BANTUAN MENYENGSARAKAN
   
   
  Kebangkitan pasar modal internasional dan stagflasi ekonomi-ekonomi industri 
pada era 1970-an, membuat bank-bank komersial Amerika, Eropa, dan Jepang 
memberikan pinjaman langsung kepada negara-negara berkembang. Pinjaman itu 
diberikan untuk membiayai proyek-proyek arahan negara dan strategi subtitusi 
impor (pengembangan industri untuk melayani pasar domestik). Pinjaman penuh 
resiko itu “dipromosikan” sebagai bantuan dari bank-bank negara-negara maju. 
Mereka menyebutkan bahwa negara-negara tidak akan bankrut menerima bantuan 
dengan suku bunga sangat rendah di tengah hiperinflasi tahun 1970-an, yang 
berarti suku bunga riil bukan hanya sekedar rendah, tetapi bahkan menjadi 
negatif. negara-negara yang tidak mau meminjam dengan kondisi tersebut, tentu 
saja akan dianggap bodoh karena menyia-nyiakan kesempatan.
   
  Akan tetapi di akhir dekade 1970-an, bantuan itu mulai menjadi petaka yang 
menyengsarakan negara-negara peminjam di kemudian hari. Pada tahun 1979, 
Federal Reserve, untuk meniadakan hiperinflasi dunia dan mengembalikan 
pertumbuhan ekonomi membuat kebijakan penaikkan suku bunga. Keputusan tersebut 
menceburkan dunia ke dalam resesi yang parah. Para negara berkembang yang telah 
mendapat bantuan, tiba-tiba terbebani hutang yang sangat besar karena 
meningkatnya suku bunga riil. Pendapatan luar negeri mereka menjadi turun 
karena dana digunakan untuk membayar hutang yang semula mereka rasakan sebagai 
bantuan luar negeri. Bahkan, untuk menutupi hutangnya, pemerintah mendapatkan 
hutang baru. Dengan bunga yang semakin tinggi dan hutang yang semakin besar, 
makin banyak uang yang melayang hanya untuk membayar hutang pemerintah 
(Stiglitz, 2003).
   
  Kewajiban hutang yang sangat besar pada negara-negara berkembang di Afrika, 
Amerika Latin, dan beberapa bagian Asia, semakin hari semakin membebani mereka. 
Keadaan ini makin diperberat oleh sistem moneter internasional yang seringkali 
tidak stabil dan gangguan keuangan internasional yang memberikan dampak 
merugikan bagi kehidupan individual maupun ekonomi global (Gilpin & Gilpin, 
2000). Beban berat yang ditanggung negara-negara tersebut, menjadikan mereka 
kembali tergantung kepada Bank Dunia dan IMF. Untuk menerima dampingan dari IMF 
dan Bank Dunia, para negara sebagai debitur harus menyetujui suatu program 
penyesuaian yang ketat. Pemberian dampingan berarti bahwa negara-negara debitur 
harus menghapus kemampuan intervensi negara dan strategi subtitusi impor, serta 
harus mengadopsi kebijakan ekonomi berorientasi pasar.
   
  El Fisgon (2004), menggambarkan hutang luar negeri yang diterima oleh 
negara-negara berkembang tidak lebih dari perangkat penjarahan utama. Dari 
kasus Meksiko, hal tersebut dapat dirasakan. Pada tahun 1982, Meksiko mendapat 
pinjaman USD 57 milyar dari kreditur asing. Antara tahun 1982 sampai dengan 
2002, Meksiko membayar USD 478 milyar untuk bunganya saja, dan harus meminjam 
lebih banyak lagi untuk mencicil hutang pokoknya. Hingga tahun 2002, hutang 
Meksiko telah melonjak dari USD 57 milyar menjadi USD 157 milyar, termasuk 
hutang baru yang dikeluarkan untuk melunasi pinjaman sebelumnya. Dengan 
demikian, meski Meksiko sudah membayar hutang tahun 1982 sebanyak delapan kali 
lipat lebih, dalam jangka waktu dua puluh tahun, tetap saja hutangnya masih 
tiga kali lipat lagi. Dengan kata lain, menurut Fisgon, membayar hutang berarti 
keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa. Kemiskinan negara-negara 
berkembang, seperti Meksiko tersebut, memicu kemakmuran negara-negara pemberi
 hutang seperti Amerika Serikat.
   
  Demikian pula John Perkins (2004), menggambarkan bahwa sebuah negara yang 
mempunyai sumber daya alam, seperti Ekuador yang mempunyai kandungan minyak 
bumi melimpah telah menjadi sasaran untuk menerima “bantuan” dari 
corporatocracy  (yang terdiri dari korporasi global dan lembaga keuangan 
international dengan dukungan pemerintah negara daidaya).  Pada tahun 1968, 
Texaco menemukan minyak bumi di wilayah Amazon Ekuador. Untuk mendukung 
eksplorasi sumber daya alam tersebut dan menjadikan negara Ekuador sebagai 
salah satu pemasok minyak dunia, maka Ekuador menerima sejumlah “bantuan” dari 
corporatocracy. Bantuan berupa pinjaman tersebut digunakan untuk mengembangkan 
infrastruktur, yang terdiri atas pembangkit tenaga listrik, jalan raya, 
pelabuhan, bandar udara, atau kawasan industri.
   
  Menurut Perkins, yang pernah terlibat sebagai seorang Economic Hit Man (EHM), 
bantuan-bantuan kepada negara berkembang seperti Ekuador di atas, memuat 
persyaratan, bahwa perusahaan rekayasa dan konstruksi negara asal pemberi 
bantuan yang harus membangun semua proyek bantuan. Dengan demikian, sebenarnya, 
uang yang ditransfer dari kantor perbankan yang memberikan pinjaman kepada 
kantor bagian rekayasa atau konstruksi yang membangun proyek, tidak pernah 
meninggalkan negara pemberi bantuan. Meskipun, faktanya, uang yang diterima 
negara penerima bantuan hampir dengan seketika dikembalikan kepada korporasi 
yang merupakan anggota corporatocracy (kreditur), tetapi penerima bantuan 
diharuskan membayar semuanya beserta bunganya. Apabila pinjaman mengalami gagal 
bayar pada waktu berikutnya, maka anggota corporatocracy akan menuntut 
pembayaran penuh, dan disertai dengan tindakan-tindakan pengendalian atas hak 
pilih di PBB, instalasi pangkalan militer, atau akses kepada sumber daya
 yang berharga. Walaupun negara penerima bantuan menerima tindakan tersebut, 
pinjaman yang belum dibayar tetap masih terhutang.
   
  Dampak yang dirasakan oleh negara penerima bantuan, seperti Ekuador tersebut, 
adalah mereka berada dalam situasi yang jauh lebih buruk daripada sebelum 
menerima bantuan dua puluh tahun sebelumnya. Tingkat kemiskinan meningkat dari 
50% menjadi 70%. Pengangguran bertambah dari 15% menjadi 70%. Hutang Negara 
meningkat dari USD 240 juta menjadi USD 16 milyar. Bagian sumber daya nasional 
yang dialokasikan untuk segmen penduduk paling miskin menciut dari 20% menjadi 
6%. 
   
  Pengalaman David C. Korten (1999), sebagai  penasehat manajemen pembangunan 
bagi USAID (United State Agency for International Development), selama 15 tahun 
tinggal di Asia juga terasa menyedihkan. Beliau mengamati bahwa setiap tahun 
beberapa juta orang digusur dari rumah tempat tinggal mereka dan dari tempat 
mereka mencari kehidupan demi proyek-proyek pembangunan yang mendapat “bantuan” 
luar negeri. Proyek-proyek pembangunan tersebut telah merampas tanah, air, dan 
tempat perikanan mereka, yang kemudian digunakan sebagai bendungan, perkebunan, 
kawasan pabrik, tempat pemeliharaan udang, jalan tol, lapangan golf, kawasan 
wisata, dan instalasi militer. Dalam banyak kasus, mereka yang tergusur telah 
didorong dari miskin menjadi total miskin. Sementara itu orang yang lebih kaya 
meraup keuntungan dari penggusuran tersebut. Sumber-sumber yang diambil dari 
orang-orang miskin tersebut, penggunaannya beralih dari yang bekelanjutan 
menjadi tidak berkelanjutan. Semua hal tersebut yang
 semula ditujukan untuk mengejar pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), 
ternyata, tidak dinikmati oleh orang-orang miskin yang terus bertambah. 
Pembangunan tersebut akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang yang telah 
memiliki lebih dari apa yang mereka perlukan sebelumnya, serta menyisakan 
permasalahan hutang negara-negara Asia yang semakin menumpuk dari hari ke hari. 
   
  Meskipun uang dalam jumlah besar dari negara-negara berkembang melayang ke 
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, namun ternyata sebagian besar warga 
negara Amerika Serikat sendiri tidak  pernah menikmatinya. Akibat berjayanya 
kapitalisme individualisme, Amerika Serikat mempunyai angka kemiskinan 
tertinggi dari semua negara industri. Menurut Biro Sensus Amerika Serikat tahun 
2001, 32,9 juta warganya hidup dalam kemiskinan atau 11,70% dari jumlah 
warganya. 13,4% hidup dalam kemiskinan eksterm. 1,3 juta jatuh ke bawah garis 
kemiskinan dan 800 ribu jatuh ke dalam kemiskinan ekterm dalam satu tahun. Di 
balik melambungnya perekonomian Amerika Serikat, ketimpangan sosial justru 
melebar. Seperlima rakyat Amerika Serikat menguasai satu setengah kekayaan 
nasional, dan dua puluh persen kaum termiskin menguasai hanya 3,5 persen. Pada 
tingkat global, disproporsi ini jauh lebih curam.
   
  Jurang antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang melebar 
secara dramatis hanya dalam beberapa tahun. Pada awal millennium baru, 80 
persen penduduk dunia hidup tanpa kebutuhan dasar. Di Afrika mayoritas warganya 
miskin total, dan 78% penduduknya hidup dengan pendapatan kurang dari satu 
dolar sehari. Angka kematian bayi 60 persen lebih tinggi dibanding rerata semua 
negara berkembang. 
   
  Situasi di Amerika Latin juga menggenaskan. Jumlah orang miskin naik secara 
pasti di setiap negara kawasan ini. Tahun 1988, sebanyak 179,8 juta (35,80%) 
penduduk hidup miskin dan 78 juta (15,5%) berada dalam kemiskinan eksterm. 
Distribusi kesejahteraan di Amerika Latin sangat timpang. 10% penduduk terkaya 
memperoleh penghasilan 84 kali lipat lebih dari 19% penduduk termiskin.
   
  Menurut para pakar yang terlibat, seperti Korten, Stiglitz, Gilpin, maupun 
Perkins, kejadian itu tidak hanya menimpa beberapa negara contoh di atas. 
Hampir setiap negara yang menerima bantuan untuk memajukan negaranya telah 
membawa mereka ke bawah payung kekuasaan global dan hampir mengalami nasib yang 
sama. Hutang dunia ketiga telah tumbuh menjadi lebih dari USD 2,5 trilyun 
dengan biaya “pemeliharaan”nya mencapai lebih dari USD 375 milyar setahun (pada 
tahun 2004). Biaya pemeliharaan tersebut, melebihi semua pengeluaran dunia 
ketiga untuk kesehatan dan pendidikan. Biaya tersebut juga sama dengan 20 kali 
dari apa yang diterima negara berkembang setiap tahun sebagai bantuan luar 
negeri. Lebih dari 50% penduduk dunia bertahan hidup dengan biaya kurang dari 
dua dolar per hari. Sementara itu, sekitar 1% lapisan rumah tangga dunia ketiga 
paling atas menikmati 70-90% dari semua kekayaan keuangan pribadi di negara 
mereka. Sebagian kecil masyarakat, yang bertindak sebagai
 eksekutif perusahaan yang paling terhormat, telah memperkerjakan orang dengan 
tingkat penggajian yang mendekati gaji “budak” agar membanting tulang dengan 
kondisi yang tidak manusiawi di pabrik-pabrik atau proyek-proyek bergelimang 
peluh. 
   
  Proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman dari lembaga keuangan 
internasional dan perbankan negara-negara maju yang pada awalnya dirasakan 
negara-negara berkembang sebagai bantuan telah menyeret mereka dalam hutang 
luar negeri yang tidak pernah habis dan entah kapan akan berakhir. Mereka mesti 
mempersembahkan porsi yang luar biasa besarnya dari anggaran nasionalnya untuk 
membayar hutang-hutang mereka, sebagai ganti memakai modalnya untuk membantu 
jutaan warga mereka yang secara resmi digolongkan sebagai melarat pada tingkat 
yang berbahaya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut 
hanya bermanfaat bagi segelintir penduduk, dan mungkin sesungguhnya 
mengakibatkan keputusaasaan yang makin meningkat bagi sebagian besar 
penduduknya.
   
   
   
  Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
   
   
   
Merza Gamal <[EMAIL PROTECTED]> 

                
---------------------------------
Why keep checking for Mail? The all-new Yahoo! Mail shows you when there are 
new messages.

[Non-text portions of this message have been removed]




Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke