Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuhu,
  Kaifa khaluk ya akhi ? Mudah-mudahan baik, sudah lama kita tak bersua dalam 
diskusi.Mudah-mudahan diskusi kita bisa bermanfaat. 
   
   
  Jawab : Sebagaimana atsar Sahabat Ibnu Mas'ud Radhiallahuanhu telah 
dijelaskan bahwa beliau mengingakari adanya Zikir yang dilakukan berjama'ah 
dipimpin atau dikomadoi oleh seorang imam.
   
  Berikut ini ana nukilkan beberapa dalil yang menurut dari beberapa kaum 
muslimin bahwasanya dalil tersebut sebagai legitimasi bahwasanya diperbolehkan 
adanya Zikir berjamaah.
   
  1. Ayat 152 surah Al Baqarah ialah sebagai berikut:
  “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan 
janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku”.
   
  Adapun ayat 200, surah Al Baqarah, ialah sebagai berikut:
  “Apabila kamu telah selesai menunaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah 
(menyebu namat) Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) 
nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka 
diantara manusia ada yang berdo’a: Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, 
dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat”.
   
  2. Ayat kedua :
  “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah …”. (Ali Imran: 191).
   
  3. Ayat ketiga  ialah: 
  “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah ….”. (Al Ahzab: 
35).
   
  Demikianlah Hujah tafsir dari Saudara kita yang membolehkan Zikir berjamaah 
dari Al Qur'an  :Pada firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, yakni 
Q.S. Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, Q.S. Ali Imran ayat 191: Yadzkurunallah, 
dan Q.S. Al Ahzab ayat 35: Adz Dzaakiriinallah dan Adz Dzaakiraat, ditilik dari 
sisi bahasa Arab, semua itu menggunakan dhamir jama’/plural (antum, hum, dan 
hunna) bukan dhamir mufrad/singular (anta, huwa, dan hiya). Hal ini jelas 
mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya zikir secara berjama’ah”.
   
  Demikianlah kesimpulan dan pemahaman yang mereka utarakan.
   
  # Selain dari atsar yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud yang mengingkari 
adanya zikir berjamaah, maka berikut adalah tanggapan mengenai tafsir tentang 
ayat-ayat tersebut yang menggunakan dhamir Jama'/ plural yang diartikan ( 
berjamaah ).
   
  Ini adalah pemahaman orang yang baru belajar bahasa arab. Untuk membuktikan 
kekeliruan ini, mari kita simak ayat-ayat yang menggunakan metode serupa dengan 
ketiga ayat ini:
   
  1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
  “Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) 
perempuan yatim, (bilamana kalian mengawininya) maka kawinilah oleh kalian 
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika 
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) oleh kalian seorang 
wanita saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah 
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (An Nisa’: 3).
   
  Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan dhamir jama’/plural 
sebagaimana yang ada pada ketiga ayat di atas. Yang menjadi pertanyaan saya: 
Apakah bapak masih bersikukuh bahwa setiap ayat yang menggunakan dhamir 
jama’/plural berarti ada isyarat untuk melakukannya secara berjama’ah?? Bila 
memang demikian, apakah pada ayat ini juga disyari’atkan untuk menikah 
berjama’ah? Apalagi pada akhir ayat Allah berfirman: “nikahilah oleh kalian 
seorang wanita saja”. Bila bapak katakan: ya, berarti bapak -na’uzubillah- akan 
memfatwakan bolehnya kumpul kebo, satu wanita dinikahi oleh seratus orang. 
Inilah kelaziman pemahaman bapak, dan inilah penerapan ilmu ushul fiqih bapak.
   
  2. Pada ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka 
basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian 
dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub 
maka mandilah. Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari 
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh 
air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka dan 
tangan kalian dengan tanah itu. (Al Maidah: 6).
  
  Saya ingin bertanya lagi: apakah ayat ini yang menggunakan dhamir 
jama’/plural mengisyaratkan untuk berwudhu dengan berjama’ah? Dan apakah ayat 
ini juga mengisyaratkan tentang disyariatkannya bertayamum rame-rame 
(berjama’ah), bagi yang sakit dan safar, hanya karena ayatnya menggunakan 
dhamir jama’? Dan apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang disyariatkannya 
mandi janabah masal, misalnya dipemandian umum, atau kolam renang umum, karena 
ayatnya menggunakan dhamir jama’?
   
  3. Dalam ayat lain Allah berfirman:
  “Istri-istri kalian adalah (seperti) ladang (tanah bercocok tanam) kalian, 
maka datangilah ladang kalian itu dari sisi manapun kalian suka”. (Al Baqarah: 
223)
  Saya ingin bertanya lagi: ayat yang menggunakan dhamir jama’/plural ini, juga 
mengisyaratkan untuk menjalankan amalan yang disebutkan dalamnya dengan cara 
berjama’ah (masal), sehingga dengan tidak langsung bapak menganjurkan para 
suami untuk menggauli istri-istrinya secara masal (satu ruang untuk 
beratus-ratus pasangan)?! Kalau demikian halnya, apa bedanya antara manusia 
dengan binatang?!
   
