Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuhu,
  Akhi. Dikatakan bahwa penulis tidak mengimami Isro' Mi'roj itu pendapat yang 
kurang bijaksana. Kita sebagai seoramg muslim berkewajiban mengimani Mukjizat 
yang diberikan Alloh Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Shallallahu â˜alaihi wa 
sallam.
   
  Tidak diragukan lagi bahwa isra' mi'raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah 
yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan 
keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekuasaan Allah yang 
Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. 
  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
  "Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu 
malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi 
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran 
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. " [Al-Isra’: 1]
   
  Untuk lebih jelasnya bagaimana ulama melihat hukum merayakan Isro' Mi'roj .
   
  Hukum Merayakan Malam Isra' Mi'raj
  Selasa, 23 Agustus 2005 07:46:07 WIB
   
  HUKUM MERAYAKAN MALAM ISRA' MI'RAJ
  
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
   
  
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan 
kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du,
  Tidak diragukan lagi bahwa isra' mi'raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah 
yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan 
keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekuasaan Allah yang 
Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala 
berfirman.
  "Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu 
malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi 
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran 
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. " [Al-Isra’: 1]
  Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara 
mutawatir, bahwa beliau naik ke langit, lalu dibukakan baginya pintu-pintu 
langit sehingga mencapai langit yang ketujuh, kemudian Allah Subhanahu wa 
Ta'ala berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat yang lima waktu kepadanya. 
Pertama-tama Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkannya lima puluh kali shalat, 
namun Nabi kita tidak langsung turun ke bumi, tapi beliau kembali kepadaNya dan 
minta diringankan, sampai akhirnya hanya lima kali saja tapi pahalanya sama 
dengan lima puluh kali, karena suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali 
lipat. Fuji dan syukur bagi Allah atas semua nik'matNya.
  Tentang kepastian terjadinya malam isra mi'raj ini tidak disebutkan dalam 
hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan 
tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal 
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah 
mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal 
kejadiannya. Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh 
mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan 
tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari'atkan, tentu Rasulullah 
telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan 
perbuatan. Dan jika itu syari’atkan, tenu sudah diketahui dan dikenal serta 
dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa 
menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang
 dibutuhkan umat ini, bahkan merekalah orang-orang yang lebih dulu melaksanakan 
setiap kebaikan jika perayaan malam tersebut disyari'’atkan, tentulah merekalah 
manusia pertama yang melakukannya.
  Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling loyal terhadap 
sesama manusia, beliau telah menyampaikan risalah dengan sangat jelas dan telah 
menunaikan anamat dengan sempurna. Seandainya memuliakan malam tersebut dan 
merayakannya termasuk agama Allah, tentulah nabi tidak melengahkanya tidak 
menyembunyikan. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka diketahui bahwa 
merayakannya dan memuliakannya sama sekali bukan termasuk ajaran Islam, dan 
tanpa itu Allah telah menyatakan bahwa dia telah menyempurnakan untuk umat ini 
agamanya dan telah menyempurnakan nimatnya serta mengingkari orang yang 
mensyariatkan sesuatu dalam agama ini yang tidak diizinkannya. Allah telah 
berfirman.
  "Artinya : Pada Hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah 
kucukupkan kepadamu nikmat Ku" [Al-Ma’idah :3 ].
  Kemudian dalam ayat lain disebutkan.
  "Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang 
mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah sekiranya ada 
ketetapan yang menentukan (dariAllah) tentulah mereka telah binasa. Dan 
sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih 
.” [Asy-Syura : 21]
  Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam 
hadits-hadits shahih peringatan terhadap bid’ah dan menjelaskan bahwa 
bid’ah-bid’ah itu sesat. Hal ini sebagai peringatan bagi umatnya tentang 
bahayanya yang besar dan agar mereka menjahukan diri dari melakukannya, 
diantaranya adalah yang disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu 
'anha, dari nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
  "Artinya : Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami 
(dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.".
  Dalam riwayat Musliim disebutkan.
  "Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan 
maka ia tertolak." [1]
  Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir, ia mengatakan, bahwa dalam 
salah satu khutbah Jum'at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan.
  "Artinya : Amma ba ‘du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, 
sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah 
hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat." [2]
  An-Nasa'i menambahkan pada riwayat ini dengan ungkapan.
  "Artinya : Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka." [3]
  Dalam As-Sunan disebutkan, dari Irbadh bin Sariyah , ia berkata, "Rasulullah 
mengimami kami shalat Shubuh, kemudian beliau berbalik menghadap kami, lalu 
beliau menasehati kami dengan nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air 
mata menetes dan hati bergetar. Kami mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tampaknya 
ini seperti nasehat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami. Beliau pun 
bersabda.
  "Artinya : Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, ta’at dan 
patuh, walaupun yang memimpin adalah seorang budak hitam. Sesungguhnya siapa di 
antara kalian yang masih hidup setelah aku tiada, akan melihat banyak 
perselisihan, maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah 
Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah itu dengan geraham, dan 
hendaklah kalian menjauhi perkara-perakara yang baru, karena setiap perkara 
baru itu adalah bid 'ah dan setiap bid'ah itu sesat'."[4]
  Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini.
  Telah disebutkan pula riwayat dari para sahabat beliau dan para salaf shalih 
setelah mereka, tentang peringatan terhadap bid'ah. Semua ini karena bid'ah itu 
merupakan penambahan dalam agama dan syari'at yang tidak diizinkan Allah serta 
merupakan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani 
dalam penambahan ritual mereka dan bid'ah mereka yang tidak diizinkan Allah, 
dan karena melaksanakannya merupakan pengurangan terhadap agama Islam serta 
tuduhan akan ketidaksempurnaannya. Tentunya dalam hal ini terkandung kerusakan 
yang besar, kemungkaran yang keji dan bantahan terhadap firman Allah SUbhanahu 
wa Ta'ala.
  "Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." 
[Al-Ma'idah: 3]
  Serta penentangan yang nyata terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam yang memperingatkan perbuatan bid'ah dan peringatan untuk 
menjauhinya.
  Mudah-mudahan dalil-dalil yang kami kemukakan tadi sudah cukup dan memuaskan 
bagi setiap pencari kebenaran untuk mengingkari bid'ah ini, yakni bid'ah 
perayaan malam isra' mi'raj, dan mewaspadainya, bahwa perayaan ini sama sekali 
tidak termasuk ajaran agama Islam. Kemudian dari itu, karena Allah telah 
mewajibkan untuk loyal terhadap kaum muslimin, menerangkan apa-apa yang 
disyari'atkan Allah kepada mereka dalam agama ini serta larangan menyembunyikan 
ilmu, maka saya merasa perlu untuk memperingatkan saudara-saudara saya kaum 
muslimin terhadap bid'ah ini yang sudah menyebar ke berbagai pelosok, 
sampai-sampai dikira oleh sebagian orang bahwa perayaan ini termasuk agama. 
Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memperbaiki kondisi semua kaum 
muslimin dan menganugerahi mereka pemahaman dalam masalah agama. Dan semoga 
Allah menunjuki kita dan mereka semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan 
kebenaran dan konsisten padanya serta meninggalkan segala sesuatu yang
 menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas itu. Shalawat, salam dan 
berkah semoga dilimpahkan kepada hamba dan utusanNya, Nabi kita, Muhammad, 
keluarga dan para sahabatnya.
  [At-Tahdzir minal Bida’, hal.16-20, Syaikh Ibnu Baz]
  [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min 
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. HR. An-Nasa’I dalam Al-Idain (1578).
[4]. HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majjah dalam Al-Muqaddimah (42).
   
  
Sumber : <http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1546&bagian=0>
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
   
  Untuk menjawab pertanyaan antum silakan melihat artikel dibawah.
  Kesempurnaan Agama Islam
  Penulis: Al Ustadz Muslim Abu Ishaq
  .:  :. 
  Islam sebagai satu-satunya agama yang dipilih oleh Allah Ta'ala sebagaimana 
firman-Nya : "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam" (Ali Imran : 19)
  Merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta'ala dan tidak ada 
kebenaran selain Islam, maka siapa yang menginginkan selain Islam berarti dia 
memilih kebathilan dan dalam keadaan merugi. 
   
  Allah Ta'ala berfirman : "Apakah selain agama Allah (Islam) yang mereka 
inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa 
  yang ada di langit dan di bumi baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan 
hanya kepada-Nya mereka dikembalikan." (Ali Imran : 83) "Dan siapa yang 
menginginkan selain Islam sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya 
agama tersebut dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (Ali Imran 
: 85). 
   
  Agama yang haq ini telah disempurnakan oleh Allah Ta'ala dalam segala segi, 
segala yang dibutuhkan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah 
dijelaskan, sehingga 
  tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah mengaturnya. 
   
  Allah Ta'ala berfirman : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian 
agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam 
sebagai agama kalian." (Al Maidah : 3)
   
  Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : "Ini merupakan 
nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan 
bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam 
dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka shalawatullahi wasalaamu alaihi. 
Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini (Muhammad shallallahu alahi 
wasallam, pent.) sebagai penutup para Nabi dan Allah mengutusnya untuk kalangan 
manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia 
haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan. Segala sesuatu 
yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran tidak ada kedustaan padanya 
dan tidak ada penyuluhan." (Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma'rifat).
   
  Pernah datang seorang Yahudi kepada Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu 'anhu 
lalu ia berkata : [ Wahai Amirul Mukminin! Seandainya ayat ini : "Pada hari ini 
telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan 
nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian."... turun atas 
kami, niscaya kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya. 
Maka Umar menjawab : "Sesungguhnya aku tahu pada hari apa turun ayat tersebut, 
ayat ini turun pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum'at." (Riwayat 
Bukhari dalam 
  Shahih-nya nomor 45,4407,4606).
   
  Ayat yang menunjukkan kesempurnaan Islam ini memang patut dibanggakan dan 
hari turunnya patut dirayakan sebagai hari besar. Namun kita tidak perlu 
membuat-buat hari raya baru karena Allah menurunkannya tepat pada hari besar 
yang dirayakan oleh seluruh kaum Muslimin, yaitu hari Arafah 
  dan hari Jum'at.
   
  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah Ta'ala kepada 
ummat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan 
sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu alaihi wasallam wafat melainkan 
beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka butuhkan.
   
  Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, 
ia berkata : "Sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhutbah di hadapan 
kami dengan suatu khutbah yang beliau tidak meninggalkan sedikitpun perkara 
yang akan berlangsung sampai hari kiamat kecuali beliau sebutkan ilmunya ... ." 
  (Shahih Bukhari nomor 6604).
   
  Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (juz 4 halaman 2217) dari Abu Zaid 
Amr bin Akhthab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Rasullullah shallallahu alaihi 
wasallam shalat Shubuh bersama kami.(Selesai shalat) beliau naik ke mimbar lalu 
berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Dhuhur, beliau turun dari mimbar 
dan shalat Dhuhur. Kemudian beliau naik lagi ke mimbar lalu berkhutbah di 
hadapan kami hingga tiba waktu Ashar, kemudian beliau turun dari mimbar dan 
shalat Ashar. (Setelah shalat Ashar) beliau naik ke mimbar lalu mengkhutbahi 
kami hingga tenggelam matahari. Dalam khutbah tersebut beliau mengabarkan pada 
kami apa yang telah berlangsung dan apa yang akan berlangsung ... ." 
   
  Bid'ah Adalah Kesesatan
   
  Dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan 
penambahan, pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih simpelnya hal-hal ini 
diistilahkan bid'ah dalam agama yang telah diperingatkan dengan keras oleh 
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau : "Sesungguhnya 
sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran 
Rasulullah. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang 
diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan 
(dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan." (HR. Muslim 
no. 867) 
   
  Mengapa Bid'ah Dan Pembuatnya Dikatakan Sesat ?
   
  Karena, pertama, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap ajaran agama ini 
belum sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan 
anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta'ala yang memberikan 
kesempurnaan agama ini. 
   
  Kedua, bisa jadi ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara 
yang belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang 
berarti ia menuduh 
  beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah berkhianat dalam penyampaian 
risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu anhu 
mempersaksikan : "Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor 
burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau 
menyebutkan ilmunya pada kami."
   
  Abu Dzar kemudian berkata :
  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Tidaklah tertinggal 
sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali 
telah diterangkan 
  pada kalian." (HR. Thabrani dalam Mu'jamul Kabir, lihat As Shahihah karya 
Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat 
lain).
   
  Imam Malik rahimahullah berkata : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam Islam 
sesuatu kebid'ahan dan menganggapnya baik berarti ia telah menuduh Rasulullah 
telah berkhianat dalam menyampaikan risalah. 
   
  Karena Allah telah berfirman : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi 
kalian agama kalian." Maka apa yang waktu itu (pada masa Rasulullah dan para 
shahabat beliau) bukan bagian dari agama, (maka) pada hari ini pun bukan 
bagiandari agama." (Lihat Al I'tisham oleh Imam Syathibi halaman 37) 
   
  Ketiga, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap dirinya lebih berilmu 
dibanding Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga dia tahu ada amalan 
baik yang tidak diketahui dan tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 
alaihi wasallam. 
   
  Apakah Teranggap Niat Baik Seseorang Ketika Berbuat Bid'ah ? 
   
  Bagaimana bila ada orang yang berkata bahwa ia membuat-buat amalan bid'ah 
atau mengerjakannya dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah ? Maka 
dijawab bahwa syarat diterimanya suatu amalan tidaklah sekedar niat baik atau 
ikhlas, namun juga harus dibarengi dengan Mutaba'ah Ar Rasul (mengikuti 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam), adakah contohnya dari beliau atau 
tidak. 
   
  Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala (yang 
artinya) :"Maka siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah 
dia melakukan amal shalih dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan 
seorang pun dalam peribadatan kepada-Nya." (QS. Al Kahfi : 10)
   
  Beliau rahimahullah berkata : [ Firman Allah : " ... hendaklah ia melakukan 
amal shalih ... ." Yang cocok/sesuai dengan syariat Allah. Dan firman-Nya : " 
... dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang pun dalam 
peribadatan kepada-Nya." Yang diinginkan dalam beribadah tersebut adalah wajah 
Allah saja tanpa menyekutukan-Nya. Dua rukun diterimanya amalan adalah 
(pertama) harus dilakukan ikhlas karena Allah dan (kedua) amalan tersebut benar 
dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam." (Tafsir Ibnu 
Katsir 3/114) ].
   
  Terhadap firman Allah Ta'ala : "Dialah yang menciptakan kematian dan 
kehidupan agar Dia menguji kalian siapa yang paling baik di antara kalian 
amalannya." (QS. Al Mulk : 2) Al Fudlail bin Iyadl rahimahullah berkata : 
"Amalan yang paling baik adalah amalan yang paling ikhlas dan paling 
benar/tetap. Karena amalan yang hanya disertai keikhlasan namun tidak benar 
maka amalan itu tidak diterima. Dan sebaliknya, bila amalan itu benar namun 
tidak dibarengi keikhlasan juga tidak akan diterima."
   
  Pernah datang tiga orang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ke rumah 
istri-istri beliau guna menanyakan tentang ibadah beliau. Tatkala diberitahukan 
kepada mereka, mereka menganggapnya kecil dan mereka berkata : "Apa kedudukan 
kita dibanding Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau telah diampuni 
dosa-dosanya yang telah lalu dan yang belakangan." Berkata salah seorang dari 
mereka : "Aku akan shalat sepanjang malam tanpa tidur selamanya." Yang kedua 
berkata : "Aku akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Yang 
terakhir berkata : "Aku akan menjauhi wanita maka aku tidak akan menikah 
selamanya." 
  Lalu datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ucapan-ucapan 
mereka disampaikan kepada beliau, maka beliau bersabda : "Apakah kalian yang 
  mengatakan begini dan begitu ?! Ketahuilah! Demi Allah, aku adalah orang yang 
paling takut kepada Allah dibanding kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, akan 
tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku juga 
menikahi wanita. Siapa yang benci (berpaling) terhadap sunnahku maka ia bukan 
dari golonganku (orang-orang yang menjalankan sunnahku)." (HR. Bukhari dan 
Muslim)
   
  Kalau kita lihat keberadaan tiga orang ini maka kita dapatkan niatan mereka 
yang baik yaitu untuk bersungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Allah, namun 
apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyetujui perbuatan mereka? 
Jawabannya bisa kita lihat dari pernyataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam 
di atas.
   
  Benar sekali apa yang diucapkan oleh shahabat Nabi, Abdullah bin Mas'ud 
radhiyallahu anhu : "Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada 
bersungguh-sungguh dalam perbuatan bid'ah."
   
  Orang-orang yang mengadakan bid'ah itu walaupun niatnya baik tetap tertolak 
dengan dalil hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam : "Siapa yang 
mengada-adakan sesuatu amalan di dalam urusan (agama) kami ini dengan yang 
bukan bagian dari agama ini maka amalan itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim 
dalam Shahih keduanya)
   
  Dan beliau bersabda :"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada 
  perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim). Karena itu 
yang wajib bagi kaum Muslimin adalah mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang 
telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa menambah 
  ataupun menguranginya. 
   
  Adakah Bid'ah Hasanah ?
  Tidak ada dalam agama ini istilah pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah 
(bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang jelek) karena Rasulullah 
shallallahu alaihi 
  wasallam telah menegaskan : "Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan 
tempatnya 
  di neraka." (HR. Muslim dalam Shahih-nya, sedang tambahannya diriwayatkan 
dalam Sunan Nasa'i) Lalu bagaimana dengan ucapan Umar radhiallahu anhu ketika 
  melihat pelaksanaan shalat tarawih secara berjama'ah : "Sebaik-baik bid'ah 
adalah perbuatan ini." (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya)
   
  Maka kita katakan bahwa yang dimaukan oleh Umar dengan ucapannya tersebut 
adalah pengertian bid'ah secara bahasa, bukan secara syari'at, karena Umar 
mengucapkan perkataan demikian sehubungan dengan berkumpulnya manusia di bawah 
satu imam dalam pelaksanaan shalat tarawih, sementara shalat tarawih secara 
berjama'ah telah disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam 
dimana beliau sempat mengerjakannya selama beberapa malam secara berjama'ah 
dengan para shahabatnya, kemudian beliau tinggalkan karena khawatir hal itu 
diwajibkan atas mereka. Sehingga setelah itu manusia mengerjakan tarawih secara 
sendiri-sendiri atau dengan jama'ah yang terpisah-pisah 
(berbilang/berkelompok-kelompok).
   
  Lalu pada masa pemerintahannya Umar radhiallahu 'anhu, Umar radhiallahu 'anhu 
mengumpulkan mereka di bawah pimpinan satu imam sebagaimana pernah dilakukan di 
zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena wahyu telah berhenti turun 
dengan meninggalnya beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berarti tidak ada 
lagi kekhawatiran diwajibkannya perkara tersebut. 
   
  Dengan demikian Umar radhiallahu 'anhu menghidupkan kembali sunnah tarawih 
secara berjama'ah dan ia mengembalikan sesuatu yang sempat terputus, maka 
teranggaplah perbuatannya tersebut sebagai bid'ah dalam pengertian bahasa, 
bukan pengertian syari'at, karena bid'ah yang syar'i hukumnya haram, tidak 
mungkin Umar radhiallahu 'anhu ataupun selainnya dari kalangan shahabat 
melakukan hal tersebut, sementara mereka tahu peringatan keras dari Nabi 
radhiallahu 'anhu akan perbuatan bid'ah. (Dzahirut Tabdi’, halaman 43-44). 
   
  Adapun di masa Abu Bakar radiallahu anhu, sunnah tarawih secara berjama'ah 
ini tidak sempat dihidupkan karena khilafah beliau hanya sebentar dan ketika 
itu beliau disibukkan dengan orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat, 
demikian keterangan Imam Syathibi dalam kitabnya Al I'tisham, wallahu a'lam. 
Semoga Allah merahmati shahabat Nabi, Abdullah Bin Umar radiallahu anhuma yang 
berkata : "Setiap bid'ah adalah sesat sekalipun manusia memandangnya baik."
   
  Hukum Membuat Bid'ah Dalam Agama 
   
  Hukum membuat bid'ah dalam agama adalah haram berdasarkan Al Qur'an, As 
Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama), karena membuat bid'ah berarti menetapkan 
syariat yang menyaingi syariat Allah, yang berarti menentang dan mengadakan 
permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. (Hurmatul Ibtida' fid Dien wa Kullu 
Bid'atin Dlalalah, Abu Bakar Jabir Al Jazairi, halaman 8)
   
  Contoh Bid'ah Dalam Hari Raya/Hari Besar Yang Disandarkan Kepada Islam
   
  Dalam syariat agama yang mulia ini hanya dikenal adanya dua hari raya/ied, 
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu 'anhu :
  Nabi shallallahu alaihi wasallam datang ke Madinah dan ketika itu penduduk 
Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bisa bersenang-senang di dalamnya 
pada masa 
  jahiliyyah, maka beliau bersabda : "Aku datang pada kalian dalam keadaan 
kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersenang-senang di dalamnya pada 
masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari 
tersebut dengan yang lebih baik yaitu hari Nahr (Iedul Adha) dan Iedul Fitri." 
(HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Baghawi)
   
  Iedul Adha dan Iedul Fitri lebih baik daripada dua hari raya yang dimiliki 
penduduk Madinah karena Iedul Adha dan Iedul Fitri ditetapkan dengan syariat 
Allah yang dipilih-Nya untuk hamba-Nya dan kedua hari raya tersebut mengiringi 
dua amalan besar dalam Islam yaitu haji dan puasa. Sedangkan hari Nairuz dan 
Mahrajan ditetapkan dengan pilihan manusia. (Ahkamul Iedain fis Sunnatil 
Muthahharah, halaman15-16)
   
  Apabila kita telah mengetahui bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, maka 
selain dari dua hari raya ini adalah hari raya yang diada-adakan (bid'ah), 
kemudian dinisbahkan kepada agama. 
   
  Contohnya seperti :
  - Isra' Mi'raj. Perayaan ini meniru perayaan Paskah (kenaikan Isa Al Masih) 
umat Nashrani, padahal kita dilarang meniru orang-orang kafir, Nabi Shallallahu 
'Alaihi Wa Sallam sendiri memperingatkan : "Siapa yang meniru-niru suatu kaum 
maka ia termasuk golongan kaum 
  tersebut."
  - Perayaan Nuzul Qur'an
  - Perayaan tahun baru Islam 1 Muharram, yang meniru perayaan tahun baru 
Masehi.
  - Maulid Nabi, yang meniru Nashrani dalam perayaan Natal.
  - Dan lain-lain.
  Bila ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengadakan dan merayakan 
perayaan seperti Maulid Nabi adalah karena cinta kepada Nabi shallallahu alaihi 
wasallam dan mengagungkan beliau, maka kita jawab bahwa para shahabat 
  Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi terbaik setelah mereka 
(generasi Salafus Shalih) tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka 
adalah orang-orang 
  yang tidak diragukan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa 
Sallam dan tidak disangsikan pengagungan mereka kepada beliau, serta mereka 
adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk melakukan amalan kebajikan. 
Seandainya perayaan Maulid itu baik, niscaya mereka adalah orang pertama yang 
melakukannya. Dan demikian yang kita katakan terhadap setiap amalan yang 
diada-adakan dalam agama ini. Seandainya amalan itu baik maka para pendahulu 
kita yang shalih tentunya telah mendahului kita dalam mengamalkannya. 
   
  Ketahuilah, pernyataan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam 
bukan diwujudkan dengan mengadakan perayaan seperti Maulid, namun bukti cinta 
kepada beliau diwujudkan (dibuktikan) dengan mengikuti beliau, menaati, 
mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya baik secara lahir maupun batin, 
menyebarkan dakwah beliau, berjihad untuk menegakkan dakwah baik dengan hati, 
lisan, maupun anggota badan. Inilah jalan yang ditempuh oleh As Sabiqunal 
Awwaluna dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti 
mereka dengan baik.
   
  Jalan Keluar dari Kebid'ahan 
   
  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan dalam banyak haditsnya 
jalan keluar dari kebid'ahan jauh sebelum terjadinya bid'ah. Beliau bersabda : 
"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalau kalian berpegang teguh 
dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya, yaitu 
Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Hakim dan dishahihkan dalam Shahihul Jami’ oleh 
Syaikh Albani rahimahullah)
   
  Beliau juga menasehatkan : "Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada 
Allah Azza wa Jalla, taat dan mendengar sekalipun kalian dipimpin oleh seorang 
hamba sahaya karena siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku niscaya 
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (ketika itu) wajib atas kalian 
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat 
petunjuk setelahku. Gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari 
perkara-perkara yang baru karena setiap yang bid'ah itu sesat." (HR. Abu Daud 
dan Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
   
  Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid'ah adalah berpegang teguh pada 
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta 
Petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka 
terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya 
kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba'-nya, paling dalam ilmunya dan 
paling luas pemahamannya terhadap Al Qur'an dan As Sunnah.
   
  Dengan cara ini seorang Muslim akan mampu berpegang teguh dengan agamanya dan 
bebas dari segala kotoran yang mencemari dan jauh dari semua kebid'ahan yang 
menyesatkan. Dan jalan ini mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah 
  Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bishawwab.
   
  
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
  Apakah akhi pernah menemukan amalan para 3 generasi sahabat ( yaitu generasi 
terbaik ) yang mengamalkan hal tersebut dibawah, apakah mereka tidak mengimami 
Isro' dan Mi'roj. Jawabanya mustahil.
   
  Mohon ma'af bila ada kata yang kurang berkenan. Agama adalah nasehat.
  Wassalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuhu.
  

dodi indraswanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Waalykumussalam Wr.Wb.
Pak Handriyanto yang dirohmati Alloh, 
dari kutipan yang bapak sampaikan, kelihatannya
penulis nya tidak mengimani Isro' Mi'roj yang dialami
Nabi SAW di bulan Rojab ? Bagaimana komentar bapak ?

Tentang tafsir QS Al Maidah ayat 3, bahwa islam sudah
sempurna, tidak hanya difatsiri seperti yang bapak
kutip, namun, bisa ditafsiri juga, karena sempurna,
maka akan selalu sesuai dengan zaman kapan saja, dan
akan menjadi rohmatan lil 'alamiin.
Memang tidak sesederhana kesimpulan diatas, harus
dikaji secara luas dan saling terkait dengan makna dan
pengertian Ibadah itu sendiri, tentang hukum haram -
halal, tentang arti dan batasan bid'ah, dan
sebagainya. 
Jika dimaknai secara sempit, harafiyyah, tentu akan
beda kesimpulannya.
Hal ini banyak ulama terdahulu yang telah membahasnya.

Itu semua, biasanya akan terjadi kilafiyyah pada
bagian cabang Islam, bukan pada hal yang Pokok atau
Rukun, maka tidaklah perlu dipertentangkan.
Bukankah hanya hak prerogratif Alloh SWT untuk menilai
amal ibadah seseorang itu ? Apa layak kita mengambil
alih Haq Alloh tersebut dengan menghakimi amal saudara
kita ? Semoga kita tidak termasuk yang demikian,
amiin.

Ada baiknya kita telaah FirmanNYA berikut :

QS Asy Syuuraa, ayat : 15
" Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu,
Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah
kembali (kita)"

QS Adz-Dzaariyyat ayat 8 :
"sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan
berbeda-beda pendapat,"

QS Al Lail ayat 4:
" sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda."

QS Ar Rum ayat 22 :
" Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui."

Demikianlah saudaraku, Semoga Alloh mau menolong kita
bersama untuk menetapkan di shiroothol mustaqiimNYA
Dan rohmatNYA selalu dikaruniakan pada kita dan
keluarga kita, amiin.
Subhaanakallohuma Wabihamdika Asyhaduanlaailahaillaa
anta Astaghfiruka wa'atubuilayka.

Wassalamualaykum warohmatullohi wabarokatuhu,

dodi indra

--- handri yanto wrote:

> Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuhu,
> Kalau mengamalkan ibadah sunnah tersebut tidaklah
> mengapa. Tetapi bila mengamalkan ibadah tersebut
> dengan mengaharapakan keutamaan bulan rajab (
> dikerjakan hanya dibulan tersebut ) itulah yang
> tidak boleh.
> Untuk lebih jelasnya mengenai bulan rajab berikut
> ini antum bisa melihat situs : 
> http://vbaitullah.or.id/content/view/771/9/
> 
> Semoga bermanfa'at.
> Baarakallahu Fiikum.
> Wassalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuhu.
> 
> 
> Hadits-Hadits Palsu Tentang Keutamaan Shalat Dan
> Puasa Di Bulan Rajab
> 
> 
> Kategori Ar-Rasaa-il
> 
> Senin, 8 Agustus 2005 07:07:19 WIB
> 
> HADITS-HADITS PALSU TENTANG KEUTAMAAN SHALAT DAN
> PUASA DI BULAN RAJAB
> 
> Oleh
> Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
> Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
> 
> 
> 
> Apabila kita memperhatikan hari-hari, pekan-pekan,
> bulan-bulan, sepanjang tahun serta malam dan
> siangnya, niscaya kita akan mendapatkan bahwa Allah
> Yang Maha Bijaksana mengistimewakan sebagian dari
> sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan
> tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari
> bulan lainnya, misalnya bulan Ramadhan dengan
> kewajiban puasa pada siangnya dan sunnah menambah
> ibadah pada malamnya. Di antara bulan-bulan itu ada
> pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan
> yang dihormati, dan diharamkan berperang pada
> bulan-bulan itu.
> 
> Allah juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepekan
> untuk berkumpul shalat Jum’at dan mendengarkan
> khutbah yang berisi peringatan dan nasehat.
> 
> Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul
> Ma’aad,[1] bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga
> puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah
> Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengkhususkan
> ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari
> Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
> wa sallam.
> 
> “Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
> dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
> Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah
> kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah
> dari malam-malam yang lain dan jangan pula kalian
> mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari-hari
> yang lainnya, kecuali bila bertepatan (hari Jum’at
> itu) dengan puasa yang biasa kalian berpuasa
> padanya.” [HR. Muslim (no. 1144 (148)) dan Ibnu
> Hibban (no. 3603), lihat Silsilatul Ahaadits
> ash-Shahihah (no. 980)]
> 
> Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan sebagian
> waktu malam dan siang dengan menjanjikan terkabulnya
> do’a dan terpenuhinya permintaan. Demikian Allah
> mengutamakan tiga generasi pertama sesudah diutusnya
> Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
> mereka dianggap sebagai generasi terbaik apabila
> dibandingkan dengan generasi berikutnya sampai hari
> Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang
> diutamakan oleh Allah dibandingkan tempat dan masjid
> lainnya. Semua hal tersebut kita ketahui berdasarkan
> hadits-hadits yang shahih dan contoh yang benar.
> 
> Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam
> masalah shalat dan puasa padanya dibanding dengan
> bulan-bulan yang lainnya, semua haditsnya sangat
> lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh seorang
> Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus
> pada bulan Rajab.
> 
> Di bawah ini akan saya berikan contoh hadits-hadits
> palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan
> Rajab.
> 
> HADITS PERTAMA
> “Artinya : Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan
> Ramadhan adalah bulan ummatku”
> 
> Keterangan: HADITS INI “ MAUDHU’
> 
> Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits
> ini maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61,
> no. 129)]
> 
> Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang,
> lanjutan hadits itu ada lafazh:
> 
> “Artinya : Janganlah kalian lalai dari (beribadah)
> pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena
> malam itu Malaikat menamakannya Raghaaib...”
> 
> Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
> 
> Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini
> diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu
> Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin
> Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan
> kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari
> Humaid Ath-Thawil dari Anas, secara marfu’.
> [Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no.
> 168-169)]
> 
> Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini
> palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu
> Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah
> mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata:
> “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang
> majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua
> kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup
> mereka.” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy]
> 
> Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin
> Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah
> pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan
> hadits.” 
> 
> Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits
> palsu tentang shalat ar-Raghaa'ib.” [Periksa:
> Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879)]
> 
> HADITS KEDUA
> “Artinya : Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan
> lainnya seperti keutamaan al-Qur'an atas semua
> perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti
> keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan
> Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.” 
> 
> Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
> 
> Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini
> palsu.” [Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil
> Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary
> al-Makky (wafat th. 1014 H)]
> 
> HADITS KETIGA:
> “Artinya : Barangsiapa shalat Maghrib di malam
> pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua
> puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan
> al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu
> ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan
> kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan
> Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah
> akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan
> anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia
> akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa
> dihisab, dan tidak disiksa.’”
> 
> Keterangan: HADITS MAUDHU’
> 
> Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan
> rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal
> biografinya).” [Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy
> (II/123), al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits
> Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus
> Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah
> al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin
> Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).]
> 
> HADITS KEEMPAT
> “Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan
> Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama
> baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua
> baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak
> mati hingga melihat tempatnya di Surga atau
> diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)”
> 
> Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
> 
> Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan
> rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang
> bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk
> menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at
> (II/123-124).]
> 
> Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman
> bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut
> Tahdziib (I/663 no. 4518)]
> 
> HADITS KELIMA
> “Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan
> Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu
> bulan.”
> 
> 
=== message truncated ===


Wasalam,

dodi indras

================================
Bismillaahirrohmaanirrohiim
CINTA TANAH AIR BAGIAN DARI IMAN
10
--------------------------------

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


                                
---------------------------------
Want to be your own boss? Learn how on  Yahoo! Small Business. 

[Non-text portions of this message have been removed]






Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke