Fanatisme Buta dan Dampaknya

Oleh : Al Birruni Siregar*) 
     
  Masa Jahiliyah adalah era ketika kondisi dan situasi masyarakat belum 
terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Periode ini sering juga disebut dengan 
istilah Pra-Islam. Seiring dengan perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah 
ini juga melekat erat pada sifat orang-orang yang tidak taat pada aturan agama 
yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
   
  Kebiasaan-kebiasaan kaum jahiliyah yang realitasnya berseberangan dengan 
anjuran Rasulullah s.a.w tersebut disebabkan oleh sifat keras kepala, apriori 
dan ta’assub (fanatik yang berlebihan) terhadap peninggalan dan tradisi para 
leluhur yang mengental rekat dalam ritual yang selalu disakralkan. 
   
  Seperti kebiasaan dahulu orang-orang jahiliyah yang mengitari ka’bah dengan 
bertelanjang tanpa busana, akhirnya terwarisi dengan kebiasaan generasi 
berikutnya yang tidak malu mempertontonkan auratnya di depan publik, sehingga 
hal seperti itu dianggap lumrah bahkan dianggap sebagai modernisasi.
   
  Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa 
agama mereka (orang-orang jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang 
menjadi akar dan pijakan. Yang terbesar diantaranya ialah “TAQLID”, yaitu 
sebuah sistim yang besar yang selalu menjadi tumpuan semua orang-orang kafir, 
sedari dahulu kala hingga akhir zaman. Sebagaimana Allah SWT berfirman di 
berbagai ayat di dalam Al-Qur’an: 
   
  “Wa kadzaalika maa arsalna min qablika fi qaryatin min nadziirin illaa qaala 
mutrafuuha innaa wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin wa innaa ‘ala aatsaarihim 
muqtaduun”; 
   
  “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan 
pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu 
berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan 
sesunguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”(QS.Az-Zukhruf:23).
   
  “Wa idzaa qiila lahumuttabi’uu maa anzalallahu, qaaluu bal nattabi’u maa 
wajadnaa ‘alaihi aabaa’ana, awalaw kaanasy-syaythaanu yad’uuhum ilaa 
‘adzaabis-sa’iir”;
   
  “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. 
Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari 
bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak 
mereka) walaupun syaithan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang 
menyala-nyala (neraka)?(QS.Luqman:21). 
   
  “Ittabi’uu maa unzila ilaikum min rabbikum walaa tattabi’uu min duunihi 
awliyaa’a. Qaliilan maa tadzakkaruun”:
   
  “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu 
mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya (pemimpin yang membawa kepada kesesatan). 
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)” (QS.Al-A’raf:3). 
   
  Syeikh DR.Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah Al-Fauzan dalam Syarhul Masaa’il 
Al-Jahiliyyah menjelaskan bahwa mereka (orang-orang jahiliyah) tidak menegakkan 
agama mereka sesuai dengan apa yang telah para Rasul sampaikan kepada mereka, 
sesunguhnya mereka mengkonstruksi agama mereka dengan dasar-dasar yang mereka 
mengada-adakannya sendiri sekehendak hati mereka, dan mereka enggan merobah 
diri serta beranjak dari kebiasaan itu. Perihal inilah yang dalam dunia Islam 
disebut sebagai “at-taqlid”, atau dalam istilah Arab juga akrab dengan sebutan 
“al-muhakah”, yaitu sebagian orang meniru cara-cara yang kelompok individu lain 
lakukan, sedangkan objek yang ditiru itu tidak sepatutnya untuk menjadi 
percontohan (maslahat). Sebagaimana Allah SWT berfirman: 
   
  “Wakadzalika maa arsalna min qablika fi qaryatin min nadziirin illaa 
mutrafuuha inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim 
muqtaduun”;
   
  Kata “mutrafuuha” dalam ayat ini adalah “mereka (para penduduk) yang hidup 
mewah sejahtera dan bergelimang harta pada umumnya, karena mereka adalah 
orang-orang yang cenderung berbuat jahat, sombong, dan tiada keinginan menerima 
kebenaran. Berbeda halnya dengan kaum faqir dan dhuafa, yang pada umumnya 
bersikap tawadhu’ dan ikhlas menerima kebenaran.
   
  Kaum yang mengagung-agungkan harta, tahta dan garis keturunan leluhurnya 
inilah, yang dahulu ketika para Rasul memberi peringatan dan mengajak mereka 
kepada jalan yang benar, mereka selalu membantah dengan ucapan” “Inna wajadnaa 
aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”; “Sesungguhnya 
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami 
adalah penganut jejak-jejak mereka.” Dengan kata lain (secara tidak langsung) 
mereka bermaksud: Kami tidak butuh peran dan kehadiranmu wahai Rasul, kami 
lebih percaya dengan apa yang telah dibudayakan oleh leluhur kami. Hal inilah 
yang di dalam literatur Islam disebut dengan istilah “at-taqlid al-a’maa” atau 
dalam istilah kita: “fanatisme buta” (blind obedience), yang tergolong dalam 
salah satu perangai kaum jahiliyah.
   
  Adapun “at-taqlid fil khair”, yakni mengikuti dalam ruang lingkup kebaikan, 
dalam istilah Islam disebut Ittiba’ dan Iqtida’ yakni mengikuti dan meneladani. 
Sebagaimana yang termaktub dalam (QS.Yusuf:38), firman Allah SWT tentang kisah 
Nabi Yusuf a.s: 
   
  “Wattaba’tu millata aabaa-ii Ibraahiima wa Ishaaqa wa Ya’quuba. Maakaana 
lanaa an nusyrika billaahi min syai’in”;
   
  “Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub. Tiadalah 
patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan 
Allah.”(QS.Yusuf:38).
   
  Dan di dalam QS.At-Taubah:10 
  “Wassaabiquunal awwaluuna minal muhaajiriina wal anshaari 
walladziinat-taba’uuhum bi ihsanin, radhiyallahu ‘anhu wa radhuu ‘anhu. Wa 
a’adda lahum jannaatin tajrii min tahtihaal anhaaru khaalidiina fiiha abadan. 
Dzalikal fawzul adhziim”;
   
  “Orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk Islam) diantara 
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan 
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah 
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; 
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang 
besar.”(QS.At-Taubah:100).
   
  Maka dari itu Allah berfirman dalam hal perangai jahiliyah:
   
  “Wa idzaa qiila lahumut-tabi’uu maa anzalallahu qaaluu bal nattabi’u maa 
alfayna ‘alaihi aabaa-ana awalaw kaana aabaa-uhum laa ya’qiluuna syai’an walaa 
yahtaduun.”
   
  “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan 
Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tatapi kami hanya mengikuti apa yang telah 
kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti 
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan 
tidak mendapat petunjuk? (QS.Al Baqarah: 170).
   
  Sesungguhnya tidak akan mendatangkan maslahat (kebaikan), jika orang yang 
tidak berpikir dan tidak pula mendapat petunjuk (hidayah) dijadikan sebagai 
teladan dan panutan. Pada dasarnya teladan itu hanyalah tertuju pada orang yang 
mau berpikir dan mendapat hidayah. Maka dari itu, fanatisme yang berlebihan 
memantik untuk menolak kebenaran yang hakiki, karena pada dasarnya, kebenaran 
yang hakiki dan teladan yang terbaik hanya ada pada diri Rasulullah dan para 
pengikutnya.
   
  2. Perangai Buruk Jahiliyah: Memutarbalikkan Fakta dan Enggan Berpikir
  Allah SWT berfirman: “Qul Innamaa A’idzhukum biwaahidatin. An taquumuu 
lillaahi matsnaa wa furaadaa tsumma tatafakkaruu. Maa bishaahibikum min 
jinnatin”;
   
  “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, 
yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau 
sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad), tidak ada penyakit 
gila sedikitpun pada kawanmu itu” (QS.Saba’: 46).
   
  Orang-orang Jahiliyah yang mendengar ayat ini tidak mau berpikir sejenak 
seraya mempertimbangkan kandungan dan arti dari ayat yang menarik ini. Mereka 
lebih memilih untuk menjawab: “Kami telah berpegang teguh terhadap apa yang 
telah dilakukan oleh para leluhur kami. Kami tidak sudi mematuhi orang ini, 
Muhammad s.a.w.”
   
  Demikianlah kaum jahiliyah, yang senantiasa memutarbalikkan fakta, menuding 
bahwa Rasulullah adalah orang gila, pendongeng sejati, dan orang yang tidak 
tahu diri, tanpa berpikir terlebih dahulu dan membuktikan bahwa perkataannya 
itu sesuai dengan realitas yang hakiki. Hal ini diakibatkan karena diri mereka 
yang tidak mau mendengar, tidak sudi berpikir dengan akal sehatnya, dan 
senantiasa menyelimuti diri mereka dengan hawa nafsu, yang mengantarkan mereka 
pada kesesatan yang nyata.
   
  Maka dari itu, hendaknya ini menjadi titik sentral perhatian orang-orang yang 
beriman agar cermat memilah dan memilih, yang mana hidayah (petunjuk) dan yang 
mana dhalalah (kesesatan), karena tidak sedikit kesesatan yang terbungkus oleh 
kamuflase hidayah. Tidak jarang orang-orang menyangka sesuatu itu hidayah (hal 
yang benar-benar sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh syariat), namun 
hakikatnya adalah kesesatan yang nyata.
   
  Betapa banyak orang-orang Islam yang menganggap ritual 1 Muharram 
(penyambutan Tahun Baru Hijriyah) atau dalam istilah Jawa akrab dengan sebutan 
1 Suro, yang diperingati dengan gemuruh dzikir berjamaah di mesjid, mushalla, 
bahkan di lapangan yang luas, sebagai hal yang syar’i, yang dituntunkan oleh 
Rasulullah s.a.w, padahal pada hakikatnya hal itu adalah perilaku jahiliyah 
(bid’ah) yang tidak ada dasar hukumnya yang bersandar pada Al-Qur’an dan 
As-Sunnah. Bahkan ada yang melakukan ritual-ritual yang dianggap sakral seperti 
berendam diri di sungai sedari malam hingga terbit fajar, puasa siang dan 
malam, dengan mengharap berkah Muharram dari Kyai Slamet, yang konon merupakan 
seekor sapi yang dianggap suci. Na’udzubillahi mindzaalik.
   
  Begitu pula halnya dengan budaya yang memperlakukan kuburan atau makam dengan 
ritual-ritual yang tidak selazimnya. Seperti shalat di sekitar makam, 
memanjatkan doa dengan memohon bantuan melalui arwah si empunya makam, bahkan 
tidak jarang ada yang mabit (bermalam) di kuburan kyai-nya untuk menambah 
berkah dan kekuatan iman. Ini semua adalah warisan nenek moyang kaum jahiliyah 
yang telah mengakar kuat dan membudaya dalam praktek-praktek keseharian. 
   
  Hal inilah yang menjadi sebab mengapa dahulu Rasulullah s.a.w melarang para 
sahabat untuk berziarah kubur, sebelum akhirnya beliau me-mansukh-kan hadits 
itu dengan ucapan: “Inni kuntu nahaytukum ‘an ziyaaratil qubuur, fazuuruhaa fa 
innahaa tudzakkirukumul aakhirah”; “Sesungguhnya dahulu aku mencegahmu untuk 
berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah kamu, sesungguhnya hal itu akan 
mengingatkanmu akan kematian (kehidupan akhirat)” (HR.Abu Daud, Turmudzi, 
An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad) (“Al-Ibdaa’u fi Madhaaril Ibtidaa’ ”, 
As-Syaikh Ali Mahfudz, Daarul Bayan Al-‘Arabi, Kairo).
   
  Itulah beberapa praktek jahiliyah, yang hanya bersandar pada dugaan-dugaan 
dan hawa nafsu, yang turun temurun terwarisi dari para leluhur mereka, yang 
dianggap sebagai sebuah petunjuk dan tuntunan yang benar, padahal pada dasarnya 
adalah kesesatan yang teramat nyata.
   
  Satu hal yang perlu menjadi perhatian umat Islam, bahwa perangai Jahiliyah 
menganut satu kaidah (asas): “Al-Ightirar bil Aktsar”; “Tertipu oleh 
Kebanyakan” (deceived by the most). Mereka berhujjah bahwa yang banyak pelaku 
dan pengikutnya, itulah yang benar. Mereka mengambil kesimpulan bahwa sesuatu 
itu salah (batil) karena asing (aneh) dan sedikit penganut atau pengikutnya. 
Itulah prinsip dasar yang mereka pegang, dan mereka suka memutarbalikkan fakta 
yang ada di dalam Al-Qur’an dengan menukar-nukar kandungan tafsir Al-Qur’an 
sekehendak hawa nafsunya.
   
  Sudah menjadi sunnatullah, bahwa kebaikan itu sedikit pengikutnya dan 
kesesatan itu banyak peminatnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
   
  “Wa in tuthi’ aktsara man fil ardhi yudhilluuka ‘an sabiilillah. In 
yattabi’uuna illadzh-dzhonna wa in hum illa yakhrushuun”;
   
  “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya 
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah 
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tak lain hanyalah berdusta (terhadap 
Allah) (QS.Al-An’am:116).
   
  “Wamaa wajadnaa li aktsarihim min ‘ahdin. Wa in wajadnaa aktsarahum 
lafaasiqiin”
   
  “Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka berjanji. Sesungguhnya kami 
mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”(QS.Al-An’am: 102).
   
  Nabi s.a.w bersabda: “Bada-al Islaamu ghariiban, wa saya’uudu ghariiban kamaa 
bada-a”; “Islam pada mulanya (hadir) dianggap sebagai hal yang aneh (asing), 
dan kelak ia akan kembali sebagai hal yang asing sebagaimana dahulu ia datang”. 
Allahu A’lam bishawaab.
   
  *)Mahasiswa Fak.Theologi Islam, Dept.Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Al-Azhar 
Univ. Cairo.
   
  http://www.cybermq.com/index.php?topikutama/detail/4/246/topikutama-246.html


Yathie 
(Dalam seribu temen belum tentu wujud seorang sahabat, karena PERSAHABATAN itu 
memerlukan kejujuran yang merupakan kebahagiaan dalam kehidupan)

 
---------------------------------
TV dinner still cooling?
Check out "Tonight's Picks" on Yahoo! TV.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke