Oleh :  Ust. Yazid bi Abdul Qadir jawas
  
  Ghuluw artinya melampaui batas.
  Dikatakan: "gholaa, yaghluu, ghuluw " jika ia melampaui batas dalam
ukuran.
  Allah azza wa jall berfirman:
   "Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu" (QS. An-Nisaa': 171)
  
  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
  "Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama,
karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang
sebelum kalian." [1]
  
  Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap
ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali,
maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo'a
kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.
  Sedangkan ithra' artinya melampaui batas (berlebih lebihan) dalam
memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam
hak Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam
menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba
dan Rasul (utusan) Allah Subhaanahu wa ta'aala, menisbatkan kepada-nya
sebagian dan sifat sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan
meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul
dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau,
sebagai bentuk 'ubudiyyah kepada selain Allah Subhaanahu wa ta'aala,
perbuatan ini  adalah syirik.
  Dan yang dimaksud dengan ithra' dalam hak Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah
melarang hal tersebut melalui sabda beliau:
  "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana
orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji 'Isa putera Maryam.
Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ' 'Abdullaah wa Rasuuluhu
(hamba Allah dan Rasul-Nya)." [2]
  
  Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan
janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana
yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap 'Isa 'alaihis
salam sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya,
sifatilah aku sebagai mana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka
atakanlah:
  "Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya." [3]
  
  'Abdullah bin asy-Syikhkhir rodhiallaahu 'anhu berkata, "Ketika aku
pergi bersama delegasi bani 'Amir untuk menemui Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam , kami berkata kepada beliau, "Engkau adalah sayyid
(penghulu) kami! (sayyidinaa-pen)" Spontan Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam menjawab:
  "Sayyid (penghulu) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta 'aala!"
  Lalu kami berkata, "Dan engkau adalah orang yang paling utama dan
paling agung kebaikannya." Serta merta beliau shallallaahu 'alaihi wa
sallam mengatakan:
  "Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau
seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh
syaitan." [4]
  
  Anas bin Malik rodhiallaahu 'anhu berkata, "Sebagian orang berkata
kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik antara kami
dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami
(sayyidinaa-pen) dan putera penghulu kami!' Maka seketika itu juga Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
  
  "Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan!
Jangan kalian terbujuk oleh syaitan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad,
hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat
(menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan
kepadaku." [5]
  
  Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam membenci jika orang-orang
memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: "Engkau adalah sayyidku,
engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang
yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung
di antara kami." Padahal sesungguhnya beliau shallallaahu 'alaihi wa
sallam adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak.
Meskipun demikian, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang mereka
agar menjauhkan mereka dan sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan
dalam menyanjung hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam, juga untuk
menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau shallallaahu 'alaihi wa
sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang
merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada
ghuluw serta tidak membahayakan 'aqidah. Dua sifat itu adalah 'Abdullaah
wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).
  Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam  tidak suka disanjung melebihi
dan apa yang Allah Subhaanahu wa ta'aala berikan dan Allah ridhai.
Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo'a kepadanya, meminta
pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya
sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah Subhaanahu wa
ta'aala. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan
maulid Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid,
dimana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhaanahu wa ta'aala
dengan hak Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
  
  Foot Note :
    [1] HR. Ahmad (1/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Jbnu Majah (no.
3029),
  Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dan Sahabat Ibnu 'Abbas . Sanad
hadits mi shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
  
  [2] HR. A1-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhzashamsy
Syamaa-il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (1/23, 24, 47, 55),
ad-Darimi (111/320) dan yang lainnya, dan Sahabat 'TJmar bin
al-Khaththab
  
  [3] 'Aqiidatut Tauhiid (hal 151).
  
  [4] HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-A
dabul Mufrad (no 1/ ShahiihulAdabil Mufrad no 155), an- Nasa-i dalam
Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). A1-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani
berkata: "Rawi-rawinya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli
hadits)." (Fat-hul Baari V/179)
  
  [5] HR. Ahmad (111/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam. 'Amalul Yaum wal
Lailab (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis
Sunnah wal Jamaa'ah (no. 2675). Sanadriya shahih dan Sahabat Anas bin
Malik .



[Non-text portions of this message have been removed]






Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Rek Beyond belief Islam online
Nation of islam Media


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke