 
Shubuh.  Kami berhenti tawaf untuk shalat, dan melanjutkannya kembali 
setelah mengucapkan salam dan berdoa.
 
Kur terlihat sangat senang ketika akhirnya saya bisa menyelesaikan 
dengan baik tawaf sebanyak tujuh putaran. Selama tujuh putaran tersebut  
saya memang tidak berhasil mengantar Kur mencium Hajar Aswad, karena 
memang dia tidak terlalu menginginkannya, dan lebih mengkhawatir kondisi 
kesehatan saya.
 
Setelah selesai shalat sunat kami turun untuk minum dan mengambil air 
Zam-Zam. Hal yang agak aneh kembali terjadi. Saya yang dalam tiga pekan 
terakhir ini sangat susah dan sering terbatuk-batuk kalau minum air, 
pagi itu bisa minum air Zam-Zam dengan sangat lancar sampai perut saya 
kenyang.
 
Kami keluar dari Masjid melalu Marwah,  meliwati Pasar Seng kemudian 
berbelok ke kiri mengitari Masjid. Ketika hendak keluar dari Masjid saya 
lihat mata Kur masih basah.
 
Kemudian kami mampir di sebuah depot makanan dan miinuman untuk membeli 
roti kebab (“hot dog” berisi daging ayam atau daging domba cincang, yang 
juga merupakan makanan favorit jemaah haji Indonesia) dan jus jeruk 
dalam gelas plastik berukuran sedang seharga dua riyal. Pemiliknya 
seorang yang ramah dan mengambilkan kursi untuk kami duduk. Tetapi kami 
tidak lama di sana dan makanan dan minuman kami beli kami bawa pulang.
 
Di sebuah perempatan saya sempat kebingungan menentukan jalan ke tempat 
kami biasa menunggu angkot untuk pulang ke pemondokan yang berada tidak 
jauh dari pagar depan Masjid. Saya mendekati askar yang berjaga di sana 
lalu bertanya dalam Bahasa Inggris  jalan mana yang menuju arah Hotel 
Daarut Tauhiid, yang tepat berada di depan Masjidil Haram.
 
Tidak lama berjalan kami bertemu dengan perempuan duafa berkulit hitam 
yang menuntun seorang anak perempuan. Kur memberi ibu dan anaknya uang 
masing-masing satu riyal. Anaknya menolak uang dan menunjuk-nunjuk 
kearah Kur, tepatnya ke arah jus jeruk yang sedang dipegang Kur.  
Mengetahui apa yang diinginkannya, Kur dengan tersenyum segera 
memberikan jus jeruk yang dipegangnya kepada anak perempuan tersebut 
yang menerimanya dengan wajah suka cita.
 
          
1)   Seperti yang ditulis oleh suami isteri Fahmi Amhar, seorang 
insinyur dan isterinya Arum Harianti seorang dokter, yang bermukim di 
Wina, Austria, yang berhaji dalam tahun 1994, dalam buku “Buku Pintar 
Calon Haji” yang diterbitkan oleh Gema Insani Press (1996), yang sesuai 
dengan judulnya, sangat bagus dibaca oleh para calon haji






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke