Wahai Para Suami, Jangan Tinggalkan Kami…  Oleh Afnan Karimah
  23 Jun 06 06:13 WIB
  Tragedi seorang ibu dengan tiga anaknya yang akhir-akhir ini menjadi pusat 
pemberitaan media massa membuat ulu hatiku terasa nyeri, sangat nyeri. Aku 
tidak ingin membuat analisa apapun tentang kasus ini, tapi, entah mengapa, hal 
itu mengingatkanku pada masa-masa pasca melahirkan kedua buah hatiku. Segera 
setelah melahirkan, aku merasa kehilangan semangat hidup, kehilangan selera 
makan, serta kehilangan energi dan motivasi untuk melakukan apapun. Aku pun 
merasakan kekecewaan yang besar terhadap dunia di sekitarku dan merasa hidup 
ini tidak ada lagi gunanya. Tangisan bayi terasa bagaikan menerorku siang dan 
malam, seolah bayi itu tak mau membiarkanku menjadi diriku sejenak saja. Ya, 
saat itu aku merasa sudah kehilangan diri sendiri. Bahkan, kadang-kadang hal 
itu membuatku marah, sangat marah kepada bayiku.
   
  Mungkin situasi itu tidak akan terjadi bila ada yang mendampingiku secara 
penuh setelah melahirkan. Namun apa daya, kedua orangtuaku tinggal di luar kota 
dan mereka sudah sangat tua. Kakakku satu-satunya tinggal bersama suaminya di 
luar negeri. Mertuaku sudah meninggal. Ipar-iparku? Ah, mereka hanya datang 
menengok sebentar-sebentar saja. Semua orang punya kesibukan masing-masing, aku 
memakluminya. Maka tinggallah aku sendiri menjalani masa-masa pasca melahirkan, 
dengan didampingi suami yang juga harus meninggalkanku selama hampir 12 jam 
sehari untuk mencari nafkah.
   
  Sekitar dua tahun kemudian, melalui sebuah majalah terbitan Amerika yang 
kupinjam dari temanku, barulah aku mengetahui bahwa yang terjadi pada diriku 
waktu itu adalah depresi pasca melahirkan atau diistilahkan juga dengan 'baby 
blues'. Berapa lama seorang ibu menderita baby blues, sangat relatif. Ada yang 
sebentar, ada pula yang berkepanjangan selama berbulan-bulan, bila tidak 
ditangani. Seperti yang kubaca di majalah itu, baby blues bisa menimpa kaum ibu 
yang tidak memiliki anggota keluarga atau teman yang bisa diajak bicara 
(curhat), ibu yang sedang mengalami depresi karena sebab-sebab di luar masalah 
kehamilan dan persalinan (misalnya, sedang depresi memikirkan masalah ekonomi), 
atau ibu yang memiliki kehidupan yang berat pada masa kehamilan dan pasca 
melahirkan.
   
  Di majalah itu diceritakan kasus seorang ibu yang membunuh bayinya karena 
depresi menghadapi tangis bayi itu. Konon, setelah kejadian itu, di Amerika 
disediakan layanan telepon khusus bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. Setiap 
kali mereka merasa panik dan hampir kehilangan kendali menghadapi bayi, mereka 
bisa menelpon untuk sekedar curhat dan menenangkan diri. Memang, terapi terbaik 
untuk mengatasi masalah ini adalah "terapi bicara." Ya, bicara.
   
  Yang kami—para ibu yang baru melahirkan—butuhkan agaknya hanya teman untuk 
menemani kami menjalani masa-masa berat itu. Aku ingat, karena sering menangis 
dan murung (dan marah-marah), suamiku akhirnya meminta cuti selama sebulan—lalu 
diperpanjang lagi selama sebulan berikutnya, tanpa gaji. Waktu dua bulan penuh 
itu dihabiskannya seratus persen di sampingku. Dia membantuku mengerjakan 
berbagai pekerjaan rumah tangga. Dia akan segera menggendong bayi kami ketika 
dilihatnya aku mulai marah dan kehilangan kesabaran menghadapi tangisnya. Tentu 
saja dia tidak tahu apa-apa tentang baby blues. Hanya nalurinya saja yang 
mendorongnya untuk mengambil tindakan itu, dan ternyata memang itulah tindakan 
terbaik, sehingga alhamdulillah, masa-masa berat itu berhasil kami lalui dengan 
selamat.
   
  Pasca melahirkan anakku yang kedua, kebetulan kami telah pindah rumah. Kami 
memiliki seorang tetangga yang sangat penuh perhatian, namanya Ibu Yuni. Hampir 
setiap hari, dia menyempatkan diri untuk menjengukku barang sepuluh-lima belas 
menit. Ajaib, kunjungannya benar-benar sangat mujarab untuk menyelamatkanku 
dari serangan baby blues kedua. Suamiku sama sekali tidak perlu cuti 
berbulan-bulan lagi, cukup seminggu saja. Aku dapat jauh lebih tenang menjalani 
masa-masa pasca persalinan karena merasa ada seseorang yang siap mendengarkan 
keluhanku, walau hanya sekedar, "Aduh, pusing nih, dari tadi Iqbal nangis 
mulu!" dan mendengar jawaban dari Ibu Yuni sekedar, "Oh, mungkin perutnya 
kembung."
   
  Pengalamanku ini membuatku mengambil dua kesimpulan besar. Pertama, sebagai 
perempuan, bila ada teman kita yang baru melahirkan (dan kita tahu dia 
sendirian, tanpa ibu atau saudara yang mendampingi), sebisa mungkin 
banyak-banyaklah menjenguknya, atau paling tidak, mengirimkan SMS kepadanya. 
Percayalah, hal itu sangat berperan besar untuk membantunya melewati masa-masa 
berat pasca melahirkan. Kedua, kepada para suami, aku ingin berpesan, "Wahai 
para suami, jangan tinggalkan kami pada masa-masa berat ini. Kami butuh kalian 
saat ini, bukan nanti, ketika pekerjaan selesai. Tidak ada kata nanti. Saat ini 
juga, dampingilah kami sebentar, supaya kami bisa menemukan diri kami kembali 
dan siap kembali menjalani hari-hari dengan kestabilan emosi." 


Yathie 
(hidup ini hanya sekali, maka janganlah disia-siakan. Mari kita kembali kepada 
niat yang baik InsyaAlloh akan mendapatkan yang baik pula.....Amien)

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Check out the new improvements in Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/6pRQfA/fOaOAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke