Sabtu 8 Maret, Arbain hari ke empat.

Ketika kami berangkat untuk melaksanakan shalat Shubuh, Madinah dingin 
sekali dan berangin, sehingga ketika baru menjejakan kaki keluar pintu, 
saya balik lagi ke kamar mengambil jas guna melapisi sweater wol yang 
saya kenakan.

Pengalaman dua hari belakangan ini menunjukkan, saat-saat sesudah shalat 
Shubuh adalah waktu yang saat khusuk untuk berdoa dan berzikir. 
Sebagaimana halnya di Masjidil Haram, setiap habis shalat fardhu, Imam 
Masjid hanya memimpin shalat jenazah jemaah haji yang wafat di Madinah. 
Tidak ada do’a atau wirid-wirid “terpimpin” seperti yang ditemui di 
sebagian besar Masjid-Masjid di tanah air.

Sekembali dari shalat Shubuh, kami tidak lupa membeli teh susu hangat 
dari “si Arab”, dan harus hati-hati memegang gelas kertasnya agar isinya 
tidak tumpah ketika hendak naik ke lantai kami dengan menggunakan lift 
“jaman baheula” yang jalannya bergoyang-goyang dan pintunya membuka ke 
luar seperti pintu kamar yang menutup dan membukanya didorong dan 
ditarik pakai tangan.

Seperti malam-malam kemarinnya, malam itu saya agak susah tidur dan 
hanya bisa terlelap selama satu atau dua jam. Di kamar kami terdapat 
empat dipan, tiga diantaranya berjejer ke samping yang ditempati oleh 
saya, Kur dan Bu Juminem, dan satu lagi melintang mepet ke dinding yang 
ditempati oleh Pak Tukiman. Kami tidur dengan kepala yang berlawanan 
arah dengan dipan Pak Tukiman. Kur yang di rumah jarang tidur pakai 
selimut, kalau tidur hampir selalu miring ke kiri atau ke kanan. Karena 
itu kalau berbalik selimutnya sering terbuka, sehingga walaupun selalu 
tidur berpakaian rapat, bentuk tubuhnya kelihatan. Hal itu tampaknya 
membuat Pak Tukiman risih, sehingga kalau terbangun, Pak Tukiman yang 
sejak masih di Mekah dulu rajin bertahjud, langsung keluar dan sehabis 
shalat tidak kembali lagi ke kamar atau tidur di luar sampai kami semua 
bangun.dan keluar kamar.

Sebuah sikap Muslim sejati!

Karena itu malam sebelumnya ketika hendak tidur, Kur saya minta untuk 
mengubah arah tidurnya, kepalanya ke arah Pak Tukiman. Lalu setiap saya 
saya terbangun dan jika melihat selimut Kur tersingkap, segera saya 
rapihkan kembali.

Tinggal, beraktivitas dan berinteraksi dengan intensif untuk jangka 
waktu yang relatif panjang bersama jemaah yang mempunyai berbagai 
karakter dan kebiasaan yang berbeda dan baru saling kenal, yang kalau 
tidak dihadapi dengan sikap dewasa bisa menimbulkan masalah atau 
kesalahpahaman. Kesalahpahaman itu pulalah yang menyebabkan hubungan Kur 
dengan Bu Juminen sempat agak tegang dua hari yang lalu. Pasalnya Kur 
tidak “happy” waktu Bu Juminem mengatakan: “Bu Kurniah mah enak, begitu 
sampai di tempat tidur langsung mendengkur”. “Memangnya dia tahu kalau 
dia tidur juga mendengkur”, ujar Kur sewot ketika menceritakan hal itu 
kepada saya, yang langsung saya tanggapi agar dia mengahadapi hal itu 
dengan lapang dada, yang saya teruskan dengan ucapan yang berbau klise, 
“Ingat, kita datang kesini untuk beribadah”. Dan saya gembira ketika 
kemarin malam Kur sudah biasa kembali.

Ketika terbangun tidur sekembalinya dari shalat Shubuh di Masjid pagi 
itu, saya menemukan sebuah payung berwarna menarik di samping saya, yang 
rupanya berasal dari Mas Andi. Dengan demikian kami mempunyai dua buah 
payung, karena kemarin Kur menemukan tempat orang menjual payung dan 
membeli sebuah payung berwrna putih buatan Jepang seharga 5 riyal. 
Ketika Kur menemui Mas Andi untuk mengganti uangnya, Mas Andi tidak mau 
menerimanya. Ah, Mas Andi.

Setelah selesai mandi, seperti biasa kami duduk beriung di ruang serba 
guna. Pagi itu kami membicarakan usulan beberapa orang jemaah agar 
langganan katering dan uang dikembalikan, karena pengirimannya yang 
tidak tepat waktu. Kami kemudian memutuskan untuk tetap menggunakan 
katering, karena repot kalau harus setiap kali harus membeli nasi dan 
lauk untuk makan, walaupun bagi saya dan Kur nasi boks yang dikirim 
siang, kecuali buah dan air kemasan tidak termakan, karena kami tidak 
pulang dan makan di rumah-rumah makan di dekat Masjid. Menurut saya 
makanan yang dari katering itu rasanya lumayan, karena selalu ada 
sambal. Hanya lalapannya hampir selalu mentimun dan kol mentah, yang 
cenderung menghasilkan gas di dalam lambung yang memudahkan batalnya 
wudhuk ketika di Masjid. Ketika di tegaskan oleh Pak Ketua Kafilah bahwa 
kita tidak bisa membatalkan perjanjian begitu saja ditengah jalan, 
walaupun tetap ada yang “ngerundel”, akhirnya langganan katering 
diteruskan.

Ketika kembali ke Masjid untuk melakukan shalat dhuhur, saya langsung 
mencari tempat kesukaan saya di bagian belakang yang beralaskan 
permadani di belakang kaki pilar yang berbentuk segi empat. Dari sana 
dekat ke rak Al Qur’an dan rak sendal yang bernomor, sehingga kalau saya 
terpaksa ke toilet atau hendak memperbarui wudhuk saya mudah mencari 
sajadah yang saya tinggalkan di sana. Beristirahat sambil tidur-tiduran 
juga enak di sana karena kepala tidak akan dilangkah-langkahi orang.

Saya hanya memperbarui wudhuk kalau wudhuk saya batal setelah buang air 
kecil. Kalau batal karena “buang angin” saya biarkan saja dulu. Malah 
kadang-kadang saya sehabis shalat saya sengaja “buang angin” agar perut 
saya nyaman, dan baru ke toilet dan memperbarui wudhuk kalau saya ingin 
buang air kecil. Karena di toilet hampir selalu antri, biasanya saya 
memperbarui wudhuk 45 menit menjelang waktu-waktu shalat wajib.

Setelah melakukan shalat tahiyatul Masjid seperti kemarin, saya langsung 
membaca Al Qur’an, dan selama membaca itu suara saya selalu mengalami 
perbaikan, lebih jelas dan lebih keras. Demikian pula halnya dengan 
kondisi badan saya, sekalipun masih batuk-batuk yang disertai 
pengeluaran lendir jika minum air Zam-Zam, dan sesekali masih mengalami 
sesak nafas yang segera saya atasi dengan menghirup Atrovent inhaler.

Sewaktu beristihat setelah shalat dhuhur, saya sempat mengobrol dengan 
jemaah haji asal Malaysia yang sedikit lebih tua daripada saya. Dia 
menceritakan bahwa dia aslinya berasal dari Pariaman, Sumatera Barat dan 
hajinya waktu itu adalah untuk kedua kalinya. Atas pertanyaan saya dia 
menceritakan bahwa jemaah haji Malaysia yang pengelollan perjalanan haji 
nya dilakukan oleh badan sta “Tabung haji” membayar ONH sebesar 9.500 
ringgit yang apabila dirupiahkan lebih murah dari pada ONH yang dibayar 
jemaah Indonesia embarkasi Jakarta, atau Medan yang lebih sesuai untuk 
dijadikan sebagai pembanding1. Di Madinah mereka ditempatkan di hotel 
bertingkat dua puluh. Di belakang hotel tersebut bertebaran pemondokan 
jemaah haji Indonesia dengan kondisi lebih kurang sama dengan kondisi 
pemondokan yang kami tempati waktu itu.

Karena di belakang terasa semakin dingin, selesai ngobrol saya pindah 
untuk ke ruang terbuka yang siang hari ditutupi dengan fiber glas yang 
lebih hangat karena cahaya matahari bisa menembus fiber glas dan 
celah-celah di pinggir-pinggir ruang yang tidak tertutup oleh atap fiber 
glas.

Merasa kondisi saya semakin membaik, ketika makan dengan Kur sehabis 
shalat Ashar, saya katakan bahwa saya merencanakan akan ke Raudah hari 
Senin pagi. Tadinya hari Selasa pagi, tetapi saya ubah, karena hari 
Selasa itu kafilah kami akan mengunjungi lagi beberapa tempat di sekitar 
Madinah.

Sehabis shalat Ashar, kami kembali makan siang di Hotel Bahaudin. 
Mengikuti selera makan yang semakin membaik, saya dapat menghabiskan 
nasi satu piring.

Setelah selesai makan Kur terbatuk-batuk dan berlari kecil menuju 
toillet. Tetapi terlambat, sehingga pakaian dalamnya basah kena 
pipisnya. Tadinya saya kira hanya sedikit sehingga saya sarankan untuk 
dibasahi air saja. Ternyata tidak, malahan merembes ke pakaian luarnya, 
sehingga mau tak mau Kur harus pulang ke pemondokan untuk mandi dan 
berganti pakaian. Saya yang tidak bisa mengantar sangat mencemaskan Kur 
pulang sendirian, takut terjadi apa-apa pada dirinya, karena di 
perempatan jalan lingkar Kota yang memotong jalan persis sebelum 
pemondolan kami, mobil biasanya melaju kencang dan jarang yang mau 
mengurangi kecepatannya, walaupun melihat ada orang yang menyeberang.

Pikiran itu tetap menganggu pikiran saya setelah kembali ke Masjid, 
sehingga saya tidak bisa melanjutkan pembacaan Al Qur’an. Saya terus 
menerus berdoa agar Allah SWT melindungi isteri saya. Mendekati Magrib 
pikiran saya kembali tenang sehingga saya dapat melaksanakan shalat 
Magrib dengan tuma’ninah. Sesudah shalat magrib, udara di ruang terbuka 
terasa dingin karena sebelumnya atap fiberglasnya sudah ditutup dari 
ruang kontrol dan merapat dengan apik ke tiang-tiang penyangganya. Saya 
kembali pindah ke saf di barisan belakang, memperbarui wudhuk ke toilet 
dan bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Isya. Tempat “favorit” saya 
di saf bagian belakang ialah di antara “lorong” (bagian yang tidak 
berlapis karpet) pintu Raja Fahd dan Pintu Badar.

Selesai shalat Isya saya tidak bisa menyembunyikan rasa suka cita saya 
ketika bertemu kembali dengan Kur di tempat pertemuan kami yang biasa 
dan langsung menceritakan betapa saya menkhawatirkan dirinya. Kur 
menceritakan bahwa dia diantar oleh Surya yang tadinya belum akan 
berangkat ke Masjid tetapi menyegerakannya ketika melihat Kur berangkat 
sendirian.

Di perjalanan pulang Kur menceritakan bahwa di Masjid dia tadi duduk 
berdekatan dengan jemaah haji India yang kemudian memeluknya dan 
memberinya gelang yang dikenakannya saat itu. Kur juga menceritakan 
tentang jemaah haji Afganistan yang setiap hari berpuasa karena bekal 
mereka yang sangat terbatas. Karena itu besok Kur akan membawa makanan 
ke Masjid untuk mereka.

Kur yang siang tadi masih ke Raudah menjelang waktu Ashar, menceritakan 
bahwa dia bertemu dengan jemaah haji yang besok akan melakukan “Raudah 
Wada” karena akan kembali tanah air.

Raudah Wada? Tercengang saya mendengar istilah itu. “Tercengang” dan 
“kagum” terhadap “kreativitas” para jemaah haji, terutama para ustadz 
pembimbing, menciptakan istilah dan kegiatan-kegiatan yang tidak jelas 
juntrungannya, atau memberikan penekanan yang berlebihan, kurang 
proporsional, terhadap keutamaan dan keijabahan berdoa di depan Ka’bah 
dan Raudah, sehingga di tempat yang terakhir ini, jemaah selalu penuh 
sesak, dorong mendorong, sikut menyikut, tetapi melwati begitu saya 
saat-saat berwukuf di Arafah untuk berdoa, mengadu dan bermunajat kepada 
Allah SWT yang sangat aman dan nashnya kuat. Di Raudah, berdesak-desakan 
lebih berisiko tinggi karena tempatnya terbatas.

Hal ini sering mimbulkan kesan, seakan-akan Islam mengajarkan 
penganutnya melakukan penyiksaan dirinya untuk mencapai keutamaan. 
Karena itu tidak mengherankan kalau ada orang-orang di luar Islam atau 
orang-orang “Islam KTP” yang beranggapan bahwa melakukan ibadah haji 
adalah pekerjaan “bodoh”. Sudah mengeluarkan uang banyak sering celaka 
pula.

Pada hal secara prinsip peribadatan dalam Islam mudah dan tidak 
memberatkan. Padahal ibadah haji---meminjam Ali Shariati”---adalah 
“evolusi manusia menuju Allah”. Dengan kata lain, perjalanan haji, 
walaupun bertumpu pada aktivitas-aktivitas fisik, pada dasarnya lebih 
merupakan perjalan spritual ketimbang fisikal.

Dan ibadah haji, puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya bukan wahana 
untuk penyiksaan diri.

“……Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran 
bagimu…..”(Al Qur’an, S 1:185)

Karena itu salah satu ketentuan fikih berbunyi: “Mencegah kemudaratan 
lebih didahulukan dari pada meraih kemanfaatan”

Tetapi apalah awak ini.



1) 9.500 ringgit, pada nilai konversi 1 ringgit=Rp 2.500 setara dengan 
Rp 23,75 juta. Jumlah ini lebih rendah dari pada ONH yang dibayar jemaah 
Indonesia embarkasi Jakarta sebesar USD 2673+Rp 1,5 juta yang pada nilai 
koversi ketika itu 1 USD=Rp 9.000, setara dengan Rp 25,56 juta, atau 
sekitar Rp 24,5 juta bagi jemaah haji emabarkasi Medan yang lebih sesuai 
untuk dijadikan sebagai pembanding. Jemaah haji Indonesia yang 
pengurusan perjalanannya dilakukan Yayasan masih dikenakan fee yang 
berkisar antara Rp 2,5 s.d. Rp 4,0 juta. Jemaah haji Malaysia tidak 
memperoleh living cost sebesar 1.500 riyal seperti jemaah haji 
Indonesia, yang setelah dipotong dam dan pengeluaran lainnya tinggal 
1.000 riyal atau Rp 2,5 juta. Tetapi makan dan seluruh keperluan jemaah 
lainnya selama di Tanah Suci, termasuk pembayaran dam ditanggung oleh 
“Tabung Haji”.







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke