Oleh : Ahmad Syafii Maarif
 
Republika, Selasa, 21 Nopember 2006
 
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=272485&kat_id=19
 
Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari 
seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang 
maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini 
penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang 
ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh 
asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di 
kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat 
itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat 
al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya 
buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.
 
Sebenarnya saya cenderung untuk menerima penafsiran Buya Hamka dari 
sekian tafsir yang pernah saya baca, baik yang klasik maupun yang 
kontemporer. Dalam perkara ini Hamka bagi saya adalah fenomenal dan 
revolusioner. Agar lebih runtut, saya kutip dulu makna kedua ayat itu 
menurut tafsir Hamka.
 
Al-Baqarah 62: "Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang 
jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi'in, barangsiapa yang beriman kepada 
Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka 
adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas 
mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita."
 
Kemudian al-Maidah 69: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan 
orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabi'un, dan Nashara, 
barangsipa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun 
mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan 
tidaklah mereka akan berdukacita."
 
Ikuti penafsiran Hamka berikut: "Inilah janjian yang adil dari Tuhan 
kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka 
hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka 
masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan 
dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. 'Dan tidak 
ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung 
ayat 62), hlm.211.
 
Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan 
(mansukh) oleh ayat 85 surat surat Ali 'Imran yang artinya: "Dan 
barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali 
tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan 
termasuk orang-orang yang rugi." (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini 
tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: "Ayat ini bukanlah 
menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan 
memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari 
Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, 
segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi 
Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih." 
(Hlm 217).
 
"Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali 
'Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, 
walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk 
kita saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini 
adalah lengkap melengkapi, maka pintu da'wah senantiasa terbuka, dan 
kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) 
dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia." (Hlm. 217).
 
Tentang neraka, Hamka bertutur: "Dan neraka bukanlah lobang-lobang api 
yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, 
sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, 
yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah 
memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, 
karena menolak kebenaran." (Hlm. 218).
 
Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah 
telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran adalah sebuah 
keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk 
didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling 
menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan 
saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi 
seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang 
anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).
 
Terima kasih Buya Hamka, tafsir lain banyak yang sependirian dengan 
Buya, tetapi keterangannya tidak seluas dan seberani yang Buya berikan. 
Saya berharap agar siapa pun akan menghormati otoritas Buya Hamka, 
sekalipun tidak sependirian.


Kirim email ke