Source : http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/20/cn/24459 Iedul Adha Tahun ini Hari apa?
Pertanyaan: Pak Ustadz, Sudah Ada keputusan bahwa wukuf di arofah jatuh pada tanggal 29 Des 2006 Hari jumat. Sependek pengetahuan saya, iedul adha jatuh keesokan harinya, yakni sabtu, 30 Des 2006. Tapi kenapa oleh pemerintah ditetapkan ahad 31 Des 2006 ? Atau Ada juga salah satu partai yang menunda sholat Dan qurbannya menjadi ahad & senin 31 Des & 1 Jan ? Tolong dijelaskan Pak ustadz. Rika Jawaban: Assalamu alaikum wr.wb. Semoga Allah mencurahkan rahmat Dan petunjuk-Nya kepada Kita semua. Benar bahwa pada tahun ini pemerintah Saudi menetapkan bahwa wukuf jatuh pada Hari Jumat, 29 desember 2006. Dengan demikian semestinya iedul adha jatuh pada keesokan harinya; yaitu Hari Sabtu tanggal 30 Desember 2006. Namun pemerintah Dan juga ormas yang lain menetapkan Hari raya iedul adha pada Hari ahad berdasarkan perhitungan hisab atau rukyat yang mereka lakukan Adapun jika Ada sebuah kelompok yang puasa arafahnya mengikuti wukuf, yakni pada Hari Jumat, namun Hari raya iedul adhanya ditunda pada ke Hari ahad, hal itu karena melihat berbagai faktor. Misalnya untuk menjaga persatuan Dan untuk syiar karena shalat Hari raya raya adalah bagian dari untuk syiar Islam. Adapun hujjah mengenai bolehnya melakukan shalat ied pada Hari kedua bisa dilihat pada sejumlah riwayat. Di antaranya adalah riwayat ketika Rasulullah melaksanakan shalat iedul fithri pada Hari kedua setelah mendengar kesaksian rombongan yang melihat hilal menjelang zuhur. Menurut para ulama, hadis atau riwayat ini menjadi dalil bolehnya shalat ied di Hari kedua, entah karena udzur ketidakpastian hilal atau yang lainnya. Serta hadis ini juga bisa diqiyaskan kepada pelaksanaan iedul adha. Lebih jelasnya Anda bisa merujuk ke kitab Naylul Awthar. Wallahu a'lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb. Source : <http://www.eramuslim.com/ust/haj/458b81c8.htm> Perbedaan Waktu Wukuf dengan Hasil Perhitungan Waktu Iedul Adha di Indonesia Selasa, 26 Des 06 10:13 WIB Assalamu"alaikum Wr Wb, Saya belum tahu apakah pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan atau belum? Dari salah satu website menginfokan bahwa Pemerintah Arab Saudi sudah Menetapkan Wukuf Haji tahun 2006 (9 Dzulhijjah) jatuh pada Hari Jum'at (29 Des 2006) Haji Akbar, bahkan Amirul Hajj Indonesia sudah mengingatkan kepada Jama'ah Haji agar lebih berhati-hati karena kemungkinan jama'ah lokal akan Memanfaatkan untuk hajian, sehingga tambah padat. Sementara Ada salah satu Ormas Islam yang sudah menentukan bahwa Iedul Adha (10 Dzulhijjah ) jatuh pada tanggal 31 Des 06. Bila Kita lihat Ada perbedaan satu Hari. Pertanyaan: Kapan saya mulai melakukan puasa Dan Iedul Adha? Ikut tanggal Yang mana? Bagaimana hukumnya? Mohon penjelasan dari Ustadz. Terima kasih, Wassalam wr. Wb. Nandi Nandi at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Setiap umat Islam boleh Dan berhak untuk bertanya kepada para ahli agama, Meski para ahli agama berbeda pendapat dalam memberikan jawabannya. Yang Pasti, semua jawaban itu tidak akan keluar dari ijtihad yang telah Diupayakan sedemikian rupa agar mendekati kebenaran. Kalau ternyata hasil Ijtihad itu masih berbeda juga, maka orang yang mengukuti salah satu ijtihad Itu tidak bisa disalahkan, juga tidak berdosa. Bahkan para ahli ijtihad itu sendiri apabila berbeda pendapat Dan ternyata Salah satunya jatuh ke dalam kesalahan, tidak berdosa juga. Dia tetap akan Mendapat satu pahala. Sedangkan yang ijtihadnya benar akan mendapat dua Pahala di sisi Allah. Itulah jawaban yang kira bisa Kita jadikan pedoman dalam semua konteks Kehidupan beragama. Termasuk dalam perbedaan ijtihad tentang penentuan Hari-Hari ibadah dalam Islam. Pendeknya kami ingin mengatakan, Hari yang mana saja yang anda pilih, Asalkan berangkat dari hasil ijtihad dari para ulama yang tsiqah, boleh anda Ambil. Dan bersama dengan itu, Kita toh tidak perlu saling ejek dengan Sesama Muslim, apalagi sampai ke tingkat caci maki Dan saling hina dengan Sesama. PerbedaanHari Lebaran Adalah Keniscayaan Baik Rukyat Atau Hisab Kita tahu Ada dua cara dalam menentukan tanggal bulan qamariyah, yaitu Dengan cara rukyat langsung Dan dengan cara hisab. Baik rukyat atau hisab, keduanya sama-sama memberikan kemungkinan perbedaan Hasil. Maksudnya, meski sama-sama pakai rukyatul-hilal, masih sangat Dimungkinkan hasilnya berbeda antara satu ahli rukyat dengan ahli rukyat Yang lainnya. Begitu juga dengan hisab,meski sama-sama menggunakan hisab, Hasilnya tetap sangat mungkin berbeda antara para ahli hisab. Misalnya untuk menentukan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah nanti, Kita bisa Mendapatkan hasil rukyat dengan beberapa versi, Ada yang bilang jatuh Hari Jumat Dan Ada yang Hari Sabtu. Hal yang sama juga bila Kita gunakan hisab, Ada beberapa versi juga. Ada yang jatuh Hari Jumat Dan Ada yang jatuh Hari Sabtu. Jadi paling tidak Ada tiga simpang perbedaan yang terjadi, yaitu antara: Ahli rukyat vs ahli rukyat Ahli rukyat vs ahli hisab Ahli hisab vs ahli hisab Ahli rukyat yang satu sangat mungkin berbeda pendapat dengan ahli rukyat Yang lain. Mungkin di satu negara Ada beberapa ahli rukyat, tapi Masing-masing tidak saling berkonfirmasi, langsung main tetapkan sendiri Kesimpulannya. Inilah yang selama ini terjadi di negeri Kita. Kita tidak pernah kekurangan Ahli rukyat. Tiap daerah di negeri ini Kita punya para ahli rukyat. Sayangnya, mereka bekerja sendiri-sendiri, atau paling maksimal hanya Bekerja untuk kelompoknya. Seandainya Ada satu orang ahli rukyat yang Melihat hilal, belum tentu ahli rukyat yang lain mau menerima hasil rukyat Saudaranya itu. Alasannya bisa macam-macam, terkadang urusan politis Dan Lain partai, lain ormas atau lain aliran ilmu, sudah bisa membuat mereka Tidak mau saling berkomitmen. Apalagi antara ahli rukyat dengan ahli hisab, biasanya mereka agak jarang Akur. Sebagai contoh, seorang ahli rukyat menyatakan telah melihat hilal, Tiba-tiba ditentang oleh ahli hisab begitu saja. Argumennya, karena saat itu Tidak dimungkinkan terjadinya rukyat lantaran kurang dari sekian derajat, Atau beragam alasan lainnya. Seolah-olah apapun yang dilihat oleh ahli rukyat itu tidak pernah benar Kecuali bila telah sesuai dengan hasil hisab para ahli hisab. Ini kan Namanya fait a compli. Lalu para ahli rukyat akan mengeluarkan argumentasi Bahwa dalil dari Rasulullah SAW hanya dengan merukyat hilal, bukan dengan Hisab. Dan urusannya tidak akan selesai. Terakhir, antara sesama ahli hisab ternyata juga harus selalu kompak. Rupanya ilmu hisab itu punya sekian banyak versi. Meski kesannya ilmiyah, Tetapi yang eksak itu hanya angkanya saja, sedangkan untuk mengambil Kesimpulannya, masih begitu banyak pertimbangan lainnya. Wajar bila seorang Ahli hisab berbeda hasil hitungannya dengan temannya yang juga ahli hisab Juga. Maka kesimpulannya, selama masing-masing merasa yakin Dan tidak mau Mengalah, tidak akan Ada terjadi kesamaan hasil penentuan Hari lebaran Sampai kiamat. Sebab masing-masing bersikukuh dengan argumentasinya, Ditambah tidak pernah merasa ijtihad orang lain itu mungkin benar. Bagaimana Idealnya? Idealnya, meski masing-masing ahli baik ahli rukyat atau pun ahli hisab berhak punya pendapat masing-masing, tetapi mereka harus legowo bila pendapatnya tidak dipakai sebagai pendapat resmi di suatu negara. Atau paling tidak, mereka harus belajar untuk bisa berkomitmen antar sesama para ahli yang lain dalammenetapkan tanggal hijriyah itu, tidak bersikukuh dengan apa yang dimilikinya. Toh, semua itu hanya ijtihad belaka, tidak ada satu pun yang langsung ditetapkan dari langit, karena wahyu sudah terputus hari ini. Sebenarnya peran pemerintah sangat dibutuhkan, asalkan pemerintah punya sosok figur yang sepakat dihormati, diagungkan dan diterima oleh semua kalangan ahli hisab dan rukyat di negeri itu. Yang jadi masalah sekarang ini justru itu, sosok figur pemerintah sekarang ini sangat rendah di mata para ahli hisab dan rukyat itu. Lebih konyol lagi, pemerintah malah membuat sendiri lembaga hisab dan rukyat versinya sendiri. Yang dipakai untuk menetapkan jatuhnya lebaran itu hanya dari mereka yang duduk di lembaga versi pemerintah itu saja, versi yang lain meski diundang datang dalam sidang itsbat, semuanya hanya formalitas belaka. Tidak terjadi kajian ilmiyah yang mendasar dan fokus pada titik masalahnya. Itulah yang semakin memperbesar jarak antara pemerintah dengan sebagian ahli hisab dan rukyat. Belum lagi kalau kita angkat masalah ini ke tingkat international, maka masalahnya akan semakin rumit lagi. Sebab masing-masing negara merasa diri mereka punya hak preogratif untuk menentukan sendiri hari-hari besar agama, tanpa harus berkomitmen dengan ulama hisab dan rukyat di berbagai tempat. Akhirnya, memang terlalu banyak pe-er yang menumpuk di depan hidung kita. Sampai-sampai kita bingung, yang mana yang mau kita kerjakan terlebih dahulu. Atau barangkali malah tidak satu pun yang kita kerjakan, lantaran kita sibuk saling mencaci sesama kita. Nauzu billahi min zalik. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. -------Original Message------- From: handri yanto Date: 12/28/2006 12:54:49 PM To: media-dakwah@yahoogroups.com Cc: Roosdiana Subject: RE: [media-dakwah] Re: [ppiindia] Saudi Idul Adha Sabtu, RI Minggu Puasa Arafah juga Sesuai Ru'yah Masing-Masing Negeri. December 24th, 2006 ยท Pemerintah kita lewat Departemen Agama telah memutuskan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 22 Desember 2006, sehingga dari sini disimpulkan bahwa hari arafahnya akan jatuh pada hari Sabtu 30 Desember 2006 dan 'Id Al-Adha jatuh pada hari Ahad tanggal 31 Desember 2006. Tentang hari raya 'Id, tidak ada permasalahan. Insya Allah kita akan ikut berhari raya bersama pemerintah kita. Mungkin yang masih mengganjal pada diri, apakah puasa Arafah di Indonesia mengikuti wukufnya jama'ah haji yang dilaksanakan tanggal 29 Desember ataukah tetap menyesuaikan dengan keputusan pemerintah tersebut. Alhamdulillah, jawabannya bisa diperoleh di Fatawa Ahkamis Shiyam Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya (Fatawa Ahkamis Shiam no. 405): "Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla' (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru'yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru'yah Al-Haramain (Makkah dan Madinah -pent)? Maka beliau menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla'nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla . Sebagai contoh: Apabila hilal telah nampak di Kota Makkah, dan sekarang adalah hari ke sembilan (di Makkah), hilal juga terlihat di negeri yang lain satu hari lebih cepat daripada Makkah sehingga hari Arafah (di Makkah) adalah hari kesepuluh bagi mereka. Maka mereka tidak boleh berpuasa karena hari tersebut adalah hari raya. Demikian pula sebaliknya, jika di suatu negeri ru'yahnya lebih lambat daripada Makkah maka tanggal sembilan di Makkah merupakan tanggal delapan bagi mereka. Maka mereka berpuasa pada hari ke sembilan (menurut negeri mereka) bersamaan dengan tanggal sepuluh di Makkah. Ini merupakan pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: اذا رايتموه فصوموا و اذا رايتموه فاف طروا "Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah" (Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari Kitab Ash-Shaum, Bab Hal Yuqal Ramadhan (1900) dan Muslim di Kitab Ash-Shiyam, Bab Wujubus Shaum (20)(1081)). Orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan waktu harian. Demikianlah fatwa dari Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagai informasi tambahan, sebagian ikhwah juga telah mengabarkan kepada kami, bahwa pada tahun yang lalu ikhwah Indonesia (dari Depok) telah bertanya pula kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan tentang permasalahan ini, maka beliau menjawab bahwa puasa Arafah mengikuti ru'yah negerinya masing-masing. Walhamdulillah(*). UPDATE: Muncul sebuah permasalahan baru. Qaddarallah puasa Arafahnya jatuh pada hari Sabtu, padahal terdapat sebuah hadits yang melarang kita berpuasa pada hari Sabtu. Bunyi haditsnya, لا تصوموا يو م السبت إلا ف يما افترض عل يكم، فإن لم ي جد أحدكم إلا لحاء عنبة أو عود شجرة فلي مضغه "Janganlah kalian puasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian. Apabila kalian tidak menemukan apa-apa kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah" Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Fatawa Shiyam no 415) mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang hadits ini. Sebagian mereka mengatakan bahwa hadits ini syadz maka dia dha'if. Ini karena hadits larangan ini menyelisihi hadits shahih yang terdapat pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Muslim). Dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemui salah seorang istri beliau dalam keadaan istri beliau tersebut berpuasa pada hari jum'at (Lihat pembahasan tentang puasa hari Jum'at ini di posting saya sebelumnya - pent). Maka Rasulullah berkata kepadanya, "Apakah kemarin kamu berpuasa?". Istri beliau menjawab, "Tidak". Beliau bertanya lagi, "Apakah engkau akan berpuasa besok?". Istrinya menjawab, "Tidak". Rasulullah kemudian bersabda, "Maka batalkanlah puasamu". Sabda beliau, "Apakah engkau berpuasa keesokan hari?" merupakan dalil bolehnya berpuasa selain puasa wajib pada hari Sabtu. Maka hadits larangan puasa hari Sabtu tersebut adalah hadits yang syadz. Dan termasuk syarat hadits yang shahih adalah adalah dia tidak mu'all (berpenyakit) serta tidak syadz. Sebagian ulama berkata, "Hukum hadits larangan tersebut telah dihapus". Sebagian lagi dari mereka berkata bahwa hadits ini dibawa kepada puasa yang menyendiri (tidak disertai puasa di hari sebelum dan sesudahnya). Dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad rahimahullah. Sampai di sini fatwa syaikh (*). Keterangan: Hadits syadz: Hadits yang periwayatannya menyelisi periwayatan rawi hadits yang lebih baik darinya. Baik ditinjau dari segi jumlah maupun ketsiqahannya (Lihat Syarh Mandhumah Al-Baiquniyyah, Abul Harits Al-Jazairi, taqdim Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri) Silakan dicopas dengan menyertakan sumber: http://wiramandiri.wordpress.com/2006/12/24/ruyah-puasa-arafah/ Roosdiana <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Yang sudah pasti puasa Arafah ya harus hari Jum'at, saat jemaah haji wukuf. Kalau hari Sabtu puasa apa? Roosdiana -----Original Message----- From: media-dakwah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Al-Badruuni Enterprise Sent: Tuesday, December 26, 2006 10:36 AM To: ppiindia@yahoogroups.com Cc: media-dakwah@yahoogroups.com Subject: [media-dakwah] Re: [ppiindia] Saudi Idul Adha Sabtu, RI Minggu Mbak Aris, Hal ini sudah sejak lama jadi perdebatan khan?Jika memang wukuf di Arab adalah Jumat,berarti kita puasa hari jumat bukan?Dan Idul Adha bisa dipastikan hari sabtunya. Namun begitulah yg terjadi di Indonesia.Dasar umum yang dipakai ya cuma itu-itu saja. Penentuan tgl berdasarkan hilal dan atau berdasarkan hisab.Padahal secara teori perbedaan waktu antara Arab dan Indonesia 4 jam saja bukan? Kapan ya Mbak,umat Islam bisa satu suara,satu Imaam,satu jamaah.....Kalau belum, saya tidak yakin penentuan hari akan sama dan kompak. (Jadi ngiri nih sama umat Nasrani........) Salam, Ahmad __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]