http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=272956&kat_id=19
Jumat, 24 Nopember 2006 Ibnu Khaldun dan Amien Rais (2) Seperti tertulis pekan lalu, ada kesamaan di antara kedua tokoh ini. Yakni antara Ibnu Khaldun, yang 600 tahun kematiannya diperingati dunia November ini, dan M Amien Rais. Keduanya sama-sama politisi- akademisi papan atas. Keduanya bersungguh-sungguh memikirkan bangsa dan negaranya. Tapi, tentu ada yang membedakan antara keduanya. Ibnu Khaldun seorang realis. Dari realitas yang dilihatnya, ia menawarkan resep. Agar suatu bangsa dapat berjaya, katanya, bangsa itu harus saling membantu dan saling melindungi. Bukan saling menjatuhkan. Bangsa itu harus punya SDM yang baik dan banyak. Bangsa itu juga harus optimistis dan bekerja keras. Itulah resep umum hasil pergumulan Ibnu Khaldun selama bertahun-tahun di dunia politik dan peradaban. Amien Rais seorang idealis lugas. Ia tidak berpretensi membuat resep umum bagi upaya membangun peradaban. Ia lebih tertarik untuk mengatasi persoalan spesifik bangsa. Dalam hal ini Indonesia. Ia akan langsung menunjuk masalah yang dipandangnya terpenting. Juga langsung menawarkan solusinya. Dulu ia menunjuk persoalan utama bangsa adalah adanya kekuasaan otoriter. Solusinya adalah menurunkan penguasanya. Kini persoalan utama bangsa menurutnya adalah penjarahan kekayaan alam oleh korporasi asing. Solusi, menurutnya, adalah menghentikannya. Amien menunjuk kasus Bolivia. Secara gagah, Presiden Evo Morales memutuskan kontrak perusahaan minyak asing. Tentu mereka menentangnya. Tapi, Morales kukuh dengan sikapnya. Hasilnya, kini Bolivia tidak terdikte asing. Bolivia justru tegak dengan kemandiriannya. Pihak asing yang harus mengikuti Bolivia. Langkah ini diyakini akan segera mendongkrak kemakmuran bangsa Bolivia. Morales bisa melakukan itu karena ia presiden. Rakyat mendukungnya karena sikap tersebut. Amien bukan presiden. Ia hanya bisa menyeru. Masalahnya, apakah rakyat mendukung seruan itu? Bagian terbesar masyarakat kita berkultur agraris-feodal. Kultur yang mengagungkan 'keharmonisan'. Segala yang tidak tampak harmonis akan cenderung mendapatkan penolakan. Seruan Amien Rais untuk mandiri dan bersikap tegas pada korporasi asing bukan dipandang sebagai bukan keharmonisan. Itu yang menjelaskan mengapa dukungan politik terhadap Amien Rais selama ini sangat rendah. Seruan Amien sepenuhnya benar. Mental bangsa kita masih jauh dari merdeka. Mental bangsa kita masih mental terjajah. Bisakah mental terjajah diseru secara frontal menggunakan prinsip 'katakan yang benar walau pahit'? Ataukah mental terjajah lebih baik didekati dengan 'jalan hikmah'? Paulo Freire menyebut mereka yang begitu lama tertindas akan menikmati penindasan itu? Mereka tidak bisa diajak begitu saja untuk merdeka. Itulah yang terjadi pada masyarakat agraris-feodal kita. Mereka sudah terbiasa terjajah, dan menikmati keterjajahan. Bangsa kita terbiasa kagum pada asing. Apalagi begitu banyak yang memiliki kepentingan pada asing. Bukan hanya banyak pebisnis nasional yang berkepentingan pada Freeport. Banyak birokrat, kekuatan politik, bahkan LSM dan akademisi pun berharap remah-remah kue Freeport. Di mana celah buat Amien bergerak? Amien dapat meneruskan pendekatannya selama ini. Yakni, pendekatan yang lugas gagah, namun berpotensi besar untuk ditolak masyarakat yang telah terbiasa terjajah. Atau, ia memilih pendekatan 'penyadaran' Freire. Sebuah pendekatan yang lebih bisa menenteramkam banyak pihak, namun perlu kerja ekstra keras dan sangat menguji kesabaran diri sendiri. Pilihan pendekatan itu akan sangat menentukan efektivitas perubahan ke depan. Dalam menuliskan Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun mengambil jarak sebentar dari riuh rendah politik. Itu membuatnya melahirkan karya peradaban yang terus dirujuk hingga sekarang. Amien Rais dapat membuat karya seperti itu. Atau, menulis buku yang lebih praktis seperti The Malay Dillema-nya Mahathir Mohammad, dengan ketepatan yang masih harus diuji oleh sejarah. Apa pun pilihannya, buku karya terbesar Amien Rais akan tetap berharga bagi bangsa ini. (Zaim Uchrowi )