  Kalau demikian ini pemahaman yang di anut, maka betapa jauhnya kekeliruan 
yang ada pada pemahaman sebagian sudara kita. 
   
  Bahkan pada ayat 191 surat Ali Imran Allah berfirman:
  “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau 
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan 
bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan 
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali 
Imran: 191).
   
  Saya ingin bertanya kepada saudaraku: Apakah ayat ini juga mengisyaratkan 
bahwa dianjurkan untuk berzikir berjama’ah sambil tiduran/berbaring?
  Bila ada yang bertanya: Lalu bagaimana maksud dan pemahaman (pemahaman yang 
benar -ed) ketiga ayat yang disebutkan oleh saudara kita?
  Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya harap para pembaca kembali membuka 
terjemahan Al Qur’an, dan membaca arti ketiga ayat di atas dengan seksama.
  “Ketahuilah bahwa Al Khithab (dalil-dalil) bila datang dalam bentuk muthlaq 
dan tidak ada yang membatasinya (merincinya), maka lazim untuk diamalkan sesuai 
dengan apa adanya (yaitu dalam keadaan muthlaq), dan bila datang dalam keadaan 
telah diberikan batasan-batasan (muqayyad) , maka lazim untuk diamalkan sesuai 
dengan batasan-batasan itu …”. [Irsyad Al Fuhul, oleh As Syaukani 2/4]. 
   
  Berdasarkan kedua kaidah dalam ilmu ushul fiqih ini, kita dapat memahami 
bahwa ketiga ayat di atas, bila dipandang dari sisi orang yang ditujukan 
kepadanya perintah untuk berzikir, maka kita katakan bahwa ketiga ayat itu 
bersifat umum, karena menggunakan dhamir jama’/plural sehingga mencakup seluruh 
orang mukmin, tanpa terkecuali, terlepas dari apakah mereka melakukannya dengan 
sendirian atau tidak.
  Dan bila kita kita tinjau dari sisi amalan yang mereka diperintah dengannya 
yaitu zikir, ketiga ayat itu dikatakan ayat-ayat yang muthlaq, karena Allah 
subhanahu wa ta’ala pada ketiga ayat di atas tidak memberikan batasan-batasan 
tertentu, baik batasan yang berkaitan dengan bentuk zikirnya, juga yang 
berhubungan dengan metode, dan waktu pelaksanaannya. 
  Pemahaman ini akan menjadi jelas bila kita membaca ayat 41, kemudian 
dilanjutkan dengan membaca ayat 42 surat Al Ahzab:
  “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (menyebutlah nama) Allah, dengan 
zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan 
petang. (Al Ahzab: 41-42).
  Ayat ke-42 ini mengisyaratkan bahwa berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala 
dapat dilakukan kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
  Dan bila kita membaca ayat 191 surah Ali Imran, yaitu:
  “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau 
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan 
bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan 
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali 
Imran: 191).
  Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa berzikir kepada Allah subhanahu wa 
ta’ala dapat dilakukan dalam segala situasi dan kondisi, baik disaat berdiri, 
atau duduk, atau berbaring. 
   
  Bahkan ayat 35 surat Al Ahzab secara khusus, Nabi shollallahu’alaihiwasallam 
telah memberikan contoh orang-orang yang disebut “banyak berzikir kepada Allah 
Ta’ala”:
  “Dari Abi Sa’id dan Abi Hurairah -radhiallahu ‘anhuma- bahwa Rasulullah 
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Bila seorang suami membangunkan istrinya 
pada malam hari, kemudian keduanya shalat dua raka’at, niscaya keduanya dicatat 
termasuk laki-laki dan wanita yang banyak berzikir kepada Allah”. (Riwayat Abu 
Dawud, 2/33, hadits no: 1309, Ibnu Majah 1/423, hadits no:1335, dan Al Hakim 
2/452, hadits no: 3561).
   
  Dimanakah zikir jama’ah seperti yang sebagian saudara kita  pahami dalam 
hadits ini? yang ada hanyalah sepasang suami istri yang mendirikan shalat malam 
dua raka’at.
   
  As Syathibi berkata:
  “Diantara (sebab-sebab tersesatnya ahlul bid’ah) ialah mereka selalu berusaha 
mereka-reka maksud Al Qur’an dan As Sunnah yang keduanya menggunakan bahasa 
arab, sedangkan mereka tidak menguasai ilmu bahasa arab, yang dengannyalah 
maksud Allah dan Rasul-Nya dapat dipahami. Sehingga mereka menyeleweng dari 
syari’at dengan pemahaman dan keyakinan mereka itu, sebagaimana mereka juga 
menyelisihi ulama’-ulama’ yang telah mendalam ilmunya. Dan yang menjadikan 
mereka terjerumus kedalam ini semua, karena mereka terlalu percaya dengan 
dirinya sendiri, dan menganggap bahwa mereka telah memiliki kemampuan untuk 
berijtihad dan menyimpulkan hukum”. [Al I’ithisham, oleh As Syathibi 1/172].
   
  B. Hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang diduga mensyari’atkan 
zikir berjama’ah.
  Pada pembahasan ini, yang berkaitan dengan keutamaan majlis-majlis zikir, 
diantara hadits yang beliau sebutkan:
  “Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri -radhiallahu ‘anhuma-, mereka 
berdua bersaksi bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tidaklah 
suatu kaum duduk-duduk menyebut nama Allah Azza wa Jalla (berzikir), melainkan 
mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, dan dipenuhi oleh kerahmatan, dan 
akan turun kepada mereka kedamaian, dan mereka akan disebut-sebut oleh Allah 
dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Imam Muslim 4/2074, 
hadits no: 2700).
   
  Dan hadits: 
  “Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, ia berkata: Nabi 
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan 
prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku senantiasa bersamanya bla ia 
mengingat-Ku. Bila ia mengingat-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku akan 
mengingatnya dalam Diri-Ku, dan bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang 
(majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari 
mereka”. (Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits 
no: 6970).
  Saya sengaja hanya menyebutkan kedua hadits ini, karena keduanya adalah 
hadits yang jelas-jelas hadits shahih, dan cukup mewakili hadits-hadits lain 
yang disebutkan oleh beberapa saudara kaum muslimin.
   
  Untuk mengetahui maksud dan makna hadits-hadits ini, mari kita simak bersama 
keterangan para ulama’ tentang maksud dari kata majlis zikir :
  “Abu Hazzan: Aku pernah mendengar Atha’ bin Abi Rabah (salah seorang tabi’in) 
berkata: “Barang siapa yang duduk di majlis zikir, maka Allah akan mengampuni 
dengannya sepuluh majlis kebathilan. Dan bila majlis zikir itu ia lakukan 
disaat berjihad di jalan Allah, niscaya Allah akan mengampuni denganya tujuh 
ratus (700) majlis kebathilan”. Abu Hazzan berkata: Aku bertanya kepada Atha’: 
Apakah yang dimaksud dengan majlis Zikir? Ia menjawab: yaitu majlis (yang 
membahas) halal dan haram, bagaimana engkau menunaikan shalat, bagaimana engkau 
berpuasa, bagaimana engkau menikah, bagaimana engkau menceraikan, bagaimana 
engkau menjual dan bagaimana engkau membeli”. (Riwayat Abu Nu’aim , dalam 
kitabnya Hilyah Al Auliya’: 3/313).
   
  Imam An Nawawi As Syafi’i, berkata:
  “Ketahuilah bahwa keutamaan/ pahala berzikir tidak hanya terbatas pada 
bertasbih, bertahlil,bertahmid (membaca alhamadulillah), bertakbir, dan yang 
serupa. Akan tetapi setiap orang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala, 
berarti ia telah berzikir kepada Allah Ta’ala, demikianlah dikatakan oleh Sa’id 
bin Jubair dan ulama’ yang lainnya. Atha’ (bin Abi Rabah) berkata: 
“Majlis-majlis zikir ialah majlis-majlis yang membicarakan halal dan haram, 
bagaimana engkau membeli dan menjual, mendirikan shalat, berpuasa, menikah, 
menceraikan, berhaji dan yang serupa dengan ini”. [ Al Azkar, oleh Imam An 
Nawawi 9].
  Pakar hadits dan fiqih abad ke-9 H, yaitu Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berkata:
  [Fath Al Bari, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 11/209, baca juga Subul Al Salam, 
oleh Muhammad bin Ismail Al Shan’ani 4/390-dst, Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarh Jami’ 
At Tirmizi, oleh Al Mubarakfuri 9/222].
  “Dan yang dimaksud dengan zikir di sini ialah: mengucapkan bacaan-bacaan yang 
dianjurkan untuk diucapkan dan diulang-ulang, misalnya bacaan yang disebut 
dengan Al Baqiyaat As Shalihat, yaitu: Subhanallah, wa alhamdulillah, wa laa 
ilaha illallah, wa Allahu Akbar, dan bacaan-bacaan lain yang serupa dengannya, 
yaitu : Al hauqalah (laa haula walaa quwwata illa billah), Basmalah, hasbalah 
(hasbunaallah wa ni’ima al wakil), dan istighfar, dan yang serupa, dan juga doa 
memohon kebaikan di dunia dan akhirat. Kata Az Zikir kepada Allah bila disebut 
juga dapat dimaksudkan: kita terus-menerus mengamalkan amalan-amalan yang 
diwajibkan atau disunnahkan oleh Allah, seperti membaca Al Qur’an, membaca 
hadits, mempelajari ilmu, dan menunaikan shalat sunnah. Kemudian zikir kadang 
kala dapat dilakukan dengan lisan, dan orang yang mengucapkannya akan 
mendapatkan pahala, dan tidak disyarat untuk selalu mengingat kandungannya, 
tentunya dengan ketentuan selama ia tidak memaksudkan dengan bacaan
 itu selain dari kandungannya.(*) Bila bacaan lisannya disertai dengan zikir 
dalam hatinya, maka itu lebih sempurna, dan bila zikir ini disertai dengan 
penghayatan terhadap kandungan bacaan itu, yang berupa pengagungan terhadap 
Allah, dan mensucikan-Nya dari segala kekurangan, niscaya itu akan lebih 
sempurna. Bila zikir semacam ini terjadi di saat ia mengamalkan amal shaleh 
yang diwajibkan, seperti shalat fardhu, jihad dan lainnya, niscaya akan semakin 
sempurna. Dan bila ia meluruskan tujuan dan ikhlas karena Allah, maka itu 
adalah puncak kesempurnaan.
  (*) Misalnya: ketika ia membaca dzikir Subhanallah yang artinya “Maha Suci 
Allah”, akan tetapi ia memaksudkan dari bacaan ini: ia memohon perlindungan 
agar terhindar dari penyakit atau yang serupa.
   
  Al Fakhrurrazi berkata: Yang dimaksud dengan zikir dengan lisan ialah 
mengucapkan bacaan-bacaan yang mengandung makna tasbih (pensucian) tahmid 
(pujian) dan tamjid (pengagungan). Dan yang dimaksud dengan zikir dengan hati 
ialah: memikirkan dalil-dalil yang menunjukkan akan Dzat dan Sifat-sifat Allah, 
juga memikirkan dalil-dalil taklif (syari’at), berupa perintah, dan larangan, 
sehingga ia dapat mengerti hukum-hukum taklifi (hukum-hukum syari’at yang lima, 
yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), dan juga merenungkan 
rahasia-rahasia yang tersimpan pada makhluq-makhluq Allah. Sedangkan yang 
dimaksud dengan zikir dengan anggota badan ialah: menjadikan anggota badan 
sibuk dengan amaliah ketaatan, oleh karena itulah Allah menamakan shalat dengan 
sebutan Zikir, Allah berfirman: “Maka bersegeralah kamu menuju zikir kepada 
Allah (yaitu shalat jum’at)” (Al Jum’ah: 9).
  Pengertian tentang makna zikir yang disampaikan oleh seorang tabi’in murid 
para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan dijabarkan Ibnu Hajar ini, 
selaras dengan hadits berikut:
  “Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu ia berkata: Rasulullah 
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum (sekelompok orang) 
duduk di salah satu rumah Allah (yaitu masjid), mereka membaca kitabullah (Al 
Qur’an) dan bersama-sama mengkajinya (mempelajarinya), melainkan akan turun 
kepada mereka kedamaian, dan mereka dipenuhi oleh kerahmatan, dan dinaungi oleh 
para malaikat, dan Allah menyebut mereka dihadapan para malaikat yang ada di 
sisi-Nya”. (Riwayat Muslim).
  Tatkala Imam An Nawawi mensyarah hadits ini, beliau berkata: “Dan -insya 
Allah- keutamaan ini juga diperoleh bagi orang-orang yang berkumpul di 
sekolahan-sekolahan, tempat-tempat pengajian dan yang serupa dengan keduanya, 
sebagaimana halnya berkumpul di masjid”. [Syarah Shahih Muslim, oleh An Nawawi 
17/22].
  Inilah yang dimaksud dengan kata zikir yang disebutkan dalam hadits-hadits 
yang disebutkan oleh sebagian dari saudara kaum muslimin. Dengan demikian 
hadits-hadits ini bersifat umum, mencakup segala amaliah ketaatan, baik berupa 
ucapan lisan, atau amalan batin, atau amalan anggota badan. 
  Bila ini telah jelas bagi kita semua, saya akan bertanya kepada saudaraku: 
Dari manakah saudaraku mendapatkan kesimpulan bahwa yang dimaksud dari 
hadits-hadits ini adalah hanya zikir berjama’ah ( seperti bapak Muhammad Arifin 
Ilham? Dalil-dalil yang saudara gunakan ternyata terlalu umum, bila dibanding 
dengan klaim saudarku, sehingga dalil saudaraku tidak kuat dan klaim saudaraku 
tidak dapat diterima.
   
  Agar lebih jelas lagi, mari kita simak penuturan sahabat Anas bin Malik 
berikut ini:
  “Dari Muhammad bin Abu Bakar Ats Tsaqafi, bahwa ia pernah bertanya kepada 
sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu tatkala ia bersamanya berjalan dari 
Mina menuju ke padang Arafah: Bagaimana dahulu kalian berbuat bersama 
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pada hari seperti ini? Maka beliau 
menjawab: Dahulu ada dari kami yang membaca tahlil, dan tidak diingkari, dan 
ada dari kami yang membaca takbir, juga tidak diingkari”. (Riwayat Muslim 
2/933, hadits no:1285).
   
  Inilah salah satu contoh nyata metode berzikir yang dilakukan oleh Rasulullah 
shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, masing-masing berzikir dengan 
sendiri-sendiri, tidak dengan dikomando oleh satu orang, kemudian yang lainnya 
mengikuti, sebagaimana yang dilakukan oleh, sebagian tokoh kaum muslimin, dan 
kebanyakan para pembimbing manasik haji yang selalu mengomando jama’ahnya 
tatkala berzikir, dengan satu suara dan satu bacaan pula. 
   
  Kisah yang dituturkan oleh sahabat Anas bin Malik tentang metode berzikir 
yang dilakukan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya inilah 
yang dimaksudkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dalam ucapannya, tatkala melihat 
segerombol orang berzikir berjama’ah:
  “Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya kalian ini 
sedang menjalankan ajaran (dalam berzikir) yang lebih benar dibanding ajaran 
Nabi Muhammad, atau sedang membuka pintu kesesatan”. (Riwayat Ad Darimi, dalam 
kitab As Sunnan, 1/79, hadits no: 204, riwayat ini hasan atau shahih 
lighairihi, karena diriwayatkan melalui beberapa jalur).
  Maksud beliau rodhiallahu’anhu ialah: Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan 
para sahabatnya bila berzikir, tidak dengan cara dikomando oleh satu orang, 
dengan satu suara dan bacaan yang sama, akan tetapi masing-masing berzikir 
dengan sendiri-sendiri. Terlebih-lebih bila kata zikir ditafsirkan sebagaimana 
yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, sehingga mencakup majlis-majlis 
ilmu. Dan sebagai bukti akan penjelasan Ibnu Hajar diatas, akan saya sebutkan 
beberapa kisah berikut:
  “Sahabat Uqbah bin ‘Amr berkata kepada sahabat Huzaifah: Sudikah engkau 
membacakan apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah 
shollallahu’alaihiwasallam. Maka Huzaifah berkata: Aku pernah mendengar beliau 
bersabda: Sesungguhnya tatkala Dajjal keluar kelak, ia akan membawa air dan 
api. Adapun yang ditunjukkan kepada orang-orang bahwa itu adalah api, maka itu 
sebenarnya adalah air yang dingin, sedangkan yang ditunjukkan kepada 
orang-orang bahwa itu adalah air, maka itu sebenarnya adalah api yang membakar. 
Sehingga barang siapa yang menemuinya, maka hendaknya ia menceburkan dirinya 
kepada yang ia tunjukkan sebagai api, karena sesungguhnya itu adalah air yang 
dingin ….. (setelah Huzaifah selesai membacakan hadits-hadits yang pernah ia 
dengar dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam) Uqbah bin ‘Amr 
rodhiallahu’anhu berkata: Aku juga pernah mendengarkan beliau bersabda demikian 
itu”. (Riwayat Bukhori, 3/1272, hadits no: 3266).
  Pada kisah ini sahabat Uqbah bin ‘Amr meminta sahabat Huzaifah untuk 
menyebutkan hadits-hadits yang pernah ia dengar dari Nabi 
shollallahu’alaihiwasallam, dan setelah selesai sahabat Uqbah ternyata pernah 
mendengar semua hadits yang sahabat Huzaifah bacakan. Ini salah satu bukti 
bahwa mereka bila bertemu saling mengingatkan tentang ilmu yang dimiliki oleh 
masing-masing mereka, bukan dengan cara membaca zikir yang dikomando oleh satu 
orang, kemudian ditirukan oleh yang lainnya.
  Contoh lain:
  §    “Dari Syaqiq (bin Salamah) ia berkata: Suatu saat sahabat Abdullah (bin 
Mas’ud) dan Abu Musa duduk bersama, dan keduanya saling mengingat-ingat 
hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, kemudian Abu Musa berkata: 
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sebelum datangnya kiyamat, 
akan ada hari-hari yang pada saat itu ilmu akan diangkat, dan diturunkan 
kebodohan (kebodohan merajalela), dan akan banyak terjadi al haraj”, dan al 
haraj ialah pembunuhan”. (Riwayat Bukhori 6/2590, hadits no: 6653, Muslim 
4/2056, hadits no: 2672, dan Ahmad dalam kitab Al Musnad, 4/392).
  §    “Abu Salamah bin Abdirrahman berkata: Dahulu sahabat Umar (bin Al 
Khatthab) berkata kepada sahabat Abu Musa di saat ia duduk di majlis: Wahai Abu 
Musa, ingatkanlah kita tentang Tuhan kita! Maka Abu Musa-pun sambil duduk di 
majlis membaca (Al Qur’an), dan beliau memerdukan suaranya”.(Riwayat Ad Darimi 
2/564, no:3493, Ibnu Hibban, 16/168, no:7196, Abdurrazzaq dalam al Mushannaf 
2/486, no:4179, dan Abu Nu’aim dalam Hilyah Al Auliya’ 1/258).
  Semacam inilah majlis zikir yang dilakukan oleh para sahabat dan ulama’ 
terdahulu. Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:
  “Dari Abi Utsman (An Nahdi) ia berkata: Salah seorang gubernur pada zaman 
khilafah Umar bin Al Khatthab menuliskan laporan yang isinya: Sesungguhnya di 
wilayah saya, ada suatu kelompok orang yang berkumpul-kumpul kemudian berdoa 
bersama-sama untuk kaum muslimin dan pemimpin. Maka Umar menulis surat 
kepadanya: Datanglah dan bawa mereka besertamu. Maka gubernur itu datang, (dan 
sebelum ia datang) Umar telah memerintahkan penjaga pintunya untuk menyiapkan 
sebuah cambuk. Dan tatkala mereka telah masuk ke ruangan, spontan Umar langsung 
memukul pemimpin kelompok itu dengan cambuk”. (Riwayat Ibnu Abi Syibah dalam 
kitabnya Al Mushannaf 5/290, no: 26191).
   
