Kecerdasan Emosi: Potensi Unik & Panggilan Jiwa (3) 

Manusia : makhluk yang berfikir dan merasa
Jika kajian filsafat menekankan kepada berfikir. maka kajian tasauf 
lebih menekankan pada merasa. Hubungan dengan Tuhan juga lebih 
ditekankan pada rasa, rasa berketuhanan. Tasauf mengajarkan tentang 
stasiun-stasiun perjalanan manusia mendekat kepada Tuhan, dari 
taubat, zuhud, faqr terus hingga ridla, makrifat dan cinta. 
Selanjutnya rasa itu bisa berlanjut ke tingkat tertinggi yaitu 
wahdatul wujud atau manunggaling kawula lan Gusti, bersatu dengan 
Tuhan. Jiwa manusia juga mengalami peningkatan dari nafs zakiyyah 
(jiwa yang suci secara alami) kemudian meningkat ke nafs lawwamah 
(jiwa yang sedang mencari jati diri) terus jika berhasil meningkat 
menjadi nafs mutma'innah (jiwa yang tenang) atau terjerembab menjadi 
nafs ammarah (jiwa yang banyak menyuruh berbauat kejahatan).

Dalam al Qur'an, fungsi-fungsi psikologis disebut dengan istilah nafs 
(jiwa), qalb (hati) `aql (akal), ruh (nyawa) dan bashirah (hati 
nurani), fitrah (desain awal), syahwat (keinginan) hawa (dorongan 
negatip syahwat). Nafs merupakan ruangan luas di dalam diri setiap 
manusia sebagai sistem nafsaniyah dengan subsistem akal sebagai alat 
berfikir, qalb sebagai alat memahami yang sering tidak konsisten, 
bashirah sebagai mata batin yang konsisten, fitrah sebagai desain 
awal yang menetapkan fungsi, syahwat sebagai motif penggerak, hawa 
nafsu sebagai motif menyimpang, dan ruh sebagai spirit yang 
menyebabkan semuanya berfungsi.

Perkembangan kajian psikologi mutakhir bersentuhan dengan nuansa 
tasauf, yakni dengan ditemukannya potensi lain selain potensi 
intelektuil, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Jika 
sebelumnya emosi dianggap sebagai penghambat, kajian mutakhir justeru 
menempatkan emosi sebagai potensi yang lebih menentukan dibanding 
kecerdasan intelektuil. Emosi yang dikelola (bukan ditekan) merupakan 
kekuatan merasa yang menyebabkan seseorang mampu memahami keadaan, 
mampu berimprofisasi saat sulit, mampu mentertawakan diri sendiri 
ketika merasa bersalah, mampu bercanda di ujung maut.

Emosi dapat diasah kualitasnya melalui pengalaman hidup, muhasabah 
(kalkulasi diri), mujahadah (latihan spirituil). Safar (perjalanan), 
zikr, kontemplasi (perenungan), puasa, zuhud (menanggalkan urusan 
dunia) dan jihad, kesemuanya dapat menajamkan kekuatan emosi. 
Semangat hidup orang yang memiliki kecerdasan emosi itu lebih 
kontruktip dibanding semangat hidup rationil.Jika seseorang sudah 
terlatih dalam mengelola emosinya, maka ia dapat meningkat ke tingkat 
yang lebih tinggi, yaitu kecerdasan spirituil. Orang yang sudah 
memiliki kecerdasan spiritual, ia mempunyai kemampuan melampaui 
dimensi ruang dan waktu. Ia sudah dapat membaca hari esok , dapat 
berada di tempat lain dalam waktu yang sama, dapat bertandang ke alam 
lain mengunjungi orang yang sudah lama mati dan sebagainya.

Yang masih diperdebatkan ialah apakah tiga kecerdasan, Intelektual, 
Emosional dan Spiritual merupakan kecerdasan yang berstruktur atau 
berdampingan. Jika berstruktur, mana yang awal dan mana yang 
terakhir. Sebagian orang berpendapat bahwa kecerdasan emosional 
merupakan buah dari kecerdasan spiritual, yang lain berpendapat 
sebaliknya. Menurut pendapat saya, rahasia tiga kecerdasan itu 
merupakan sebagian dari rahasia manusia yang ajaib. Artinya, di 
belakang hari nanti akan ditemukan lagi rahasia lain yang sekarang 
masih tersembunyi di balik makhluk Tuhan yang bernama insan ini. 
Dalam perspektip teologi, manusia adalah tajalli atau perwujudan dari 
kebesaran Tuhan Sang Pencipta, oleh karena itu sebagaimana dikatakan 
oleh Alexis Careel, pertanyaan tentang manusia pada hakekatnya hinggi 
kini (dan hingga nanti) tetap tak terjawabkan secara lengkap.

Hanya iman (kecerdasan emosional dan spiritual) yang dapat 
menghayatinya, meski belum tentu bisa mengungkapkannya, karena tiap 
individu, di depan Tuhan adalah unik. Al Qur'an mengingatkan bahwa 
Allah melahirkan anak manusia (melalui proses persalinan) dalam 
keadaan tidak tahu apa-apa , Wallohu akhrojakum min buthuni 
ummahatikum la ta`lamuna syaia (Q/16:78). Sebagian ada yang mati 
muda, sebagian lagi ada yang sangat dipanjangkan umurnya hingga 
pikun, kembali tidak mengerti apa-apa seperti ketika baru lahir, Wa 
minkum man yuroddu ila ardzali al `umuri likaila ya`lama ba`da `ilmin 
syai'a (/16:70 dan Q/22:5).)

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com

Kirim email ke