Ironi Demokrasi   
  Judul Asli: Anda Mau Kemana Wahai Saudaraku?
  Oleh: Abu Hanan Sabil Arrasyad
   
  Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita meminta pertolongan dan ampunan 
kepadaNya. Dan kita berlindung kepadaNya dari kejahatan diri-diri kita dan dari 
keburukan amalan-amalan kita. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka 
tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan 
oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa memberinya petunjuk. Aku 
bersaksi sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja, tidak 
ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
   
  “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang 
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan paling baik 
penjelasannya”. (QS. Al Furqan: 33) 
   
  Ironi Demokrasi
  Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di 
dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang 
menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di 
pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir 
dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a 
majority of adult governed).
   
  Demokrasi sebagai proses politik dapat memuat muatan-muatan lokal sesuai area 
yang melingkarinya (seperti pengalaman politik dan definisi orang-orang yang 
duduk dalam pemerintahan). Karena itu, tidak pernah ada sistem demokrasi ideal 
yang pernah terwujud. Disamping itu, karena banyaknya area yang mempengaruhi 
dan melingkupinya, maka dalam ilmu politik seringkali sulit membedakan antara 
pemerintahan demokrasi dan pemerintahan tirani. 
   
  Apa yang dimaksud dengan suara terbanyak? ahli-ahli politik mengajukan 
beberapa syarat. Diantaranya tidak tampak adanya pemaksaan atau ancaman untuk 
menggolkan suatu opini tertentu, tidak ada pembatasan kebebasan berbicara, 
tidak terdapat monopoli propaganda dan tidak ada control institutional terhadap 
fasilitas-fasilitas komunikasi massa. Pada kenyataannya definisi dari 
pemaksaan, ancaman, pembatasan, monopoli, propaganda dan control institutional 
tidak pernah diterjemahkan kecuali oleh pemerintah apapun namanya. 
   
  Karena itu, Aristoteles menyebut pemberlakuan demokrasi sebagai suatu 
kemerosotan. Alasannya ketidakmungkinan orang banyak untuk memerintah yang 
kecil jumlahnya. Bahkan Plato seorang pemikir yang diagung-agungkan oleh barat 
juga melancarakan kritik terhadap demokrasi. Katanya kebanyakan orang adalah 
bodoh atau jahat atau kedua-duanya dan cenderung berpihak kepada diri sendiri. 
Jika orang banyak ini dituruti, maka muncullah kekuasaan yang bertumpu pada 
ketiranian dan terror. Karena itu pula diyakini hanya segelintir orang yang 
diuntungkan dari sistem pemerintahan yang demokratis ini.
   
  George Santayana, penyanjung berat Plato menyerukan “Give divine right to 
rule” (berikan Tuhan hak untuk memerintah) Bahkan Winston Churchil mengeluarkan 
deklarasi yang bunyinya “demokrasi is worst possible form of government” 
(demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari bentuk pemerintahan).
   
  Chandra Muzzafar, direktur Just World Trust (LSM di penang Malaysia) dalam 
buku “Hak-Hak Asasi Manusia Dalam tata Dunia Baru” memandang ide-ide demokratis 
berasal dari dunia barat dan terkesan kolonis. Ia menulis, usaha mencolok untuk 
melanggengkan kepentingan-kepentingan ideologis dan ekonomi (barat) yang sempit 
dengan disamarkan kata-kata manis seputar kebebasan dan demokrasi.
   
  Di zaman Yunani kuno dimana demokrasi itu berasal tokoh seperti Solon, 
Chleisthenes dan Demosthenes, berpandangan bahwa konsep demokrasi adalah sistem 
politik terbaik. Namun ironis, periode demokratis dalam sejarah Yunani tercatat 
hanya sebagai kasus-kasus istimewa. Politik Yunani di masa beberapa abad 
sebelum masehi justru didominasi periode kediktatoran tirani danoligarki. Benih 
demokrasi malah hancur ketika Negara Sparta yang otoriter mengalahkan Athena 
dalam perang Ploponesia (Amien Rais, Demokrasi dengan proses politik LP3ES, 
1986).
   
  Hal di atas membuat Plato dan Aristoteles, dua tokoh kritisi tentang 
demokrasi yang sulit dibantah berpandangan lain berdasarkan pengamatan mereka 
atas praktek demokrasi di Athena, maka demokrasi justru merupakan sistem yang 
berbahaya dan tidak praktis. Bahkan Aristoteles menambahkan, “Pemerintahan yang 
didasarkan pada pilihan orang banyak dapat mudah dipengaruhi oleh para demagog 
dan akhirnya akan merosot jadi kediktatoran.” Demokrasi akan mudah meluncur ke 
arah tirani. Amerika serikat pun yang membangga-banggakan diri sebagai negara 
paling demokratis di dunia dan pejuang HAM yang hebat ternyata menyimpan borok 
demokrasi itu sendiri. Paul Findley senator AS lewat bukunya “Mereka Yang 
Berani Bicara dan Diplomasi Munafik Ala Yahudi”, membongkar dominasi loby 
Yahudi (AIPAC) dalam tubuh Kongres AS. Tidak seorang pun calon presiden AS yang 
bisa duduk di kursi kepresidenan tanpa direstui oleh lobi Yahudi tersebut, 
tegasnya. 
   
  Data di atas selain menarik juga bagus untuk dibandingkan dengan 
negara-negara yang selama ini mengklaim sebagai pewaris dan pelaksana 
demokrasi. Di Amerika masa pemilihan presiden sering dibanggakansebagai praktek 
demokrasi paling nyata. Debat antar kandidiat, saling serang, propaganda 
(fitnah), hingga pengungkapan aib-aib pribadi (ghibah) tak hanya menjadi bumbu 
bagi pesta demokrasi namun telah menjadi bagian inti dari sandiwara demokrasi 
itu sendiri yang menjadi sekadar hiburan yang meninabobokan masyarakat Amerika. 
Di setiap tempat nama demokrasi semakin popular dengan macam-macam embel-embel 
Demokrasi Barat (Kapitalis), Demokrasi Proletar (Komunis), Demokrasi Pancasila 
(bebas bertanggung jawab), bahkan dengan latah orang Islam pun mengikuti orang 
kafir mengembel-embeli demokrasi dengan nama Teo Demokrasi (Demokrasi Islam). 
Bahkan tak jarang kata demokrasi dicomot begitu saja untuk mengesankan rakyat, 
bahwa pemerintah yang sedang berjalan adil dan bijaksana. 
   
  Revolusi Prancis merupakan salah satu pelajaran diperkudanya kata demokrasi 
bagi kepentingan segelintir orang. Banyak rakyat miskin di Prancis kala itu 
mendukung revolusi tersebut dikarenakan terkagum-kagum pada semboyan “Liberte, 
Egalite, Franite”. Mereka berharap setelah usai revolusi, kemerdekaan, 
persamaan dan persaudaraan akan tercipta di antara mereka semua. “Prancis akan 
menjadi pelopor bagi kehidupan negara paling demokratis” demikian kira-kira 
harapan mereka. Namun sejarah membuktikan angan-angan tersebut tak pernah 
terjadi. Rakyat miskin terlalu naif untuk bisa memahami bahwa kemerdekaan 
“Liberte” yang dimaksud adalah kemerdekaan kaum borjuis untuk berdagang bebas. 
Tentu saja bebas memonopoli pasar dan daerah pemasaran, bebas bersaing dengan 
pengusaha kecil dan kesemuanya yang ada pada akhirnya hanya akan menggulung 
habis semua potensi pengusaha lemah. Sedang persamaannya “Elagite” yang 
dimaksud adalah persamaannya kaum borjuis dalam kedudukannya dengan ancient
 regime dulu itu. Dan persaudaraan “Fraternite” yang terdengar luhur itu 
sesungguhnya hanyalah persaudaraan antar kaum borjuis yang satu dengan yang 
lainnya yang tidak dibatasi sekat geografis. Sebab itu Revolusi Prancis 
sesungguhnya hanyalah revolusi kaum borjuis(bangsawan) bukan revolusi bagi 
keseluruhan bangsa demi demokrasi. Kehidupan rakyat kecil sebelum dan setelah 
revolusi tidak mengalami perubahan yang berarti, bagaikan jalan di tempat.
   
  Telaah tajam diberikan oleh Abul A’la Al Maududi seperti yang dinukil Amien 
Rais dalam pengantar buku “Khilafah dan kerajaan”. Bagi Maududi, demokrasi yang 
sering dianggap sebagai sistem politik paling modern gagal menciptakan keadilan 
sosio ekonomi dan juga keadilan hukum.
   
  Jurang lapisan kaya dan miskin, hak-hak politik rakyat yang terbatas pada 
formalitas empat atau lima tahunan hanya “Siapapun yang sedikit mendalami 
memang akan menyadari bahwa yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki 
dimana sekelompok penguasa saling bekerja sama untuk menentukan kebijakan 
politik sosial dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya 
aspirasi rakyat sebenarnya”.
   
  Dan cacat demokrasi yang paling fatal adalah terdapat pada landasan 
konsepsinya sendiri. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang diwujudkan dalam 
suara terbanyak. Prinsip mayoritas ini amat rentan tatkala penguasa atau 
sekelompok orang dapat merekayasa masyarakat melalui propaganda, Money Politic, 
tindak persuasif hingga refresif agar mendukungnya. Dengan propaganda 
terus-menerus rakyat dapat menganggap surga adalah neraka, dan neraka adalah 
surga, benar jadi salah, salah jadi benar, begitu seterusnya seperti yang 
ditunjukkan Adolf Hitler dalam “Mein Kampf”. Sisi lain yang perlu dicatat bahwa 
rakyat sendiri adalah individu yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu dan 
godaan setan. Timbangan baik buruk yang diserahkan pada rakyat adalah sebuah 
kekacaubalauan. 
   
  Dalam kasus The Prohobition Law of America, mula-mula rakyat Amerika secara 
rasional dan logis berpendapat bahwa minuman keras tidak hanya berdampak 
negatif bagi kemampuan mental dan intelektual manusia serta mendorong timbulnya 
kekacauan masyarakat. Hukum ini disetujui suara mayoritas. Namun ketika hukum 
ini mulai diberlakukan, rakyat yang terlanjur mencandu tak dapat melepaskan 
ketergantungan itu. Akhirnya undang-undang itu dicabut oleh rakyat sendiri. 
UNESCO sendiri pernah menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi itu bersifat 
ambigious (mendua, tak menentu). Maka tak heran jika seluruh pemimpin negara 
ramai-ramai menyatakan we are all democrats (kami semua adalah demokrat) meski 
kenyataannya berbeda-beda, bahkan dalam Encyclopedia Americana, Uni Soviet 
(sebelum bubar) Cina, dan Kuba yang nyata-nyata komunis pun menyebut 
pemerintahannya sebagai pemerintahan demokrasi. Francis Fukuyama akhirnya 
menulis dalam bukunya “The End of History” (1989), “Sejarah dunia telah
 berakhir dengan kemenangan di pihak demokrasi”, benarkah?.
   
  DR Adnan Ali Ridho An Nahwi dalam buku “Asy Syura La Ad Dimuqratiyah” (Syura 
Bukan Demokrasi) berpendapat bahwa demokrasi hanyalah sarana musuh Islam untuk 
menghacurkan ummat Islam. Demokrasi Perancis di Aljazair, demokrasi Inggris di 
Mesir, Palestina, India dan demokrasi Amerika di Lebanon dan Turki justru 
menghembuskan kehinaan bagi rakyat dan bangsa Muslim. Beberapa fakta modern 
jelas-jelas menunjukkan Barat tidak pernah memberi tempat bagi kaum muslimin 
untuk memenangkan demokrasi di banyak tempat, dari mulai Mesir dengan Ikhwanul 
Musliminnya, Aljazair dengan FIS nya sampai Turki dengan Refahnya karena 
menurut barat ada ketidakselarasan antara demokrasi dengan Islam.
   
  Barangsiapa dari kalian yang hidup (setelah masaku), akan banyak melihat 
perselisihan yang banyak, maka kalian wajib berpegang-teguh dengan sunnahku dan 
sunnah para khulafaurasyidin, gigitlah dengan kuat dan jauhilah perkara-perkara 
baru”(HR. Abu Dawud)
   
  Manhaj Perjuangan Islam
  Hari-hari ini kita saksikan kaum muslimin di berbagai negeri menghadapi suatu 
fenomena yang menyakitkan; tuduhan teroris, terbelakang dan berbagai tuduhan 
lainnya seakan tidak habis menerpa kaum muslimin dan tentunya Islam secara 
lebih khusus. Di tengah badai fitnah yang besar tersebut, kaum Muslimin 
berusaha untuk bangkit untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi ini, namun 
sayangnya kebangkitan Islam telah muncul diatas dua manhaj:
   
  Manhaj yang memulai dakwahnya dengan menancapkan kepada aqidah yang benar 
dengan Sunnah yang shahih serta berusaha mengamalkannya, dan berangkat dari 
situ berusaha menelorkan ide-ide politik yang sejalan dengan sunnah Rasulullah 
shallallahu alaihi wa sallam. 
  Manhaj yang memulai dengan memunculkan ide-ide politik dan undang-undang 
sementara masalah aqidah di kebelakangkan. Dan akhirnya mereka jatuh dalam 
tindakan-tindakan yang salah dan menyimpang. 
  Sesungguhnya mayoritas perdebatan sengit yang dicatat dalam sejarah Islam 
sebabnya adalah perbedaan paham mengenai manhaj Islami. Sementara pertempuran 
sengit di negeri-negeri barat dipicu oleh pemimpin-pemimpin yang berkuasa 
hingga meletusnya Revolusi Perancis pada 1793 M. Kemudian meluas menjadi 
peperangan antara bangsa hingga pecahlah perang dunia pertama kemudian beralih 
menjadi perang ideologi antara komunisme, Marxisme, fasisme, demokratisme dan 
liberalisme. Setelah berakhirnya perang dingin dengan runtuhnya Uni Soviet, 
terjadilah asimilasi budaya di bawah naungan negara-negara barat. Para 
pemikir-pemikir barat mulai menyuarakan melalui mimbar-mimbar ilmiah meraka, 
bahwasanya peperangan budaya dan ideologi (ghazwul fikri) telah dimulai, dan 
konsep pemikiran liberalisme international dengan demokrasinya telah memasuki 
era peperangan yang dashyat melawan pemikiran-pemikiran Islami dalam usahanya 
menguasai dunia. Dunia Islam telah memasuki era yang sangat berbahaya dan
 menentukan yaitu penghancuran identitas diri di negara-negara kaum muslimin 
yang merupakan bukti gagalnya seluruh eksperimen terutama di negara-negara Arab 
terdahulu yang telah terlepas dari keIslamannya, lalu mengambil 
pemikiran-pemikiran yang bersifat eksperimen dan spekulatif serta tidak sesuai 
dengan sejarah kebangkitan Islam dan diennul Islam itu sendiri. Sayangnya 
sebagian besar kaum muslimin yang insya Allah mempunyai niat yang mulia untuk 
menegakkan Islam justru malah mengikuti pola dan cara yang disusupkan oleh 
Barat dan Yahudi (Protocol of Zion) dalam memperjuangkan Islam atau mungkin 
mereka belum juga sadar dan mau kembali merujuk kepada cara manhaj Islam yang 
benar dalam memperjuangkan dien ini.
   
  Maka sungguh benarlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: 
   
  Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian (yahudi dan 
nasrani ) sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke lubang dhob, 
niscaya kalian pun akan ikut masuk ke dalamnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
   
  Maka perhatikanlah kaum muslimin hari ini dalam politik mereka sibuk dengan 
demokrasinya. Dalam ekonomi mereka enjoy dengan bunga dan sistem ribawi 
lainnya, dalam budaya mereka meniru kebudayaan-kebudayaan nenek moyang mereka 
dalam perilaku mereka meniru orang-orang barat. Sungguh sebuah musibah besar 
bagi dienul Islam. Sayangnya hal ini tidak disadari oleh kebanyakan kaum 
muslimin dan sayangnya lagi sebagian kaum muslimin yang diharapkan dapat 
menyongsong Shahwah Islamiyah justru mengambil dienul Islam ini secara parsial 
dan meninggalkan sebagian yang lain. Permasalahan demokrasi akan semakin jelas 
jika kita mengetahui maknanya, dan kita tidak akan merujuk kepada Lisanul Arab 
dan juga Ash Shahihah untuk membahasnya karena si empunya rumah lebih faham 
tentang isi rumahnya. 
   
  Demokrasi Bukan Syuro
  Demokrasi berasal dari asal kata “demo” yang bermakna rakyat, sedangkan lafal 
kedua adalah “kratia” yang artinya aturan hukum atau kekuasaan yang apabila 
digabung maka menjadi kekuasaan rakyat dan untuk rakyat (As Syuura Laa Ad 
Dimuqratiyah, hal 34 ).
   
  Dalam kamus para pemuja demokrasi, yaitu Kams Collins cetakan London tahun 
1979 disebutkan bahwa makna demokrasi adalah hukum dengan perantara rakyat atau 
yang mewakilinya (Ad demokratiyyah wa Mauqifil Islami Minha). Merupakan salah 
satu sistem liberal yang memisahkan antara agama dengan politik. Hal ini sangat 
bertentangan dengan Al Qur an, karena di dalam syariat Islam hukum hanya milik 
Allah dan rakyat tidak mempunyai hukum dan tidak juga mewakilinya, Allah taala 
berfirman:
   
  Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak 
menyembah selain Dia. (QS. Yusuf: 40) 
   
  Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang 
diturunkan Allah (QS Al Maidah: 49)
   
  Allah Ta ala telah menjelaskan dalam dua ayat ini bahwa hukum tidak menjadi 
milik rakyat dan juga wakilnya di parlemen. Dan Allah memerintahkan RasulNya 
untuk memutuskan perkara dengan apa yang Allah turunkan berupa syariat, maka 
bagaimana mungkin demokrasi disebut Siyasah Syar’iah, bahkan menyamakan 
demokrasi dengan Syura dalam Islam, padahal pada dasarnya demokrasi 
bertentangan dengan syariat Islam. 
   
  Jelas sekali perbedaan demokrasi dengan syura dalam Islam dengan 
perbedaan-perbedaan yang mendasar laksana langit dan bumi. Perbedaan tersebut 
antara lain, syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan 
orang-orang kafir, syura dipandang sebagai bagian dari agama, sedangkan 
demokrasi adalah aturan sendiri. Di dalam syura ada orang-orang berakal yaitu 
ahlul halli wal aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama ahli fikih 
dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan, 
merekalah yang mempunyai kapabilitas menentukan hukum yang disodorkan kepada 
mereka dengan syariat Islam, sedangkan demokrasi meliputi orang-orang yang di 
dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir bahkan kafir 
sekalipun. Dalam demokrasi semua orang sama posisinya; orang alim dan bertakwa 
pun sama dengan pelacur, orang shalih sama dengan orang bejat dll, sedangkan 
dalam syura maka semuanya diposisikan secara proporsional.
   
  Allah berfirman:
   
  Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan 
orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian) 
bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (QS. Al Qalam: 35-36)
   
  Yang lebih parah lagi demokrasi melecehkan hukum Allah dengan masih membahas 
permasalahan yang sudah jelas hukumnya karena dalam demokrasi bukan mengacu 
pada Al Qur’an dan sunnah shahihah tapi kepada suara terbanyak, padahal 
kebenaran tidak diukur dengan jumlah banyaknya orang. 
   
  Tapi kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah. Maka jelaslah demokrasi memang 
merupakan syariat orang-orang kafir tapi masih saja sebagian dari kita mau 
menjadi pejuang-pejuang demokrasi bahkan yang lebih parahnya lagi dengan 
mengatasnamakan perjuangan Islam -naudzubillah min dzalik, nas allullaha salam 
walafiyah- padahal jelas dalam hadist bahkan dalam perilaku sehari-hari saja 
kita diperintahkan untuk menyelisihi orang kafir.
   
  Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam 
bersabda, Potonglah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian berbedalah 
kalian dari golongan majusi (kafir). (HR. Muslim)
   
  Bahkan lebih tegas lagi sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,
   
  Barang siapa meniru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka. (HR. 
Bukhari dan Muslim) 
   
  Sayangnya ayat Al Qur an dan hadist shahih yang dibawakan oleh para ulama ini 
diabaikan oleh sebagian besar aktivis Islam yang kenyataannya justru mereka 
masih hijau sekali dalam ilmu dien ini, dengan anggapan bahwa para ulama itu 
tidak faham dan mengerti masalah politik bahkan mereka berani mencela para 
ulama salaf dengan tuduhan ulama fiqih (celana dalam wanita) dan sebagian yang 
lain bahkan menuduh dakwah para ulama salaf sebagai antek-antek zionis (baca: 
Majalah Suara Hidayatullah).
   
  Mencela orang muslim adalah kefasikan membunuhnya adalah kekufuran. 
(Muttafaqun’alaih)
   
  Apalagi mencela para ulama yang jelas-jelas ahli waris para nabi. 
naudzubillah min dzalik. Selanjutnya mereka menganggap bahwa ulama tidak 
mengerti keadaan yang mereka istilahkan fiqhul waqi dan menggangap orang yang 
menasihati adalah pendengki yang tidak memperjuangkan Islam.
   
  Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk 
(membela) mereka (kebatilan) dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan 
mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi 
pelindung mereka (terhadap siksa Allah). (QS. An Nisa: 109)
   
   
  Sungguh sebuah musibah yang amat besar sekali karena ummat ini dijauhkan dari 
ilmu dan para ulamanya. Sebagian yang lain menganggap hal ini masalah perbedaan 
ijtihad saja padahal jelas ijtihad pun dilakukan dengan dasar Al Qur an dan 
sunnah shahihah bukan dengan akal dan perasaan saja atau hanya karena 
pertimbangan keduniaan.
   
  Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia 
kepada Allah, Al Qur’an, dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman 
kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik 
akibatnya (QS. An Nisaa: 59) 
   
  Atau mereka berkata “Kami masuk ke dalam demokrasi karena darurat”. Darurat 
berasal dari kata “Ad Dharar” yang berarti bahaya. Adapun secara istilah, 
berkata Az Zarkasi, “Darurat adalah sampainya kepada batasan, jika tidak 
menunaikan yang terlarang niscaya akan binasa. Istilah ini banyak dijumpai 
dalam ilmu fiqh. Adapun dalil dari Al qur an tentang hal ini.” 
   
  …Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, 
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. (QS. Al Maidah: 3)
   
  Allah telah menjelaskan syariatNya atas dasar kemudahan, namun pertanyaannya 
apakah kita akan mati atau binasa jika kita tidak memakai demokrasi sebagai 
hukum? Malah kenyataannya di Mesir di akhir pemerintahan Anwar Sadat, puluhan 
ribu Muslim dipenjarakan, begitu juga di Sudan tatkala Numeri menangkapi para 
Aktivis Islam, padahal di parlemen Mesir dan Sudan banyak terdapat wakil rakyat 
dari kaum Muslimin, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu pun.
   
  Para ulama sepakat tentang haramnya demokrasi dengan dalil-dalil yang tegas 
dan sharih, mengenai kewajiban menyelisih orang kafir dalam sistem hidup 
mereka. Ingatlah wahai saudaraku, Islam akan tegak dengan manhaj Islam, dan 
bukan dengan cara-cara kafir, dan Islam akan tegak di atas landasan yang benar, 
aqidah yang kuat bukan aqidah dan metodologi campur aduk. Takutlah kalian akan 
ayat Allah:
   
  Hai orang-orang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya 
dan jangan kamu turut langkah-langkah syetan, sesungguhnya syetan itu musuh 
yang nyata bagimu (QS. Al Baqarah: 208 )
   
  Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan 
tauhid dan mendidik ummat dan masyarakat dengan sunnah, bahkan beliau menolak 
ketika ditawarkan menjadi raja oleh kaum musyrikin. Maka bisakah syariat 
ditegakkan sementara masyarakat dalam keadaan tidak siap untuk menerimanya? 
ingatlah kalian dengan kisah Heraqlius raja Roma ketika disampaikan risalah 
Islam kepadanya, ”Wahai sekalian rakyat Roma, apakah kalian ingin keadaan 
bahagia dan teratur, serta kerajaan kalian stabil? Baiatlah Nabi ini.” Maka 
rakyatnya pun lari dengan sangat kencang, namun pintu-pintu telah tertutup. 
Lalu Heraqlius memanggil lagi dan mengatakan, “Saya melakukan hal itu hanya 
untuk mengetahui kekokohan kalian terhadap agama kalian, maka rakyatnya pun 
sujud kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim) 
   
  Lihatlah, meskipun Heraqlius seorang raja yang mempunyai kekuatan dan 
kekuasaan, akan tetapi ia tidak mampu memaksa rakyatnya untuk masuk Islam, 
begitu pula raja Najasyi (seorang Raja Kristen di Habasyah) yang masuk Islam. 
   
  Selanjutnya, apakah beliau shallallahu alaihi wa sallam memperjuangkan Islam 
dengan demokrasi menghadapi orang-orang musyrik? apakah beliau berdemokrasi 
dengan bermajelis bersama mereka memperbincangkan lagi hal-hal yang sudah jelas 
dalam syariat, memperbincangkan lagi hukum-hukum Allah yang telah tegas atau 
bahkan memperbincangkan lagi masalah aqidah? Selanjutnya apakah ada sejengkal 
tanah di dunia ini yang berhasil menegakkan hukum-hukum Allah dengan cara 
berdemokrasi?, jawablah wahai saudaraku!. 
   
  Pengalaman-pengalaman pahit di Mesir, Turki bahkan Aljazair bagaimana 
kemenangan yang telah lebih dari 90% itu tak berarti apa-apa. Seharusnya hal 
ini menjadi pelajaran yang jelas dan terang bahwa barokah dan ridho Allah tidak 
dapat dicapai dengan perjuangan memakai sistem kafir ini. Fa aina tadzhabun ya 
ikhwah…
   
  Belumkah saatnya bagi orang-orang beriman untuk hati mereka tunduk pada 
peringatan Allah dan kebenaran yang Allah telah turunkan kepada mereka dan 
janganlah mereka menjadi seperti golongan ahli kitab sebelumnya. Lalu mereka 
diberi masa yang panjang kemudian hati mereka menjadi keras dan sebagian dari 
mereka fasiq. (QS. Al Haddid: 16)
   
  Semoga Allah merahmati kita semua dan mempersatukan hati kita di atas aqidah 
yang benar. Karena hanya Allahlah yang dapat mempersatukan hati dan hanya 
dengan tauhidlah hati-hati ini dapat bersatu dalam kebenaran. Janganlah kau 
hitung kebenaran dari banyaknya jumlah, namun kenalillah kebenaran itu sendiri 
(Al Qur’an dan Sunnah shahihah dengan pemahaman para sahabat) maka engkau akan 
mengetahui siapakah orangnya. 
   
  Wallahu A’lam bissowab
   
  Sumber : Muslim.Or.Id


Note: forwarded message attached.
 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Great things are happening at Yahoo! Groups.  See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/TISQkA/hOaOAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke