TAWASSUL

Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
Di negeri kami terdapat kuburan seseorang yang
disebut-sebut sebagai orang shalih. Diatas kuburan itu
dibangun sebuah bangunan yang indah dan dihiasi dengan
hiasan-hiasan yang sempurna. Ada orang-orang yang
menjadi penunggunya yang disebut sebagai pewaris
jabatan penunggu kubur tersebut secara turun temurun.
Mereka menyeru manusia dengan berkata : “Sesungguhnya
penghuni kuburan ini pada malam ini telah berkata
begini dan begitu, dan meminta ini”. Orang-orang yang
tinggal di sekitar kuburan itu kemudian terpikat
hatinya dan meyakini setiap yang dikatakan penunggu
kuburan tersebut. Akhirnya, mereka melakukan taqarrub
(mendekatkan diri), thawaf (berkeliling), dan
penyembelihan hewan (di kuburan tersebut) serta
hal-hal lain. Apa hukum mereka yang meyakini bahwa
wali (penghuni kuburan) tersebut mampu mendatangkan
manfaat atau madharat ? Apa saja kewajiban orang yang
mengetahui bahwa hal-hal yang seperti itu bertentangan
dengan syariat, sementara dia tinggal bersama mereka ?

Jawaban.
Petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tenatng ziarah kubur telah dijelaskan di dalam
hadits-hadits yang shahih. Di antaranya hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahih-nya
dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering
mengajarkan kepada mereka (para sahabatnya) jika
mendatangi pekuburan agar mengucapkan.

“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni
kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Kami insya
Allah akan menyusul kalian. Kalian adalah pendahulu
kami. Aku meminta kepada Allah kesejahteraan untuk
kami dan kalian” [Ahmad II/300, 375,408.
V/353,359,360. VI/71,76,111,180,221. Muslim dengan
Syarh Nawawi VII/44,45. Nasa’i IV/94 dan Ibnu Majah
I/494]

Imam Ahmad dan Tirmidzi –dan dia menyatakan hasan-
meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melewati pekuburan Madinah, maka beliau menghadapkan
wajahnya ke arah pekuburan itu dan berkata.

“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni
kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian
pendahulu kami dan kami akan mengikuti” [Hadits
Riwayat Tirmidzi III/369]

Para Khalifah yang Empat dan sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang lain serta Tabi’in yang
mengikuti mereka dengan baik telah menjalankan
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.

Mereka yang mendatangi penghuni kubur itu, jika mereka
melakukannya untuk berdoa kepada Allah di sisi kubur
tersebut dengan sangkaan bahwa yang demikian itu lebih
bermanfaat dalam berdo’a, sekaligus dengan tujuan
ber-tawassul (menjadikannya sebagai perantara) dan
meminta syafaat dengannya, maka yang demikian ini
tidak ada dalam syariat agama. Sedangkan wasilah
(sarana/perantara) memiliki hukum yang sama dengan
hukum tujuan dalam hal pelarangan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.

“Artinya : Katakanlah, ‘Serulah mereka yang kamu
anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan
di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun
dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali
tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu
bagiNya” [Saba : 22]

Ayat ini menunjukkan bahwa (ilah/sesembahan) yang
diseru (selain Allah) bisa jadi memiliki (kekuasaan di
langit dan bumi) atau bisa pula tidak. Jika dia tidak
memiliki, maka bisa jadi dia adalah sekutu (bagi Allah
dalam kekuasaanNya itu), atau bisa juga bukan. Jika
dia bukan sekutu (bagi Allah), bisa jadidia pembantu
(bagi Allah), atau bisa juga bukan. Jika dia bukan
pembantu (bagi Allah), maka bisa jadi dia adalah
pemberi syafaat tanpa –harus mendapat- izin dari
Allah, atau bisa pula bukan. Dan keempat macam (yang
diseru) ini adalah batil, tidak bisa diterima. Lalu
yang terakhir jelas bahwa pemberi syafaat tidaklah
dapat memberi syafaat melainkan denan izin-Nya (dan
ini syarat pertama, pent). Sedangkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang berikut.

“Artinya : Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan
kepada orang-orang yang diridhai Allah” [Al-Anbiya :
28]

Menunjukkan bahwa keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada yang disyafaati –juga- merupakan sarat. Inilah
dua syarat (dalam memperoleh) syafaat.

Para sahabat Radhiyallahu ‘ajmain dahulu tidaklah
ber-tawassul dengan zat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Yang mereka lakukan adalah meminta Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya mendo’akan
mereka. Jadi, memita tolong kepada orang yang hadir
(ada di tempat), masih hidup lagi mampu memberi
bantuan adalah dibolehkan, namun tidak boleh meminta
sesuatu yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Ini
untuk orang yang masih hidup. Adapun orang yang sudah
mati, tidak boleh ber-tawassul dan meminta syafaat
kepadanya secara mutlak, bahkan itu merupakan salah
satu di antara perantara-perantara menuju kesyirikan.

Adapun orang yang ber-I’tikaf (tinggal berdiam) di
kuburan tersebut, maka (keadaannya) tidak lepas dari
dua perkara yang berikut.

Pertama.
Tujuannya, ber-it’ikaf disana adalah untuk beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka yang seperti
ini tidak boleh dilakukan karena padanya terkumpul dua
bentuk kemaksiatan (penyelewengan), yaitu bermaksiat
ber-ukuf (tinggal dikuburan) dan maksiat beribdah
kepada Allah di kuburan karena yang demikian itu
merupakan wasilah (mengantarkan kepada) syirik yang
dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Adapun tentang keharaman ber-‘ukuf, Tirmidzi di dalam
kitab Jami-nya dalam sebuah hadits yang dinyatakan
shahih meriwayatkan dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia
berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menujua Hunain ketika
kami belum lama (meninggalkan) kekafiran. Sementara
itu, orang-orang musyrik memiliki sebatang Sidrah
(jenis pohon) yang biasa mereka jadikan tempar
ber-ukuf (berdiam) dan menggantungkan senjata-senjata
mereka padanya, yang mereka sebut dengan Dzatu Anwat,
maka (ketika) kami melewati sebatang pohon Sidrah
(yang lain), kami berkata : “Ya Rasulullah
Shalallallahu ‘alaihi wa sallam adakan untuk kami
Dzatu Anwat sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwat,
maka berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam.

“Artinya : Allahu Akbar, sesungguhnya yang demikian
adalah tradisi. Perkataan kalian, demi zat yang jiwaku
di tangannya, sebegaimana perkataan Bani Israil kepada
Musa. ‘Jadikan untuk kami tuhan-tuhan sebagaimana
mereka memiliki tuhan-tuhan. (Musa) berkata,
‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh [1]”
Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang
sebelum kalian” [Hadits Riwayat Ahmad V/218, Tirmidzi
IV/475]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa
perkara yang mereka minta, yaitu menjadikan pohon
sebagai temopat ‘ukuf (berdiam) dan menggantungkan
senjata untuk mendapatkan berkah, adalah serupa dengan
permintaan yang diajukan oleh Bani Israil kepada Musa
“Alaihis Salam, maka demikian pula ‘ukuf (berdiam) di
kubur. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, “Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah kalian jadikan rumah kalian
sebagai kuburan dan jangan jadikan kuburku senagai
tempat perayaan, dan bersalawatlah atasku,
sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku
bagaimanapun keadaan kalian” [Hadits Riwayat Tirmidzi
V/157, Abu Dawud II/534, dan Ibnu Majah I/348 di dalam
Sunan]

Sedangkan yang berkenaan dengan beribadah kepada Allah
di kuburan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang yang demikian itu. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Semoga Allah membinasakan orang-orang
Yahudi. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka
sebagai masjid (tempat ibadah)” [Hadits Riwayat
Bukhari da Muslim]

Larangan menjadikan kubur sebagai masjid (tempat
ibadah) mengandung larangan menjadikan kubur sebagai
tempat beribadah kepada Allah atau untuk beribadah
kepada selainNya, sama saja apakah terdapat
bangunannya ataupun tidak.

Adapun (perbuatan) mendatangi penghuni kubur lalu
berdoa kepadanya dan meyakini bahwa dia memiliki
manfaat dan mudharat (bahaya), maka perbuatan ini
adalah syirik besar. Orang yang melakukannya bisa jadi
karena bodoh atau memang sudah mengetahuinya, maka dia
seorang musyrik (pelaku syirik) dengan kesyirikan yang
mengeluarkannya dari Islam. Adapun jika dia
melakukannya karena bodoh/tidak tahu, maka harus
dijelaskan kepadanya (hukum perbuatan tersebut). Jika
dia kembali kepada kebenaran, maka alhamdulillah,
tetapi jika tidak, maka dia dihukumi sama seperti
orang yang sudah mengetahui. Dan dali tentang hal ini
banyak sekali, antara lain firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah”.
[Al-Kafirun : 1-4]

Begitu pula firmanNya.

“Artinya : Dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan Dia” [Al-Ikhlas : 4]

Dan didalam hadits qudsi.

“Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan
yang didalamnya dia mempersekutukan Aku dengan
selainKu, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya”
[Hadits Riwayat Muslim]

Adapun yang dikatakan penanya tentang dibangunnya
bangunan berhias di atas kubur tersebut, maka yang
demikian ini adalah tidak boleh karena termasuk
mengangungkan penghuni kubur, dan merupakan
pengagungan yang bid’ah (mengada-ada), betentangan
dengan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Janganlah kamu meninggalkan gambar kecuali
engkau telah menghancurkannya dan tidak pula kubur
yang diagungkan melainkan engkau telah meratakannya”
[1]

Dan telah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau melarang mengapuri kubur, duduk
atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya.[2]

Adapaun tanggung jawab (kewajiban) kita dalam hal ini
telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan sabdanya.

“Artinya : Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka
hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika ia tidak
mampu maka dengan lisannya dan bila ia tidak memapu
maka dengan hatinya dan yang demikian itu
selemah-lemah iman. [3]

Maka wajib menghilangkan bangunan tersebut sebatas
kemampuan, dan apa yang dikatakan penanya tentang
tinggal bersama mereka tidak boleh selagi masih
mungkin baginya tinggal bersama yang lain yang tidak
melakukan perbuatan seperti yang mereka perbuat,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Maka bertawaqallah kamu kepada Allah
menurut kesanggupannmu” [At-Taghabun : 16]

Adapun sembeliah dan nazar yang diperuntukkan kepada
wali maka ini syirik besar, karena kedua-duanya adalah
ibadah yang semestinya dilakukan untuk Allah Subhanahu
wa Ta’ala karena merupakan hak-hakNya khususNya yang
maha mulia dan maha tinggi, maka tidak boleh
memalingkannya kepada selain Allah. FirmanNya.

“Artinya : Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya ; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah)” [Al-An’am : 162-163]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang bernazar untuk berbuat
ketaatan kepada Allah maka ta’atilah (laksanakan) dan
barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat kepadanya
maka janganlah memaksiatinya (melaksanakannya)” [4]

Demikian pula ketika seorang laki-laki (pada masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bernazar
untuk menyembelih unta di Buanah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya.

“Artinya : Apakah disana ada watsan (berhala) dari
berhala-berhala jahiliyah yang disembah ?” Mereka
mengatakan, “Tidak”, Nabi bertanya lagi, “Apakah di
sana dilaksanakan perayaan dari perayaan-perayaan
mereka (musyrikin jahiliah) ?” Mereka berkata,
“Tidak”, Nabi bersabda, “Tunaikanlah nazarmu,
sesungguhnya tidak ada penunaian untuk nazar yang
bermaksiat kepada Allah dan apa yang tidak disanggupi
anak Adam”[5]

Dalil ini menunjukkan bahwa sembelihan dan nazar untuk
Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan ibadah sedangkan
memalingkannya kepada selain Allah adalah syirik.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/1492-498, Fatwa no.
315 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy,
Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah
Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H]
_________
Foote Note
[1] Imam Ahmad I/96, 129. Muslim dengan Syarah Nawawi
VII/36. Nasai IV/88,89 dan Tirmidzi III/366.
[2] Lihat Hadits Riwayat Imam Ahmad III/295, 399.
Muslim dengan Syarah Nawawi VII/37. Tirmidzi III/368.
Abu Dawud III/552. Nasai IV/86,87. Ibnu Majah I/498
[3] Muslim dengan syarah Nawawi II/21,22. Abu Dawud
I/677. Tirmidzi VI/407. Nasai VIII/111. Ibnu Majah
II/230. Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhib II/74.
[4] Hadits Riwayat Ahmad VI/36. Bukhari VII/233,234.
Abu Dawud III/593. Tirmidzi IV/104. Nasai VII/17. Ibnu
Majah I/687 dan Darimi II/184
[5] Hadits Riwayat Abu Dawud III/607 dan Baihaqi di
dalam Sunan X/73


 
____________________________________________________________________________________
Don't pick lemons.
See all the new 2007 cars at Yahoo! Autos.
http://autos.yahoo.com/new_cars.html 

Kirim email ke