Sekali lagi, Perang Melawan Terorisme M. Syamsi Ali Dalam dunia global saat ini, barangkali kata yang paling populer adalah kata “terorisme”. Berbagai kejadian dunia mutakhir selalu terkait atau dikaitkan dengan terorisme. Dimulai dari runtuhnya simbol bangunan kapitalisme, gedung kembar WTC, hingga berbagai peperangan yang melanda dunia saat ini, termasuk di Iraq dan Afganistan, tidak terlepas dari perang melawan terorisme. Sedemikian populernya kata terorisme, hampir semua kepala negara/pemerintahan dalam pidato umum di Majelis Umum PBB New York September 2006 lalu menyelipkan pembahasan mengenai terorisme ini. Semua pihak menentang dan bahkan menyatakan perang kepada terorisme, termasuk Presiden George W. Bush, Presiden Chavez dari Venezuela dan Presiden Ahmadinejad dari Iran. Yang membingunkan kemudian adalah menentukan siapa teroris yang sesungguhnya, karena yang menuduh pihak lain teroris balik tertuduh sebagai teroris oleh yang tertuduh. Sedemikian membingunkannya sehingga terkadang susah membedakan antara mereka yang melakukan peperangan terhadap terorisme dari mereka yang melakukan terorisme itu sendiri. Cara pendekatan antara mereka yang menuduh dan mereka yang dituduh sebagai teroris serta korban dari dari apa yang disebut serangan teroris dan peperangan melawan teroris juga sama, yaitu rakyat yang tidak berdosa, khususnya anak-anak dan kaum wanita. Defenisi terorisme Barangkali memang susah memberikan defenisi terorisme yang disepakati. Masalah adalah seringkali defenisi itu dilator belakangi oleh persepsi masing-masing yang cenderung disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Perlawanan bangsa Palestina misalnya, bagi sekutu-sekutu Israle dianggap sebagai gerakan terror. Hal ini mengingatkan kembali kegigihan perlawanan para juang bangsa Indonesia masa lalu yang dianggap oleh penjajah asing sebagai terorisme. Namun demikian, sepertinya ada indikasi yang bisa dijadikan sebagai ukuran dalam mendefenisikan terror, yaitu ketika korban berjatuhan dari kalangan rakyat sipil yang tidak berdosa. Sepertinya, akal manapun tidak akan menerima justifikasi atas nama apapun ketika korban berjatuhan dari kalangan rakyat sipil tidak dapat dikendalikan lagi. Maka, terorisme dapat didefenisikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat yang tidak berdosa dengan justifikasi-justifikasi tertentu. Justifikasi inilah kemudian yang seringkali menjadikan defenisi itu menjadi kabur. Sebaliknya justifikasi ini pula yang seringkali menjadikan tindakan terror nampak seolah peperangan terhadap terrorisme. Nampaknya, defenisi sederhana di atas lebih komprehensif dan menyeluruh ketimbang berbagai defenisi ilmiyah yang dikemukakan selama ini. Hal ini dikarenakan defenisi ini menyentuh semua bentuk kekerasan yang menjadikan rakyat tak berdosa menjadi korban. Terror dengan pengertian ini boleh berbentuk kekerasan fisik (pembunuhan fisik), ekonomi, politik, kultur, sosial, pemikiran dan bahkan agama. Artinya, selain memahami terorisme sebagai kekerasan-kekerasan fisik, juga harus dilihat dari perspektif lain yang telah banyak memakan korban dari kalangan rakyat sipil. Terorisme ekonomi misalnya, sekarang ini menjadi musuh yang paling berbahaya. Di Afrika beribu-ribu anak-anak meninggal akibat kelaparan. Berbagai penyakit ditimbulkan oleh kemiskinan ini juga menelan jutaan korban setiap tahun. Setiap harinya tidak kurang dari 18.000 anak-anak meninggal karena kelasparan dan kekurangan gizi. Lebih dari 850 manusia setiap hari tertidur menanggung lapar. Keterlantaran pendidikan jutaan anak-anak di berbagai belahan dunia juga karena bentuk terorisme ini. Belum lagi, terorisme ekonomi ini mengancam lingkungan hidup yang menjadi ancaman serius dalam dunia global saat ini. Mungkin bagi bangsa Indonesia, Freeport di Papua adalah salah satu contoh kongkrit. Terorisme politik juga telah memakan korban dari kalangan rakyat sipil. Contoh yang paling dekat barangkali adalah Kuba. Tekanan politik negara kuat terhadap Kuba, termasuk dengan membelakukan sanksi ekonomi, menjadikan jutaan rakyat negara ini menjadi korban. Walaupun SDM Kuba sangat membanggakan, terbukti dengan produksi ahli medis mereka yang tersebar di berbagai negara, rakyat Kuba dari hari ke hari semakin menderita akibat terror politik tersebut. Nampaknya, bentuk-bentuk terorisme ini memang saling terkait. Teorisme fisik (peperangan, pembunuhan) misalnya, pada galibnya mengakibatkan terjadinya terorisme ekonomi, sosial, dan dalam banyak kasus menjalar ke terorisme politik, kultur, pemikiran dan agama. Sebaliknya, maraknya terorisme fisik di berbagai belahan dunia diakibatkan oleh parahnya “terorisme ekonomi” yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Catatan Qur’ani Sekedar catatan, Al Qur’an memang secara gamblang pernah mengingatkan hal di atas. Pertama dalam Surah Al Quraysh: “Adalah kebiasaan Quraish. Kebiasaan mereka melakukan perjalanan di musim dingin dan di musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Rumah ini. Yang memberikan makan dari lapar dan memberikan keamanan dari rasa takut”. Ayat terakhir dari Surah Al Quraysh ini menjelaskan secara gamblang kaitan antara “lapar” (masalah ekonomi) dan “takut” (terror). Artinya, kaitan antara dua bentuk permasalahan (economic issues dan security issues) manusia ini begitu erat. Fakta berbicara bahwa kasus-kasus kekerasan (terror) memang banyak terjadi di kawasan dunia yang secara ekonomi terbelakang. Sebaliknya, kekerasan-kekerasan fisik (perang, dll.) di berbagai kawasan juga menimbulkan permasalahan ekonomi yang berat. Inilah barangkali fakta yang dipahami secara jelas oleh Ibrahim AS ketika selesai menyelesaikan pembangunan Ka’bah dan berdoa: “Ya Tuhan, jadikanlah Kota ini (Mekah) kota yang aman dan berikan penghuni Kota ini rezeki buah-buahan bagi siapa yang beriman di antara mereka” (Al Baqarah). Shared enemy Terorisme adalah musuh manusia bersama. Hendaknya disadari bahwa terorisme sepanjang sejarah manusia telah dilakukan oleh semua pihak atau afiliasi, baik kebangsaan, suku atau etnik, dan juga kelompok agama. Adalah tidak rasional dan buta terhadap realita sejarah jika terorisme hanya dikaitkan dengan kelompok atau agama tertentu. Tidak ada pihak tertentu yang harus merasa “ekslusif” menjadi korban dari musuh bersama ini (terorisme). Beberapa hari lalu, ada diskusi kecil antara 4 anggota Parlemen Inggris dan pemimpin Muslim di kota New York. Salah satu permasalahan yang didiskusikan adalah mengenai “pengistilahan” (bahasa) yang kerap dipakai dalam membicarakan masalah terorisme. Khususnya ketika terorisme dikaitkan dengan kelompok atau agama tertentu, seperti Islamic terrorism, Muslim terrorism, Islamic radicalism, dll. Anggota Parlemen Inggris itu selalu merasa bahwa pengaitan terorisme dengan Islam dan Muslims adalah “justified” karena memang mereka yang melakukan terror selama ini selalu mengaku bahwa mereka didasari oleh ajaran Islam, atau minimal mengaku memperjuangkan kepentingan Muslim. Maka, menurut mereka, kegiatan mereka tidak salah jika dikaitkan dengan pengakuan mereka. Kami yang hadir saat itu mengingatkan mereka bahwa sepanjang sejarah manusia, tindakan terorisme telah dilakukan oleh semua kelompok etnis, bangsa maupun agama. Ada terorisme yang dilakukan oleh kelompok Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, dan bahkan Budha. Dan mayoritas di antara mereka melakukan itu karena didorong oleh perasaan beragama mereka. Maka, sangatlah tidak adil jika terorisme seolah-olah hanya terkait dengan kelompok Islam (Muslim). Peperangan menyeluruh Sebagaimana disebutkan terdahulu, terorisme dalam manifestasinya memiliki bentuk yang beragam dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, serta saling terkait. Untuk itu, terorisme jangan hanya dipandang sebagai kekerasan fisik semata, tapi seluruh bentuk kekerasan yang korbannya adalah rakyat tak berdosa. Untuk memerangi terorisme secara efektif, diperlukan perubahan persepsi tentang terorisme itu sendiri. Memahami terorisme secara parsial akan melahirkan peperangan terhadap terorisme secara parsial pula. Peperangan terhadap terorisme secara parsial justeru dapat berubah menjadi “terror” tersendiri karena korbannya justeru masyarakat sipil yang tak berdosa. Saat ini, ketika dunia semakin terjun bebas ke dalam jurang kehancurannya, diperlukan “a very strong political will” untuk bangkit bersama melakukan peperangan terhadap terorisme secara paripurna. Dikatakan bersama, karena terrorisme adalah musuh bersama dan korbannya telah dialami bersama. Secara paripurna, karena sebagaimana diperlukan peperangan terhadap terorisme fisik, juga diperlukan peperangan terhadap para “economic terrorists, political terrorists, intellectual terrorists, social, cultural, as well as religious terrorists” . Jangan sampai kita memerangi terrorisme sambil melakukan tindakan terrorisme pada saat yang sama. Jika itu terjadi maka sesungguhnya terjadi pemahaman kontradiktif terhadap permasalahan besar yang dihadapi oleh manusia saat ini, sekaligus sebuah kebodohan yang dilakukan atas nama kepintaran.
New York, 15 Pebruari 2007-02-15 [Non-text portions of this message have been removed]