  Bahkan seandainya saudaraku sedikit merenungkan hadits Abu Hurairah di atas:
  “Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, ia berkata: Nabi 
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan 
prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku senantiasa bersamanya bila ia 
mengingat-Ku. Bila ia mengingat-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku akan 
mengingatnya dalam Diri-Ku, dan bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang 
(majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari 
mereka”. (Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits 
no: 6970). 
   
  Niscaya saudarku tidak akan berkesimpulan demikian ini. Sebab dalam hadits 
ini Allah berfirman: “bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang (majlis), maka 
Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka”, ini 
menunjukkan bahwa ia berzikir sendirian, akan tetapi ditempat keramaian, atau 
ditengah-tengah suatu majlis. Seandainya yang dimaksud dari hadits ini ialah ia 
berzikir dengan cara berjama’ah, saya rasa firman-Nya tidak seperti itu 
bunyinya, akan seperti berikut: Bila ia mengingat-Ku dengan berjama’ah/ 
ramai-ramai.
   
  Adapun ayat 28 dari surat Al Kahfi, yaitu:
  “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru (berdoa) 
kepada Tuhannya di waktu pagi dan senja, mengharapkan Wajah Allah 
(keridhaan-Nya)”, maka untuk memahami maksud ayat ini dengan jelas, mari kita 
simak bersama keterangan Imamul mufassirin, yaitu Ibnu Jarir At Thabari:
   
  “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabinya Muhammad shollallahu’alaihiwasallam: 
Bersabarlah engkau wahai Muhammad, bersama sahabat-sahabatmu yang menyeru 
Tuhannya, di waktu pagi dan senja, yaitu dengan mengingat-Nya dengan ucapan 
tasbih, tahmid, tahlil, doa, dan amal-amal shaleh lainnya, seperti: 
shalat-shalat fardhu dan lainnya. Mereka mengharapkan dengan perbuatan itu 
Wajah-Nya (keridhaan-Nya) dan tidak mengharapkan kepentingan dunia apapun”. 
[Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Aay Al Qur’an, oleh Ibnu Jarir At Thabari 15/234].
  Dan pada kesempatan lain, beliau berkata: “Berdoa (menyeru) kepada Allah, 
dapat berupa mengagungkan dan memuji Allah dalam bentuk ucapan dan perkataan. 
Dan doa juga dapat berwujud ibadah kepada-Nya dengan anggota badan, baik itu 
ibadah yang diwajibkan atas mereka atau lainnya yang berupa amalan sunnah yang 
menjadikan-Nya ridha, dan pelakunya dikatakan telah beribadah kepada-Nya dengan 
amalan itu. Dan sangat dimungkinkan bahwa mereka -orang-orang yang dikatakan 
menyeru kepada Allah pada waktu pagi dan senja- melakukan semua macam ibadah 
ini, sehingga Allah mensifati mereka dengan sebutan: orang-orang yang menyeru 
Allah pada waktu pagi dan senja, karena Allah telah menyebut Al Ibadah dengan 
sebutan doa, Allah Ta’ala berfirman:
  “Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu. 
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, akan 
masuk neraka Jahnnam dalam keadaan hina dina”. (Ghafir/Al Mukmin: 60).
  Inilah maksud dari kata doa dalam ayat 28 surah Al Kahfi, dengan demikian 
bila kita gabungkan pemahaman ini dengan pemahaman kata zikir, niscaya akan 
menjadi jelas bahwa tidak sedikitpun ada dalil atau isyarat yang menunjukkan 
akan disyari’atkannya zikir berjamaah ayat 28 surah Al Kahfi ini.
   
  Apalagi bila kita menggabungkan pemahaman ini dengan pemahaman terhadap 
hadits berikut:
  “Dari Abi Sa’id ia berkata: Suatu saat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam 
beri’itikaf di masjid. Beliau mendengar orang-orang saling mengeraskan suara 
bacaan mereka, maka beliau membuka tabir dan bersabda: Ketahuilah bahwa kalian 
semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian 
mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah kalian saling mengeraskan dalam 
bacaan kalian, atau beliau bersabda: (janganlah saling mengeraskan) dalam 
shalat kalian”. (Riwayat Abu Dawud 2/57, hadits no: 1332).
   
  Saya ingin bertanya kepada saudaraku: Zikir berjama’ah ala Tokoh kaum 
muslimin yang di televisi, bukankan dengan suara yang keras, apalagi dengan 
menggunakan dua microfon, satu di tangan, dan yang lain diselipkan di kerah 
bajunya? Bukankah suara yang akan ditimbulkan oleh sound sistem akan terdengar 
keras sekali? Dan Bukankah suara jama’ah yang mengikuti bacaannya akan semakin 
menambah keras suara? Apakah ini semua selaras dengan hadits ini??! Buktikan 
kepada saya dan seluruh kaum muslimin di dunia bahwa Nabi 
shollallahu’alaihiwasallam, atau salah seorang sahabatnya melakukan zikir 
dengan satu suara, satu bacaan dan dengan suara keras semacam ini?
   
  C. Fatwa ulama’ tentang zikir berjama’ah:
  1. Imam Syafi’i berkata:
  “Saya berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berzikir 
kepada Allah seusai shalat, dan hendaknya mereka merendahkan (memelankan) 
zikirnya, kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar 
(zikir) darinya, maka ia boleh mengeraskan zikirnya, hingga bila ia merasa 
bahwa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya, karena Allah Azza 
wa Jalla berfirman: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan 
janganlah pula merendahkannya (Al Isra’: 110)”. Maksud kata  -wallahu Ta’ala 
a’alam- ialah: doa. Laa Tajhar: jangan engkau mengangkat suaramu, wa laa 
tukhofit: jangan engkau rendahkan hingga engkau sendiri tidak mendengarnya“. 
[Al Umm, oleh Imam As Syafi’i 1/127].
  2. Imam Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani As Syafi’i, setelah menyebutkan 
berbagai riwayat tentang zikir-zikir Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, ia 
menyimpulkan: 
  “Riwayat perawi yang meriwayatkan bahwa beliau shollallahu’alaihiwasallam 
berdoa dan mengeraskan suaranya, ditafsiri bahwa beliau 
shollallahu’alaihiwasallam melakukan hal itu agar para sahabatnya belajar dari 
beliau. Dan riwayat perawi yang menyebutkan bahwa beliau (seusai shalat) diam 
sejenak kemudian berdiri dan pergi, ditafsiri bahwa beliau berdoa dengan 
merendahkan suaranya, sehingga beliau hanya memperdengarkan dirinya sendiri”. 
[Al Bayan, oleh Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani, 2/250].
  3. Imam An Nawawi berkata:
  “Ulama’ mazhab Syafi’i (ashhabunaa), berkata: Zikir dan doa setelah shalat, 
disunnahkan untuk dilakukan dengan merendahkan suara, kecuali bila ia seorang 
imam dan hendak mengajari orang-orang (makmum), maka dibolehkan untuk 
mengeraskan suaranya, agar mereka belajar darinya, dan bila dirasa mereka telah 
cukup belajar dan sudah tahu, maka hendaknya ia kembali merendahkannya“. [Al 
Majmu’ Syarah Al Muhazzab, oleh Imam An Nawawi 3/469].
  Dari kedua penjelasan ini jelaslah bahwa zikir itu dilakukan sendiri-sendiri, 
sehingga yang sunnah ialah dengan cara merendahkan suara, kecuali bila sang 
imam merasa bahwa jama’ahnya belum bisa berzikir, maka ia dianjurkan untuk 
mengajari mereka dengan cara mengeraskan suaranya. Dan bila dirasa mereka telah 
cukup belajar, ia kembali merendahkan suaranya. Ini menunjukkan dengan jelas 
bahwa berzikir dengan satu suara dan dikomando oleh satu orang, baik itu 
seorang imam atau lainnya tidak sesuai dengan sunnah.
  Dan fatwa Imam An Nawawi ini sekaligus memperjelas maksud beliau dari 
perkataannya yang dinukilkan oleh saudaraku. Bahwa pada dasarnya zikir dan doa 
itu dilakukan dengan cara merendahkan suara, terlebih-lebih tatkala ia 
melakukan zikir itu sedang berada di tengah-tengah majlis, atau di dalam 
barisan shaf. Sehingga perkataan beliau dalam kitabnya Al Majmu’ menepis 
kesalah pahaman saudaraku. Dengan demikian yang dimaksud dari ucapan Imam An 
Nawawi berikut ini:
  “Ketahuilah, sebagaimana zikir itu sunnah hukumnya, begitu juga duduk di 
majlis ahli zikir, karena telah banyak dalil-dalil yang menunjukkan akan itu” 
[Al Azkar, oleh An Nawawi hal: 8], bukan hanya sekedar majlis orang yang 
membaca zikir atau wiridan saja, akan tetapi, mencakup pengajian-pengajian, 
sekolahan-sekolahan agama dll.
  Kemudian pada perkataa Imam An Nawawi di atas tidak didapatkan sedikitpun 
isyarat yang menunjukkan bahwa orang-orang yang menghadiri majlis zikir itu 
melakukan zikir, doa dan wiridannya dengan cara dikomando oleh satu orang, atau 
dengan membaca satu bacaan atau dengan satu suara. Yang ada hanyalah anjuran 
menghadiri majlis zikir, apapun perwujudan majlis itu, baik majlis itu berupa 
sekolahan, pengajian, ceramah, seminar, belajar membaca Al Qur’an, mendengarkan 
orang yang sedang membaca Al Qur’an, atau berzikir dengan sendiri-sendiri, 
sebagaimanan yang dahulu dilakukan oleh sahabat nabi 
shollallahu’alaihiwasallam, atau yang lainnya.
  Demikian pula halnya dengan fatwa ulama’ lain yang telah dinukilkan ucapannya 
oleh saudar-saudaraku.
  Dan menurut hemat saya, yang menjadikan saudaraku salah paham terhadap 
ayat-ayat, hadits-hadits dan perkataan ulama’ seputar masalah zikir dan 
tata-cara pelaksanaannya, ialah karena beliau mengambil dan memahami 
dalil-dalil dan keterangan ulama dengan separuh-paruh, tidak menyeluruh. 
Seandainya beliau mengumpulkan seluruh dalil dan berbagai keterangan ulama’, 
kemudian semuanya dipahami secara bersamaan dan sebagian darinya dijadikan alat 
untuk memahami sebagian yang lain, niscaya -insya Allah- saudaraku akan 
terhindar dari kesalah pahaman
   
  Wallahu Ta'ala A'lam
  Wassalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuhu :>)
   
  Sumber : dari Buku Sunnahkah Zikir Berjamaah ? 
  oleh Al Ustadz Muhammad Arifin Badri hafizhahulloh  dengan sedikit perubahan.
   
    
==================================================================================
   
   

lasykar5 <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

    Mohon kepada yang mem-posting artikel Pandangan Terhadap Dzikir Berjamaah 
menjelaskan hal2 berikut:
   
  1. Dzikir yang dimaksud yang bagaimana? Dalilnya?
  2. Apakah ada dalil yang di sana Rasulullah jelas-jelas mencontohkan sebuah 
kegiatan yang lali bisa disimpulkan bahwa kegiatan Rasul itu adalah Dzikir?
  3. Yang hendak ditanggapi oleh artikel Pandangan Terhadap Dzikir Berjamaah 
itu TEPATnya seperti apa bentuk kegiatannya? Alangkah baiknya jika diberikan 
kejelasan sec spesifik bentuk yang dimaksud.
  4. Saya hampir tidak melihat dalil kuat baik dari Quran maupun Sunnah Rasul 
yang (jika poin 1-3 di atas bisa ditanggapi dengan jelas) nyata-nyata 
mengatakan (suatu bentuk tertentu) Dzikir Berjamaah itu bid'ah, selain dari 
riwayat yang mengisahkan penpadat seorang shahabat atas suatu bentuk dzikir 
yang dianggap dzikir berkelompok yang menyalahi sunnah ... 
   
  terima kasih,
  :-)

 
  On 10/9/06, handri yanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:             
---------------------------------
How low will we go? Check out Yahoo! Messenger's low PC-to-Phone call rates.

[Non-text portions of this message have been removed]



 




-- 
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang 

                
---------------------------------
Talk is cheap. Use Yahoo! Messenger to make PC-to-Phone calls.  Great rates 
starting at 1&cent;/min.

[Non-text portions of this message have been removed]





Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke