Intervensi Vatikan dan Gereja Menyulut Disintegrasi
Majalah RISALAH Mujahidin Edisi 2
Simpati dunia mengalir deras pada derita korban ledakan menara WTC (2001) dan
bom Bali (2002) termasuk bantuan dana para keluarga korban. Tapi mengapa
pembantaian sadis dan biadab terhadap komunitas Muslim Poso. Khususnya warga
Pesantren Walisongo. Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, simpati justru
diberikan pada Tibo cs, sang jagal umat Islam.
Mereka yang selama ini memposisikan dirinya sebagai pejuang HAM dan demokrasi,
sebagai penganut Agama Kasih, ternyata memperlihatkan wajah aslinya yang
memihak kepada perbuatan barbar, keji dan sadistis. Mereka memposisikan Tibo
dkk seolah-olah sebagai korban kesesatan hukum, korban kesesatan peradilan,
sehingga dengan lantang meneriakkan penolakan eksekusi mati atas Tibo dkk.
Apakah karena pembantaian sadis, terencana dan biadab itu dilakukan orang
Kristen, sementara korbannya Muslimin, sehingga mereka bungkan tidak peduli?
Reaksi Pendukung Tibo
GEMBONG konflik SARA di Poso, Vabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus
Riwu, secara serentak dieksekusi mati pada Jum'at dini hari pukul 01.45 WITA,
22 September 2006, di Desa Poboya, Palu Selatan oleh tiga regu tembak Brimob
Polda Sulawesi Tengah. Semasa hidup mereka telah menyulut bara kerusuhan,
setelah mati pun ia tteap berbahaya, mengingat solidaritas para pendukungnya
telah melahirkan anarkhi di Atambua.
Dukungan untuk Tibo dkk tidak saja datang dari masyarakat lokal, tapi juga
internasional, melalui petisi yang disebar secara online. Setelah terkumpul
sekitar 700 tanggapan yang intinya menentang eksekusi mati, petisi tersebut pun
dikirimkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf
Kalla, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin,
serta Kapolri Jenderal Sutanto.
Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan dan Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI yang
berpusat di Semarang, mengungkapkan isi hatinya bahwa "...Kasus yang menjerat
Tibo cs memang penuh dengan kontroversi ketidakadilan. Mereka menjadi korban
peradilan yang sesat. Mereka menjadi tumbal ketidakadilan dan proses hukum yang
inskonstitusional..." (Kompas, Sabtu, 23 September 2006).
Tokoh intelektual Katolik Indonesia Frans Magnis Suseno saat mengunjungi Tibo
dkk di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu (pertengahan April 2006)
mengatakan, pemerintah Indonesia tidak boleh gegabah mengeksekusi Tibo dkk
karena saat ini banyak pertimbangan yang muncul yang menunjukkan adanya
kemungkinan bahwa Tibo dkk tidak bersalah. Frans juga mengatakan, aparat hukum
tidak dapat melakukan eksekusi hanya karena semua prosedur hukum telah dijalani
oleh Tibo dkk. Mereka sama sekali tidak pernah berada di sisi korban yang telah
dianiaya sedemikian rupa. Pernahkah mereka menyantuni para janda korban
pembantaian Tibo dkk? Sama sekali tidak!
Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendukung kekejaman,
mendukung kebiadaban, mendukung perbuatan barbar, mendukung upaya-upaya yang
berorientasi disintegratif. Seperti sudah diketahui, diantara sebab
tertunda-tundanya eksekusi mati bagi Tibo dkk adalah adanya surat dari Vatikan,
sebagaimana diakui Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Pada 12 Agustus 2006,
ada surat dari Paus Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang menjadi
salah satu pertimbangan pemerintah dalam menunda pelaksanaan eksekusi Tibo dan
kawan-kawan. Para uskup itu, termasuk dari Vatikan, selama ini tidak pernah
mempersoalkan para korban. Mereka sama sekali tidak pernah menunjukkan
simpatinya kepada korban. Suara mereka baru terdengar justru ketika si
pembantai hendak dihukum mati. Ke mana hati nurani mereka?
Gus Dur salah satu tokoh sepilis, bersuara sama dengan Theo Sambuaga (tokoh
Golkar) dan Pendeta Nico Gara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon.
Mereka antara lain mengatakan, Tibo dkk merupakan saksi mahkota, bila
dieksekusi, maka mata rantainya putus. Theo Sambuaga menambahkan, jika Tibo
sudah dieksekusi, sedangkan novum itu betul bahwa mereka bukan dalang kerusuhan
Poso, akibatnya akan sangat fatal dari segi hukum dan penegakan hak asasi
manusia (HAM). Oleh karena itu menurut Akbar Tandjung, sebaiknya eksekusi
terhadap Tibo dan dua kawannya ditunda demi kepentingan mengungkap aktor
intelektual yang sebenarnya dalam peristiwa kerusuhan Poso. Aktor intelektual
yang dimaksud adalah sejumlah 16 nama yang pernah dinyatakan secara sepihak
oleh Tibo sebagai aktor utama.
Padahal, Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Oegroseno secara maraton
telah memeriksa dan mempertemukan 16 orang yang diduga dalang kerusuhan Poso
III dengan Vabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48),
terpidana mati kasus kerusuhan Poso III. Hasil pemeriksaan terhadap ke-16 orang
itu sama sekali tidak mempengaruhi hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan
terhadap Tibo dkk, karena Tibo dkk sudah terbukti bersalah di pengadilan.
Keputusan hukuman mati itu tidak bisa diganggu gugat lagi. Kalau toh dari
pemeriksaan ada tersangka baru, maka para tersangka baru itu akan diproses oleh
polisi tanpa harus mempengaruhi keputusan hukuman mati atas Tibo dkk.
Kekhawatiran Aloys Budi Purnomo bahwa para aktor utama kejahatan kemanusiaan di
Poso akan tetap berkeliaran bersamaan dengan kematian Tibo dan kawan-kawannya,
rasanya tidak beralasan. Karena, aparat kepolisian dan aparat penegak hukum
akan terus mengungkap kasus ini sampai tuntas, meski Tibo dkk sudah di liang
kubur.
Masyarakat juga tidak begitu saja akan melupakan peranan Ganis Simangunsong
yang memprovokasi Vabianus Tibo dengan menyebutkan bahwa Gereja Katholik Santo
Theresia akan dibakar, sedangkan pastor, suster maupun anak-anak panti asuhan
di lingkungan gereja akan dibunuh. Masyarakat juga tidak akan lupa keterlibatan
Paulus Tungkanan yang telah memaksa Vabianus Tibo dan kawan-kawannya untuk
mengikuti semua petunjuk dan jika tidak maka akan dibunuh.
Masyarakat sama sekali tidak akan pernah melupakan peranan Yahya Patiro yang
pernah menginstruksikan Paulus Tungkanan untuk menghalangi jalan Trans Sulawesi
sehingga dapat menghambat masuknya pasukan TNI dari arah Palopo, Sulawesi
Selatan. Seluruh ruas jalan masuk wilayah Poso pada saat penyerangan Pasukan
Merah akhir Mei hingga awal Juni 2000 memang dipenuhi tumbangan pepohonan,
sehingga menyulitkan warga muslim mengungsi untuk menyelamatkan diri ke
kabupaten tetangga. Ruas-ruas jalan Trans Sulawesi dan Jalan Provinsi di
wilayah Poso baru normal kembali setelah Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI
Slamet Kirbiantoro yang ketika itu langsung memimpin operasi pemulihan keamanan
membawa puluhan buldozer dan panser disertai ribuan pasukan TNI dari berbagai
kesatuan. Ini semua merupakan tanggung jawab Yahya Patiro sebagai salah seorang
yang mengatur strategi, selain berperan memberi perintah kepada panglima perang
Pasukan Merah.
Mengapa Tergesa
Kerusuhan Poso yang terjadi Mei-Juni 2000 bersamaan waktunya dengan
penyelenggaraan MTQ Nasional ke-19 di Palu, telah mengakibatkan lebih dari
1.000 orang terbunuh dan hilang, korban terbanyak adalah warga kompleks
Pesantren Walisongo di Kelurahan Sintuwulemba, sekitar sembilan kilometer
selatan kota Poso. Pengadilan berhasil mengungkapkan peran Tibo, Dominggus, dan
Marinus, yang disebut-sebut oleh banyak saksi di pengadilan tidak saja sebagai
aktor penggerak di lapangan, tetapi juga melakukan pembunuhan dengan tangannya
sendiri terhadap banyak manusia dengan cara sadis.
Sebagian pendukung Tibo menilai peradilan digelar terburu-buru. Padahal,
pengadilan terhadap Tibo, Dominggus, dan Marinus berjalan sangat panjang. Sejak
akhir tahun 2000 mereka mulai menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri (PN)
Palu, dengan menghadirkan sekitar 20 orang saksi dan 19 di antaranya
memberatkan.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga membantah kesan yang menunjukkan pihaknya
terburu-buru melaksanakan eksekusi tersebut dibandingkan terhadap para
terpidana mati kasus bom Bali, Imam Samudra cs yang sampai kini belum ada
putusan eksekusi. Kenyataannya, vonis mati terhadap Vabianus Tibo dkk diputus
pada 2001, sementara Imam Samudra, Ali Ghufron dan Amrozi vonis matinya diputus
pada tahun 2004.
Menangapi keraguan sementara pihak terhadap peranan Tibo dkk sebagai pelaku
utama, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah mengatakan, menurut putusan
pengadilan mulai dari PN (pengadilan negeri) hingga PK (peninjauan kembali),
mereka adalah pelaku utama. Saksi-saksi di persidangan mengatakan demikian.
Buat Vabianus Tibo sendiri, ini bukan peristiwa pertama. Yang bersangkutan
pernah melakukan pembunuhan dengan korban empat orang dan dia dihukum enam
tahun.
Vabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva dijatuhi hukuman mati oleh
Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001. Ketiganya dipersalahkan melakukan
kejahatan pembunuhan berencana, sengaja menimbulkan kebakaran dan penganiayaan
yang dilakukan bersama-sama secara berlanjut. Putusan itu dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Sulteng pada 17 Mei 2001. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah
Agung (MA) juga ditolak pada 11 Oktober 2001, sebagaimana upaya Peninjauan
Kembali (PK) yang juga ditolak pada 31 Maret 2004. Grasi atau pengampunan dari
Presiden diajukan pada Mei 2005 dan pada 10 November 2005 lalu dinyatakan
ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Gereja dan Pendeta Terlibat
Selain mengungkapkan keterlibatan 16 nama tokoh, Vabianus Tibo juga
mengungkapkan keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
yang berpusat di Tentena, kota kecil di tepian Danau Poso, secara langsung
dalam kerusuhan Poso. Ketelibatan para tokoh di GKST itu antara lain memberikan
dukungan moril serta lainnya kepada massa Pasukan Merah yang hendak menyerang
warga muslim di wilayah Poso. Sebelum Tibo dkk turun ke Poso, mereka didoakan
di halaman GKST oleh para pendeta. Tibo ketika itu sempat menyebutkan beberapa
nama yang memimpin Pasukan Merah saat melakukan penyerangan, antara lain Paulus
Tungkanan, Eric Rombot, Lempa Deli, serta Angki Tungkanan sebagai panglima
pasukan.
Tapi aneh, sampai detik ini kita belum mendengar ada tokoh GKST yang diperiksa
polisi, apalagi sampai ditahan, diambil paksa, atau dituduh sebagai teroris.
Patut dipertanyakan, doktrin kebaktian apa saja yang disampaikan para pendeta
GKST sehingga mereka bisa menghasilkan sosok sadis dan biadab seperti Tibo dkk?
Bandingkan dengan kasus yang dikaitkan dengan umat Islam. Misalnya, kasus Bom
Bali, meski para pelaku bom Bali sudah menyatakan dengan tegas tidak ada
keterlibatan Ba'asyir, namun aparat kepolisian tetap saja mencurigai,
memprosesnya secara hukum, mengambil paksa, menjebloskannya ke tahanan, dan
menghukumnya 4 tahun penjara. Untunglah ada kasus 'permintaan suaka' yang
dilakukan sejumlah warga Papua ke Australia, sehingga pemerintah Indonesia
melakukan kebijakan resiprokal dengan membebaskan Ba'asyir dalam rangka membuat
pemerintah Australia marah. Artinya, meski Ba'asyir dibebaskan, namun itu bukan
merupakan kebijakan yang meluncur dari hati nurani melainkan bagian dari dendam
politis pemerintah Indonesia terhadap Australia. Hanya karena salah seorang
dari pelaku bom Bali pernah nyantri di Pesantren Ngruki, maka tidak hanya
Pesantren Ngruki yang dicurigai, tetapi seluruh pesantren di Indonesia. Bahkan
Menlu AS (ketika itu) Colin Powell mengatakan, pendidikan yang dihasilkan
pesantren dan madrasah tidak lengkap dan merusak keamanan, sehingga
kurikulumnya perlu dirubah.
Tidak hanya itu, Wapres M Jusuf Kalla bahkan pernah mengusulkan perlunya
pengambilan sidik jari santri dan lulusan pondok pesantren dalam upaya mencegah
terorisme. Untungnya, Kepala Polri Jenderal Polisi Sutanto menyatakan tidak
setuju, dengan alasan, penelusuran melalui jalan itu tidak efektif. Pencegahan
bisa dimulai dari pengamanan lingkungan. Sampai hari ini kita tidak pernah
melihat adanya tudingan negatif terhadap gereja dan para pendeta yang terlibat
di dalam kasus pembantaian umat Islam di Poso. Padahal, seharusnya para pendeta
yang terlibat tidak saja layak diproses secara hukum, tetapi bila perlu mereka
ditembak mati seperti Tibo dkk.
Tidak Taat Hukum
Dari kasus Tibo ini saja, nampak jelas bahwa penganut Agama Kasih ini ternyata
tidak taat hukum. Selain itu, mereka cenderung anarkis, dan gemar menggertak
dengan tema lama berupa akan memisahkan diri. Antara lain sebagaimana dilakukan
Frans Seda, salah seorang tokoh NTT yang berpendidikan dan pernah menjadi
menteri rezim bejad orde baru. Ketika menjadi menteri, kebijakan yang dibuatnya
merugikan rakyat, yang hingga kini masih terasa.
Frans Seda pernah menggaungkan wacana akan memisahkan diri dari NKRI bila Tibo
dkk tetap dieksekusi mati, yaitu akan mendirikan negara Timor Raya. Barulah
setelah diancam akan diciduk, ia berhenti cuap-cuap soal negara Timor Raya.
Sebagai intelektual keturunan NTT yang beragama Katholik, seharusnya Frans Seda
memberikan pengertian kepada rakyat NTT yang belum terdidik, bukan justru
memprovokasinya. Selama ini citra orang NTT memang negatif. Mereka lebih mudah
ditemui bekerja sebagai debt colector atau preman. Ingat kasus Tempo vs Tommy
Winata? Preman yang memukuli wartawan Tempo adalah orang NTT.
Ingat kasus pembunuhan sadis terhadap keluarga Rohadi pertengahan tahun 1996?
Pelakunya adalah orang NTT bernama Philipus Kia Ledjab. Philipus divonis seumur
hidup pada Kamis, 6 Juni 1996 di PN Jakarta Timur. Dia dan juga istrinya,
beserta dua orang anaknya serta seorang keponakannya dihukum karena terbukti
melakukan pembunuhan berencana terhadap isteri dan anak-anak Rohadi (seorang
Guru) yaitu Ny. Elly Kusneli dan tiga anaknya yang masih balita masing-masing
Gilang M Fauzi, Citra Utami, dan Rizky Wahyu Ramadhan.
Penyebabnya hanya sepele, yaitu anak-anak Rohadi sering bermain di pekarangan
rumah Philipus yang ditanami singkong, dan Philipus murka. Maka Philipus
sekeluarga merencanakan pembunuhan keji terhadap isteri dan anak-anak Rohadi
tanpa sisa. Empat tahun kemudian, terjadilah kasus yang jauh lebih sadis, di
Poso, Mei 2000, dengan pelaku utamanya Tibo dkk yang juga orang NTT sama dengan
Philipus.
Orang-orang Katholik yang berpendidikan juga seharusnya tidak menjadi
provokator atau korlap demo anarkis pasca dieksekusi matinya Tibo dkk.
Seharusnya sebagai penganut Agama Kasih yang berpendidikan, mereka memberikan
pendidikan hukum kepada rakyat NTT tentang kasus Tibo dkk. Faktanya, di Maumere
(Kabupaten Sikka), Polres Sikka menangkap Aditia (aktivis Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia Maumere), Yonas, dan Mira yang sebagai provokator
kerusuhan di Maumere, Jumat lalu (22/9). Mereka membakar kantor pengadilan
negeri dan merusak gedung DPRD, kantor kejaksaan negeri, serta sejumlah rumah
makan. Aditia diduga terlibat perusakan gedung DPRD, sedangkan Yonas dan Mira
terkait upaya pembakaran Markas Polres Sikka. Dari kerusuhan ini, akhirnya yang
dirugikan rakyat juga, seperti terjadi pada Ny Sinta Polak (43), salah satu
pemilik toko di pusat kota Atambua, yang saat kerusuhan terjadi sejumlah barang
dagangannya dijarah massa, sehingga mengalami kerugian sekitar Rp 300 juta.
Bersamaan dengan rencana dilaksanakannya eksekusi mati terhadap Tibo dkk,
rupanya para aktivis NTT seperti Aditia lebih cenderung menyusun rencana
anarkis. Selain di Maumere, kerusuhan anarkis juga terjadi di Atambua, ibu kota
Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Jumat (22/9), massa merusak kios-kios di
Pasar Baru Atambua, melempar toko, dan rumah penduduk dari simpang lima Atambua
hingga ke kantor Kejaksaan Negeri Atambua. Massa membakar rumah jabatan Kejari
Atambua, merusak kantor pengadilan, menjebol pintu Lapas Penfui.
Kerusuhan ini merupakan reaksi atas eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva, Marianus Riwu di Palu, Jumat (22/9) pukul 02.05. Hanya
berselang sekitar dua jam setelah eksekusi mati berlangsung, sekitar pukul
04.10 Wita ada pengumuman yang disampaikan seorang anggota Korlap aksi demo,
melalui mikrofon, bahwa pada Jumat (22/9) akan dilakukan blokade jalan dalam
Kota Atambua di 12 titik. Warga dilarang beraktivitas, tidak ke kantor, pasar
dan sekolah. Warga diminta menaikkan bendera setengah tiang tanda berkabung
atas eksekusi tersebut.
Dua jam kemudian, sekitar pukul 06.00 Wita, seluruh ruas jalan dalam Kota
Atambua diblokir menggunakan batu dan kayu. Massa yang sudah terkonsentrasi di
beberapa titik tertentu mulai membakar ban bekas. Sekitar pukul 08.00, sekitar
seratus orang bergerak dari arah Jalan Simpang Lima, Kota Atambua. Dalam
perjalanan massa melempar toko-toko, rumah penduduk, warung makan, Kantor Dinas
Pendidikan Belu, Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Belu menuju ke
Pasar Baru Atambua.
Tidak cukup dengan itu, massa pun melempari toko-toko yang ada di kompleks
Pasar Baru, merusak kios-kios. Pos Polisi yang berada di tengah pasar dilempar
massa. Massa berjalan kaki menuju Kejari Atambua, empat kilometer dari Pasar
Baru. Sepanjang perjalanan massa melempari rumah, kantor, hotel dan stasiun
Radio Siaran Belu. Massa pun menuju LP Kelas II-B Atambua mendobrak pintu
gerbang dan mengeluarkan napi sekitar 205 orang. Para napi berhamburan keluar
sambil membawa barang milik pribadi. Sepanjang perjalanan para napi saling
bersalaman dengan massa. Massa tak lupa melempari kantor PN Atambua yang
letaknya bersebelahan dengan Lapas.
Setelah itu, massa bergerak menuju Kantor kejari Atambua yang berjarak sekitar
300 meter dan langsung menuju rumah dinas Kajari Atambua, Saut Simanjuntak
untuk membakarnya. Untungnya, saat itu penghuni rumah sudah pergi. Di rumah
dinas itu tertinggal satu unit kendaraan dinas milik kejari yang langsung
dibakar massa hingga hangus sekitar pukul 09.15. waktu setempat.
Bandingkan dengan kasus Bom Bali, para terpidana tidak menolak bila eksekusi
mati ditetapkan atas diri mereka. Mereka cuma mengajukan usul, agar hukum
tembak mati diganti dengan hukum pancung. Meski ditolak, toh tidak ada
keberatan apa-apa. Keluarga terpidana juga tidak ribut-ribut, bahkan ibunda
Imam Samudra justru minta ikut ditembak mati bersama anaknya jika kelak
eksekusi mati dilaksanakan. Meski kelak -jika takdir Allah menghendaki-
eksekusi mati atas diri Imam Samudra dkk dilaksanakan, percayalah tidak ada
demo damai apalagi demo anarkis. Karena orang Islam paling taat hukum, paling
cinta NKRI, mengerti kemaslahatan bersama, sehingga tidak ada ancaman bertema
disintegratif sebagaimana sering dilontarkan penganut Kristen di Indonesia
Timur.
Padahal, Imam Samudra dkk juga bisa disebut bukan pelaku utama, bukan pelaku
langsung. Tidak seperti Tibo dkk yang membunuh dengan tangannya langsung. Dalam
kasus Imam Samudra, masih dipertanyakan, apakah betul bom yang meledak di Bali
hasil rakitan Imam Samudra dkk? Jangan-jangan yang meledak di Bali bom bikinan
CIA, dan Imam Samudra dkk cuma diposisikan sebagai kambing hitam. Mengapa
penganut Agama Kasih, pejuang HAM, Gus Dur, Akbar Tanjung, Theo Sambuaga, tidak
menggunakan logika senada: "...Imam Samudra dkk merupakan saksi mahkota, bila
dieksekusi, maka mata rantainya putus ..."
Perlu tindakan tegas dari pemerintah menghadapi anasir-anasir disintegrasi.
Jelas, ada skenario asing untuk menggoyang stabilitas nasional, mengacaukan
Indonesia dengan isu SARA. Apalagi ditengarai, selain Vatikan dan gereja,
intelijen Islarel Mossad ikut menyulut bara di berbagai daerah konflik.
Informasi yang perlu ditelusuri kebenarannya, Mossad mengadakan pertemuan
rahasia di sebuah Hotel mewah di Jakarta, beberapa hari sebelum eksekusi Tibo
dilaksanakan.
Kilas Balik Kelalawar Hitam, Pembantai "Muslim Poso"
Warga Pesantren Walisongo, nama "Pasukan Kelalawar Hitam" sudah tak asing
lagi. Dialah pelaku pembantai santri di pesantren itu ketika tahun 2000.
Jumlahnya diperkirakan lebih dari 200
Hidayatullah.com--Ratusan Muslim Poso, khususnya warga Pesantren Walisongo
tentu tak akan pernah lupa nama "Pasukan Kelewar Hitam." Sebab dialah sang
pelaku pembantaian Muslim Poso di tahun 2000. Tulisan ini merupakan kilas balik
investigasi yang pernah dimuat di majalah Hidayatullah.
Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka
dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang,
lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu
kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali
rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang
dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan
itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula
yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya
terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak
berdosa itu berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso
yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh
orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti
aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup
dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban
sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk
menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi
Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu
sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba,
Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari
ustadz , santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.
Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar
dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada
dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing
belaka.
Ilham (27) satu-satunya ustadz Pesantren Walisongo yang turut dibantai namun
selamat setelah mengapung beberapa kilometer mengikuti aliran sungai Poso,
menuturkan kepada majalah Hidayatullah, sebelum dibantai mereka mengalami
penyiksaan terlebih dahulu. Mereka dikumpulkan di dalam masjid Al Hirah. Di
sanalah warga pesantren Walisongo yang sudah menyerah itu dibantai. Ada yang
ditebas lehernya, dipotong anggota badannya, sebelum akhirnya diangkut truk ke
pinggir Sungai Poso.
Sungai Poso menjadi saksi bisu pembantaian ummat Islam, khususnya warga
Pesantren Walisongo. Mayat-mayat mereka hanyut di Sungai Poso dan terbawa entah
sampai ke mana. Belum ada angka yang pasti jumlah korban dalam pembantaian itu.
Seorang warga Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Syahrul Maliki, yang
daerahnya dilewati aliran sungai Poso dan terletak sembilan kilometer dari
ladang pembantaian, menuturkan kepada Sahid, Dari pagi hingga siang saja, saya
menghitung ada 70-an mayat yang hanyut terbawa arus, berikutnya saya tidak
menghitung lagi, katanya. Sementara Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) melaporkan
jumlah mayat yang ditemukan di Sungai Poso tidak kurang dari 165 orang.
Tidak hanya lak-laki dewasa, banyak pula yang perempuan, orang tua, dan
anak-anak. Biasanya mayat wanita disatukan dengan anak-anak. Ada yang cukup
diikat, ada pula yang dimasukkan karung, kata Syahrul. Sebagian besar mayat
sudah rusak akibat siksaan.
Menurut Ilham, sebelum diserang, warga pesantren diteror oleh Pasukan Merah
ini. Komplek Pesantren Walisongo sering dipanah. Hingga saat ini bekas panah
tersebut masih terlihat jelas.
Pembantainya sudah sangat jelas. Mereka adalah orang-orang Kristen yang dikenal
sebagai "Pasukan Kelalawar Hitam." Dalam aksinya mereka mengenakan pakaian
serba hitam. Salib di dada dan ikat kepala merah. Karena itu pula mereka sering
disebut pula sebagai Pasukan Merah. Pembataian itu puncak dari hubungan ummat
Islam dan Kristen yang kurang harmonis di kawasan itu. Tercatat sekitar 200 -
400-an orang yang tewas terbantai.
Dalam laporannya, pihak gereja melalui 'Crisis Center GKST untuk Kerusuhan
Poso' mengakui dikalangan mereka ada kelompok terlatih yang berpakaian ala
ninja ini. Mereka menyebutnya sebagai 'Pejuang Pemulihan Keamanan Poso'.
Ada ciri-ciri yang sama ketika kelompok merah menyerang. Mereka selalu
mengenakan pakaian ala ninja yang serba hitam, semua tertutup kecuali mata.
Mereka juga mengenakan atribut salib di dada dan ikat kepala merah. Mayat-mayat
juga ditemukan selalu dalam kondisi rusak akibat siksaan atau sengaja dicincang
hingga tidak dikenal identitasnya. Dalam berbagai penyerangan pasukan merah
selalu di atas angin. Karena itu sebagian besar korbannya adalah orang-orang
Muslim.
Selain di Pesantren Walisongo penyerangan dan pembantaian juga dilakukan di
sejumlah tempat. Tercatat 16 desa yang penduduknya mayoritas Muslim kampungnya
hancur dan terbakar. Dari arah selatan Poso, kerusakan hingga mencapai Tentena.
Dari arah Timur hingga Malei. Dari arah barat hingga Tamborana.
Temuan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) Ujungpandang yang melakukan
investigasi di Poso menunjukkan adanya keterlibatan gereja dalam beberapa
kerusuhan. Buktinya Sebelum mereka melakukan penyerangan, mereka menerima
pemberkatan dari gereja, kata Agus Dwikarna, ketua Kompak Ujungpandang.
Misalnya pemberkatan yang dilakukan Pendeta Leniy di gereja Silanca (8/6/00)
dan Pendeta Rinaldy Damanik di halaman Puskesmas depan Gereja Sinode Tentena.
Selain kepada pasukan Kelelawar Hitam, pemberkatan juga diberikan kepada para
perusuh. Pemberkatan ini memberikan semangat dan kebencian yang tinggi
masyarakat Kristen kepada ummat Islam.
Yang menarik menurut Agus, meskipun mereka mengakui telah membumi hanguskan
seluruh perkampungan ummat Islam dan membantai masyarakatnya, Pendeta R Damanik
dan Advent Lateka mengadukan ummat Islam sebagai provokator.
Kini kabupaten yang dikenal sebagai penghasil kakau terbesar ini nyaris seperti
kota mati karena ditinggal penduduknya mengungsi, bangunan yang ditinggalkan
hanya tersisa puing-puing yang beserakan.
Penyerangan terhadap ummat Islam yang berlangsung sejak tanggal 23 Mei lalu,
merupakan pertikaian ketiga antara Islam Kristen di Poso. Pertikaian pertama
berlangsung pada Desember 1998. Enam belas bulan kemudian, 15 April 2000
pertikaian meledak lagi, yang dipicu perkelaian pemuda Kelurahan Kamayanya
(muslim) dengan Lambogia (Kristen).
Dalam penyerangan kali ini kelompok merah yang bergabung dalam pasukan
Kelelawar Hitam dipimpin oleh Cornelis Tibo asal Flores menyerang kampung
Muslim Kayamanya. Mereka memukul-mukul tiang listrik hingga memancing kemarahan
ummat Islam. Selanjutnya mereka mengaiaya ummat Islam di situ dan membunuh
Serma Komarudin.
Ummat Islam yang marah mengejar Pasukan Kelelawar Hitam yang lari ke Gereja
Katolik Maengkolama. Karena bersembunyi di gereja itu ummat Islam yang marah
membakar gereja yang dijadikan tempat persembunyian itu.
Salah satu yang dianggap menjadi penyebab pertikaian adalah konflik politik
lokal. Perebutan jabatan Bupati Poso pada Desember 1998 merupakan salah
satunya. Herman Parino, tokoh Kristen, gagal merebut jabatan. Namun Herman
Parino dan para pendukungnya menuduh Arif Patangga, bupati yang hendak
digantikannya, muslim, merekayasa gagalnya Parino.
Karena jengkel, Parino menggalang massa untuk menyerang rumah Patangga. Namun
rencana itu sudah tercium sebelumnya, para pendukung Patangga tidak diam dan
bersiap menyambut. Bentrokan tidak terelakkan lagi. Dua hari kemudian giliran
pendukung Patangga menyerang rumah Parino di desa Tentena. Dalam kerusahan itu
polisi langsung menangkap tokoh dari kedua belah pilah, Herman Parino dan Agfar
Patangga, adik kandung Arif Patangga yang dianggap memprovokasi massa.
Nampaknya penangkapan Herman Parino yang merupakan tokoh Kristen yang dihormati
membuat pendukungnya kecewa. Apalagi Herman lantas dijatuhi hukuman, meskipun
Agfar juga dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Poso. Kasus inilah yang
menjadi api dalam sekam. Maka ketika terjadi perkelaian pemuda Islam dan
Kristen yang mabuk pada pertengahan April 2000 lalu, kerusuhan pun tidak dapat
terhindarkan.
Dipicu kerusuhan pada bulan April, tanggal 23 Mei 2000 pasukan merah melakukan
penyerangan ke beberapa perkampungan muslim. Pertikaian tidak hanya sebatas
para pendukung Herman Parino dan Arif Patangga. Perkampungan Muslim yang tidak
ada kaitannya dengan kerusuhan sebelumnya ikut dihancurkan, warganya dibantai,
perempuannya diperkosa.
Selain konflik lokal, sumber intelejen menyatakan bahwa kerusuhan di Poso juga
terkait dengan tokoh-tokoh di Jakarta. Salah satu kekuatan yang bermain itu
adalah kelompok Soeharto. Indikasinya jika proses hukum Soeharto meningkat,
tingkat kerusuhan meningkat. Temuan di lapangan menunjukkan keterlibatan
sekitar 70-an purnawirawan TNI dalam melatih pasukan merah. Karena itulah
pasukan merah sangat mahir dalam menggunakan berbagai senjata api maupun tangan
kosong.
Pihak intelejen menyebutkan, kelompok yang berkepentingan terhadap kerusuhan di
Poso ini juga didukung sumber dana yang kuat. Kasus beredarnya milyaran uang
palsu dan hilangnya dua kontainer kertas uang yang hingga kini belum ditemukan
juga sangat terkait dengan berlangsungnya kerusuhan di Poso ini.
Informasi sumber intelejen tersebut juga dibenarkan oleh Wakapolda Sulawesi
Tengah, Kolonel Zaenal Abidin Ishak, yang menyatakan keterlibatan 15 anggota
Polres Poso dan enam anggota TNI AD dalam kerusuhan itu. Mereka kini sedang
ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Agus Dwikarna tidak percaya bahwa kerusuhan di Poso hanya persoalan gagalnya
Herman Parino menjadi bupati. Kalau hanya karena perebutan kursi bupati kenapa
ummat Islam yang dibantai, tanya Agus. Ia yakin ada upaya melenyapkan ummat
Islam dari bumi Poso.
Apapun penyebabnya, kerusuhan Poso menyebabkan trauma yang mendalam di kalangan
orang-orang Muslim di Poso. Sejak kerusuhan itu ribuan ummat Islam menjadi
pengungsi di negerinya sendiri. (Haryono, laporan Munanshar dan Pambudi
/majalah hidayatullah )
Majalah RISALAH Mujahidin Edisi 2 Th I Syawal 1427 H / November 2006, hal. 8-15.
--
This message has been scanned for viruses and
dangerous content by MailScanner, and is
believed to be clean.
Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
mailto:[EMAIL PROTECTED]
mailto:[EMAIL PROTECTED]
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/