Salaams
   
  Ini memang catatan lama, lama sekali tersimpan.  Bukan bermaksud hendak 
membuka luka lama, open the old wound...dari catatan lama ini justru menunjukan 
bahwa saksi mata itu masih menderita dan dengan mata telanjang kesaksian mereka 
tak bisa diabaiakan begitu saja. selamat menikmati
   
  ----
   
   
  Mereka Yang Terusir
   
   
  "Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Poso yang puncak puncaknya terjadi pada 
22 Mei 2000 merupakan imbas dari tragedi Maluku. Dibelakang semua ini adalah 
merupakan pertarungan di elit politik. Dikemas sedemikian rupa sehingga 
masyarakat Indonesia yang multi etnis dan agama sangat mudahnya disulut kendati 
mereka dulunya adalah row-model (contoh) untuk kerukunan. Mereka, para 
pengungsi, masih terlunta, terlantar dan tersebar dimana mana, mereka menjadi 
pengungsi dinegerinya sendiri..." . 
   
   
  Juli  2004. 
   
  Pesawat Merpati menyentuh landasan bandara ‘Mutiara’, Palu. Sambil menunggu 
bagasi, nampak beberapa wajah yang kukenal, menyembul diantara kerumunan 
penjemput. Mereka melambaikan tangannya. Mata mereka nampak berbinar menyambut 
kami. Duapuluh satu bulan memang aku tidak menginjak tanah Poso. Terlalu lama 
memang. 
   
   
  Kijang berplat merah memboyong kami ke kota Poso, sebuah kota yang punya nama 
tersendiri dalam kehidupanku. Sebuah nama yang aku sendiri hampir tidak pernah 
mengenalnya. Sebuah hulu dimana aku memulai perjalanan hingga kemuara 
perjuangan, menurutku ... 
   
   
  Poso, adalah nama kota dan kabupaten yang hampir tidak dikenal sampai dengan 
terjadinya tragedi kemanusiaan yang puncaknya terjadi dibuan Mei 2000. Mungkin 
karena letaknya yang jauh dipedalaman, dibalik gunung dan jurangnya yang curam, 
tersekat oleh hutannya yang lebat, sengaja atau tidak, suara derita mereka tak 
diperdengarkan hingga adanya sebuah kenekadan untuk menyaksikan sendiri. 
   
  *** 
   
  Mobil yang memboyong kami terus melaju sementara kelelahan serta panas-nya 
udara Poso masih menyelimut. Sang Personal Assistan yang dengan setia 
mengawalku duduk di jok belakang ditemani oleh yang lainnya. Lamat jauh 
ditengah debu yg berterbangan tampak kulihat sebuah gapura berwarna merah 
bertuliskan " Selamat Datang di Kabupaten Poso, hatiku mulai berdegub, 
menggoreskan kenangan lama akan sebuah ‘Perjalanan Hati’ bersama jeritan si 
Yatim, Janda dan gelora jihad para Syuhada. 
   
   
  Kami tiba di Poso kota, kami diinapkan disebuah hotel tepat berada 
dipinggiran pantai Poso, pantai yang menyimpan ratusan cerita duka warga Poso 
yang hingga kini tak terselesaikan. Seakan permainan cantik itu sukar 
dihentikan. 
   
   
  Kepasar Poso 
  Hotel cuma menyediakan kopi tubruk, seteguk dua teguk kuminum...ahhh terlalu 
manis sekali, aku tak sanggup untuk meneguk semuanya. Tiba tiba kudengar suara 
deru mesin motor diluar. Nurdin datang..’ Teh kita pakai ojek aja ke pasar.." 
buatku tak ada pilihan, kami siap untuk berangkat.
   
   
  
  Panasnya mentari Poso sudah mulai menyengat. Tibalah kami dipasar. Kami 
menelusuri dari satu lorong kelainnya, mencari ibu-ibu janda Walisongo yang 
tengah berjualan. Nurdin mengalami kesusahan untuk mengenal dan mencari mereka. 
Akhirnya kami temukan juga. Seorang ibu duduk diantara tumpukan sayuran, 
menyambut kami. Senyumnya menyungging. 
   
   
  " Ohh pak Nurdin..salamalekum..mau meriksa tokh pak" ? sambutnya. 
   
  " Oh bukan,..ini lho bu... ingat tidak dengan ibu ini..." si ibu janda 
mengamati akhirnya dia sadar dan ingat. 
   
  " Oh lha iyya.. koq lama tenan ndak datang tokh bu...?" kedengaran kental 
aksen Jawanya, sambil menyodorkan tangannya menyalamiku. Akhirnya aku ikutan 
mojok, duduk di bangku dingklik yang rendah seolah aku ikut jualan sayuran 
milik si ibu yang terdiri dari kangkung, terung, daun singkong, sawi, lengkuas, 
papaya dan bunga pepaya dan wah banyak lagi, semua sangat eksotik menggiurkan, 
pikirku. 
   
   
  Kira kira 15 menit aku berbincang dengan ibu Tukinem. Kami pamit dan pergi 
menemui yang lain. Ada empat janda yang kita temui pagi itu. Mereka adalah 
janda-janda dari desa Sintuwulemba, Kilo Sembilan tempatnya Pesantren 
Walisongo, Kabupaten Poso. 
   
   
  Mereka mendapat prioritas pertama untuk mendapat bantuan pinjaman tanpak 
bunga dari sebuah Yayasan Ar-Raudhah, BMT yang dirikan beberapa silam lalu, 
yang modalnya adalah dari dermawan di Inggris. Nurdin dan assistenku mencatat 
semua percakapan kami baik kemajuan dan kendala yang mereka hadapi serta 
harapan mereka. Intinya mereka perlu modal lagi untuk meningkatkan usahanya. 
Kami pamit. 
   
   
  Ibu-bu ini tak mampu menyewa kios jadi rata rata para penjual dagangan semua 
menggelar dibawah. Kami terus jalan menelusuri pasar. Aku bentul betul 
menikmati pasar tradisi yang begitu becek, berlantaikan tanah, riuh oleh suara 
yang menjajakan jualan, terlebih dibagian ikan Sampah bertumpuk dimana-mana. 
Lalat beterbangan, sampai kita berada ditempat yang terbuka lepas. 
   
   
  " Bentar Nur " aku meminta mereka untuk berhenti berjalan. 
   
  " Napa teh.." Nurdin bertanya heran. Lalu aku diam sejenak, ada pemandangan 
unik.  "Coba perhatikan ya ...lihat sepanjang barisan ini niih.. rata-rata yang 
berjualan ibu ibu..dan mereka berjilbab semua, gimana tuh ?". Aku terpana. 
   
  " Yaaa itu teteh...sejak habis kerusuhan semua ibu-ibu di Poso pada pake 
jilbab, biar gimana keq modelnya " jawabnya  " Ohh Alhamdulillah. ..ya itu 
impak yang bagus ya? ’ aku terus berfikir sambil terselip rasa kagum. 
   
  " Laaah iyalah..kerusuhan ini ada pelajarannya..." Nurdin menjawab dengan 
tegas. 
  " Nnahh itu tuuuh pembelanja yang tidak berjilbab ...kakinya telanjang, siapa 
tuuh ?", tanyaku lagi. " Ohh itu biasanya mereka adalah tetangga sebelah dari 
Lage atau Betania. 
   
  Sekarang mereka dah pe-de banget Teh... engga perlu dikawal aparat lagi ...", 
ujar 
  Nur. Menarik juga. Jadi sesungguhnya sudah ada interaksi antar dua komunitas. 
Walau kami dengar perdamaian itu setengah dipaksakan. Akhirnya kami mencari 
warung sambil menikmati sarapan ala pasar. Kami lanjut....terik sang mentari 
kian memanas, desingan sura motor para pengemudi Ojeg menambah riuhnya pasar.. 
   
   
  Janda-janda Walisongo 
  Akhirnya kami tiba disebuah komplek rumah-rumah gubuk atau gedek, kami 
dipersilahkan duduk dibangku buatan bambu, ditemui oleh seorang lelaki, 
memperkenalkan diri sebagai wakil kepala desa, kami berbincang. Semeliwir angin 
mampir diwajahku, terasa sejuk. 
   
   
  " Waah sayang bu mereka lagi kekebun... lagi metik coklat, separuh jualan 
dipasar", ujarnya, sambil menyilakan untuk minum hidangan yang disediakan. 
   
  " Anak anak belum pulang dari sekolah, pak ?" tanyaku 
   
  " Sebentar lagi mereka pulang bu " ujar pak Wakdes. 
   
  Pak Wakdes masuk kedalam. Ia menunjukan kepada kami buku berukuran besar. 
Didalamnya catatan daftar anggota warga Kilosembilan. Aku takjub. 
   
   
  Sesungguhnya desa Walisongo sudah tidak eksis lagi namun administrasi masih 
berjalan dan jabatan seperti Kepala dan Wakil Kepala Desa masih ada, bahkan 
daftar urutan warga masih ada, tertata dengan rapi. 
   
   
  Konon mereka tersebar dimana-mana, diantaranya di Palu. Bahkan ada yang mudik 
ke Jawa. Aku sempat menemui Ilham, saksi hidup di Palu, the survivor, ia 
menunjukan bekas luka bajokan di punggung belakang. 
   
   
  Sambil menunggu anak-anak kami berbincang tentang kondisi umum dan nasib 
mereka yang masih berstatus pengungsi dan belum berani kembali ke desanya yang 
berada di desa Sintuwulemba, kecamatan Lage 
   
          
  Mereka Terusir... 
  Mereka, terusir dari kampung halamannya di Sintuwulemba sejak bulan Mei 2000, 
desa yang berjarak kira kira 9 kilo dari kota Poso. Sebuah desa yagn dibangun 
oleh komunitas Jawa yang dikenal dengan kemakmuran dan kesuburan tanahnya. 
Menurut laporan ada sekitar sekitar 400-an warga yang menjadi pada masa 
kerusuhan. 
   
   
  Atau, mereka yang terperangkap di masjid, yang tak memiliki lagi pilihan 
kendati mereka melambaikan bendera putih sebagai tanda menyerah dan damai. Ada 
sekitar 70 santri dan ustadznya, mereka dihabiskan nyawanya didalam mesjid itu. 
   
   
  Cabikan dari Bedug dan percikan darah masih nampak membekas didinding, daftar 
nama khotib dan kapitulasi dana masjid masih terpampang, diam membisu.
  Begitu juga bercak darah dilantai kelihatan, kendati sudah mereka cuci namun 
tidak juga pupus. Diam statis, ingin tetap jadi saksi, menyisakan selaksa nyeri 
dihati. 
   
   
  Entahlah..bulu kudukku jadi berdiri, merinding  saat aku berjalan didalam 
masjid, hening dan sunyi. Begitu  heningnya hingga aku bisa mendengar suara 
nyamuk yang berupaya  menyengat. Whooof mereka haus darah pula !
   
   
  Sedang rumah-rumah pendudukpun telah rata dengan tanah. Tanaman begitu bebas 
menjalar liar merayapi sisa reruntuhan, bunga matahari, pink cerah sang 
bogenville terjuntai dan merambah kemana mana, seakan ingin mengatakan 
kesaksikan mereka kepadaku. Kilatnya dedaunan yang hijau pekat dari pohon 
nangka, pisang dan alpukat, memantul oleh siraman sinarnya mentari, menunjukan 
kesuburan tanah di desa itu. Deserted town., desa yang ditinggalkan oleh 
penghuninya karena kalah perang. Mati. Totally. 
   
   
  Suasana diluar terasa  nampak angker. Mereka para aparatpun mengatakan bahwa 
mereka sangat tidak menyukai ditempatkan disitu karena sering mendengar dan 
menyaksikan yang aneh dan menyeramkan. 
   
   
  Kami keluar, kesamping  Masjid. Menohok kebelakang halaman masjid. Tak jauh 
dari situ memang ada tepian sungai atau Kuala. Sejauh mata memandang...tanpak 
hamparan sawah dan kebun coklat yang tak berbatas luasnya, yang konon dijadikan 
salah satu alasan dari beberapa teori sebuah konflik entah itu 'kecemburuan 
sosial', atau karena mereka transmigran dari Jawa yang dianggap sebagai 
pendatang yang harus hengkang dari bumi Poso, yang menyebabkan Tibo dan regu 
pembantai datang disuatu keremangan subuh untuk menghabisi nasib warga 
Kilosembilan. 
   
   
  Konon Tibo amat dikenal didesa Sintuwulemba, sering datang dan singgah 
sehingga anak-anak disana memanggilnya 'Oom Tibo..Oom Tibo !'.Ujar ibu-ibu 
janda Walisongo.  Ahh aku jadi hanyut.. membawa kenangan perjumpaan pertama 
dengan ibu-ibu ini di Masjid di Jalan Jawa atau Madura di bulan Januari 2001.  
Aku berhenti mengingat masa lalu..... 
   
                  *** 
   
  Ibu-ibu mulai berdatangan, mereka mematut-matut diri mengenakan baju seadanya 
berupa kebaya dan kerudung menyampir dikepalanya.  Mereka berusaha tersenyum. 
Aku tahu dibalik kerut dahinya menyimpan seribu duka, senyuman itu...sepertinya 
terpaksa. Nampak dari binar mata ibu-ibu, membias rasa bahagia kendati 
sesungguhnya berupaya menutupi derita mereka. Mendapat kunjungan seperti ini, 
mungkin amatlah berarti buat mereka. 
   
   
  "Aduuh nak dah lama ndak kemari...kami kangen sekali sama nak, kapan datang 
nak? eiih mereka ingat, direngkuhnya tanganku, dipeluknya aku. 
   
   
  "Ohh kemarin sore bu..tadi habis jalan jalan kepasar nengoki ibu ibu yang 
sedang berjualan" jawabku, sambil mengumbar senyumku. 
   
   
  Akhirnya bermunculan ibu-ibu baik yang tua dan muda.  Mereka, kebanyakan  
adalah janda. Tak lama anak- anakpun berdatangan.Menyalamiku. Yang perempuan, 
tentu berjilbab,  anak dari ayahnya yang mati terbantai, direnggut dari 
kehidupan mereka, sehingga mereka jadi yatim. Mata mereka, sepenuhnya ditujukan 
kepadaku. 
   
   
  "Ibu..ini ibu saya dapat struk, sebelah kanan, tengoklah, disini ada 3 yang 
terkena strok bu." salah seorang ibu muda menunjukan seorang ibunya yang renta. 
Ia cuma bisa mengulurkan tangannya sebelah kiri. Akhirnya mereka duduk 
berjejer, duduk dengan manisnya. 
   
   
  Lalu mulailah aku berbincang dan memberi semangat kepada mereka. Mas Pram dan 
Nurdin menuliskan nama nama mereka baik yang janda dan semua yatim. Tanganku 
mulai bermain cetrak cetrek menyiapkan dan mencari wajah-wajah fotojenik. 
Nampak anak anak bersiap siap diri untuk dijepret. Ahh  anak-anak! Ada yang 
menyembunyikan wajahnya, yang nangis.. macam macam. Akhirnya  kuberikan sang 
kamera ke mas Pramudya.
   
   
  "Ibu-ibu dan anak anak maaf ya saya tidak ada waktu cari amplop jadi saya 
berikan begini saja, ini ada zakat dari donatur kami di Inggris, mohon diterima 
ya" lalu Nurdin memanggil nama nama, satu satu datang bergantian dan 
bersalaman. 
   
   
  Seorang Ibu menangis terisak-isak menerima sadaqah, seakan kebahagian dan 
keharuan itu tak bisa mereka bendung, sehingga lama tangannya menggenggam 
tanganku, sambil kepeluk,"Gak apa ibu ini namanya rejeki..terima saja" bujukku. 
   
   
  "Naaak..limangpuluhewu..(limapuluhribu) ya Allah  besar naak .kami terbiasa 
dengan ribuan saja naaak dan itupun lusuh.." diciumnya aku. 
   
   
  "Alaaamak..isakannya membuat hatiku terkoyak, keharuannya membuat leherku 
serasa tercekak ingin menangis pula.." akhirnya aku dilepas, lalu distribusi 
itu terus berlangsung hingga selesai, kami lanjutkan dengan menghabiskan 
minuman dan percakapan lainnya untuk masa depan mereka. 
   
                  
  Paska Konflik Poso 
  Konon masyarakat belum bersedia kembali ke tempat tinggalnya semula. Kondisi 
Poso memang belum bisa dikatakan pulih seutuhnya. Demikian pula warga Muslim di 
Kilo Sembilan, dimana Pesantren Walisongo berada. Mereka betul-betul wegah dan 
enggan pulang karena khawatir kalau-kalau masih terjadi gangguan keamanan. Hal 
ini sering dibuktikan dan masih akan terjadi
   
  . 
  Pak Wades mengatakan bahwa hingga kini warga Kilosembilan belum menerima dana 
Tunjangan atau Jaminan Hidup (Jadup). Mereka cuma mendengar kabar dan dana tsb 
tidak pernah sampai ketangan mereka sedang dana sejumlah Rp 2.5 sebagai dana 
RTS (Rumah Tinggal Sementara) juga sama. Tangan mereka masih hampa.
   
   
  " Ini gubug yang kami bangun hasil usaha kami sendiri.Kami mencari kayu kayu 
bekas, coba ibu lihat masih ada bekas bakaran.  Kami cicil bu" ujarnya. 
   
   
  "Bu saya dengar dana bantuan itu ada..tapi ko kami belum terima, dan kami 
tidak tahu bagaimana nasib kampung kami disana ?" keluhnya. 
   
   
  Nurdin menjawab bahwa mereka mendengar kabar burung kalau dana itu ada tapi 
tersangkut entah dimana. Itu yang menjadi pertanyaan. Sedang warga lainnya 
telah mendapat bantuan. 
   
   
  Untuk kembali menetap memang tidaklah mungkin sementara kebutuhan hidup terus 
menuntut, maka satu-satunya jalan mereka pergi menuai hasil tanaman cocoa 
beramai ramai, walau dulu, saat masih rawan biasanya mereka minta dikawal.
   
  Mereka, tentu membayar para aparat. Lama lama mereka tak mampu lagi membayar 
akhirnya mereka berbekal nekad pergi tanpak pengawalan aparat. 
  Telah terjadi beberapa insiden dari warga saat pergi keladang untuk memetik 
hasil tanaman, tahu tahu mereka sudah dihadang oleh libasan parang nan panjang.
   
   
  Namun keadaan ini tidak membuat mereka menyerah. Mereka, yang tersisa 
berpasrah diri, kalaulah itu terjadi pada diri mereka – kalaulah ajal menjemput 
dengan kalungan parang tentu mereka berharap menjadi syahid. 
   
   
  Desa Sindutuwulemab yang subur dengan hektaran sawah dan kebun coklatnya 
berada Kecamatan Lage. Sedang desa Sintuwulemba itu sendiri satu satunya desa 
Muslim yang secara demografis memang terjepit diantara desa desa Nashrani. Jadi 
memang tidak heran kalau Sintuwulemba keberadaannya betul betul terjepit. 
Disaat mereka terkepung..mereka tak bisa melarikan diri kecuali lari kesungai. 
   
   
  Membicarakan konflik Poso, mengurai kembali masalah pengembalian pengungsi, 
wilayah Lombogia dan Kilo Sembilan selalu tidak lepas dari perhatian. Ketika 
warga asli dua wilayah itu belum bersedia kembali, selama itu pula masih ada 
kekhawatiran bahwa kondisi Poso akan terus bermasalah.
   
   
  Mereka betul betul terusir dari kampung halamannya sendiri, dan mereka jadi 
pengungsi di negerinya sendiri. Undang undang tidak menjamin keselamatan dan 
kemananan mereka sebagai warga dari Republik ini..Nasib mereka masih terlunta. 
Desa Sintuwulemba kini tanpak angker, liar dan menakutkan. Desa tak bertuan, 
yang menyimpan seribu duka nestapa anak manusia. Moga bercak dan simbahan darah 
mereka akan menjadi saksi dan menanti para pemiliknya, disana. Akan tetap 
hidup. Konon tetes darah para syuhada melebihi kehebatan tinta para 'alim- 
piawai dan pemilik ilmu. Allahu alam bisawab. 
   
  Kutinggalkan tanah Poso..tanpak meninggalan selaksa janji dan harapan 
   
  Jakarta, Juli 2004. 
   
  [EMAIL PROTECTED]


                      "A true friend is someone who knows your're a good egg 
even if your're a little cracked".

        








                        
---------------------------------
Yahoo! Messenger with Voice. PC-to-Phone calls for ridiculously low rates.

[Non-text portions of this message have been removed]





Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke