Assalamu'alaikum wr wb Aduh, afwan baru bangun neh.... lom gitu ngeh apa maksudnya. Emang ada ya yg namanya "anak haram". Kok bisa sih disebut "anak haram"? Yang haram itu yg mananya? Kenapa anak yg baru lahir itu yg nanggung sebutan "haram"? Bukankah yg haram itu kelakuan emak dan bapak si jabang bayi itu?? Setau saya, anak yg lahir walaupun tanpa nasab itu adalah masih menyandang nasab ibunya. Contohnya : nabi Isa a.s , nasabnya kan Isa bin Maryam (klo gk salah inget neh) Afwan klo rada tulalit. Mohon penjelasan lbh lajut. Jazakumullah.... Wassalamu'alaikum wr wb
Henny <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut orang biasanya melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini adalah termasuk pembunuhan) atau melakukan pernikahan. Pertanyaannya, apakah pernikahannya ini sah? Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita. Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW) menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya, ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi. lho, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah boleh main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum nikah ulang berarti zina dong (karena belum sah) Pencarian tentang ayat-ayat, hadis dan pendapat ulama mengenai permasalahan ini Saya rangkum sbb : Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. [*]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram. Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis. Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50). Nasab anak Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Sa`ad bin Abu Waqqash dan Abdu bin Zam`ah terlibat perselisihan mengenai seorang anak. Kata Sa`ad: Ini adalah anak saudaraku `Utbah bin Abu Waqqash, yang dia amanatkan kepadaku, dia adalah putranya, perhatikanlah kemiripannya! Abdu bin Zam`ah menyangkal dan mengatakan: Dia ini saudaraku, wahai Rasulullah! Dia lahir di atas tempat tidur ayahku dari budak perempuannya. Sejenak Rasulullah saw. memperhatikan kemiripan anak itu, memang ada kemiripan yang jelas dengan Utbah. Kemudian beliau bersabda: Dia adalah untukmu, wahai Abdu. Nasab seorang anak itu dari perkawinan yang sah, dan bagi pezina itu adalah batu rajam. Hindarilah wahai Saudah binti Zam`ah dari perkara tersebut! (HR Bukhari & Muslim). Anak angkat atau anak di luar nikah adalah haram menasabkannya kepada seseorang yang tidak bersambung nasab dengan anak tersebut. Larangan menasabkan anak kepada orang yang bukan bapanya yang sebenar dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wataala dalam firmanNya: (Surah Al-Ahzâb: 4-5) 4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). 5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Perempuan (isteri) yang mengandung bukan melalui pernikahan yang sah atau bukan dengan suaminya, kemudian perempuan itu menasabkan kanak-kanak yang lahir daripada kandungannya itu kepada suaminya, dia telah membuat dosa yang sangat besar serta melakukan pembohongan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan Abu Daud daripada Saad bin Abi Waqqas Radhiallahu anhu, bahawa Nabi Sallallahu alaihi wasallam telah bersabda: Hadis riwayat Saad bin Abu Waqqash ra., ia berkata: Kedua telingaku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang mengakui seseorang dalam Islam sebagai ayah, sedangkan ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka diharamkan baginya surga (HR Muslim 95) Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Nasab anak itu dari perkawinan yang sah sedangkan bagi pezina itu adalah batu rajam (HR Muslim 2646) Maksudnya: Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah). (Diriwayatkan oleh Jamaah melainkan at-Tirmidzi) Para ulama telah ijmâ bahwa tempo minimum seorang wanita itu hamil dan melahirkan anak ialah enam bulan. Penentuan enam bulan itu berdasarkan maksud 2 ayat Al-Quran yang menerangkan tentang masa hamil (tempo mengandung) dan penyusuan. Firman Allah Subhanahu Wataala: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, (Surah Al-Ahqâf: 15) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Surah Luqman: 14) Ke-2 ayat diatas, jika dilihat menyatakan tempo penyusuan anak adalah 2 tahun atau 30 bulan (dari sejak hamil hingga melahirkan 30 bulan masa menyusui 24 bulan = masa hamil 6 bulan). Asy-Syeikh Mohammad Ali ash-Shabuni dalam kitabnya Rawâi al-Bayân menyebutkan bahawa telah diriwayatkan, bahwa seorang perempuan menikah, kemudian melahirkan anak setelah enam bulan daripada perkawinannya. Dia dihadapkan kepada khalifah Utsman Radhiallahu anhu. Beliau akan merejam perempuan tersebut, tetapi Ibnu Abbas berkata kepada Utsman: Perempuan ini, jika dia menentang kamu dengan kitab Allah, kamu akan kalah. Allah berfirman (Surah Al-Ahqâf: 15; Surah Luqman: 14) Begitu pula sebaliknya, jikalau anak tersebut lahir kurang daripada enam bulan, maka anak tersebut tidaklah bersambung nasabnya dengan suami atau tidak boleh dinasabkan kepada suami wanita yang melahirkan anak tersebut. Dia dinasabkan kepada ibunya yang melahirkannya saja dan jika hendak dibinkan atau dibintikan bolehlah kepada ibunya atau kepada nama Abdullah atau salah satu daripada Asmâullah al-Husna. Tersebut dalam kitab Hâsyiah al-Baijuri alâ Fath al-Qarîb dan dalam kitab al-Tuhfah karangan al-Imam Ibnu Hajar bahwa enam bulan itu setiap bulan dihitung 30 hari. Ini berarti enam bulan itu ialah 180 hari dan dua lahzhah ialah tempo wathi dan tempo mengeluarkan anak. Pendapat ulama Syafie, 180 hari itulah juga yang menjadi pendapat jumhûr ulama, kecuali Imam Malik yang menyatakan 175 hari. Bahkan terdapat sebagian negara seperti Syria telah menetapkan dalam undang-undangnya bahwa tempo minimum hamil atau mengandung itu ialah 180 hari. (lihat Fiqh al-Islami wa Adillatuh 7/678) Pengiraan 180 hari itu adalah bermula dari waktu suami isteri itu boleh bersatu yang memungkinkan anak itu lahir daripada benih suami berkenaan setelah akad nikah yang betul (sah). Oleh karena itu, anak-anak yang lahir kurang dari 180 hari atau 6 bulan sejak tanggal pernikahan suami istri maka tidak boleh di bin dan bintikan kepada suami perempuan tersebut. Berkata Dr. Sobri Abdul Rauf iaitu seorang Ustaz Fiqh al-Muqaran di University al-Azhar : "Jika lelaki yang berzina kawin dengan perempuan yang berzina dengannya, kemudian mereka memperolehi anak selepas 6 bulan daripada al-Dukhul al-Syar'ie. Maka anak itu dinasabkan kepada bapaknya, karena ia datang dari jalan yang dibenarkan. Adapun jika ia dilahirkan sebelum tempoh 6 bulan dari tarikh al-Dukhul, maka anak itu tidak dinasabkan kepada suaminya, maka ia dinasabkan kepada ibunya saja. Apabila wanita itu menegaskan bahwasanya ia telah hamil dari perbuatan zina dgn lelaki yang sama yang menikahinya selepas kehamilan. Maka anak tersebut adalah anak zina, maka ia tidak dinasabkan kepada bapanya, dan tidak mewarisi antara bapa dan anaknya itu, ia hanya waris ibunya saja...." wallahu a'lam. abdulkadir k_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1122528614604> http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-Arabic-Ask _Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1122528614604 Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang kebolehan menikahnya seorang wanita yang berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal; 1. Fuqoha Hanafiyah menyatakan: Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya dengan laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Akan tetapi ia tidak boleh menggaulinya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagain berikut: a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam firman-Nya: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan. Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain (HR Abu Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita hamil disebabkan orang lain. 2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: tidak bolah melakukan aqad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana tidak bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil karena zina pun tidak sah. 3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: tidak boleh melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibraa), hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan. Baik sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau dikhawtirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda kehamilan. 4. Fuqoha Syafiiyah: Jika ia berzina dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut berdasar pada firman Allah: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) juga sabda Rasulullah SAW : sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal 5. Fuqoha Hanabilah berpendapat jika seorang wanita berzinah maka tidak boleh bagi laki-laki yang mengetahu hal tersebut menikahinya, kecuali dengan dua syarat: a. Selesai masa iddahnya dengan dalil di atas, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain dan hadit shohih Wanita yang hamil tidak boleh digauli sampai ia melahirkan b. Wanita tersebut bertaubat dari zinanya berdasarkan firman Allah SWT: dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang mumin (an-Nur: 3) dan ayat tersebut berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharaman menikahinya sebab Rasulullah SAW bersabda: Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa Jika hukum hudud belum diterapkan di negeri ini, maka orang yang melakukannya harus banyak beristigfar dan segera bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha, dan tidak boleh mengulangi lagi hal tersebut. Karena tidak mungkin orang tersebut melakukan hukuman hudud atau dirinya sendiri. Karena hukum hudud harus dilaksanakn oleh negara dalam hal ini mahkamah khusus yang telah ditunjuk. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. sumber: Syariahonline Status Anak Zina Di Akhirat Oleh: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Artinya : Anak zina itu menyimpan 3 keburukan [Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud] Sebagian ulama menjelaskan, maksudnya dia buruk dari aspek asal-usul dan unsur pembentukannya, garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakan kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan yang menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu terus menjalar turun temurun, dikhawatirkan keburukan tersebut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi negative dari pribadi Maryam dengan firmaNya. Artinya : Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina [Maryam : 28] Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang tuanya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman. Artinya : Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain [Al-Anam : 164] Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan akhirat hanya ditanggung oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan membawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal ini tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan mempebaikinya sehingga menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi wara, dengan demikian menjadi satu kombinasi yang terdiri atas tiga komponen yang baik. Wallahu aalam. [Fatawa Islamiyah 4/125] [Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Said Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu] Jika anak zina itu adalah perempuan jika tiba masa anak itu menikah, beliau berkemungkinan tidak boleh diwalikan oleh bapaknya. Tidak ada masalah perwalian bagi anak lelaki. Perlu diterangkan di sini bahwa tidak ada halangan bagi bapaknya untuk bertanggungjawab atas anak tersebut dengan membiayai perbelanjaan kehidupan anak. [Non-text portions of this message have been removed] Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links --------------------------------- How low will we go? Check out Yahoo! Messengers low PC-to-Phone call rates. [Non-text portions of this message have been removed] Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/