Selasa, 4 April 2006, 19:34 WIB
Pungli Berdampak pada Rekonstruksi Aceh
Reporter : Radzie

Banda Aceh, acehkita.com. Truk pengangkut berbagai barang mengalami pungutan
liar (pungli) di rute Medan-Banda Aceh. Pungli paling banyak terjadi di pos
aparat keamanan dan jembatan timbang di kawasan Sumatera Utara. Akibatnya,
harga berbagai barang di Banda Aceh melonjak tinggi dan bisa menghambat
proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.

Survei yang dilakukan Bank Dunia sepanjang November 2005 hingga Februari
2006 menyebutkan, ada 14 pos polisi dan dua jembatan timbang yang mengutip
pungutan liar di sepanjang perjalanan Medan-Banda Aceh. Rata-rata jumlah
uang dibayar di pos  dan jembatan di Aceh adalah Rp 39.076 dan Sumatera
Utara Rp 146.899. Mayoritas pembayaran di Aceh dilakukan setelah Lhokseumawe
(arah menuju Medan -red.).

Perbedaan yang lebih besar terjadi pada pembayaran pungli di jembatan
timbang. Di jembatan timbang Gebang, Sumatera Utara, rata-rata yang harus
dibayarkan para supir truk sebesar Rp 91.864. Angka ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan setoran yang harus diberikan supir di jembatan timbang
Seumadam, Aceh Tamiang, yang "hanya" Rp 15.898.

"Pembayaran di jalan telah berkurang di Aceh, tetapi masih tinggi di
Sumatera Utara," tulis dokumen hasil survei yang dilakukan Bank Dunia
bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias.

Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia di Aceh, Victor Bottini, uang yang
dikeluarkan para supir akibat pungutan liar ini bisa berdampak pada mahalnya
harga berbagai jenis barang di Aceh.

"Ini berdampak pada rekonstruksi dan konsumen dalam bentuk kenaikan harga.
Seharusnya, prioritas utama adalah memastikan agar pembayaran dilakukan
sesuai peraturan dan masuk ke dalam kas negara, juga menurunkan biaya-biaya
tersebut," kata Victor Bottini di Banda Aceh, Selasa (4/4).

Koordinator Program Pascakonflik Bank Dunia, Patrick Barron, dalam
konferensi pers di kantor BRR Aceh-Nias Selasa (4/4), mengatakan, Bank Dunia
melakukan survei terhadap 27 kali perjalanan dari Medan dan 32 perjalanan
dari Banda Aceh.

Pungli terhadap truk terjadi di jalan (on-road) dan di luar jalan
(off-road). Pembayaran di jalan adalah untuk menyetor di sejumlah pos aparat
keamanan dan jembatan timbang. Sedangkan di luar jalan adalah pembayaran
biaya pengawalan dari Banda Aceh dan biayar kemudahan dari Medan.

Patrick menyebutkan, kutipan uang di pos aparat keamanan menurun dari Rp
242.500 (pada November 2005) menjadi Rp 50.666 sekali jalan ke Aceh (pada
Februari 2006). Sebelumnya, pada Maret 2005, para supir harus menyetor uang
di 70 hingga 110 pos polisi di sepanjang rute Medan-Banda Aceh. Rata-rata
yang harus dibayar sekali perjalanan Rp 650.000. Penurunan itu, sebut
Patrick, terjadi setelah penarikan pasukan non-organik dari Aceh setelah
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Nota
Kesepakatan Damai (MOU) di Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu.

Patrick juga menambahkan, pelaku pungli melibatkan aparat keamanan (polisi),
preman, dan petugas di jembatan timbang. Selain itu, para supir juga ada
yang harus membayar uang pengawalan (off-road) kepada Polisi, Brimob, TNI,
dan preman, yang rata-rata Rp 500 ribu sekali jalan. "Ini hanya untuk truk
dari Aceh ke Medan," ujar Patrick.

Bukan hanya itu, sebut Patrick, supir juga harus membayar biaya kemudahan Rp
100 ribu, sehingga bisa mendapatkan keringanan saat kelebihan beban di
jembatan timbang. Ada lima yayasan di Medan yang memberikan jasa ini. Namun,
Patrick enggan menyebutkan nama yayasan yang dimaksud. "Ini untuk
kepentingan investigasi kami selanjutnya," elaknya.

Maraknya pungli di rute Medan-Aceh juga pernah dikeluhkan sejumlah NGO yang
bekerja dalam rekonstruksi Aceh. Menurut Ramadhana Lubis, Environment Policy
Leader WWF-Indonesia Aceh Programme, faktor pungli menjadi masalah serius
dalam memasukkan kayu bantuan luar negeri ke Aceh.

"Banyak NGO yang menghadapi masalah pengutipan (uang) di lapangan," kata
Ramadhana Lubis kepada acehkita.com, usai pembukaan "Lokakarya Menuju Tata
Pelaksanaan Kepemerintahan yang Baik: Islam dan Konservasi Alam" di Sultan
Hotel Banda Aceh, Rabu (9/2) lalu.

Pengalaman World Wide Fund for Nature saat mengimpor tujuh kontainer kayu
dari Amerika Serikat, mengalami kutipan uang di 27-30 titik sejak dari
Belawan hingga ke Banda Aceh. "Ini yang sangat dikeluhkan kawan-kawan NGO
yang terlibat dalam rekonstruksi dalam mendatangkan kayu bantuan luar negeri
untuk kebutuhan di Aceh," ujarnya. [dzie]





[Non-text portions of this message have been removed]



Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke