Minggu, 9 Maret, Arbain hari ke lima. Pagi itu, sesudah Shubuh sebagian besar jemaah diantar Pak Ustadz ke Pasar Kurma untuk membeli oleh-oleh. Kur ikut, sedangkan saya memilih beristirhat di pemondokan. Di Pasar Kurma itu Kur membeli sejumlah produk kurma untuk oleh-oleh dan kurma Nabi untuk saya.
Ketika kembali duduk beriung sebelum berangkat ke Masjid sebelum waktu lohor, saya minta tolong Mas Juliansyah yang sebelumnya sudah pernah berumrah dan sudah beberapa kali ke Raudah untuk membuatkan sketsa Raudah guna memudahkan saya ke sana Senin pagi. Mendengar itu Mbak Etty bilang agar saya diantar Mas Juliansyah saja ke sana. Saya bilang tidak usah, biar tidak merepotkan. Mbak Etty kemudian menceritakan pengalamannya ke Raudah bersama Kur. “Yang pertama didoakan Bu Kurniah adalah agar Allah segera mengambil kembali penyakit Pak Darwin”, ujarnya, yang membuat saya tersenyum senang. Seperti di hari-hari kemarinnya di Masjid sebelum waktu Dhuhur, saya melanjutkan membaca Al Qur’an melanjutkan bacaan yang sudah selesai saya baca kemarin. Suara serta kondisi kesehatan saya kembali mengalami perbaikan. Karena di belakang terasa dingin, saya langsung pindah ke ruang yang terutup fiberglass tepat di pinggir bagian yang tidak tertutup. Saya mengambil sebuah rehal, membungkusnya dengan sajadah dan menjadikannya bantal. Melihat itu seorang jemaah asal Bangladesh yang masih muda dan tampak terpelajar, menyerahkan kain sarungnya yang putih bersih dengan kotak-kotak hitam tipis untuk saya jadikan bantal. Dengan agak malu saya menolaknya, tetapi dia tetap menyodorkannya. Melihat ketulusan wajahnya, akhirnya sarungnya saya terima dengan perasaan terharu. Dan orang Bangladesh itu kemudian melanjutkan perbincangan dengan teman-temannya. Saya lalu merebahkan diri dengan berbantal sarung orang Bangladesh. Di celah-celah antara tutup fiberglas dengan pinggir ruang terbuka itu terlihat langit biru tak berawan. Pada saat itu saya mengalami perasaan yang sangat bening, lega dan damai yang belum pernah saya alami sebelumnya. Setelah puas beristirahat, sarung orang Bangladesh saya kembalikan dengan ucapan terima kasih dan menjabat erat tangannya. Kemudian saya ke toilet untuk memperbarui wudhuk dan bersiap-siap untuk shalat Ashar. Selesai shalat Ashar, Kur mengajak saya untuk makan di tempat sebagian jemaah kafilah kami makan di lantai dua salah satu toko di deretan bangunan yang terletak di pinggir jalan yang tegak lurus ke pagar depan Masjid . Di sana saya bertemu dengan beberapa jemaah yang saya kenal dengan baik yang lebih dulu datang. Saya melihat bahwa wajah sebagian besar para isteri lebih segar dan “sumringah” dibandingkan dengan ketika berada di Mekah di mana para suami dan isteri harus tidur di kamar terpisah. Ya, tahu sama tahu lah awak. Makanan di Rumah Makan ini memang agak murah, tetapi rasanya tidak istimewa, apalagi di sisni tidak ada sambalnya. Ketika sedang makan Kur berbincang-bincang dengan dua orang perempuan muda yang sangat serasi dalam busana muslim berwarna hitam yang dikenakannya, yang menceritakan bahwa mereka bekerja di kantor Maskapai Penerbangan “Saudia” di Jeddah, dan mengambil cuti untuk melaksanakan ibadah haji pada masim haji ini. Saya kembali ke tempat semula di dalam Masjid, dan setelah melakukan shalat Tahiyatul Masjid, melanjutkan membaca Al Qur’an sampai saat Azan Magrib tiba. Sehabis shalat saya kembali pindah kebagian belakang yang tidak terlalu dingin. Ketika hendak memperbarui wudhuk untuk melakukan shalat Isya saya lupa mengingat nomor rak sendal terdekat, sehingga saya tidak dapat menemukan tempat di mana saya menaruh sajadah tadi. Akhirnya saya kehilangan sajadah oleh-oleh Almarhum ayah Kur waktu menunaikan haji. Padahal saya menyukai sajadah tersebut karena agak tebal sehingga lebih bisa melindungi dari dinginnya lantai Masjid yang penyejuk udaranya terletak di bawahnya atau saya jadikan “undung-undung” untuk melindungi badan saya dari sejuknya pagi pagi dan dinginnya malam. Senin, 10 Maret, Arbain hari ke enam. Sesuai dengan rencana, pagi itu ba’da Shubuh saya akan ke Raudah. Karena khawatir hilang, saya tidak berani membawa sajadah merah berkualitas tinggi oleh-oleh Almarhumah Uni Niar, kakak (angkat) saya tertua yang sangat sayang kepada saya, ketika menunaikan ibadah haji, yang biasa dipakai Kur. Karena itu, saya “terpaksa” menggunakan sajadah “sumbangan” Pak Menteri Agama. Karena berniat hendak ke Raudah, sebelum berpisah saya menegaskan kepada Kur bahwa ia tidak usah menunggu saya untuk pulang bersama. Begitu memasuki Masjid, saya memilih saf di ruang terbuka beratap fiber glass paling depan yang berada di belakang sekat yang membatasi bekas bangunan lama hasil renovasi Khalifah Umar bin Abdul Azis yang desain arsitektur, aksesori dan sistem pendinginannya tersendiri, dengan bangunan hasil perluasan-perluasan sesudahnya yang waktu ini merupakan kesatuan tersendiri. Ketika itu jemaah sudah tidak sepadat ketika kami mulai datang, karena sebagian jemaah sudah kembali ke tanah airnya. Giliran jemaah laki-laki untuk masuk ke Raudah adalah sesudah selesai shalat Shubuh sampai saat shalat Dhuha. Karena itu seusai shalat saya langsung bersiap-siap. Agar bisa bergerak lincah di Raudah saya meninggalkan sajadah dan sendal saya yang terbungkus plastik di rak sendal yang sudah saya ingat nomornya. Saya kemudian melihat denah yang dibuat Mas Juliansyah, dan untuk menegaskan orientasi saya, saya bertanya dalam Bahasa Inggris kepada seorang Askar yang kebetulan berada di dekat sana, yang langsung menunjukkan tangannya ke arah yang saya duga. Tetapi, tanpa saya duga saya tidak menempuh arah yang langsung ke Raudah, tetapi mengikuti arah jemaah yang hendak berziarah ke makam Rasullulah. Menyadari bahwa saya berada di dekat makam Rasullulah, perasaan haru muncul, lalu saya mengucapkan salam kepada Nabi dan sahabat-sahbatnya yang dimakamkan di dekat makam beliau dan membaca selawat bagi beliau dengan linamgan air mata. Sebenarnya ada pintu yang menghubungkan lorong yang digunakan jemaah yang menziari makam Rasullulah, yang langsung berhubungan dengan pintu Masjid di sebelah timur, dengan Raudah. Tetapi ketika itu pintu-pintu tersebut tertutup dan dijaga sejumlah Askar. Merasa sudah cukup puas dengan menziarahi makam Rasullulah, saya bermaksud untuk pulang dan mencoba untuk ke Raudah nanti siang sesudah shalat Dhuhur. Karena itu saya langsung keluar dan masuk lagi ke Masjid melalui pintu belakang, terus kearah tempat saya meninggalkan sajadah dan sendal sebelumnya, dan betapa kagetnya saya karena tempat tersebut sudah di sekat untuk dibersihkan. Saya mencoba untuk masuk dari sisi timur yang berbatasan dengan ruang jemaah perempuan, tetapi saya tidak menemukan celah. Kemudian saya coba dari sisi Barat dan dari sana saya melihat jemaah berjalan berbondong-bendong di sebelah Barat sekat eks bangunan lama. “O la la, mereka ini pasti menuju Raudah ya”, saya berkata dalam hati, lalu membaurkan diri dengan mereka. Benar saja, begitu tiba di Raudah sebagian jemaah langsung shalat sunat berdesak-desakan. Saya mencoba ikut shalat dengan nyempil di antara mereka. Tentu saja sukar untuk shalat dengan tuma’ninah dalam kondisi seperti itu. Kemudian saya cari tempat yang agak longgar di pojok belakang dan kembali shalat sunat. Setelah selesai saya bangun karena ada jemaah yang sudah menunggu di belakang. Setelah bangun sambil berjalan saya berdoa bagi anak-anak, handai taulan dan diri sendiri, lalu bergabung dengan jemaah yang bergerak keluar Raudah dan terus keluar Masjid. Setelah tiba di luar saya langsung pulang dengan nyeker karena saya pikir sudah tidak mungkin lagi bagi saya untuk menemukan sajadah dan sendal saya yang tertinggal di dalam Masjid. Karena dalam latihan Tetada Kalimasada saya sudah terbiasa menggesekkan telapak kaki ke permukaan tempat latihan, saya tidak mengalami masalah yang berarti untuk pulang ke pemondokan tanpa alas kaki. Kur senang, kaget dan geleng-geleng kepala mendengar cerita saya. Demikian pula halnya dengan teman-teman sesama jemaah. Siang itu saya ke Masjid dengan menggunakan sendal Kur dan membawa sajadah “sumbangan” Menteri Agama yang satu lagi. Setelah tiba kembali ke Masjid untuk shalat Dhuhur saya meneruskan pembacaan Al Qur’an. Ketika makan siang sesudah Ashar kami tidak makan di RM Hotel Bahaudin, tetapi di tempat saya makan pertama kali yang terletak di basement Hotel Jazeera di sebelahnya. Waktu kami masuk dari lantai satu terdapat kesibukan yang luar biasa. Kemudian kami ketahui bahwa jemaah haji asal Malaysia yang menginap di hotel berbintang tersebut sedang bersiap-siap untuk kembali ke tanah airnya. Saya makan dengan gulai ikan patin, sayur dan sambal dan berhasil menghabiskan semuanya. Hari itu adalah hari ulang tahun Kur. Di rumah biasanya dirayakan dengan makan bersama anak-anak, menantu dan cucu-cucu di luar atau menyantuni anak yatim. Saya jarang sekali memberi hadiah dan Kur juga tidak terlalu mempersoalkannya, apalagi sampai memintanya. Tetapi ketika itu ia menginginkan sesuatu, tetapi dana kami yang tersisa sudah tidak mencukupi untuk itu. Artinya saya harus menggunakan kartu kredit, suatu hal yang tidak ingin saya lakukan. Saya memang agak hati-hati, atau mungkin terlalu hati-hati dalam menggunakan kartu kredit. “Bagaimana kalau setelah pulang ke Indonesia saja nanti”, jawab saya sembari menelan air ludah. Ketika saya hendak menjelaskan alasan saya tidak ingin menggunakan kartu kredit, Kur langsung menukas: “Sudah, tidak perlu dibahas lagi”. Kami kemudian berjalan ke Masjid tanpa berkata-kata. Peristiwa tersebut sangat menekan perasaan saya. Saya memahami keinginan isteri saya untuk memiliki barang yang dibeli di Tanah Suci yang bisa jadi kenang-kenangan selama hidupnya, isteri yang sepanjang kehidupan perkawinan kami tidak banyak mempunyai tuntutan-tuntutan, tetapi di saat dan tempat yang begini istemewa, saya tidak punya kemampuan untuk mewujudkan keinginannya. Karena itu, setelah kembali ke Masjid saya lebih banyak duduk termangu-mangu dan tidak mampu membaca Al Qur’an pada waktu yang biasa saya gunakan untuk itu. Dan saya merasa sangat lega dan bersyukur karena ketika bertemu dengan Kur waktu hendak pulang ke pemondokan, Kur bersikap biasa dan seperti tidak terjadi apa-apa. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/