DAKWAH YANG MENGUBAH MASYARAKAT Harapan dan Realitas
Berbicara tentang dakwah yang dapat mengubah masyarakat berarti harus berbicara tiga hal. Pertama: masyarakat seperti apa yang hendak dibentuk. Kedua: bagaimana realitas masyarakat saat ini. Ketiga: bagaimana dakwah yang dapat mengubah masyarakat hingga terbentuk masyarakat yang diinginkan. Masyarakat macam apa yang hendak dituju? Nabi Muhammad saw., jauh sebelum diangkat sebagai nabi, sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau kemudian digelari al-amin. Namun, tidak cukup hanya dengan karakter positif pemimpin semata. Allah Swt. juga menurunkan wahyu kepada Beliau berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Nabi Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan menghukumi manusia. Realitas ini saja memberikan ketegasan bahwa negeri dan masyarakat yang baik tidak cukup mewujud dengan pemimpin yang akhlaknya baik. Diperlukan pula sistem dan aturan yang baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang bersumber dari Zat Yang Mahabaik. Masyarakat seperti ini diatur oleh Islam dalam segala aspeknya. Pemimpinnya pun mencintai rakyat dan dicintai rakyat, mendoakan rakyat dan didoakan rakyat. Pemimpin yang mencintai rakyat tidak akan menjerumuskan mereka dalam kedurhakaan, pembangkangan, dan penolakan terhadap hukum Allah. Sebaliknya, ia akan membawa, mengarahkan, bahkan melakukan 'pemaksaan' agar masyarakatnya sejahtera di dunia, di akhirat pun bahagia. Melalui masyarakat seperti itu akan menjadikan keturunan terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ an-nasl), akal terjaga (al-muhâfazhah 'alâ al-'aql), kehormatan terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ al-karâmah), jiwa manusia terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ an-nafs), harta terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ al-mâl), agama terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ ad-dîn), keamanan terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ al-amnu), dan negara pun terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ ad-dawlah). Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem Kekhilafahan. Sayang, realitas masyarakat saat ini jauh dari kondisi masyarakat yang diinginkan. Di Indonesia, misalnya, terjadi kemiskinan dan banyak pengangguran. Dengan menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia, yakni penghasilan kurang dari 2 US$ perkepala perhari, jumlah orang miskin adalah lebih dari 110 juta orang. Pada tahun 2006 pornografi dan pornoaksi makin marak. Di antaranya ditandai dengan terbitnya majalah Playboy. RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (APP), yang diharap akan bisa menjadi payung hukum guna menyelesaikan masalah ini, justru makin tidak jelas nasibnya. Dengan dalih melindungi kaum perempuan, Pemerintah bahkan berencana akan merevisi UU Perkawinan dan PP yang akan memperketat praktik poligami. Jika semua ini dilakukan Pemerintah-seperti yang dinyatakan oleh Presiden-sebagai moral obligation, bukankah pornografi-pornoaksi serta praktik perzinaan dalam segala bentuknya yang harus ditumpas habis? Mengapa perzinaan malah justru difasilitasi melalui program kondomisasi? Pendidikan pun penuh dengan pengaburan terhadap Islam. Dalam pendidikan, ekonomi yang diajarkan adalah ekonomi kapitalistik, hukum yang ditanamkan adalah hukum kolonial, sejarah yang disampaikan adalah sejarah atas cara pandang Eropa dan Amerika, seni yang dikaji adalah seni liberal, dll. Bahkan pendidikan kini dikapitalisasi. Dalam bidang politik, rakyat hanya disapa saat Pemilu, praktiknya pun bersifat oportunistik dengan mengedepankan politik dagang sapi. Akar