Adab Membaca Al Quran                   

       Al  Quranul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung
kebatilan  sedikit pun. Al Quran memberi petunjuk jalan yang lurus dan
memberi  bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan
hidupnya,  agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam
golongan  orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh taala. Untuk
itulah  tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim
melebihi  keutamaan mempelajari Al Quran. Sebagaimana sabda Nabi
sholallahu  alaihi wa sallam, Sebaik-baik kamu adalah orang yg
mempelajari Al  Quran dan mengajarkannya.(HR. Bukhari)
  
  Ketika membaca Al Quran, maka seorang muslim perlu memperhatikan
adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam
membaca Al Quran: 
1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam
membaca Al Quran seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun,
diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam
Haromain berkata, Orang yang membaca Al Quran dalam keadaan najis, dia
tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia
meninggalkan sesuatu yang utama. (At Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat
menghayati  ayat yang dibaca. Rosululloh bersabda, Siapa saja yang
membaca Al  Quran (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak
memahami (HR.  Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan). Sebagian
sahabat membenci  pengkhataman Al Quran sehari semalam, dengan dasar
hadits di atas.  Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk
mengkhatamkan  Al Quran setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori,
Muslim). Sebagaimana  yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin
Affan, Zaid bin Tsabit,  mereka mengkhatamkan Al Quran sekali dalam
seminggu. 

3. Membaca Al Quran dengan khusyu, dengan menangis, karena sentuhan
pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan. Alloh
ta'ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, 
       "Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertambah khusyu" (Al-Isra: 109). Namun demikian tidaklah
disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan
yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya. Sebagaimana  sabda Rosululloh
sholallahu alaihi wa sallam, Hiasilah Al Quran  dengan suaramu (HR
Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, Tidak
termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Quran (HR. Bukhari dan
Muslim).  Maksud hadits ini adalah membaca Al Quran dengan susunan
bacaan yang  jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya
bacaan, tidak  sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang
tidak perlu  melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Quran dimulai dengan Istiadzah. Alloh subhanahu wa taala
berfirman, 
       "Dan  bila kamu akan membaca Al Quran, maka mintalah perlindungan
kepada  Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk" (An Nahl: 98)

6. Membaca Al Quran dengan tidak mengganggu orang yang sedang sholat,
dan  tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di
tempat  yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang sedang-sedang saja
secara khusyu.  Rosululloh bersabda, "Ingatlah bahwasanya setiap dari
kalian  bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu
mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara
lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al Quran)" (HR. Abu
Dawud, Nasai, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a'lam. 
[sumber: Buletin At Tauhid]


BOLEHKAH MENAFSIRKAN AL-QURAN AL-KARIM DENGAN TEORI ILMIAH ?

Oleh : 
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
sumber http://www.almanhaj.or.id


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah menafsirkan
Al-Quran Al-Karim dengan teori ilmiah modern ?

Jawaban
Menafsirkan Al-Quran dengan teori ilmiah mengandung bahaya. Karena, jika
kita menafsirkan Al-Quran dengan teori tersebut kemudian datang teori
lain yang menyelisihinya, maka konsekwensinya adalah Al-Quran menjadi
tidak benar dalam pendangan musuh-musuh Islam. Adapun dalam pandangan
kaum muslimin, mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak pada
orang yang menafsirkan Al-Quran dengan teori tadi, akan tetapi
musuh-musuh Islam akan selalu menunggu kesempatan. Oleh karena itu, saya
mengingatkan dengan amat sangat agar tidak tergesa-gesa dalam
manafsirkan Al-Quran dengan teori ilmiah ini. Apabila Al-Quran terbukti
dalam realita maka kita tidak perlu mengatakan bahwa Al-Quran telah
menetapkan realita itu. Al-Quran turun 
untuk menerangkan ibadah, akhlak, dan sebagai bahan renungan.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
Artinya : Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah
agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal
mengambil pelajaran [Shaad : 29]

Dan bukan untuk perkara-perkara seperti ini yang diketahui melalui
eksperimen dan diketahui oleh manusia dengan ilmu mereka. Terkadang
menjadi bahaya besar yang memberatkan tentang diturunkannya Al-Quran.
Saya berikan suatu contoh tentang masalah ini, umpamanya firman Allah
Taala.

Artinya : Wahai kelompok jin dan manusia, apabila kalian mampu menembus
penjuru langit dan bumi maka tembuslah, kalian tidak akan bisa
menembusnya kecuali dengan sulthan [Ar-Rahman : 33]

Ketika manusia berhasil mendarat di bulan, sebagian manusia menafsirkan
ayat ini dan menempatkannya sebagai tafsiran bagi peristiwa ini. Dan
mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan sulthan dalam ayat
ini adalah ilmu, karena mereka mampu menembus penjuru bumi dengan ilmu
mereka. Ini adalah salah, tidak boleh menafsirkan Al-Quran dengan hal
ini, karena jika engkau menafsirkan Al-Quran dengan satu makna maka itu
berarti engkau bersaksi bahwa Allah menghendaki maskud ayat ini seperti
apa yang engkau katakan. Ini adalah persaksian yang besar, engkau akan
ditanya tentang hal ini. Dan barangsiapa yang menelaah ayat ini maka dia
akan menemukan bahwa ini adalah tafsir yang bathil, karena ayat ini
mempunyai konteks penjelasan tentang keadaan manusia dan urusan mereka.
Bacalah surat Ar-Rahman maka akan engkau temukan bahwa ayat ini
disebutkan setelah firman Allah.

Artinya : Semua yang ada di atasnya (bumi) pasti binasa. Dan tetap kekal
Wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Allah
yang manakah yang kalian dustakan? [Ar-Rahman : 26-28]

Maka kita tanyakan, Apakah mereka (yang mendarat di bulan) menembus
langit? 
Jawabanya : Tidak ! Padahal Allah berfirman.

Artinya : Jika kalian mampu menembus penjuru langit dan bumi [Ar-Rahman
: 33]

Kedua : Apakah dilepaskan kepada mereka nyala api dan cairan tembaga?
Tidak! Jika demikian maka ayat ini tidak benar jika ditafsirkan dengan
penafsiran mereka dan kita katakan bahwa sesungguhnya sampainya mereka
ke tempat yang sudah mereka capai termasuk ilmu-ilmi empiris yang mereka
ketahui melalui percobaan. Adapun membelokkan Al-Quran untuk dicocokkan 
dengan hal seperti ini maka ini tidak benar dan tidak boleh.

[Disalin dari kitab Kitaabul Ilmi, Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Menuntut Ilmu, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penyusun
Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimani, Penerjemah Abu Haidar
Al-Sundawy, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

************************************************************************
*******************

Al Qur'an untuk Orang yang masih Hidup, bukan untuk Orang yang sudah
Mati
  

  Allah Ta'ala berfirman :
  "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya memperhatikan ayat - ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang - orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad : 29)
  

  "...Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi
penerangan, supaya dia memberi peringatan kepada orang - orang yang
hidup ..." (QS. Yasin : 69-70)
  

  Allah Ta'ala menurunkan Al Qur'an untuk orang - orang yang hidup agar
mereka dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari - hari dan bukan
untuk orang - orang yang mati. Orang yang telah meninggal, amal
shalihnya terputus kecuali 3 hal, seperti sabda Rasulullah ShallallaHu
'alaiHi wa sallam,
  

  "Idzaa maatal insaanu inqatha'a 'amaluhu illa min tsalaatsin
shadaqatan jaariyah aw 'ilmin yutafa'u bihi aw waladin shaalihin
yad'uulahu" yang artinya "Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah
amalnya kecuali 3 perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat
dan anak yang shalih yang mendo'akan kepadanya" (HR. Muslim)
  

  Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala,
  "(Yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain, dan bahwasannya seorang manusia tidak memperoleh (pahala)
selain apa yang diusahakannya" (QS. An Najm 38-39)
  

  berkata, "Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada
orang lain, maka demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat
dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil
usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam Syafi'i rahimahullah dan orang yang
mengikuti beliau beristinbath (mengambil dalil) bahwasannya pahala
bacaan Al Qur'an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat
dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan
usaha mereka" (Tafsir Ibni Katsir IV/272, cet. Darus Salam)
  

  Apa yang disebut oleh Imam Syafi'i dalam Tafsir Ibnu Katsir tersebut
merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga merupakan pendapat Imam
Hanafi, sebagaimana dinukil oleh Az Zubaidi dalam Syarah Ihya' Ulumuddin
X/369 (Ahkamul Janaa-iz hal. 220-221, cet. Maktabah al Ma'arif, tahun
1412 H. oleh Syaikh Albani)
  

  Di dalam kitab Al Ikhtiyaraat al 'Ilmiyah halaman 54, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Bukan merupakan kebiasaan para ulama salaf,
jika mereka mengerjakan puasa, shalat atau haji tathawwu' atau membaca
Al Qur'an, pahalanya dihadiahkan kepada kaum muslimin yang sudah
meninggal dunia. Tidak sepantasnya untuk menyimpang dari jalan ulama
salaf, karena ia lebih baik dan sempurna"
  

  Lalu bagaimana dengan hadits, "Iqra-uu yaasiin 'alaa mautakum" yang
artinya "Bacakan surat Yasin kepada orang yang akan mati diantara
kalian" atau Imam Syaukani dalam Nailul Authar mengartikan "Bacakan
surat Yaasiin kepada orang yang sudah mati diantara kalian" ?
  

  Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh Ahmad V/26-27, Abu Dawud no.
3121, An Nasa-i dalam Amalil Yaum wal lailah no. 1082, Ibnu Majah no.
1448 dan lainnya dan para ulama telah mendha'ifkan atau melemahkan
hadits tersebut karena beberapa hal, diantaranya ada rawi yang majhul
(tidak dikenal) dan mubham (tidak diketahui namanya) serta hadits
tersebut memiliki status mudhtharib.
  

  Urutan perawi hadits tersebut adalah sebagai berikut : para ahli
hadits mencatat dari jalan Sulaiman at Taimi, dari Abu Utsman, dari
ayahnya, dari Ma'qil bin Yasar, ia berkata, "Telah bersabda Rasulullah
ShallallaHu 'alaiHi wa sallam ..."
  

  Imam adz Dzahabi berkata, "Abu Utsman rawi yang majhul (tidak
dikenal)" (Mizaanul I'tidal IV/550 dan Tahdziibut Tahdziib XII/182),
Ibnu Mundzir berkata, "Abu Utsman dan ayahnya bukan orang yang masyhur"
('Aunul Ma'bud VIII/390), Imam Ibnul Qaththan berkata, "Hadits ini ada
'illat (cacat)-nya, serta hadits ini mudhtharib dan Abu Utsman majhul"
(Syarhil Muhadzdzab V/110), Imam Daruquthni berkata, "Hadits dha'if
isnadnya dan majhul" (Fathur Rabbani VII/63) Imam An Nawawi berkata,
"Isnad hadits ini dha'if, di dalamnya ada dua orang yang majhul (Abu
Utsman dan ayahnya)" (al Adzkar hal. 122), alasan lain hadits ini dha'if
adalah karena ayahnya Abu Utsman yang merawikan hadits ini mubham (tidak
diketahui namanya) juga hadits ini mudhtharib (goncang) karena sebagian
riwayat menyebut ayahnya Abu Utsman sebagai rawi dan sebagian riwayat
tidak menyebut ayahnya Abu Utsman sebagai rawi.
  

  Untuk keterangan lebih jelas tentang dha'ifnya hadits ini silahkan
merujuk ke Kitab al Qaulul Mubiin fii Dha'fi haditsa at Talqin wa iqra-u
'ala Mautakum Yaasiin oleh Syaikh Ali bin Hasan al Halabi (beliau adalah
murid senior Syaikh Albani rahimahullah)
  

  Adapun hadits yang berbunyi, "Barangsiapa menziarahi kubur kedua
orangtuanya setiap Jum'at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya),
maka ia akan diampuni (dosa)-nya sebanyak ayat ayau huruf yang
dibacanya" (HR. Abu Nu'aim dalam Akhbaru Ashbahan II/344-345, dan
lainnya) adalah maudhu' atau palsu, lihat Silsilah ahadits adh Dha'ifah
wal Maudhu'ah no. 50 oleh Syaikh Albani.
  

  Dijelaskan dalam hadits tersebut ada rawi yang bernama 'Amr bin Ziyad
Abul Hasan Ats Tsaubani. Ibnu 'Adiy berkata, "Sanad hadits ini bathil,
dan 'Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits". Imam
Daruquthni berkata pula tentangnya, "Ia sering memalsukan hadits"
(Mizaanul I'tidal no. 6371 dan Lisanul Mizan IV/364-365)
  

  Sedangkan yang dianjurkan oleh Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa
sallam kepada para sahabatnya seusai menguburkan mayit adalah
mendoakannya,
  

  "Istaghfiruu liakhiikum wa saluu lahut tatsbiita fainnahu alaana
yus-alu" yang artinya "Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan
mintakanlah keteguhan (iman) untuknya, karena sesungguhnya dia sekarang
sedang ditanya" (HR. Abu Daud II/70, al Hakim I/370, dan al Baihaqi
IV/56, al Hakim mengatakan, "Bersanad shahih" dan disepakati oleh adz
Dzahabi, an Nawawi mengatakan, "Sanadnya jayyid", dishahihkan oleh
Syaikh Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz, hadits ini dari jalur Utsman bin
Affan ra.).
  

  Juga Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam pernah keluar ke Baqi (tempat
pemakaman kaum muslimin) lalu beliau mendoakan mereka. Kemudian 'Aisyah
ra. bertanya tentang hal itu, lalu beliau ShallallaHu 'alaiHi wa sallam
menjawab, "Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendoakan mereka" (HR.
Ahmad VI/252, sanadnya shahih dengan syarat Bukhari-Muslim, lihat
Ahkaamul Janaa-iz oleh Syaikh Albani)
  

Referensi/Maroji' :
1. Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al
Albani, Pustaka Imam Syafi'i, Bogor, Cetakan Pertama, Muharram 1426
H/Maret 2005 M. 
  
2. Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu*, Darul
Haq, Jakarta, Cetakan Ketujuh, Maret 2003, hal 186 s/d 189.
  
3. Yasinan, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Abdullah,
Jakarta, Cetakan Ketiga, Jumadil Awal 1426 H/4 Juli 2005.

  

  *Pengajar di Darul Hadits Al-Khairiyyah, Makkah Al Mukarramah dan
murid Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

************************************************************************
****************


BAHAYA MENAFSIRKAN AL-QUR'AN TANPA ILMU

Mahmud bin Ghailan meriwayatkan kepada kami, Bisyr bin as-Sari
meriwayatkan kepada kami, Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Abdul
a'laa, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyAllahu 'anhuma, ia
mengatakan bahwa Rosulullah  [saw]  bersabda (yg artinya): " Barang
siapa berkata-kata tentang al-Qur'an (menafsirkan) tanpa ilmu, maka
hendaklah ia menempati tempat duduknya dari neraka "(HR.Tirmidzi,no.2950
)  Imam Abu Isa berkata ,' Hadits ini derajatnya hasan shahih "

Sufyan bin Waki' mengabarkan kepada kami, Suwaid bin Amru al-Kalbi
mengabarkan kepada kami, Abu Awanah mengabarkan kepada kami, dari Abdul
a'laa, dari Said bin Jubari, dari Ibnu Abbas radhiyAllahu 'anhuma, dari
Rosulullah  [saw] . beliau bersabda (yg artinya): " Takutlah kalian
berbicara tentang sesuatu yang berasal dariku melainkan pada apa yang
telah kalian ketahui. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaklah ia menyimpan tempat duduknya di dalam neraka, Dan barang
siapa yang menafsirkan al-Qur'an dengan akal pikirannya, maka hendaklah
ia menyiapkan tempat duduknya didalam neraka " (HR.Ahmad
1/233,269,293,323,327 An-Nasa'i No.109,110 Fadhailul Qur'ani) berkata
Imam Tirmidzi 'Hadits ini derajatnya hasan'

Saudaraku,
Sebagian ulama dikalangan shahabat Rosulullah  [saw]  dan selainnya,
menerangkan bahwa mereka sangat keras dalam masalah menafsirkan
al-Qur'an tanpa landasan ilmu. Ini membuktikan bahwa mereka tidak
berkata-kata dalam al-Qur'an (menafsirkan) semata-mata dari diri mereka
tanpa landasan ilmu. Padahal mereka hidup ditengah-tengah Rosulullah
[saw] . Kalau saja shahabat yang paling tahu isi kandungan al-Qur'an
ketika wahyu diturunkan, lalu kita yang hidup jauh setelah mereka apakah
pantas berbicara mengenai al-Qur'an (menafsirkan) tanpa ilmu, lain
halnya jika engkau mengatakan bahwa para ahlul tafsir mengatakan
demikian..dan demikian....

Saudaraku,
Tidak sedikit kita temukan para da'i-da'i atau ustadz bahkan orang yang
belum fasih membaca al-Qur'an disertai hukum bacaan (tajwid) berani
menafsirkan isi kandungan al-Qur'an tersebut dengan akal mereka (hawa
nafsu), belum lagi membahas apa-apa yang tidak perna dibahas oleh para
shahabat radhiyAllahu 'anhuma sekalipun ??! Mereka membahas wujud Allah
ta'ala, membahas hakikat Allah ta'ala,membahas siapa makhluk yang
pertama diciptakan oleh Allah, membahas
masalah-masalah yang terlarang ditanyakan, yang pada akhirnya apa yang
mereka dapati ? kecuali kepuasan nafsu, dan seperti apa yang dikatakan
oleh Rosulullah  [saw]  pada 2  (dua) hadits diatas.

Saudaraku,
Jika shahabat saja tidak perna mempertanyakan hal-hal yang sering
didiskusikan oleh kebanyakan orang? apakah pantas kita mendiskusikannya
? Jangan teladani Sabigh bin 'Asal yang pernah dihajar oleh Amirul
Mukminin 'Umar bin al-Khattab radhiyAllahu 'anhu.

************************************************************************
*****

MENGAKHIRI BACAAN AL-QUR'AN DENGAN SHADAQALLAHUL ADZHIIM

Oleh :
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
sumber http://www.almanhaj.or.id

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimanakah pendapat
Anda orang yang mengakhiri bacaan Al-Qur'an dengan (ucapan)
'Shadaqallahul 'Adzhiim?' Apakah kalimat ini ada dasarnya dalam syari'at
? Dan apakah orang yang Mengucapkannya boleh dikatakan sebagai seorang
ahli bid'ah ?"

Jawaban.
Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini (mengucapkan 'Shadaqallahul 'Adzim
setelah membaca Al-Qur'an) adalah termasuk bid'ah yang diada-adakan,
yang tidak terdapat pada masa As-Salafus Shalih.

Dan patut diperhatikan bahwa bid'ah dalam agama itu tidak boleh ada.
Karena bid'ah pada asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun bid'ah
itu kadang-kadang diterima di masyarakat dan dianggap baik, tetapi dia
tetap dinamakan bid'ah yang sesat.

Sebagaimana diisyaratkan oleh Abdullah bin Umar."Artinya : Setiap bid'ah
adalah sesat, meski manusia memandangnya baik".

Ucapan : "Shadaqallahul 'Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan Allah
Yang Maha Agung) adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada
Allah?"[An-Nisaa : 122]

Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian diikuti
dengan membaca Shadaqallahul Adzhiim, saya kuatir suatu hari nanti
bacaan Shadaqallahul Adzhiim setelah membaca ayat-ayat Al-Qur'an menjadi
seperti bacaan shalawat setelah adzan.

Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan firman
Allah Subahanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah ; Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan
Allah)" [Ali Imran : 95]

Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan
membaca : Allah... Allah .... Allah [1], dengan (dalil) firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah : Allah ...." [Ar-Ra'd : 16]

Maka firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Katakanlah : Benarlah (apa yang
difirmankan) Allah" tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya
mengucapkan 'Shadaqallahul Adzhiim setelah selesai membaca Al-Qur'an.

[Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, Pustaka At-Tauhid]
_________
Foote Note.
[1] Yaitu kaum sufi atau semisalnya yang sesat, padahal tidak ada sama
sekali dalil atas apa yang mereka dakwahkan ini, yaitu tentang bolehnya
dzikir dengan lafal : 'Allah' saja, sebagaimana tampak dengan jelas bagi
mereka yang memperhatikan jalannya ayat yang mereka bawakan sebagai
hujjah 

************************************************************************
*************************


Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang :
MENGAKHIRI BACAAN AL-QUR'AN DENGAN SHADAQALLAHUL ADZHIIM
  

  Mayoritas orang terbiasa mengucapkan, "ShadaqallaHul 'azhim" ketika
selesai membaca al Qur'an, padahal ini tidak ada asalnya, maka tidak
boleh dibiasakan, bahkan menurut kaidah syar'iyah hal ini termasuk
bid'ah bila yang mengucapkan berkeyakinan bahwa hal ini sunnah. Maka
hendaknya ditinggalkan dan tidak membiasakannya karena tidak adanya
dalil yang menunjukkannya.
  

  Adapun firman Allah Ta'ala, "Katakanlah, 'Benarlah (apa yang
difirmankan) Allah" (QS. Ali Imran : 95), bukan mengenai masalah ini,
tapi merupakan perintah Allah Ta'ala untuk menjelaskan kepada manusia
bahwa apa yang difirmankan Allah Ta'ala itu benar yaitu yang disebutkan
di dalam kitab - kitab-Nya yang agung yakni Taurat dan lainnya, dan
bahwa Allah Ta'ala itu Maha Benar dalam ucapan-Nya terhadap para
hamba-Nya di dalam kitab-Nya yang agung, al Qur'an.
  

  Tetapi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan sunnahnya mengucapkan,
"ShadaqallaH" setelah selesai membaca al Qur'an atau membaca beberapa
ayatnya atau membaca salah satu suratnya, karena hal ini tidak pernah
ditetapkan dan tidak pernah dikenal dari Nabi ShallallHu 'alaiHi wa
sallam dan tidak pula dari para sahabat beliau.
  

  Ketika Ibnu Mas'ud radhiyallaHu 'anHu membaca awal Surat an Nisa di
hadapan Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam hingga sampai pada ayat, 
  

  "Maka bagaimanakah (halnya orang - orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi dari tiap - tiap umat dan Kami mendatangkan
kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu" (QS. An Nisaa' : 41)
  

  Beliau berkata pada Ibnu Mas'ud, "Cukup", Ibnu Mas'ud menceritakan,
"Lalu aku menoleh kepada beliau, ternyata matanya meneteskan air mata"
(HR. al Bukhari no. 5050).
  
Referensi : [Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baz
(7/329-331)]


Fatwa al Lajnah ad Da'imah :
 
  Ucapan, "ShadaqallaHul 'Azhim" setelah membaca Al Qur'an adalah
bid'ah, karena Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam tidak pernah
melakukannya, demikian juga para khulafa'ur rasyidin, seluruh sahabat
radhiyallaHu 'anHum dan imam para salafus shalih, padahal mereka banyak
membaca Al Qur'an, sangat memelihara dan mengetahui benar masalahnya.
Jadi, mengucapkannya dan mendawamkan pengucapannya setiap kali selesai
membaca Al Qur'an adalah perbuatan bid'ah yang diada - adakan.
  

  Telah diriwayatkan dari Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam bahwa
beliau bersabda,
  "Barangsiapa membuat suatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam)
yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak" (HR Bukhari
dalam Ash Shulh dan Muslim dalam Al Aqdhiyah)
  

  Hanya Allah-lah yang mampu memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad ShallallaHu 'alaiHi wa sallam,
keluarga dan para sahabatnya.
  

Fatawa Al Lajnah Ad Da'imah, fatwa no. 3303
Maraji'  : Fatwa - fatwa Terkini Jilid 2
Penyusun : Syaikh Khalid al Juraisiy, Darul Haq, Jakarta, Cetakan
Pertama, Dzulhijjah 1424 H/Februari 2004 M, hal. 448 - 450.


Wallahu a'lam bisshowwab


[Non-text portions of this message have been removed]






Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke