Bercermin Pada Soliditas Sahabat 
   
  Oleh: DR. Attabiq Luthfi, MA
   
   
  “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, 
  padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya
   orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh 
  malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan 
  bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang 
  yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” 
  Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. 
  (Al-Baqarah: 214)
   
  Ayat ini dan ayat-ayat yang senada dengannya dapat ditemukan 
  pada tiga tempat dalam Al-Qur’an, yaitu surah Ali Imran: 142 yang 
  berbunyi, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, 
  padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjuang diantara 
  kamu dan orang-orang yang bersabar”, dan surah Al-Ankabut: 2-3, 
  “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 
  “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya 
  kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, sehingga Allah 
  mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui 
  orang-orang yang dusta”. (Al-Ankabut: 2-3).
   
  Secara historis, ayat-ayat di atas memang ditujukan kepada para mujahid 
  generasi pertama dari umat ini, namun secara makna ayat ini lebih tepat 
  untuk dijadikan bahan tarbiyah bagi mereka yang diserahkan amanah 
  dakwah IlaLlah untuk memelihara soliditas dan keteguhan mereka, 
  bahwa kemenangan itu dekat dan identik dengan perjuangan, cobaan 
  dan ujian. Hanya mereka yang solid yang berhak meraih “kemenangan 
  yang hakiki”. Seperti yang tersirat dari jawaban Allah atas pertanyaan 
  dan keluhan Rasul dan para sahabatnya “Bilakah datangnya 
  pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah 
  itu amat dekat”.
   
  Sayyid Quthb memahami ayat di atas, bahwa pertolongan Allah akan 
  diberikan kepada mereka yang konsisten hingga akhir hayat, yang tetap 
  mantap meskipun dalam penderitaan dan kesengsaraan, tetap teguh dan 
  tegar ketika menghadapi goncangan, dan pada puncaknya mereka yakin 
  bahwa tidak ada pertolongan melainkan pertolongan Allah. Pada level 
  tertinggi ini, barulah mereka layak dan berhak mendapat surgaNya setelah
  ujian yang maksimal dan bersabar di atasnya. Bahkan secara khusus dalam 
  salah satu ceramahnya memperingati peristiwa hijrah Rasulullah saw, 
  Sayyid Quthb mengingatkan, bahwa orang yang berhak memperingati 
  sejarah keagungan perjuangan dakwah Rasulullah bersama para sahabatnya 
  adalah mereka yang telah mampu mengangkat jiwa mereka pada 
  level tertinggi dari sikap zuhud terhadap harta, zuhud terhadap 
  kedudukan serta zuhud dalam bentuk apapun dari kemungkinan bisa 
  memalingkan konsistensinya dari jalan dakwah, karena ada yang lebih 
  besar dari itu semua, yaitu surga Allah swt.
   
  Padahal jika dicermati secara logika, sangatlah mudah bagi Rasulullah 
  untuk memenangkan dakwah Islam dan menghancurkan para penentangnya 
  dengan langsung memohon kepada Allah agar segera menghancurkan 
  mereka, seperti yang pernah dimohon oleh Nabi Nuh dan Nabi Luth as, 
  maka kaumnya diluluhlantahkan oleh Allah swt dan digantikan dengan 
  kaum yang baru. Tetapi tidak dengan Rasulullah saw. Beliau malah 
  memilih jalan yang sukar, jalan jihad dan jalan pengorbanan, karena jika 
  kemenangan itu diraih dengan cara yang mudah, maka soliditas dan 
  keteguhan para sahabatnya belum teruji. Beliau memilih jalan yang sukar 
  dan penuh dengan ujian dan cobaan, semata-mata agar dijadikan teladan 
  bagi umat setelahnya bahwa kemenangan itu harus dengan perjuangan, 
  pengorbanan dan menempuh jalan yang sukar, karena kemenangan yang 
  mudah diraih tidak akan kekal, begitu juga dengan dakwah yang “mudah” 
  hanya akan diminati oleh orang-orang yang “lemah”. Sedangkan kemenangan 
  yang hakiki dan dakwah yang sukar memang hanya bisa disertai oleh mereka 
  yang kuat, teguh dan solid dengan keimanan mereka.
   
  Secara korelatif menurut Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir 
  bahwa ketika pada ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 213) Allah menjamin 
  akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan 
  yang lurus dan kepada meraih surgaNya, maka kehendak Allah tersebut 
  tidak akan berlaku melainkan setelah melalui beberapa ujian dan kesukaran, 
  Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal 
  belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
  terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan 
  kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)…..”. 
  sehingga keutamaan Allah yang terbesar hanya layak diberikan kepada 
  mereka yang telah mengalami sunnatuLlah berupa ujian dan kesukaran 
  dalam mengarungi dan mendakwahkan kebenaran ajaran Allah.
   
  Berdasarkan sebab turunnya, ayat ini menurut Ibnu Abbas diturunkan untuk 
membersihkan hati para sahabat yang baru saja berhijrah ke Madinah dengan 
mengorbankan segala yang mereka miliki. Belum lagi mereka ternyata harus 
  menerima perlakuan buruk dari orang-orang Yahudi Madinah yang sangat 
  membenci Rasulullah saw. Riwayat lain dari Qatadah dan As-Suddi 
  menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait dengan perang Khandak 
  ketika pasukan muslim harus menghadapi masa yang sukar dan penderitaan 
  yang cukup berat, ditambah dengan pasukan dalam jumlah besar yang 
  mengepung mereka dari segenap penjuru. Allah berfirman mengingatkan 
  akan kesukaran suasana perang Ahzab, “(Yaitu) ketika mereka datang 
  kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap (lagi) 
  penglihatanmu dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan 
  dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam 
  purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan 
  (hatinya) dengan goncangan sangat dahsyat”. (Al-Ahzab: 10-11) 
   
  Riwayat yang ketiga menyebutkan bahwa ayat ini turun pada perang Uhud 
  ketika Abdullah bin Ubay bin Salul berujar dengan nada provokasi kepada
  para sahabat Rasulullah saw, “Sampai kapan kalian akan terus membunuh 
  diri kalian. Sekiranya Muhammad itu seorang nabi, niscaya Allah tidak akan 
  menghendaki kalian menjadi tawanan musuh atau kalian terbunuh”.
   
  Inilah jalan yang telah ditempuh oleh generasi awal umat ini dan 
  yang harus ditempuh oleh umat Islam dalam setiap generasi. 
  Inilah jalan keimanan, perjuangan,… ujian dan cobaan… jalan kesabaran 
  dan istiqamah. Jalan ini akan diiringi dengan kemenangan dan kenikmatan 
  (surga Allah swt). Maka tidaklah memadai bagi seorang mukmin dengan 
  hanya berjuang. Melainkan ia harus siap dan bersabar menanggung beban 
  dan tugas-tugas dakwah yang berkesinambungan. Terlebih lagi bersabar 
  atas tribulasi harian dakwah yang tidak akan pernah berhenti; bersabar 
  untuk senantiasa komitmen di atas landasan iman, bersabar di saat 
  kebathilan berkuasa, bersabar atas panjangnya jalan dakwah dan banyaknya 
  onak duri yang menghadang, bersabar atas keinginan untuk beristirahat 
  dan berhenti sejenak dari aktifitas dakwah dan bersabar untuk meraih surga 
  yang penuh dengan kepayahan dan jalan terjal yang mendaki. Semuanya 
  untuk meraih keteguhan iman yang melayakkan diri berada dalam shaf 
  para penghuni surgaNya kelak. Rasulullah mengingatkan akan kenyataan 
  jalan menuju surga Allah swt, “Surga itu dipenuhi dengan sesuatu yang 
  dibenci, sedangkan neraka itu diliputi dengan sesuatu yang menyenangkan”. 
  (H. R. Muslim dan Tirmidzi)
   
  Demikianlah sunnatuLlah dalam dakwah yang dipaparkan oleh ayat-ayatNya 
  yang secara aplikatif berlaku dan terjadi dalam sejarah perjuangan dakwah 
  Rasulullah dan para sahabatnya. Namun seringkali penyakit isti’jal mengikis 
  sendi soliditas dan ketegaran dakwah kita, seperti yang pernah diingatkan 
  oleh Rasulullah saw kepada sahabat Khabbab bin Al-Arat, “Namun kalian 
  seringkali isti’jal (tergesa-gesa, tidak sabar). Padahal sebelum kalian ada 
  yang harus menerima ujian yang sangat berat. Diantara mereka ada yang 
  tegar meskipun digergaji dari ujung kepala hingga telapak kakinya. Diantara 
  mereka juga ada yang tetap teguh saat harus disisir dengan sisir besi antara 
  tulang dan dagingnya. Mereka tetap tidak bergeming dari agama Allah. 
  Dan memang berdasarkan sunnatuLlah bahwa ujian terberat dan terbesar 
  akan dihadapi oleh para Nabi, kemudian para orang-orang sholeh dan 
  mereka yang bersikap seperti mereka. Seseorang akan diuji sesuai dengan 
  komitmen agamanya. Jika besar keteguhannya dalam berpegang dengan 
  ajaran agama ini, maka ia akan menerima ujian yang lebih”. 
  (H.R. Al-Hakim)
   
  “أشد الناس 
بلاء 
الأنبياء ثم 
الصالحون، ثم 
الأمثل
 فالأمثل، 
يبتلى الرجل 
على حسب دينه، 
فإن كان في 
دينه صلابة 
زيد في البلاء”
   
  Saatnya kita menguji soliditas dan keteguhan kita dalam dakwah ini 
  dengan barometer ujian dan cobaan yang menghadang kita. Kita seharusnya 
  berbahagia bahwa peluang untuk meraih keutamaan Allah yang terbesar 
  terbentang luas di depan mata kita, dengan tetap bersikap teguh, tsabat, 
  komit dan tsiqah dengan kebenaran dakwah ini dan pertolongan Allah. 
  Mudah-mudahan “kemenangan hakiki” memang layak dianugerahkan 
  Allah untuk kita karena kita adalah orang-orang yang “kuat”. Amin. 
   
  http://www.dakwatuna.com/
  
 
---------------------------------
Finding fabulous fares is fun.
Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find flight and hotel 
bargains.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke