Intervensi Vatikan dan Gereja Menyulut Disintegrasi


 Majalah RISALAH Mujahidin Edisi 2
Simpati dunia mengalir deras pada derita korban ledakan menara WTC (2001) dan 
bom Bali (2002) termasuk bantuan dana para keluarga korban. Tapi mengapa 
pembantaian sadis dan biadab terhadap komunitas Muslim Poso. Khususnya warga 
Pesantren Walisongo. Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, simpati justru 
diberikan pada Tibo cs, sang jagal umat Islam. 

Mereka yang selama ini memposisikan dirinya sebagai pejuang HAM dan demokrasi, 
sebagai penganut Agama Kasih, ternyata memperlihatkan wajah aslinya yang 
memihak kepada perbuatan barbar, keji dan sadistis. Mereka memposisikan Tibo 
dkk seolah-olah sebagai korban kesesatan hukum, korban kesesatan peradilan, 
sehingga dengan lantang meneriakkan penolakan eksekusi mati atas Tibo dkk. 
Apakah karena pembantaian sadis, terencana dan biadab itu dilakukan orang 
Kristen, sementara korbannya Muslimin, sehingga mereka bungkan tidak peduli? 



Reaksi Pendukung Tibo

GEMBONG konflik SARA di Poso, Vabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus 
Riwu, secara serentak dieksekusi mati pada Jum'at dini hari pukul 01.45 WITA, 
22 September 2006, di Desa Poboya, Palu Selatan oleh tiga regu tembak Brimob 
Polda Sulawesi Tengah. Semasa hidup mereka telah menyulut bara kerusuhan, 
setelah mati pun ia tteap berbahaya, mengingat solidaritas para pendukungnya 
telah melahirkan anarkhi di Atambua. 

Dukungan untuk Tibo dkk tidak saja datang dari masyarakat lokal, tapi juga 
internasional, melalui petisi yang disebar secara online. Setelah terkumpul 
sekitar 700 tanggapan yang intinya menentang eksekusi mati, petisi tersebut pun 
dikirimkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf 
Kalla, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, 
serta Kapolri Jenderal Sutanto. 

Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan dan Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI yang 
berpusat di Semarang, mengungkapkan isi hatinya bahwa "...Kasus yang menjerat 
Tibo cs memang penuh dengan kontroversi ketidakadilan. Mereka menjadi korban 
peradilan yang sesat. Mereka menjadi tumbal ketidakadilan dan proses hukum yang 
inskonstitusional..." (Kompas, Sabtu, 23 September 2006). 

Tokoh intelektual Katolik Indonesia Frans Magnis Suseno saat mengunjungi Tibo 
dkk di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu (pertengahan April 2006) 
mengatakan, pemerintah Indonesia tidak boleh gegabah mengeksekusi Tibo dkk 
karena saat ini banyak pertimbangan yang muncul yang menunjukkan adanya 
kemungkinan bahwa Tibo dkk tidak bersalah. Frans juga mengatakan, aparat hukum 
tidak dapat melakukan eksekusi hanya karena semua prosedur hukum telah dijalani 
oleh Tibo dkk. Mereka sama sekali tidak pernah berada di sisi korban yang telah 
dianiaya sedemikian rupa. Pernahkah mereka menyantuni para janda korban 
pembantaian Tibo dkk? Sama sekali tidak! 

Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendukung kekejaman, 
mendukung kebiadaban, mendukung perbuatan barbar, mendukung upaya-upaya yang 
berorientasi disintegratif. Seperti sudah diketahui, diantara sebab 
tertunda-tundanya eksekusi mati bagi Tibo dkk adalah adanya surat dari Vatikan, 
sebagaimana diakui Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Pada 12 Agustus 2006, 
ada surat dari Paus Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang menjadi 
salah satu pertimbangan pemerintah dalam menunda pelaksanaan eksekusi Tibo dan 
kawan-kawan. Para uskup itu, termasuk dari Vatikan, selama ini tidak pernah 
mempersoalkan para korban. Mereka sama sekali tidak pernah menunjukkan 
simpatinya kepada korban. Suara mereka baru terdengar justru ketika si 
pembantai hendak dihukum mati. Ke mana hati nurani mereka? 

Gus Dur salah satu tokoh sepilis, bersuara sama dengan Theo Sambuaga (tokoh 
Golkar) dan Pendeta Nico Gara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon. 
Mereka antara lain mengatakan, Tibo dkk merupakan saksi mahkota, bila 
dieksekusi, maka mata rantainya putus. Theo Sambuaga menambahkan, jika Tibo 
sudah dieksekusi, sedangkan novum itu betul bahwa mereka bukan dalang kerusuhan 
Poso, akibatnya akan sangat fatal dari segi hukum dan penegakan hak asasi 
manusia (HAM). Oleh karena itu menurut Akbar Tandjung, sebaiknya eksekusi 
terhadap Tibo dan dua kawannya ditunda demi kepentingan mengungkap aktor 
intelektual yang sebenarnya dalam peristiwa kerusuhan Poso. Aktor intelektual 
yang dimaksud adalah sejumlah 16 nama yang pernah dinyatakan secara sepihak 
oleh Tibo sebagai aktor utama. 

Padahal, Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Oegroseno secara maraton 
telah memeriksa dan mempertemukan 16 orang yang diduga dalang kerusuhan Poso 
III dengan Vabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48), 
terpidana mati kasus kerusuhan Poso III. Hasil pemeriksaan terhadap ke-16 orang 
itu sama sekali tidak mempengaruhi hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan 
terhadap Tibo dkk, karena Tibo dkk sudah terbukti bersalah di pengadilan. 
Keputusan hukuman mati itu tidak bisa diganggu gugat lagi. Kalau toh dari 
pemeriksaan ada tersangka baru, maka para tersangka baru itu akan diproses oleh 
polisi tanpa harus mempengaruhi keputusan hukuman mati atas Tibo dkk. 

Kekhawatiran Aloys Budi Purnomo bahwa para aktor utama kejahatan kemanusiaan di 
Poso akan tetap berkeliaran bersamaan dengan kematian Tibo dan kawan-kawannya, 
rasanya tidak beralasan. Karena, aparat kepolisian dan aparat penegak hukum 
akan terus mengungkap kasus ini sampai tuntas, meski Tibo dkk sudah di liang 
kubur. 

Masyarakat juga tidak begitu saja akan melupakan peranan Ganis Simangunsong 
yang memprovokasi Vabianus Tibo dengan menyebutkan bahwa Gereja Katholik Santo 
Theresia akan dibakar, sedangkan pastor, suster maupun anak-anak panti asuhan 
di lingkungan gereja akan dibunuh. Masyarakat juga tidak akan lupa keterlibatan 
Paulus Tungkanan yang telah memaksa Vabianus Tibo dan kawan-kawannya untuk 
mengikuti semua petunjuk dan jika tidak maka akan dibunuh. 

Masyarakat sama sekali tidak akan pernah melupakan peranan Yahya Patiro yang 
pernah menginstruksikan Paulus Tungkanan untuk menghalangi jalan Trans Sulawesi 
sehingga dapat menghambat masuknya pasukan TNI dari arah Palopo, Sulawesi 
Selatan. Seluruh ruas jalan masuk wilayah Poso pada saat penyerangan Pasukan 
Merah akhir Mei hingga awal Juni 2000 memang dipenuhi tumbangan pepohonan, 
sehingga menyulitkan warga muslim mengungsi untuk menyelamatkan diri ke 
kabupaten tetangga. Ruas-ruas jalan Trans Sulawesi dan Jalan Provinsi di 
wilayah Poso baru normal kembali setelah Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI 
Slamet Kirbiantoro yang ketika itu langsung memimpin operasi pemulihan keamanan 
membawa puluhan buldozer dan panser disertai ribuan pasukan TNI dari berbagai 
kesatuan. Ini semua merupakan tanggung jawab Yahya Patiro sebagai salah seorang 
yang mengatur strategi, selain berperan memberi perintah kepada panglima perang 
Pasukan Merah. 



Mengapa Tergesa

Kerusuhan Poso yang terjadi Mei-Juni 2000 bersamaan waktunya dengan 
penyelenggaraan MTQ Nasional ke-19 di Palu, telah mengakibatkan lebih dari 
1.000 orang terbunuh dan hilang, korban terbanyak adalah warga kompleks 
Pesantren Walisongo di Kelurahan Sintuwulemba, sekitar sembilan kilometer 
selatan kota Poso. Pengadilan berhasil mengungkapkan peran Tibo, Dominggus, dan 
Marinus, yang disebut-sebut oleh banyak saksi di pengadilan tidak saja sebagai 
aktor penggerak di lapangan, tetapi juga melakukan pembunuhan dengan tangannya 
sendiri terhadap banyak manusia dengan cara sadis. 