semuanya itu adalah sistem sekular yang menjauhkan Islam dari perannya sebagai pengatur kehidupan. Ringkasnya, kenyataan masyarakat saat ini laksana kain yang sudah rapuh, sobek di sana sini, tidak dapat diperbaiki dengan tambal sulam. Hilangnya Orientasi Dakwah "Dimana para ulama, mubalig dan dai?" Begitu teriakan lantang yang sering terdengar saat kemaksiatan dan kejahatan merajalela. Seakan tanggung jawab hanya ada pada mereka. Penyebab dari munculnya kemaksiatan dan kejahatan itu sendiri tidak pernah dipersalahkan. Media massa yang mengeksploitasi kekerasan dan kebejatan akhlak terus melenggang. Bisnis esek-esek yang menghancurkan bangsa dilegalkan. Bahkan, Pemerintah dan DPR penghasil undang-undang yang menciptakan sistem sekular ini seakan tidak bersalah. Akhirnya, para ulama, mubalig dan dai hanya ditempatkan laksana tukang cuci. Penyebab kekotoran tidak pernah dihentikan, sementara para aktivis Islam diminta untuk terus membersihkan. Akibatnya, mereka terjebak pada kedudukan tersebut. Alih-alih menghentikan kebobrokan, mengubah arah masyarakat, dan mewujudkan masyarakat baru yang diatur Islam; mereka justru hanya berada pada posisi 'tukang cuci'. Dengan kondisi demikian adalah wajar belaka jika dakwah mengalami disorientasi, belum dapat mewujudkan masyarakat yang bersih. Para ulama semestinya mendobrak posisi ini. Di samping melakukan fungsi pembersih, mereka juga harus lantang meneriakkan kebobrokan sistem kapitalistik yang diterapkan; mengungkap kezaliman penguasa dan wakil rakyat, serta upaya asing imperialis yang tidak menghendaki tegaknya baldat[un] thayyibat[un] wa rabb[un] ghafûr. Hilangnya orientasi dakwah juga dipengaruhi oleh pihak dai itu sendiri. Pertama: pemahaman para dai atau organisasi/lembaga dakwah yang tidak ideologis alias parsial. Permasalahan yang dihadapi umat merupakan krisis multidimensi. Penyelesaiannya mesti secara radikal, total dan tidak parsial. Bukan hanya menyangkut perilaku dan hukum, kerusakan sudah mencapai taraf cara pandang terhadap dunia. Pemahaman (mafâhîm), tolok ukur (maqâyis), dan penerimaan (qanâ'ât) yang digunakan bukan lagi berasal dari Islam. Karenanya, dakwah harus berangkat dari keyakinan yang disatukan dengan keterikatan pada hukum. Perlu penyatuan akidah dengan syariah. Keyakinan itu dibangun dengan cara mengubah pandangan dunia, cara berpikir, termasuk dalam mengatur dunia. Perlu dijelaskan mafâhîm, maqâyis, dan qanâ'at yang salah, lalu ditunjukkan mana yang benar menurut Islam. Itulah dakwah yang ideologis. Dengan cara seperti itu, orang akan mengikuti karena yakin apa yang diikutinya benar; atau ia menjauhi karena ia yakin bahwa itu salah. Sikap demikian akan melahirkan orang-orang yang rela mengorbankan apapun untuk mempertahankan dan membela apa yang diyakininya. Perjuangan para Sahabat adalah contoh terbaik dalam masalah ini. Keluarga Yasir rela dihabisi demi mempertahankan keimanan. Para Sahabat laki-laki dan perempuan tidak keberatan meninggalkan harta, rumah, kebun, ternak, bahkan keluarga di Makkah demi keyakinan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw. yang memerintah mereka untuk hijrah ke Madinah Jika dakwah tidak bersifat ideologis, dakwah hanya akan disandarkan pada figuritas. Dakwah semacam ini amat rapuh. Sebagai contoh: seorang dai terkenal dan banyak dikagumi tiba-tiba digunjing banyak pihak hanya karena berpoligami. Terlepas dari hukum poligami boleh, tidak sedikit para pengagumnya justru memboikot ceramahnya. Jika dakwah yang disampaikan bersifat ideologis, niscaya selama tidak melanggar syariah, mereka tetap akan memberikan loyalitasnya. Dakwah yang tidak ideologis dapat pula memalingkan orientasinya semata menjadi mode. Wajar jika apa yang dilakukan sekadar ikut-ikutan dan bersifat kondisional. Saat Ramadhan ikut rame, tetapi setelah itu selesai. Ketika mode berkerudung sedang nge-tren, ikutan mengenakannya. Lalu, hanya karena cerai tanpa rasa ragu, malu ataupun takut dilepaskannyalah kembali kerudung tersebut. Lebih parah lagi jika para dai memposisikan dakwah sebagai sarana hiburan. Dakwah dianggap bagus kalau banyak tertawanya, sekalipun isi seruannya kosong tanpa makna. Semua ini berkonstribusi pada hilangnya orientasi dakwah. Kedua: ada dai yang tidak memahami realitas (hakikat) masyarakat dan konsep perubahan masyarakat. Masyarakat dipandang hanya kumpulan individu. Padahal masyarakat merupakan kumpulan orang yang memiliki pemikiran dan perasaan yang sama; lalu interaksi di antara mereka diatur oleh sistem yang sama. Berdasarkan ini, dakwah harus mengarah pada menciptakan pribadi-pribadi salih yang memiliki pemikiran dan perasaan islami. Lalu pribadi-pribadi tersebut mengkoordinasikan diri untuk berjuang bersama mengubah sistem aturan buruk yang tengah diterapkan di masyarakat. Jadi, yang dilakukan adalah membentuk manusia salih sekaligus mushlih (berjuang untuk menjadikan orang lain salih). Pandangan bahwa masyarakat sebatas kumpulan individu akan menjadikan orientasi dakwah hanya sebatas memperbaiki individu. Muaranya, perubahan masyarakat tidak terjadi. Yang ada hanyalah perubahan individual. Biasanya target dakwah akan dianggap selesai jika orang sudah rajin shalat berjamaah. Shalat berjamaah memang penting. Namun, berjamaah menegakkan hukum Allah pun tidak kalah penting. Ketiga: dai tidak memahami metode (tharîqah) dakwah Rasulullah saw. dalam melakukan perubahan masyarakat. Dakwah hanya berhenti pada taklim yang mentransfer pengetahuan. Akibatnya, dakwah tidak mendarahdagingkan Islam dalam jiwa, semangat juang dalam langkah, dan juga tidak melahirkan generasi pejuang yang bersama-sama menjadi penegak Islam. Selain pihak dai, hilangnya orientasi dakwah diakibatkan oleh sekularisasi dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dengan sekularisasi, agama dipisahkan dari perannya mengatur masyarakat. Agama hanya ditempatkan sebagai penjaga moral dan spiritualitas. Tanpa disadari, realitas ini mengarahkan masyarakat sebatas memenuhi aktivitas ritual. Pembahasan yang dominan hanya berkisar pada masalah kematian, tobat, shalat khusyu, zikir, dan perkara individual lainnya; paling jauh membahas minuman keras dan pelacuran. Sementara itu, perkara BBM, HAM, pluralisme, jender, pembalakan hutan, korupsi, kemiskinan, privatisasi sumberdaya alam, utang luar negeri, kerjasama militer dengan negara penjajah, dll luput dari perhatian para dai. Dakwah seperti ini hanya berorientasi pada kesalihan pribadi. Orientasi dakwah mengubah masyarakat pun mengalami ketersendatan. Terakhir: pengaruh orientasi hidup yang materialistik turut menghilangkan orientasi dakwah untuk mengubah masyarakat. Terjadilah komersialisasi dakwah. Aktivitas dakwah tidak lagi bersifat aktif dan progresif, tetapi menunggu order atau panggilan. Itu pun telah ditetapkan tarifnya. Unsur entertaintment lebih dominan daripada dakwahnya. Bahkan sang dai didudukkan tak ubahnya sebagai selebritis. Dakwah seperti ini lebih ditujukan pada pemuasan bagi penatnya pikiran dan jiwa, melepas lelah, atau untuk relaksasi dan hiburan. Tentu, kalau dilihat dari kacamata manfaat, apapun aktivitas dakwah akan memberikan maslahat pada umat. Ada sisi bagusnya. Namun, dalam konteks perubahan masyarakat, hal-hal tersebut dapat menghilangkan orientasi dakwah demi mewujudkan masyarakat Islam yang baldat[un] thayyibat[un] wa rabb[un] ghafûr. Aktivitas dakwah yang hanya bersifat ritual dan individual menyebabkan kaum Muslim kehilangan beribu-ribu umat yang diharapkan militan dan sanggup bergerak dengan penuh semangat untuk menggalang kelompok persatuan yang representatif dalam menegakkan syariah Islam. Karenanya, setiap jenis aktivitas apapun harus didudukkan sebagai teknik (uslûb) dan bagian dari perubahan masyarakat. Dakwah jangan terjebak pada target individual dan terseret mengikuti arus kehidupan. Sebaliknya, dakwah justru harus berujung pada terjadinya perubahan masyarakat menjadi islami. Arah Dakwah Dakwah haruslah ditujukan pada pembentukan masyarakat baru. Masyarakat yang kapitalistik sekularistik diubah menjadi masyarakat Islam. Ini persis seperti gelas yang berisi air comberan, diganti menjadi berisi air putih menyegarkan. Gelasnya tetap, tetapi isinya berubah total. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat. Daerah Madinah, Makkah, Yaman, dll tetap seperti sediakala. Namun, aturannya yang jahiliah ditinggalkan dan diganti seluruhnya menjadi aturan syariah Islam. Sistem yang dulunya kesukuan, berdasarkan hukum manusia, dan terpecah-belah diubah menjadi Daulah Islamiyah/Khilafah. Karenanya, dakwah tidak terbatas pada target individual. Dakwah diarahkan hingga masyarakat memikirkan dan berjuang untuk menegakkan Islam, menyatukan umat dalam Khilafah, mementingkan urusan umat, ikut sedih atas musibah yang menimpa kaum Muslim di berbagai belahan dunia, serta mendukung perjuangan kaum Muslim untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan Barat dan Timur. Dengan merujuk pada sirah Nabi saw., dakwah haruslah bersifat ideologis, total, dan tidak parsial. Sejak awal, di tengah kepercayaan pada banyak tuhan, Rasulullah menyerukan Lâ ilâha illâ Allâh. Ini adalah pernyataan ideologis paling spektakuler. Abu Lahab dan Abu Jahal, misalnya, tidak mau mengucapkannya; bukan karena tidak bisa, tetapi keduanya tahu, itu adalah proklamasi ideologis yang akan meniadakan kekuasaan mereka selama ini. Beliau dan para Sahabat menyerukan semua aspek dalam Islam, mengajak manusia menerapkan Islam secara kâffah, dunia dan akhirat. Selain itu, Nabi saw. dan para Sahabat mendakwahkan Islam relevan dengan persoalan mendasar masyarakat. Saat itu bangsa Arab merasa aib punya anak perempuan dan menguburnya hidup-hidup. Lalu turunlah ayat tentang larangan untuk melakukannya. Saat mereka biasa mengurangi timbangan, turunlah surah al-Muthaffifin yang mencegahnya. Ketika orang enggan memperhatikan kaum Miskin, turunlah ayat al-Ma'un yang mencela pihak yang tidak memperhatikan apalagi menjadikan orang miskin bertambah miskin; dll. Dakwah juga harus berbasis pada metodologi dakwah Rasulullah saw. (syar'i) sehingga mampu mengubah dan mentransformasikan masyarakat ke arah masyarakat Islam. Sirah Rasul menunjukkan bahwa perubahan masyarakat diawali dimulai dengan pembentukan kader yang ber-syakhshiyyah islâmiyyah (berkepribadian Islam), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu; pembinaan umat (tatsqîf jama'i) bagi terbentuknya pendapat masyarakat (al-wa'yu al-amy) tentang Islam; lalu pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyah jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwah as-siyasiyah). Massa umat yang memiliki kesadaran politik akan menuntut perubahan ke arah Islam. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung. Sistem (syariah) dan kekuasaan (Khilafah atau penyatuan ke dalam Khilafah) Islam pun tegak. Terbentuklah masyarakat dengan sistem baru, yakni masyarakat Islam yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Wallâhu a'lam. [MR Kurnia] [Non-text portions of this message have been removed]