http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/02/tgl/13/time/151207/idnews/741653/idkanal/10

Sutiyoso tahu itu. Dulu ikan-ikan yang berenang di sana, kini warga
Jakarta beserta segala isinya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan? 

Mengapa negeri bangsa taat beragama ini tiada henti dilanda bencana?
Padahal mereka siang malam memanjatkan doa di masjid, gereja, vihara
dan pura? Ratusan ribu haji juga tiap tahun mendoakan keselamatan dan
kesejahteraan negeri. Tapi mengapa tak kunjung terkabul jua?

Jawabnya, karena doa-doa itu disabot oleh para elite bangsa. Caranya?
Ya, seperti yang umum terlihat: merusak, berbuat durjana, melanggar
sumpah, dusta, khianat, abai pada si miskin, kkn, dan tak lupa
menindas. Sementara terhadap alam keseimbangan anugerah Tuhan
diacak-acak demi fulus. Situ-situ jadi sini-sini, fulus situ mengalir
ke kocek sini. 

Saya ingat, dulu sebelum berangkat ke Belanda, Jakarta ramai wacana
menentang pembabatan hutan bakau di Pantai Kapuk (Jakut) dan
pengurukan daerah sekitarnya seluas 2.000 Ha. Ini setara 2.000
lapangan sepakbola! Tapi tabiat penguasa negeri ini mencuat: dalih dan
dalil bisa disulap. Hap! Jadilah perumahan mewah. Tak peduli merusak
keseimbangan lingkungan, mematikan penghidupan nelayan, dan kelak ikut
andil menenggelamkan Jakarta.

Ratusan situ lainnya diuruk, dimatikan, dimampatkan. Situ-situ
diplesetkan jadi sitos-sitos. Jadilah mal-mal dan jutaan kubik beton.
Terbentuklah kulah-kulah ideal penampung air hujan. Dulu air yang
parkir di sana, kini mobil-mobil dari yang butut sampai mewah. Dulu
ikan-ikan yang berenang di sana, kini semua warga Jakarta beserta
segala isinya. Tenggelam!

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? 

Sutiyoso, para gubernur pendahulunya, para wakil rakyat dan elite
bangsa alaihim, tahu persis apa yang saya ceritakan di atas itu. 

Masalah banjir itu kasat mata kok. Jika Jakarta tidak hujan, tapi
tenggelam, maka kemungkinan karena luapan air sungai kiriman dari hulu
dan sungainya bermasalah. Tapi jika Jakarta hujan, hulu cerah, lalu
Jakarta tenggelam, ya -meminjam lidah Srimulat- kapokmu kapan?

Silakan dibuat model untuk pembuktian, dengan struktur geologi,
morfologi dan kemiringan yang sama dengan Bogor-Jakarta, termasuk
sungai-sungainya. Satu model memiliki daerah resapan air cukup, tak
banyak beton. Satunya lagi dibuat sama dengan kondisi Jakarta kini.
Lalu turunkan hujan dengan kombor di hulu, lihat perilaku air dan apa
yang terjadi. Turunkan lagi hujan di atas Jakarta, atau Jakarta dan
kawasan hulu sekaligus. Mana yang tenggelam?

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Masihkah mau jualan angin goreng? Banjir itu siklus lima tahunan
(2007, 2002, 1997, 1992...), siklus 30 tahunan (2007, 1977, 1947,
1917...), betulkah? Ataukah akibat akumulasi dari salah urus tata ruang? 

Sumpah jabatan dilanggar. Keseimbangan lingkungan ditelikung. Lain di
muka warga, lain pula di muka taikun (tycoon, konglomerat). Setelah
bencana menerjang, mereka ramai-ramai datang mengulurkan bantuan.
Tebar pesona. 

Bencana dijadikan proyek politik. Padahal mereka, melalui
tandatangannya, adalah biang penyebab bencana. Ngeri! Teganya lagi,
ada menteri yang kurang peka penderitaan warganya, "Korban masih bisa
tertawa," kata dia. Lho? Menteri ini tidak sadar, bahwa jika rakyat
yang dipimpinnya bukan rakyat Indonesia, tentu bukan lagi bisa tertawa
tapi sudah revolusi. Mengamuk menumpahkan darah, menggulingkan penguasa.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Warga Jakarta sudah lelah, sakit hati, sakit badan, sia-sia mati, rugi
harta benda. Bahkan periuk, pakaian dan kasur pun sudah hanyut,
tinggal yang tersisa melekat di badan, gara-gara salah urus Jakarta.

Menjadi tugas dan kewajiban pemerintah DKI yang digaji warga dari
pajak untuk mengurus Jakarta dengan baik, termasuk menghukum warga
yang membuang sampah sembarangan. Apa kerja mereka kalau pemandangan
papan larangan buang sampah di mana-mana, sementara sampah menggunung
di bawahnya? Siapa yang meneken daerah resapan air menjadi kolam-kolam
beton?

Warga Jakarta juga perlu berubah: saatnya kini menjadikan angin goreng
para pejabat sama dengan sampah. Jangan salah pilih pemerintah, agar
siklus lima tahunan tinggal sejarah. Jangan pula pilih gubernur yang
tak mengerti berhitung: mau ditambah angpao dari taikun beberapa
miliar, tapi rugi triliuan sampai tak terhingga akibat air bah. (es/es)

Kirim email ke