Sebagian pendukung Tibo menilai peradilan digelar terburu-buru. Padahal, 
pengadilan terhadap Tibo, Dominggus, dan Marinus berjalan sangat panjang. Sejak 
akhir tahun 2000 mereka mulai menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri (PN) 
Palu, dengan menghadirkan sekitar 20 orang saksi dan 19 di antaranya 
memberatkan. 

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga membantah kesan yang menunjukkan pihaknya 
terburu-buru melaksanakan eksekusi tersebut dibandingkan terhadap para 
terpidana mati kasus bom Bali, Imam Samudra cs yang sampai kini belum ada 
putusan eksekusi. Kenyataannya, vonis mati terhadap Vabianus Tibo dkk diputus 
pada 2001, sementara Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi vonis matinya diputus 
pada tahun 2004. 

Menangapi keraguan sementara pihak terhadap peranan Tibo dkk sebagai pelaku 
utama, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah mengatakan, menurut putusan 
pengadilan mulai dari PN (pengadilan negeri) hingga PK (peninjauan kembali), 
mereka adalah pelaku utama. Saksi-saksi di persidangan mengatakan demikian. 
Buat Vabianus Tibo sendiri, ini bukan peristiwa pertama. Yang bersangkutan 
pernah melakukan pembunuhan dengan korban empat orang dan dia dihukum enam 
tahun. 

Vabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva dijatuhi hukuman mati oleh 
Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001. Ketiganya dipersalahkan melakukan 
kejahatan pembunuhan berencana, sengaja menimbulkan kebakaran dan penganiayaan 
yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut. Putusan itu dikuatkan oleh 
Pengadilan Tinggi Sulteng pada 17 Mei 2001. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah 
Agung (MA) juga ditolak pada 11 Oktober 2001, sebagaimana upaya Peninjauan 
Kembali (PK) yang juga ditolak pada 31 Maret 2004. Grasi atau pengampunan dari 
Presiden diajukan pada Mei 2005 dan pada 10 November 2005 lalu dinyatakan 
ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 



Gereja dan Pendeta Terlibat

Selain mengungkapkan keterlibatan 16 nama tokoh, Vabianus Tibo juga 
mengungkapkan keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) 
yang berpusat di Tentena, kota kecil di tepian Danau Poso, secara langsung 
dalam kerusuhan Poso. Ketelibatan para tokoh di GKST itu antara lain memberikan 
dukungan moril serta lainnya kepada massa Pasukan Merah yang hendak menyerang 
warga muslim di wilayah Poso. Sebelum Tibo dkk turun ke Poso, mereka didoakan 
di halaman GKST oleh para pendeta. Tibo ketika itu sempat menyebutkan beberapa 
nama yang memimpin Pasukan Merah saat melakukan penyerangan, antara lain Paulus 
Tungkanan, Eric Rombot, Lempa Deli, serta Angki Tungkanan sebagai panglima 
pasukan. 

Tapi aneh, sampai detik ini kita belum mendengar ada tokoh GKST yang diperiksa 
polisi, apalagi sampai ditahan, diambil paksa, atau dituduh sebagai teroris. 
Patut dipertanyakan, doktrin kebaktian apa saja yang disampaikan para pendeta 
GKST sehingga mereka bisa menghasilkan sosok sadis dan biadab seperti Tibo dkk? 

Bandingkan dengan kasus yang dikaitkan dengan umat Islam. Misalnya, kasus Bom 
Bali, meski para pelaku bom Bali sudah menyatakan dengan tegas tidak ada 
keterlibatan Ba'asyir, namun aparat kepolisian tetap saja mencurigai, 
memprosesnya secara hukum, mengambil paksa, menjebloskannya ke tahanan, dan 
menghukumnya 4 tahun penjara. Untunglah ada kasus 'permintaan suaka' yang 
dilakukan sejumlah warga Papua ke Australia, sehingga pemerintah Indonesia 
melakukan kebijakan resiprokal dengan membebaskan Ba'asyir dalam rangka membuat 
pemerintah Australia marah. Artinya, meski Ba'asyir dibebaskan, namun itu bukan 
merupakan kebijakan yang meluncur dari hati nurani melainkan bagian dari dendam 
politis pemerintah Indonesia terhadap Australia. Hanya karena salah seorang 
dari pelaku bom Bali pernah nyantri di Pesantren Ngruki, maka tidak hanya 
Pesantren Ngruki yang dicurigai, tetapi seluruh pesantren di Indonesia. Bahkan 
Menlu AS (ketika itu) Colin Powell mengatakan, pendidikan yang dihasilkan 
pesantren dan madrasah tidak lengkap dan merusak keamanan, sehingga 
kurikulumnya perlu dirubah. 

Tidak hanya itu, Wapres M Jusuf Kalla bahkan pernah mengusulkan perlunya 
pengambilan sidik jari santri dan lulusan pondok pesantren dalam upaya mencegah 
terorisme. Untungnya, Kepala Polri Jenderal Polisi Sutanto menyatakan tidak 
setuju, dengan alasan, penelusuran melalui jalan itu tidak efektif. Pencegahan 
bisa dimulai dari pengamanan lingkungan. Sampai hari ini kita tidak pernah 
melihat adanya tudingan negatif terhadap gereja dan para pendeta yang terlibat 
di dalam kasus pembantaian umat Islam di Poso. Padahal, seharusnya para pendeta 
yang terlibat tidak saja layak diproses secara hukum, tetapi bila perlu mereka 
ditembak mati seperti Tibo dkk.



Tidak Taat Hukum

Dari kasus Tibo ini saja, nampak jelas bahwa penganut Agama Kasih ini ternyata 
tidak taat hukum. Selain itu, mereka cenderung anarkis, dan gemar menggertak 
dengan tema lama berupa akan memisahkan diri. Antara lain sebagaimana dilakukan 
Frans Seda, salah seorang tokoh NTT yang berpendidikan dan pernah menjadi 
menteri rezim bejad orde baru. Ketika menjadi menteri, kebijakan yang dibuatnya 
merugikan rakyat, yang hingga kini masih terasa. 

Frans Seda pernah menggaungkan wacana akan memisahkan diri dari NKRI bila Tibo 
dkk tetap dieksekusi mati, yaitu akan mendirikan negara Timor Raya. Barulah 
setelah diancam akan diciduk, ia berhenti cuap-cuap soal negara Timor Raya. 
Sebagai intelektual keturunan NTT yang beragama Katholik, seharusnya Frans Seda 
memberikan pengertian kepada rakyat NTT yang belum terdidik, bukan justru 
memprovokasinya. Selama ini citra orang NTT memang negatif. Mereka lebih mudah 
ditemui bekerja sebagai debt colector atau preman. Ingat kasus Tempo vs Tommy 
Winata? Preman yang memukuli wartawan Tempo adalah orang NTT. 

Ingat kasus pembunuhan sadis terhadap keluarga Rohadi pertengahan tahun 1996? 
Pelakunya adalah orang NTT bernama Philipus Kia Ledjab. Philipus divonis seumur 
hidup pada Kamis, 6 Juni 1996 di PN Jakarta Timur. Dia dan juga istrinya, 
beserta dua orang anaknya serta seorang keponakannya dihukum karena terbukti 
melakukan pembunuhan berencana terhadap isteri dan anak-anak Rohadi (seorang 
Guru) yaitu Ny. Elly Kusneli dan tiga anaknya yang masih balita masing-masing 
Gilang M Fauzi, Citra Utami, dan Rizky Wahyu Ramadhan. 

Penyebabnya hanya sepele, yaitu anak-anak Rohadi sering bermain di pekarangan 
rumah Philipus yang ditanami singkong, dan Philipus murka. Maka Philipus 
sekeluarga merencanakan pembunuhan keji terhadap isteri dan anak-anak Rohadi 
tanpa sisa. Empat tahun kemudian, terjadilah kasus yang jauh lebih sadis, di 
Poso, Mei 2000, dengan pelaku utamanya Tibo dkk yang juga orang NTT sama dengan 
Philipus. 

Orang-orang Katholik yang berpendidikan juga seharusnya tidak menjadi 
provokator atau korlap demo anarkis pasca dieksekusi matinya Tibo dkk. 
Seharusnya sebagai penganut Agama Kasih yang berpendidikan, mereka memberikan 
pendidikan hukum kepada rakyat NTT tentang kasus Tibo dkk. Faktanya, di Maumere 
(Kabupaten Sikka), Polres Sikka menangkap Aditia (aktivis Perhimpunan Mahasiswa 
Katolik Republik Indonesia Maumere), Yonas, dan Mira yang sebagai provokator 
kerusuhan di Maumere, Jumat lalu (22/9). Mereka membakar kantor pengadilan 
negeri dan merusak gedung DPRD, kantor kejaksaan negeri, serta sejumlah rumah 
makan. Aditia diduga terlibat perusakan gedung DPRD, sedangkan Yonas dan Mira 
terkait upaya pembakaran Markas Polres Sikka. Dari kerusuhan ini, akhirnya yang 
dirugikan rakyat juga, seperti terjadi pada Ny Sinta Polak (43), salah satu 
pemilik toko di pusat kota Atambua, yang saat kerusuhan terjadi sejumlah barang 
dagangannya dijarah massa, sehingga mengalami kerugian sekitar Rp 300 juta. 

Bersamaan dengan rencana dilaksanakannya eksekusi mati terhadap Tibo dkk, 
rupanya para aktivis NTT seperti Aditia lebih cenderung menyusun rencana 
anarkis. Selain di Maumere, kerusuhan anarkis juga terjadi di Atambua, ibu kota 
Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Jumat (22/9), massa merusak kios-kios di 
Pasar Baru Atambua, melempar toko, dan rumah penduduk dari simpang lima Atambua 
hingga ke kantor Kejaksaan Negeri Atambua. Massa membakar rumah jabatan Kejari 
Atambua, merusak kantor pengadilan, menjebol pintu Lapas Penfui. 

Kerusuhan ini merupakan reaksi atas eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, 
Dominggus da Silva, Marianus Riwu di Palu, Jumat (22/9) pukul 02.05. Hanya 
berselang sekitar dua jam setelah eksekusi mati berlangsung, sekitar pukul 
04.10 Wita ada pengumuman yang disampaikan seorang anggota Korlap aksi demo, 
melalui mikrofon, bahwa pada Jumat (22/9) akan dilakukan blokade jalan dalam 
Kota Atambua di 12 titik. Warga dilarang beraktivitas, tidak ke kantor, pasar 
dan sekolah. Warga diminta menaikkan bendera setengah tiang tanda berkabung 
atas eksekusi tersebut. 

Dua jam kemudian, sekitar pukul 06.00 Wita, seluruh ruas jalan dalam Kota 
Atambua diblokir menggunakan batu dan kayu. Massa yang sudah terkonsentrasi di 
beberapa titik tertentu mulai membakar ban bekas. Sekitar pukul 08.00, sekitar 
seratus orang bergerak dari arah Jalan Simpang Lima, Kota Atambua. Dalam 
perjalanan massa melempar toko-toko, rumah penduduk, warung makan, Kantor Dinas 
Pendidikan Belu, Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Belu menuju ke 
Pasar Baru Atambua. 

Tidak cukup dengan itu, massa pun melempari toko-toko yang ada di kompleks 
Pasar Baru, merusak kios-kios. Pos Polisi yang berada di tengah pasar dilempar 
massa. Massa berjalan kaki menuju Kejari Atambua, empat kilometer dari Pasar 
Baru. Sepanjang perjalanan massa melempari rumah, kantor, hotel dan stasiun 
Radio Siaran Belu. Massa pun menuju LP Kelas II-B Atambua mendobrak pintu 
gerbang dan mengeluarkan napi sekitar 205 orang. Para napi berhamburan keluar 
sambil membawa barang milik pribadi. Sepanjang perjalanan para napi saling 
bersalaman dengan massa. Massa tak lupa melempari kantor PN Atambua yang 
letaknya bersebelahan dengan Lapas. 

Setelah itu, massa bergerak menuju Kantor kejari Atambua yang berjarak sekitar 
300 meter dan langsung menuju rumah dinas Kajari Atambua, Saut Simanjuntak 
untuk membakarnya. Untungnya, saat itu penghuni rumah sudah pergi. Di rumah 
dinas itu tertinggal satu unit kendaraan dinas milik kejari yang langsung 
dibakar massa hingga hangus sekitar pukul 09.15. waktu setempat.

Bandingkan dengan kasus Bom Bali, para terpidana tidak menolak bila eksekusi 
mati ditetapkan atas diri mereka. Mereka cuma mengajukan usul, agar hukum 
tembak mati diganti dengan hukum pancung. Meski ditolak, toh tidak ada 
keberatan apa-apa. Keluarga terpidana juga tidak ribut-ribut, bahkan ibunda 
Imam Samudra justru minta ikut ditembak mati bersama anaknya jika kelak 
eksekusi mati dilaksanakan. Meski kelak -jika takdir Allah menghendaki- 
eksekusi mati atas diri Imam Samudra dkk dilaksanakan, percayalah tidak ada 
demo damai apalagi demo anarkis. Karena orang Islam paling taat hukum, paling 
cinta NKRI, mengerti kemaslahatan bersama, sehingga tidak ada ancaman bertema 
disintegratif sebagaimana sering dilontarkan penganut Kristen di Indonesia 
Timur. 

Padahal, Imam Samudra dkk juga bisa disebut bukan pelaku utama, bukan pelaku 
langsung. Tidak seperti Tibo dkk yang membunuh dengan tangannya langsung. Dalam 
kasus Imam Samudra, masih dipertanyakan, apakah betul bom yang meledak di Bali 
hasil rakitan Imam Samudra dkk? Jangan-jangan yang meledak di Bali bom bikinan 
CIA, dan Imam Samudra dkk cuma diposisikan sebagai kambing hitam. Mengapa 
penganut Agama Kasih, pejuang HAM, Gus Dur, Akbar Tanjung, Theo Sambuaga, tidak 
menggunakan logika senada: "...Imam Samudra dkk merupakan saksi mahkota, bila 
dieksekusi, maka mata rantainya putus ..." 

Perlu tindakan tegas dari pemerintah menghadapi anasir-anasir disintegrasi. 
Jelas, ada skenario asing untuk menggoyang stabilitas nasional, mengacaukan 
Indonesia dengan isu SARA. Apalagi ditengarai, selain Vatikan dan gereja, 
intelijen Islarel Mossad ikut menyulut bara di berbagai daerah konflik. 
Informasi yang perlu ditelusuri kebenarannya, Mossad mengadakan pertemuan 
rahasia di sebuah Hotel mewah di Jakarta, beberapa hari sebelum eksekusi Tibo 
dilaksanakan. 



Kilas Balik Kelalawar Hitam, Pembantai "Muslim Poso"

 Warga Pesantren Walisongo, nama "Pasukan Kelalawar Hitam" sudah tak asing 
lagi. Dialah pelaku pembantai santri di pesantren itu ketika tahun 2000. 
Jumlahnya diperkirakan lebih dari 200 

Hidayatullah.com--Ratusan Muslim Poso, khususnya warga Pesantren Walisongo 
tentu tak akan pernah lupa nama "Pasukan Kelewar Hitam." Sebab dialah sang 
pelaku pembantaian Muslim Poso di tahun 2000. Tulisan ini merupakan kilas balik 
investigasi yang pernah dimuat di majalah Hidayatullah. 

Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka 
dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, 
lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu 
kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali 
rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan. 

Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang 
dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan 
itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula 
yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya 
terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak 
berdosa itu berjatuhan ke sungai. 

Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso 
yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh 
orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti 
aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup 
dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban 
sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk 
menyelamatkan diri. 

Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi 
Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu 
sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, 
Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari 
ustadz , santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya. 

Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar 
dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada 
dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing 
belaka. 

Ilham (27) satu-satunya ustadz Pesantren Walisongo yang turut dibantai namun 
selamat setelah mengapung beberapa kilometer mengikuti aliran sungai Poso, 
menuturkan kepada majalah Hidayatullah, sebelum dibantai mereka mengalami 
penyiksaan terlebih dahulu. Mereka dikumpulkan di dalam masjid Al Hirah. Di 
sanalah warga pesantren Walisongo yang sudah menyerah itu dibantai. Ada yang 
ditebas lehernya, dipotong anggota badannya, sebelum akhirnya diangkut truk ke 
pinggir Sungai Poso. 

Sungai Poso menjadi saksi bisu pembantaian ummat Islam, khususnya warga 
Pesantren Walisongo. Mayat-mayat mereka hanyut di Sungai Poso dan terbawa entah 
sampai ke mana. Belum ada angka yang pasti jumlah korban dalam pembantaian itu. 

Seorang warga Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Syahrul Maliki, yang 
daerahnya dilewati aliran sungai Poso dan terletak sembilan kilometer dari 
ladang pembantaian, menuturkan kepada Sahid, Dari pagi hingga siang saja, saya 
menghitung ada 70-an mayat yang hanyut terbawa arus, berikutnya saya tidak 
menghitung lagi, katanya. Sementara Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) melaporkan 
jumlah mayat yang ditemukan di Sungai Poso tidak kurang dari 165 orang. 

Tidak hanya lak-laki dewasa, banyak pula yang perempuan, orang tua, dan 
anak-anak. Biasanya mayat wanita disatukan dengan anak-anak. Ada yang cukup 
diikat, ada pula yang dimasukkan karung, kata Syahrul. Sebagian besar mayat 
sudah rusak akibat siksaan. 

Menurut Ilham, sebelum diserang, warga pesantren diteror oleh Pasukan Merah 
ini. Komplek Pesantren Walisongo sering dipanah. Hingga saat ini bekas panah 
tersebut masih terlihat jelas.

Pembantainya sudah sangat jelas. Mereka adalah orang-orang Kristen yang dikenal 
sebagai "Pasukan Kelalawar Hitam." Dalam aksinya mereka mengenakan pakaian 
serba hitam. Salib di dada dan ikat kepala merah. Karena itu pula mereka sering 
disebut pula sebagai Pasukan Merah. Pembataian itu puncak dari hubungan ummat 
Islam dan Kristen yang kurang harmonis di kawasan itu. Tercatat sekitar 200 - 
400-an orang yang tewas terbantai. 

Dalam laporannya, pihak gereja melalui 'Crisis Center GKST untuk Kerusuhan 
Poso' mengakui dikalangan mereka ada kelompok terlatih yang berpakaian ala 
ninja ini. Mereka menyebutnya sebagai 'Pejuang Pemulihan Keamanan Poso'. 

Ada ciri-ciri yang sama ketika kelompok merah menyerang. Mereka selalu 
mengenakan pakaian ala ninja yang serba hitam, semua tertutup kecuali mata. 
Mereka juga mengenakan atribut salib di dada dan ikat kepala merah. Mayat-mayat 
juga ditemukan selalu dalam kondisi rusak akibat siksaan atau sengaja dicincang 
hingga tidak dikenal identitasnya. Dalam berbagai penyerangan pasukan merah 
selalu di atas angin. Karena itu sebagian besar korbannya adalah orang-orang 
Muslim. 

Selain di Pesantren Walisongo penyerangan dan pembantaian juga dilakukan di 
sejumlah tempat. Tercatat 16 desa yang penduduknya mayoritas Muslim kampungnya 
hancur dan terbakar. Dari arah selatan Poso, kerusakan hingga mencapai Tentena. 
Dari arah Timur hingga Malei. Dari arah barat hingga Tamborana. 

Temuan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) Ujungpandang yang melakukan 
investigasi di Poso menunjukkan adanya keterlibatan gereja dalam beberapa 
kerusuhan. Buktinya Sebelum mereka melakukan penyerangan, mereka menerima 
pemberkatan dari gereja, kata Agus Dwikarna, ketua Kompak Ujungpandang. 

Misalnya pemberkatan yang dilakukan Pendeta Leniy di gereja Silanca (8/6/00) 
dan Pendeta Rinaldy Damanik di halaman Puskesmas depan Gereja Sinode Tentena. 
Selain kepada pasukan Kelelawar Hitam, pemberkatan juga diberikan kepada para 
perusuh. Pemberkatan ini memberikan semangat dan kebencian yang tinggi 
masyarakat Kristen kepada ummat Islam. 

Yang menarik menurut Agus, meskipun mereka mengakui telah membumi hanguskan 
seluruh perkampungan ummat Islam dan membantai masyarakatnya, Pendeta R Damanik 
dan Advent Lateka mengadukan ummat Islam sebagai provokator. 

Kini kabupaten yang dikenal sebagai penghasil kakau terbesar ini nyaris seperti 
kota mati karena ditinggal penduduknya mengungsi, bangunan yang ditinggalkan 
hanya tersisa puing-puing yang beserakan.

Penyerangan terhadap ummat Islam yang berlangsung sejak tanggal 23 Mei lalu, 
merupakan pertikaian ketiga antara Islam Kristen di Poso. Pertikaian pertama 
berlangsung pada Desember 1998. Enam belas bulan kemudian, 15 April 2000 
pertikaian meledak lagi, yang dipicu perkelaian pemuda Kelurahan Kamayanya 
(muslim) dengan Lambogia (Kristen). 

Dalam penyerangan kali ini kelompok merah yang bergabung dalam pasukan 
Kelelawar Hitam dipimpin oleh Cornelis Tibo asal Flores menyerang kampung 
Muslim Kayamanya. Mereka memukul-mukul tiang listrik hingga memancing kemarahan 
ummat Islam. Selanjutnya mereka mengaiaya ummat Islam di situ dan membunuh 
Serma Komarudin. 

Ummat Islam yang marah mengejar Pasukan Kelelawar Hitam yang lari ke Gereja 
Katolik Maengkolama. Karena bersembunyi di gereja itu ummat Islam yang marah 
membakar gereja yang dijadikan tempat persembunyian itu.

Salah satu yang dianggap menjadi penyebab pertikaian adalah konflik politik 
lokal. Perebutan jabatan Bupati Poso pada Desember 1998 merupakan salah 
satunya. Herman Parino, tokoh Kristen, gagal merebut jabatan. Namun Herman 
Parino dan para pendukungnya menuduh Arif Patangga, bupati yang hendak 
digantikannya, muslim, merekayasa gagalnya Parino. 

Karena jengkel, Parino menggalang massa untuk menyerang rumah Patangga. Namun 
rencana itu sudah tercium sebelumnya, para pendukung Patangga tidak diam dan 
bersiap menyambut. Bentrokan tidak terelakkan lagi. Dua hari kemudian giliran 
pendukung Patangga menyerang rumah Parino di desa Tentena. Dalam kerusahan itu 
polisi langsung menangkap tokoh dari kedua belah pilah, Herman Parino dan Agfar 
Patangga, adik kandung Arif Patangga yang dianggap memprovokasi massa. 

Nampaknya penangkapan Herman Parino yang merupakan tokoh Kristen yang dihormati 
membuat pendukungnya kecewa. Apalagi Herman lantas dijatuhi hukuman, meskipun 
Agfar juga dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Poso. Kasus inilah yang 
menjadi api dalam sekam. Maka ketika terjadi perkelaian pemuda Islam dan 
Kristen yang mabuk pada pertengahan April 2000 lalu, kerusuhan pun tidak dapat 
terhindarkan. 

Dipicu kerusuhan pada bulan April, tanggal 23 Mei 2000 pasukan merah melakukan 
penyerangan ke beberapa perkampungan muslim. Pertikaian tidak hanya sebatas 
para pendukung Herman Parino dan Arif Patangga. Perkampungan Muslim yang tidak 
ada kaitannya dengan kerusuhan sebelumnya ikut dihancurkan, warganya dibantai, 
perempuannya diperkosa. 

Selain konflik lokal, sumber intelejen menyatakan bahwa kerusuhan di Poso juga 
terkait dengan tokoh-tokoh di Jakarta. Salah satu kekuatan yang bermain itu 
adalah kelompok Soeharto. Indikasinya jika proses hukum Soeharto meningkat, 
tingkat kerusuhan meningkat. Temuan di lapangan menunjukkan keterlibatan 
sekitar 70-an purnawirawan TNI dalam melatih pasukan merah. Karena itulah 
pasukan merah sangat mahir dalam menggunakan berbagai senjata api maupun tangan 
kosong. 

Pihak intelejen menyebutkan, kelompok yang berkepentingan terhadap kerusuhan di 
Poso ini juga didukung sumber dana yang kuat. Kasus beredarnya milyaran uang 
palsu dan hilangnya dua kontainer kertas uang yang hingga kini belum ditemukan 
juga sangat terkait dengan berlangsungnya kerusuhan di Poso ini. 

Informasi sumber intelejen tersebut juga dibenarkan oleh Wakapolda Sulawesi 
Tengah, Kolonel Zaenal Abidin Ishak, yang menyatakan keterlibatan 15 anggota 
Polres Poso dan enam anggota TNI AD dalam kerusuhan itu. Mereka kini sedang 
ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut. 

Agus Dwikarna tidak percaya bahwa kerusuhan di Poso hanya persoalan gagalnya 
Herman Parino menjadi bupati. Kalau hanya karena perebutan kursi bupati kenapa 
ummat Islam yang dibantai, tanya Agus. Ia yakin ada upaya melenyapkan ummat 
Islam dari bumi Poso. 

Apapun penyebabnya, kerusuhan Poso menyebabkan trauma yang mendalam di kalangan 
orang-orang Muslim di Poso. Sejak kerusuhan itu ribuan ummat Islam menjadi 
pengungsi di negerinya sendiri. (Haryono, laporan Munanshar dan Pambudi 
/majalah hidayatullah ) 

Majalah RISALAH Mujahidin Edisi 2 Th I Syawal 1427 H / November 2006, hal. 8-15.



-- 
This message has been scanned for viruses and
dangerous content by MailScanner, and is
believed to be clean.



Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke