"Keyakinan dan Kegigihan Nabi Ibrahim a.s."       

Sabtu, 30 Desember 2006 

Prof. Syafii Maarif menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi. 
Namun,
ia masih mengecam orang yang berbeda denganya. Baca Catatan Akhir 
Pekan
[CAP] Adian Husaini ke-176.

 

 

 

Oleh: Adian Husaini

 

Setiap merayakan hari Raya Idul Adha, umat Islam senantiasa 
diingatkan akan
keteladanan seorang Nabi Allah yang sangat agung dan mulia, yaitu 
Nabiyullah
Ibrahim a.s. Beliau adalah teladan umat manusia, yang memiliki 
pribadi yang
agung, mulia, yang memberikan keteladanan dalam menegakkan kalimah 
tauhid
dalam situasi yang sangat sulit. Beliau hidup di tengah masyarakat 
penyembah
berhala, penyembah dan pengagung batu.

 

Sebagai seorang yang cerdas, jujur, berani, dan telah menemukan 
kebenaran
Tauhid, Ibrahim a.s., tidak dapat berdiam diri dengan tradisi dan 
kebobrokan
masyarakatnya seperti itu. Sebab, memang tugas para Nabi yang utama, 
adalah
menegakkan kalimah tauhid, dan menjauhi thaghut. "Dan sungguh telah 
kami
utus Rasul kepada tiap-tiap kaum, (untuk menyeru umatnya), agar mereka
menyembah Allah dan menjauhi thaghut." (QS al-Nahl:36).

 

Oleh karena itu, semua utusan Allah mendapatkan tugas untuk menegakkan
kalimah tauhid, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah dan ditaati. Tidak ada Tuhan selain Allah. Karena itu, kisah-
kisah
para Nabi Allah senantiasa merupakan kisah pemberantasan kemuysrikan. 
Sebab,
dalam pandangan Allah SWT, syirik adalah dosa besar, dan merupakan 
kezaliman
yang besar. Lukman menitipkan pesan kepada anaknya: "Wahai anakku, 
janganlah
kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik (itu) (mempersekutukan 
Allah)
adalah kezaliman yang besar." (QS. Lukman: 13)

 

Jadi, kezaliman bukan hanya kezaliman terhadap manusia. Tetapi, ada 
jenis
kezaliman yang sangat besar, yaitu kezaliman terhadap Allah, dengan
menyekutukan Allah dengan yang lain. Nabi Musa a.s. begitu murka 
dikhianati
kaumnya yang menyembah patung sapi. Karena menyekutukan Allah dengan
menyembah patung sapi itulah, maka orang-orang itu dihukum dengan cara
membunuh diri mereka sendiri. Nabi Musa a.s. diturunkan Allah untuk 
melawan
Fir'aun yang sudah menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Itulah tindakan 
syirik
yang mebawa kehancuran kepada Fir'aun.

 

Setiap Nabi dibebani misi untuk mengingatkan manusia, agar jangan 
menyembah
dan beribadah kepada selain Allah. Jangan menyembah batu, jangan 
menjadikan
hawa nafsu sebagai tuhan, jangan menjadikan harta, jabatan, dan 
manusia
lain, sebagai tuhan, yang lebih dicintai, dihormati, diagungkan, dan
ditaati, selain dari Allah SWT.

 

Dengan membawa misi seperti itu, maka dengan tegas, lembut, dan 
tulus, Nabi
Ibrahim menasehati ayah dan kaumnya, agar mereka meninggalkan 
sesembahan
batunya, meninggalkan tuhannya yang lama, dan beralih menyembah Tuhan 
yang
sejati, Allah SWT. 

 

Dikisahkan dalam Al-Quran: "Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada
ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai
tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam 
kesesatan
yang nyata." (Al-An'am: 74).

 

Cobalah kita refleksikan ungkapan Nabi Ibrahim itu dalam kondisi 
masyarakat
saat ini, dimana berbagai tindakan syirik dan menyepelekan Allah 
sedang
merajalela dalam berbagai bentuknya. Suatu tradisi yang dianggap 
sudah mapan
dan dianggap sebagai kebenaran oleh mayoritas masyarakatnya, digugat 
dengan
satu perkataan yang tajam dan berani. Ibrahim tidak gentar dengan 
resiko
yang dihadapinya. Ia sangat serius dalam menggugat tradisi penyembahan
berhala. Nabi Ibrahim juga berdoa kepada Allah, agar anak keturunannya
dijauhkan dari menyembah berhala. (QS Ibrahim: 35-36)

 

Al-Quran menggambarkan sosok Ibrahim dengan gambaran yang berbeda 
dengan
konsep Yahudi, yang menekankan pada aspek "darah" atau "garis 
keturunan".
Ibrahim diklaim kaum Yahudi sebagai nenek moyang bangsa Yahudi. Klaim 
Yahudi
adalah klaim rasialis, karena Yahudi memang bangsa yang sangat 
rasialis.
Tuhan mereka, yang sebagian Yahudi menyebutnya dengan nama 'Yahweh' 
adalah
Tuhan yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi (henoteisme).

 

Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih menekankan sosok Ibrahim 
sebagai tokoh
pembela dan penegak Tauhid, dan menekankan aspek "keimanan" 
dan "kesalehan"
kepada Allah sebagai jalan menuju keselamatan, tanpa pandang bulu, 
apakah ia
bangsa Yahudi atau Arab. Bahkan, untuk orang-orang yang sudah secara 
formal
mengaku beragama Islam pun tidak dijamin keselamatannya jika tidak
benar-benar beriman kepada Allah, Hari akhir, dan melakukan amal 
shalih.
Kriteria iman yang sejati, bukanlah sekedar 'ngaku-ngaku', tetapi 
harus
benar-benar diyakini dan diamalkan. (QS 2:62). Karena itulah, dalam 
Al-Quran
disebutkan, ada orang-orang yang mengaku-aku beriman tetapi sejatinya 
mereka
tidak beriman. (QS 2:8).

 

Al-Quran melawan paham rasialis Yahudi dengan mendasarkan keselamatan
seseorang hanya semata-mata karena faktor iman dan amal shaleh. Islam 
adalah
agama yang menghapus tuntas problema rasialisme yang hingga kini masih
bercokol di belahan dunia Barat. Jika Yahudi mengklaim bahwa Ibrahim 
adalah
Bapak bangsa Yahudi, maka 

 

Al-Quran menegaskan, bahwa: "Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, 
tetapi
dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang 
musyrik."
(Ali 'Imran: 67).

 

Al-Quran begitu jelas menempatkan posisi dan sosok Ibrahim sebagai 
sosok
pembela Tauhid dan penentang keras kemusyrikan. Kata Nabi Ibrahim, 
seperti
disebutkan dalam Al-Quran: "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku 
kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama 
yang
benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik."
(Al-An'am:79).

 

Menyongsong Idul Adha 1427 Hijriah ini, satu makna penting yang perlu 
kita
ambil adalah meneladani kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan agama 
Tauhid
dan melawan kemusyrikan. Nabiyullah Ibrahim tidak gentar menghadapi 
hegemoni
paganisme di tengah masyarakatnya. Ia tampil sebagai manusia merdeka 
yang
bertauhid, yang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah SWT, meskipun 
harus
berhadapan dengan tradisi pagan. Bahkan, karena perbuatannya melawan
kemusyrikan, beliau akhirnya harus menghadapi ujian yang sangat berat,
terutama yang datang dari tengah keluarganya sendiri. Ia harus 
berhadapan
dengan ayah dan kaumnya sendiri yang bertahan dalam kemusyrikan dan
menentang ketauhidan.

 

Membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam menegakkan kalimah Tauhid itu, 
kita
tentu memahami, bahwa Nabiyulllah Ibrahim sangat yakin dengan 
kebenaran
Tauhid yang diyakininya. Tauhid memang mensyaratkan keyakinan, dan 
menolak
keraguan atau relativisme nilai. Dalam Tauhid yang ada adalah haq dan
bathil, salah dan benar. Yang benar harus ditegakkan dan yang salah 
harus
diruntuhkan, sebagimana dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim a.s.

 

Umat Islam adalah umat yang menerima dan meyakini semua Nabi yang 
diutus
oleh Allah SWT. Kita tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang 
lain.
Kita menerima dan mengimani kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad 
saw.
Kaum Yahudi menolak kenabian Isa dan Muhammad. Kaum Nasrani menolak 
untuk
mengimani kenabian Muhammad saw. Umat Islam adalah umat yang paling
konsisten dalam mengikuti sunnah Ibrahim a.s. dan paling banyak 
menyebut
namanya serta mendoakannya. Bukan hanya mereka yang sedang menunaikan 
ibadah
haji di Tanah Suci, tetapi setiap hari dalam shalat lima waktu, kita
senantiasa membaca shalawat (doa) untuk Nabiyullah Ibrahim a.s. 
bersama
dengan shalawat untuk Nabi Muhammad saw. 

 

Adakah umat lain yang begitu besar kecintaannya kepada Nabi Ibrahim 
selain
umat Islam, yang setiap hari berulang kali menyebut namanya dalam 
ibadah
wajibnya?

 

Tidak berbeda dengan tugas Nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw
diperintahkan Allah SWT untuk menjelaskan tentang konsep Tauhid dalam 
Islam
dan mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk bersama-sama menganut 
Tauhid dan
meninggalkan tindak kemusyrikan yang sangat dimurkai oleh Allah SWT.
Rasululullah saw diperintahkan oleh Allah SWT:

 

"Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimah (ketetapan) 
yang
tidak ada perselisihan antara kami dengan kalian, bahwa kita tidak 
menyembah
kecuali Allah dan kita tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan 
tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan 
selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: 
Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang yang Muslim." (QS 3:64).

 

Dalam urusan tauhid inilah kita wajib meneladani apa yang telah 
dilakukan
oleh para Nabi. Tauhid tentu tidak mungkin bersatu dengan syirik, 
sebab
tauhid berlandaskan kepada keyakinan. Para Nabi begitu gigih dalam
memberantas kemuysrikan. Para Nabi itu tentu berangkat dari keyakinan 
dan
kepastian iman, bukan dari keraguan atau kenisbian iman. Keimanan 
mereka
kokoh, bahwa Tauhid adalah benar, dan syirik adalah salah. Tentu saja,
mereka memiliki keyakinan itu berdasarkan kepada pemahaman yang yakin 
pula.
Mereka sama sekali bukan penganut paham relativisme akal, relativisme 
iman,
atau relativisme kebenaran.

 

Keyakinan dalam iman inilah yang seyogyanya ditanamkan oleh para 
cendekiawan
dan ulama. Kita tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada pikiran pada
sebagian cendekiawan yang menyebarkan paham relativisme akal dan 
kebenaran,
seperti yang dilakukan oleh Syafii Maarif melalui artikelnya di 
Republika
(Jumat, 29 Desember 2006) yang berjudul "Mutlak dalam Kenisbian". 

 

Dia menulis: "Iman saya mengatakan bahwa Al-Quran itu mengandung 
kebenaran
mutlak, karena ia berhulu dari yang Mahamutlak. Tetapi sekali ia 
memasuki
otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar 
tidak
pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk 
mufassir
yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu
manusia-manusia seperti saya. Jika ada orang yang mengatakan bahwa
penafsirannya mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah mengambil 
alih
otoritas Tuhan."

 

Terhadap pernyataan Syafii itu kita perlu lakukan klarifikasi dan 
koreksi.
Banyak sekali kalangan cendekiawan yang terjebak oleh logika dikotomis
semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah bahwa Al-Quran memang 
Kalamullah,
tetapi Al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah tidak menuntut manusia
menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami Al-Quran sama dengan 
Allah
memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan. Karena itu, jika 
seorang
mufassir atau seorang Muslim memahami dan meyakini pemahamannya bahwa 
Allah
itu satu, bahwa Nabi Isa tidak disalib, bahwa babi itu haram, tidak 
bisa
dikatakan, bahwa sang mufassir itu sedang menggantikan posisi Tuhan 
karena
telah memutlakkan pendapatnya. Sebab, memang, di luar pemahaman 
(kebenaran)
yang satu itu, tidak ada kebenaran lain. Dalam hal-hal yang pasti 
(qath'iy),
memang hanya ada satu penafsiran yang benar. Tidak mungkin ada dua 
pemahaman
yang berlawanan. Misalnya, tidak mungkin dipahami, bahwa Nabi Isa 
tidak
disalib sekaligus juga disalib. Tidak mungkin ada pemahaman bahwa 
Allah itu
satu, tetapi sekaligus juga banyak. Tidak mungkin kita memahami bahwa 
babi
itu haram sekaligus juga halal. Jika kita memahami bahwa Muhammad saw 
adalah
seorang nabi, maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga 
menisbikan
pendapat kita bahwa ada kemungkinan beliau saw juga bukan nabi.
Na'udzubillah. Dalam hal ini, keyakinan bahwa Muhammad saw adalah 
seorang
nabi memang bersifat mutlak, tidak ada keraguan sedikit pun dan tidak 
ada
kenisbian sedikit pun. Tentu, 'kemutlakan' di sini adalah dalam batas-
batas
manusia, karena kita memang tidak mungkin menggantikan posisi Tuhan.

 

Dalam hal sederhana, kita bisa bertanya, apakah Pak Syafii Maarif 
berani
membuat pernyataan: "Karena pemikiran saya bersifat nisbi, maka 
kelelakian
saya adalah nisbi dan tidak mutlak." Begitu juga, apakah beliau berani
membuat pernyataan: "Karena pemahaman akal saya terhadap Allah adalah 
nisbi,
maka keimanan saya kepada Allah juga bersifat nisbi dan tidak mutlak."
Apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan seperti itu? Jika 
berani,
maka kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup mengelus dada dan 
menyerahkan
semuanya kepada Allah. Kita tunggu saja apa yang terjadi kemudian.

 

Kenyataannya, Syafii Maarif juga tidak konsisten. Jika ia menyatakan 
semua
pemikiran manusia adalah nisbi, maka pemikiran dia pun nisbi. Sebab 
itu, dia
tidak perlu menyalahkan atau mengecam orang yang berpendapat lain 
dengan
pendapatnya, serta memaksa manusia lain untuk menisbikan pendapatnya,
seperti dia. Ketika dia menyalahkan orang lain, maka dia sendiri pun 
sudah
memutlakkan pendapatnya.

 

Yang jelas, keberanian Nabi Ibrahim a.s. dalam meruntuhkan berhala-
berhala
kaumnya tidak mungkin muncul dari sebuah keimanan yang nisbi dan 
relatif;
tetapi muncul dari pemikiran dan keyakinan yang mutlak, bahwa 
menyembah
berhala adalah tindakan syirik dan salah sampai kapan pun! Wallahu 
a'lam
bis-shawab. [Depok, 29 Desember 2006/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara 
Radio
Dakta 107 FM dan  <http://www.hidayatullah.com/> www.hidayatullah.com

 

Source :
<http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=4048&Item
id=55>
http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=4048&Itemi
d=55

 



[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---


Reply via email to